Pages

Jumat, 19 Desember 2008

Setitik Perhatian Berbuah Kebahagiaan

Jumat, 19 Desember 2008

Ada ruang kosong dalam hati Andi [bukan nama sebenarnya] yang sampai sekarang tak pernah terisi. Ruang itu untuk ibunya. Saat usianya masih dalam hitungan bulan, ia dititipkan pada sebuah keluarga. Kemudian ibunya pergi entah ke mana. Sampai kini, saat usianya sudah 35 tahun, ia belum pernah sekali pun bertemu dengan ibunya, apalagi mengenalnya.

Ia merasa aneh ketika sadar bahwa selama ini tak ada seseorang yang dipanggilnya ibu. Ia pun merasa rindu mendapat perhatian dan kasih sayang seorang ibu seperti teman-temannya. Lalu muncullah pertanyaan yang membuat sebagian hidupnya tercurah untuk mencari jawabannya: siapa ibunya? Hingga suatu saat dalam pencariannya itu ia merasa bahwa ibunya memang tidak menginginkannya. Sampai pada titik itu ia berhenti mencari dan menjalani hidup seperti apa adanya.

Benar, hidupnya tetap berjalan meski tak ada seorang pun yang dekat dan akrab layaknya keluarga. Orang-orang yang mengasuhnya tak pernah tulus. Bahkan ia pernah dibawa ke panti asuhan untuk dititipkan segera setelah sang ibu menyerahkannya. Tetapi karena takut berdosa, keluarga itu mengambilnya kembali. Ia tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Semua masalah dalam hidupnya diusahakannya tanpa banyak bantuan dari orang lain, termasuk mencari nafkah untuk biaya hidupnya. Ia telah menjadi seorang Project Manager sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Karena terlalu lama hidup sendiri, sampai-sampai ia merasa aneh saat ada orang yang berusaha mendekat.

Namun, ruang kosong itu terasa kembali saat tahun lalu ia menikah. Ia sedih, bagaimana peristiwa yang begitu penting itu tak disaksikan ibunya. Ia membayangkan betapa bahagia ibunya saat melihatnya berhasil seperti sekarang ini.

Air mata Andi menetes tak tertahan saat ia berkisah pada kami. Ia merasa menjadi anak yang paling malang di dunia ini karena tak bisa berbakti pada ibu yang melahirkannya. Bagaimana bisa berbakti, sedangkan keberadaannya pun tak terlacak.

Tak hanya Andi, secara naluriah setiap orang punya ruang dalam hatinya untuk seorang ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan kita dengan segenap cinta dan kasih sayangnya. Karena setiap manusia, terkecuali Adam dan Hawa, pastilah memiliki ibu. Jika Andi amat merindukan kehadiran sosok sang ibu, bagaimana dengan kita yang sering berselisih paham dengan ibu? Lantas apa yang perlu dilakukan oleh seorang anak untuk berbakti pada ibunya?

Sebuah kisah menarik diceritakan oleh seseorang di blog pribadinya [http://ricisan.wordpress.com/]. Dalam jurnalnya yang berjudul “Cerita Inspirasi Dari Sang Ibu…” ia berkisah ingin membahagiakan ibunya.

Sejak kecil ibunya selalu membangunkan dan menyiapkan sarapan pagi untuknya. Sekarang ia telah berusia tigapuluh tahun lebih dan sudah bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan tambang. Tetapi, kebiasaan ibunya itu tetap tak berubah. Suatu pagi ia meminta kepada ibunya untuk tak lagi repot-repot mengurusinya karena sudah bisa mengerjakannya sendiri. “Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku sudah dewasa,” pintanya.

Wajah ibunya seketika berubah. Juga pada suatu saat ketika ibunya mengajaknya makan di sebuah restoran. Setelah selesai, ia buru-buru mengeluarkan uang dan membayar semuanya. Ia ingin membalas jasa ibunya dengan uang hasil keringatnya sendiri. Tetapi raut sedih kembali tampak pada wajah ibunya. Semula ia menganggap itu wajar. Pernah ia membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa pada orang lanjut usia ada fase yang sangat sensitif dan cenderung untuk bersikap kekanak-kanakan. Tapi lama-kelamaan keadaan itu mengganggunya. Ibunya pun tak pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya, “Bu, maafkan aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang membuat Ibu sedih?” Ia menatap wajah ibunya. Ada genangan airmata yang segera menetes.

Dengan terbata-bata ibunya berkata, “Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri.” Sejak saat itu ia sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan ibunya bukan terletak pada materi yang diberikan kepadanya, tetapi lebih pada bagaimana membuatnya berarti dalam hidupnya.

--------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Friday
Edisi 13: Bahagiakah Ibumu?


Jumat, 12 Desember 2008

Kalo Nggak Suka Tonjok Aja

Jumat, 12 Desember 2008
Dulu sepulang sekolah aku sering terhenti di depan poster film yang terpajang di atap sebuah bioskop. Judulnya membikin keningku berkerut membayangkan arti kata-katanya, "Gairah Ranjang". Tapi aku bisa menebak apa maksudnya dengan melihat gambar posternya yang kelihatan wah meski disana-sini banyak tempelan kertas koran.

Pada saat itu menonton film di bioskop bukanlah hal yang menyenangkan bagiku. Entah, itu karena tidak tertarik dengan filmnya atau terbawa pandangan jelek masyarakat di kampungku tentang film dan bioskop. Orang yang suka nonton film di bioskop terkesan nakal karena banyak film untuk konsumsi orang dewasa.

Aku mulai suka nonton setelah kuliah di Surabaya. Ternyata film di bioskop tidak hanya film-film ranjang seperti di kampungku dulu. Kasihan deh aku dulu jadi orang yang kurang pergaulan alias kuper.

Kebiasaan melirik poster film masih sering aku lakukan sampai sekarang. Nah suatu hari aku melihat poster film yang bertuliskan "Mas Suka Masukin Aja." Mungkin itu judul filmnya, karena tidak ada tulisan lain yang menonjol.

Aku coba menebak apa maksud tulisan itu. Ah, sampai jauh dari depan bioskop tetap saja aku nggak ngerti. Masih kupernya aku meski sudah tinggal di Jakarta.

Nyampek rumah, masih saja judul film itu membuatku berpikir. "Mas Suka Masukin Aja, kalo nggak suka gimana, ya tonjok aja," kataku dalam hati.

Ngomong film, di acara festival film islami (SELAMI) kemarin aku sempat ketemu dengan Pei. Ia seorang pekerja film dan muridnya Riri Riza di IKJ. Kami ngobrol cukup lama tentang film Indonesia. Pada suatu titik kami ngobrolin bagaimana tidak berdayanya pembuatan film terhadap kemauan produser. Idialisme pembuat film tidak bisa terlaksana karena produser tidak menyukainya.

Produser lebih memilih film yang laku di pasaran tanpa banyak berfikir kualitas, etika maupun estetika. Apalagi jauh berpikir tentang pengaruh film itu terhadap masa depan generasi bangsa. Tentu tidak semua produser begitu.

Ya, kami berpandangan sama bahwa itu bukan sepenuhnya salah produser. Sebagai pemodal, sangat wajar jika ingin untung yang besar, paling tidak modal bisa kembali. Kita-kita yang pantas untuk menilai balik diri kita sendiri. Mengapa nonton film-film seperti itu?

Pei bilang, sebuah survey membuktikan kalau banyak penonton film menentukan pilihan sesaat setelah berada di ruang antrian tiket. Jadi mereka tidak punya bayangan sebelumnya mau nonton apa. Yang kelihatan gambarnya asyik, itulah yang ditonton. Makanya judul "Mas Suka Masukin Aja" pas untuk tipe penonton seperti itu. Apalagi didukung dengan poster yang agak seronok yang di kampungku dulu ditutup dengan kertas koran.

Alhamdulillah, sekarang sudah banyak bermunculan film-film seperti Ayat Ayat Cinta dan yang terakhir Laskar Pelangi. Kalau dulu film-film seperti itu yang beredar di kampungku, bukan tidak mungkin stigma jelek bioskop akan hilang. Bahkan ustad di masjid dan mushala menyuruh santrinya pergi nonton film.

Kamis, 11 Desember 2008

Pohon Pusing

Kamis, 11 Desember 2008
Itu sebutan anakku untuk Pohon Natal. Ya, awalnya aku sendiri juga bingung, mengapa ia menyebutnya begitu.

Ceritanya, pada suatu Minggu kami jalan-jalan ke toko buku. Kebetulan toko itu berada di sebuah mall. Tau sendiri kan, kalo bulan Desember seperti sekarang ini banyak Pohon Natal terpajang di mall-mall. Saat itu anakku bertanya, "Yah, kenapa disini banyak pohon pusing?"

Aku celingukan mencari pohon apa yang dimaksud. Kemudian ia mengarahkan telunjuknya ke arah Pohon Natal. "Itu Pohon Natal," kataku. "Mengapa Azif bilang itu pohon pusing?"

Dia bilang, "kan ada bintang-bintangnya."

Aku dan istriku sontak tertawa. "Anak kita kartun banget ya," kataku pada istri.

Memang Azif sering sekali melihat film kartun di televisi. Tau kan gambaran orang pusing di kartun itu bagaimana. Karena itu, ketika melihat pohon yang disekitarnya ada banyak bintangnya ia langsung berfikir pohon itu sedang pusing.

Aku kira setiap anak cenderung mempunyai pikiran yang sama dengan Azif. Berfikir bebas tanpa ada frame yang membatasinya, sebelum orang dewasa seperti kita ini memberi batasan-batasan tertentu. Pikirannya sering keluar dari kotak-kotak yang dimiliki orang dewasa. Sebenarnya pikiran yang semacam itu sangat diperlukan untuk mengembangkan kreatifitasnya.

Woody Norris dari American Technologi Corporation, sebuah perusahaan pencipta produk baru, pernah berfikir bagaimana menciptakan suara yang hanya didengar oleh orang tertentu saja. Misalnya, suara musik dalam mobil hanya bisa didengar oleh orang yang duduk di depan saja sehingga orang yang di belakang bisa mendengar musik yang lain tanpa menggunakan headphone.

Bagi kebanyakan orang, pikirannya itu tidak akan mungkin diwujudkan karena biasanya suara yang terpancar ke udara yang didengar oleh satu orang, pasti akan didengar juga oleh orang lain.

Tapi ia menemukan jawabannya. Ia belajar dari pemancaran sinar laser. Sinar laser bisa memfokuskan sinarnya karena intensitas cahaya yang dipancarkan sangat tinggi. Suara pun jika frekuensi gelombangnya semakin tinggi akan semakin terarah dan fokus.

Nah, setiap anak mempunyai potensi yang besar untuk berfikir kreatif. Tapi jika terlalu dipaksakan dengan batasan-batasan tertentu sehingga anak jadi takut untuk berpikir lagi, daya kreatifnya akan menurun, bahkan bisa hilang.

Gambar minjam dari ClipartGuide

Senin, 08 Desember 2008

Haji Muda

Senin, 08 Desember 2008
Baru kali ini aku menulis tanpa ada bayangan apapun di kepala. Mengira-ira pun tidak bisa. ALiF edisi 12 berbicara tentang pergi haji saat muda. Bagaimana aku bisa menulis sedangkan aku sendiri belum berhaji? Satu-satunya jalan adalah bertanya pada orang yang sudah pergi memenuhi panggilan-Nya itu. Ada syaratnya lagi, ia masih muda.

Dengan bantuan teman-teman redaksi akhirnya tersaji cerita dua orang yang berhaji saat masih muda. Berikut ceritanya :

Widhi [37],pekerja media, asal Bandung
Pergi haji tahun 2006, saat itu usianya 35 tahun. Sewaktu keluarganya mengajaknya berhaji, ia langsung menerima tanpa kuatir sedikitpun. Ia berfikir, kesempatan berhaji harus segera diterima dan dilaksanakan karena belum tentu kesempatan itu datang di waktu mendatang. Tidak semua orang mendapat kesempatan itu. Dari sekian banyak Muslim Indonesia, hanya sebagian saja yang punya peluang itu. Jadi ketika ada kesemapatan, berarti Allah telah menunjuk dan memilihnya.

Yang paling berkesan adalah saat wukuf di Arafah. Di padang itu ia merasakan seperti berhubungan langsung dengan Allah. Pintu langit terbuka dan Dia mendengar semua doa manusia. Ia pun membaca doa untuk dirinya sendiri, keluarganya, dan para sahabat yang menitip doa kepadanya. Ia sempat menangis karena teringat dosa-dosanya di masa lalu, dengan kepasrahan yang mendalam, ia meminta ampun kepada-Nya.

Ada kesadaran baru yang ia peroleh selama berhaji, bahwa tidak boleh merendahkan dan meremehkan orang lain. Kesadaran itu ia peroleh setelah mengalami peristiwa di suatu siang setelah shalat Jum’at. Ia melihat seorang tua duduk agak jauh di depannya, mungkin karena sudah tua, tak terasa orang itu buang air kecil di tempatnya duduk.

Ia merasa jijik. Dalam hati ia memperolok orang tua itu. Tak lama berselang, ada orang menginjak najis itu dan kemudian melintasi sajadahnya yang berlum sempat dirapikan. Kakaknya kontan tertawa. Tak lama setelah itu ada orang lain lagi yang menginjak najis tadi dan kemudian menginjak kaki kakaknya.

Baginya, berhaji di usia muda tak menjadi masalah, malah akan lebih mempermudah pelaksanaannya, karena kondisi fisik masih sempurna dan tenaga masih kuat. Banyak kegiatan ibadah yang menguras tenaga dan butuh ketahanan fisik yang prima. Tentang ketidaksiapan anak muda untuk berhaji karena masih banyak dosa, ia berpendapat justru berhaji merupakan kesempatan untuk bertobat dan meminta ampun.

Dewi Handajani [38], wartawan
Dewi berangkat haji tahun 2002 ketika usianya 32 tahun. Saat itu ia baru tiga tahun menikah. Sebetulnya niat untuk berhaji sudah muncul sejak lama, saat mendengar cerita orang-orang yang pernah berhaji. Sejak ia bekerja sekitar tahun 1994, ia mulai menabung. Namun ia masih bimbang akan pergi dengan siapa. Sementara keluarganya belum ada yang berhaji.

Setelah menikah, ia mengutarakan keinginannya untuk berhaji kepada suaminya. Namun ia keburu hamil dan melahirkan anaknya yang pertama. Keinginan itu pun tertunda.

Tahun 2001, ibunya berhaji, keinginannya menguat kembali. Ia berunding dengan suaminya. Akhirnya, sang suami mau diajak berhaji asalkan anaknya sudah bisa ditinggal dan ia belum hamil kembali. Kemudian mereka menetapkan untuk berhaji tahun depan [2002] saat putrinya sudah memasuki usia dua tahun dan sudah disapih dari ASI.

Di Tanah Suci ia merasa sangat excited, muncul kegairahan yang sangat dalam hatinya, begitu pun dengan sang suami. Memang, karena masih muda, ada sedikit ribut-ribut kecil di antara mereka, namun hal itu tidak mengalahkan kebahagiaannya. Sempat juga mereka berdua merayakan ulangtahun pernikahan yang ketiga di resto cepat saji. Sayangnya ia terserang cacar air sehingga ada beberapa hal yang tak bisa ia tunaikan. Karena itu, sekarang ia ingin kembali menunaikan haji.

Tantangan yang ia rasakan untuk berhaji sewaktu masih muda adalah memilih waktu yang tepat, terutama disesuaikan dengan kesiapan anak-anak. Menurut pendapatnya, kalau menunggu anak agak besar, tantangannya akan berbeda dengan meninggalkan saat mereka masih kecil. Namun tentu saja hal tersebut sangatlah individual, tergantung kesiapan dan kesempatan yang ada, tidak hanya kemampuan finansial saja.

Semoga kedua cerita itu bisa menghapus keraguan mereka yang enggan untuk berhaji atau menunggu setelah tua.

Selasa, 02 Desember 2008

Bau Kambing

Selasa, 02 Desember 2008
Hari-hari ini bau kambing sering tercium di jalan-jalan yang aku lewati. Ya. Bau khas menjelang hari raya qurban. Banyak kandang kambing dadakan di tepi-tepi jalan.

Bau itu mengingatkan aku pada sebuah cerita dari stasiun radio kegemaranku waktu SMA dulu.

Di negeri antah brantah sedang diadakan lomba masuk kandang kambing. Banyak peserta yang ikut. Namun, setelah diadakan babak penyisian, tinggal tiga orang yang masuk final. Ketiganya dipersilahkan mempersiapkan diri dengan matang karena tantangannya lebih berat dibanding babak-babak sebelumnya.

Di hari yang telah ditentukan semua orang berkumpul di lapangan yang ditengahnya terdapat kandang kambing. Peserta pertama masuk. Belum ada satu menit, ia sudah keluar dan muntah-muntah. "Wah gila, nggak kuat bauk banget," katanya. Kontan penonton bersoral, "Huuuu....."

Peserta kedua masuk. Lima menit berselang belum keluar. Penonton sudah mulai ribut. Tiba-tiba, empat petugas berpakaian seperti astronot keluar kandang menandu peserta itu. Penonton pun tertawa, dikiranya kuat, ternyata malah pingsan.

Peserta terakhir masuk. Belum 30 menit kambing-kambing pada berebut keluar. "Gila, bau banget," kata kambing-kambing itu. Peserta itu pun memenangkan perlombaan itu.

Senin, 01 Desember 2008

Tentang ibu

Senin, 01 Desember 2008
Gambar pinjam dari sini
Teman-teman semua pasti punya ibu. Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Selama ia masih hidup, selalu saja mengasihi dan menyayangi anak-anaknya. Kata Iwan Fals, kasihnya seperti udara yang tak mungkin kita membalasnya. 

Nah sebagai anak yang tidak durhaka tentu kita juga akan berusaha menyayangi dan mengasihinya. Bagaimana wujud kasih dan sayang kita kepada ibu sehingga ia bisa bahagia dalam hidupnya?

Kalau aku, karena ia nan jauh di sana, tidak bisa setiap hari bertemu dengannya, aku menelponnya minimal seminggu sekali untuk bertukar kabar. Yang paling ia suka adalah mendengar cerita cucunya, aku pancing-pancinglah anakku yang baru empat tahun untuk mau bicara dengan neneknya [juga akung, om dan tantenya].

Teman-teman ada yang ingin berpendapat?

Kamis, 27 November 2008

Pernikahan, Melengkapi dan Melindungi

Kamis, 27 November 2008

Keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah, bukanlah keluarga yang tanpa gejolak. Penyatuan dua jiwa dengan sifatnya masing-masing mustahil tanpa ada benturan dan kesalahpahaman. Begitu pun juga, dari berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan waktu keduanya [suami dan istri] ada perkara yang menimbulkan sikap yang berbeda. Tak jarang pula perbedaan itu berakhir dengan percekcokan dan perselisihan.

Pasangan yang berharap menjadi keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah,justru menjadikan semua gejolak itu sebagai bumbu penyedap keharmonisan hubungannya. Seperti garam yang asin itu menjadi bumbu penyedap masakan sehingga menjadi lezat. Kekurangan-kekurangan dari pasangan yang diketahui setelah sekian lama bersama tidak menimbulkan kekecewaan.

Masing-masing menyadari sepenuhnya bahwa ia terlahir memang untuk menutupi kekurangan dan menjadi pelindung kelemahan pasangannya. Allah swt memberi perumpamaan, suami atau istri menjadi penutup dan pelindung pasangannya seperti sebuah pakaian. Kalam-Nya: “Mereka [istri-istri] itu adalah pakaian bagi kamu [wahai para suami], dan kamu pun [para suami] adalah pakaian bagi mereka [para istri kamu]” [QS 2: 187].

Di bawah ini ada dua kisah nyata yang menceritakan bagaimana hubungan suami-istri bisa saling melengkapi dan melindungi sehingga tergambar hubungan yang dilandasi dengan cinta sejati.

Keajaiban Cinta
Seperti setiap laki-laki yang akan menikah, Eko Priyo Pratomo berharap istrinya nanti bisa menjadi istri dan ibu yang baik dah shalehah sekaligus menjadi sahabat yang bisa saling mendukung hingga akhir hayat.

Harapan itu tidaklah berlebihan, Dian Syarif, istrinya adalah perempuan yang sangat aktif, energik, dan memunyai kondisi fisik yang prima dengan pemikiran yang cerdas. Karena kemampuannya itu ia dipercaya menjabat sebagai Corporate Communication Manager di salah satu bank swasta nasional.

Namun tiba-tiba, Dian terserang penyakit yang menurut dokter tak bisa disembuhkan. Seumur hidupnya, ia harus bergantung pada obat-obatan. Dian divonis terkena penyakit lupus. Penyakit bernama lengkap Systemic Lupus Erythematosus [SLE] yang dialami Dian menyerang darah. Karena itu ia diberi obat-obatan untuk meningkatkan trombositnya.

Terapi obat yang Dian jalani memiliki efek yang cukup berat. Selain membuat wajahnya membengkak, obatobatan tersebut mengakibatkan rusaknya saraf mata. Sekarang kemampuan penglihatan Dian hanya lima persen saja. Ia hanya bisa melihat siluet tanpa bisa mencermati detai-detail benda di depannya.

Kondisi fisik Dian melemah karena penyakit ini juga menyerang organ-organ tubuh yang lain. Kandungan Dian pun harus diangkat karena mengalami pendarahan terus-menerus. Hilanglah kesempatan Dian mengandung anak.

Melihat kondisi istrinya itu, Eko sangat takut sekali. Terlintas dalam pikiran Eko, Dian akan meninggalkannya. Karena itu Eko berjuang melawan perasaannya itu dan harus tetap memberi semangat hidup pada istrinya sambil terus berusaha mencari cara mengurangi penderitaannya.

Tak sedikit pun terlintas dalam pikiran Eko untuk berpaling dari Dian. Padahal, karena merasa hidupnya sangat merepotkan, Dian sempat meminta Eko untuk menikahi wanita lain. Tetapi Eko menolak, ia sangat mencintai Dian dan menurutnya cinta adalah kebahagiaan ketika bisa memberi dan berkorban tanpa merasa terbebani.

Ia menambahkan, “Saya juga sedang belajar mencintai sebagai ungkapan terimakasih dan syukur kita kepada Allah swt yang begitu mencintai dan menyayangi kita.” Tak cuma itu, bagi Eko, sekarang Dian bukan hanya menjadi pendamping hidup, tetapi juga sebagai ladang amal baginya dan orang lain.

Pernikahan bagi Eko tidak sekedar memenuhi hasrat manusia sebagai mahkluk biologis dan sosial yang membutuhkan pendamping dalam hidup di dunia. Namun yang jauh lebih penting, pernikahan harus menjadi bagian dari ibadah dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Perhatian, cinta dan kasih sayang Eko beserta seluruh keluarga menjadi pendorong Dian untuk bisa bertahan. Semua itu menjadikannya tetap bersemangat dan berkeinginan kuat untuk tetap hidup. Di saat itulah Dian merasakan keajaiban cinta. Meski dengan segala keterbatasannya, Dian tetap bisa menerapkan kemampuannya berkomunikasi, tetapi yang dikomunikasikannya berbeda. Melalui Syamsi Dhuha Foundation [SDF], yayasan yang didirikan bersama EKO, Dian berbagi dengan sesama penderita lupus [odapus] dan sahabat low vision [lovi].

Kamu Tetap Kepala Keluarga
Cerita yang kedua ini berkisah tentang perjuangan seorang ibu bernama Tingka yang selalu menjaga semangat hidup keluarganya setelah suaminya terkena stroke. Kisahnya berawal pada Minggu sore sekitar sepuluh bulan yang lalu. Pada hari itu, Bambang–suaminya–tiba-tiba terkulai tak berdaya di ruang ICU sebuah rumah sakit. Hari itu juga tim dokter memutuskan untuk melakukan operasi.

Usaha yang dilakukan dokter ternyata tak segera membuat Bambang pulih kembali. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan itu lumpuh total dan belum bisa diajak berkomunikasi meski hanya bahasa isyarat.

Melihat kondisi suaminya seperti itu Tingka menyadari bahwa kini ia yang harus memegang kendali rumahtangga. Berusaha agar kehidupannya bersama seluruh anggota keluarga bisa terus berjalan. Menjaga tiga anak mereka agar tetap punya semangat hidup. Apalagi anaknya yang pertama sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir lulus SMA.

Ia berujar kepada ketiga anaknya, “Kalian semua harus tabah dan tetap bersikap seperti biasa. Bersekolah dan bermainlah seperti sebelum ayah sakit. Kalau hari libur ingin jalan-jalan bersama teman-teman kalian, silakan saja. Namun kalian harus lebih bisa menjaga diri kalian, sekarang ayah di rumah sakit dan ibu harus sering berada di sana.”

Setelah suaminya boleh dirawat di rumah, Tingka memperlakukannya seperti orang yang tidak sakit. Ia selalu bercerita kegiatan apa yang dilakukan hari ini, berkirim email dan bertemu dengan siapa. Padahal ia tahu kalau suaminya belum bisa merespon semua yang dibicarakannya. “Seperti monolog saja,” katanya. Ia juga meminta anak-anaknya bersikap sama seperti dirinya. Setiap pulang sekolah, mereka ngobrol dengan Bambang.

Sikap keluarga yang demikian berpengaruh positif kepada perkembangan kesehatan Bambang. Saat diajak berkomunikasi, Bambang sudah bisa merespon meski hanya dengan isyarat. Kesehatan fisiknya pun membaik, ia mulai kuat diajak jalan-jalan keluar rumah.

Pada hari ulangtahun pernikahan yang ke-duabelas, Tingka mengajak Bambang jalan-jalan ke mal. Dengan mendorong Bambang di kursi roda, Tingka membawa Bambang berkeliling ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Tingka tidak perduli meski pengunjung yang lain memperhatikan dengan pandangan aneh pada dirinya. Bagi Tinka, yang penting adalah berusaha membuat Bambang senang.

Ternyata, usaha Tingka tidak sia-sia. Setelah diajak jalan-jalan, kondisi Bambang semakin membaik. Sejak itu pula, setiap ada kesempatan Tingka selalu mengajak Bambang ke luar rumah. Sekedar jalan-jalan atau berkunjung ke rumah sahabat. Saat bulan puasa yang lalu, Tingka sering mengajak Bambang hadir di acara buka puasa bersama. Teman yang ingin menjenguk Bambang diajak bertemu di suatu tempat, di mal, atau justru Tingka dan Bambang yang pergi ke rumah temannya itu.

Semua yang dilakukan Tingka itu dilandasi keikhlasan dan rasa cinta. “Saya pikir bukan hanya saya saja, semua istri akan melakukan hal yang sama ketika suaminya sakit, begitu juga sebaliknya. Masak, terus ditinggal begitu saja..” katanya merendah.

Menurut Tinka, menjalankan bahtera rumahtangga pasti ada kalanya naik dan terkadang pula diuji dengan kesusahan. Ia menganggap sakitnya Bambang merupakan ujian dari Allah swt dan ia yakin Allah swt pasti memiliki rencana dengan semua peristiwa ini. Paling tidak, Tingka merasakan, saat ini ia merasa lebih dekat secara batin dengan Bambang dan anak-anaknya.

Perubahan secara spiritual juga terjadi pada Tinka. Sekarang ia berusaha untuk selalu menjaga ibadahnya. Dengan begitu Ia merasa lebih dekat dengan-Nya.

Bagi Tinka, yang harus tetap dijaga sekarang adalah kepercayaan diri dan semangat suaminya. Ia selalu mengatakan pada suaminya, “Meski sekarang aku yang mengurus semuanya, tapi kamu tetap kepala keluarga. Aku dan anak-anak masih tetap membutuhkanmu. Kamu harus cepat sembuh.”

------------------------------
Mau baca artikel-artikel yang lain?
Silahkan kunjungi ALiF

Rabu, 26 November 2008

Menjadi Bagian dari Solusi

Rabu, 26 November 2008

Seorang warga Amerika Serikat Peter Miller menyewa konsultan untuk melakukan diet energi di rumahnya. Penggunaan energinya di audit. Kemudian dianalisa. Lalu ditentukan formasi alat rumah tangga yang tepat agar penggunaan energi listriknya optimal.

Miller perlu melakukan itu karena ingin berperan menekan laju kerusakan iklim akibat pemborosan energi. Ia mengatakan, "Perubahan iklim bukan sekedar tentang cerobong asap dan gletser yang mencair. Perubahan iklim juga tentang individu seperti kita. Karena kita memainkan peran yang lebih besar dalam mengubah iklim Bumi daripada yang mungkin kita pikirkan. Namun kita juga dapat menjadi bagian dari solusi."

Di pinggiran Depok, Eddy Djamaludin juga mempunyai kesadaran yang sama. Ia merasa, manusia sekarang sedang menghadapi masalah iklim dan lingkungan. Udara semakin panas, banjir, polusi, sampah dan lain-lain. Jika masalah itu tidak segera diselesaikan akan berakibat tidak baik pada kelangsungan hidup manusia.

Eddy juga menengok pada ajaran agama yang dianutnya. Ia yakin solusi tidak akan diperoleh jika bukan manusia sendiri yang mengusahakannya. Ia juga percaya bahwa setiap manusia mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan karena manusia adalah khalifah di bumi.

Bersama keluarga dan kerabatnya, Eddy bertekad menciptakan tempat tinggal yang ramah lingkungan.

Suatu saat ada sekolah TK yang tertarik untuk mengadakan kegiatan menanam pohon di tempat itu. Seratus anak direncanakan datang, masing-masing membawa satu bibit tanaman. Namun, pada hari pelaksanaan satu anak tidak bisa ikut karena sakit sehingga hanya 99 bibit yang ditanam. Jadilah tempat itu dinamakan Kampung 99 Pepohonan.

Sekarang kampung itu sudah rimbun, banyak pohon tumbuh di sekitar rumah-rumah mereka, udara sejuk yang langka itu bisa dinikmati dengan mudah. Yang lebih membahagiakan bagi Eddy adalah ternyata banyak burung dan hewan lain yang datang. "Lihat tuh tupai pun senang berada disini," katanya sambil menunjuk pada sepasang tupai yang berkejaran di ranting pohon.

Tidak hanya hewan, manusia pun banyak yang ingin merasakan kenikmatan berada di kampung itu. Sesekali, keluarga Eddy harus mengalah tidur di rumah saudaranya yang lain karena rumahnya dipinjam pengunjung. Kampung 99 Pepohonan telah menjadi alternatif wisata bagi keluarga.

Gambar pinjam dari ALiF

Minggu, 09 November 2008

Ekspresi Iman

Minggu, 09 November 2008

Apakah iman itu butuh ekspresi? Aku pikir iya. Sebab iman tanpa ekspresi seperti sayur tanpa garam. Ekspresi itu membuat iman seperti rumah yang berhias taman yang indah. Seperti kayu polos yang berubah menjadi bernilai karena dihias ukiran. Seperti juga pagi hari yang sejuk bertambah riang dengan kicauan burung.

Menengadahkan tangan dan dengan khidmad mengucap "alhamdulillah" setelah menerima gaji pertama, itu bentuk ekspresi. Indah bukan? Atau saat tesandung batu di jalan kemudian kita melihat ke arah langit sambil berucap, "Astaghfirullah. Engkau mengingatkanku dengan hal yang kecil sebelum hal yang besar menimpaku."

Sesimpel itukah? Iya. Tapi ada juga yang mahal. Bahkan sangat mahal, seperti membangun masjid yang berkubahkan emas. Ada juga yang unik, dengan menanam pohon dan hidup bersama alam. Aku akan cerita keduanya.

Bersama seorang kawan, aku hendak berkunjung ke Kampung 99 Pepohonan di daerah Cinere. Sebuah kampung yang unik, seunik orang-orang yang tinggal di dalamnya. Unik karena pemikiran mereka berbeda dengan kebanyakan orang.

Waktu sudah hampir masuk 'Asyar. Kebetulan jalan ke Kampung 99 searah dan dekat dengan Masjid Kubah Emas, masjid yang terkenal itu. Aku bilang pada kawanku, "shalat 'Asyar di Masjid Kubah Emas yuk!" Syukurlah kawanku mau.

Kami harus memarkir motor di luar area masjid yang luasnya minta ampun. Jarak tempat parkir ke masjid kira-kira 200 meter. Sambil berjalan, aku memandangi masjid yang tampak seperti berada di lembah. Baru kali ini aku berkunjung ke sini. Aku pun langsung kagum pada keindahannya. Sangat megah dilihat dari kejauhan.

"Kenapa ya Mam," kawanku bicara, "uang untuk membangun masjid itu tidak dipakai untuk beramal saja?"

"Maksudmu apa," aku balik tanya.

"Coba bayangkan jika uang sebanyak itu dibagikan ke fakir miskin, atau untuk biaya anak sekolah yang kurang mampu. Betapa banyak yang bisa dibantu."

"Nggak tau ya. Tapi coba lihat, disekitar tempat parkir tadi banyak orang yang jualan. Mereka bisa jualan karena ada masjid ini. Tukang parkir tadi juga dapat penghasilan kan?"

"Hmmmmm..." dahi kawanku berkerut.

"Tuh, lihat juga," aku lanjutkan tanpa menunggu kawanku menjawab, "masjid ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Ada tukang kebon, satpam, penjaga toilet, petugas kebersihan, pengurus masjid. Ternyata banyak juga kan yang tertolong hidupnya setelah masjid ini berdiri?"

Dahi kawanku tidak berkerut lagi, tapi tetap tidak menjawab. Kami sampai ke pelataran masjid. Adzan yang indah berkumandang. Bergegaslah aku dan kawanku mencari tempat wudu. Kemudian kami shalat. Banyak juga pengunjung masjid sore ini, meski bukan hari libur. Penjual air mineral di tempat parkir tadi bilang, kalau hari sabtu dan minggu, atau hari libur, pengunjungnya ramai sekali. Banyak juga yang datang dari jauh. Rupanya tempat ini sudah menjadi tujuan wisata.

Selesai shalat aku dan kawanku menuju tempat parkir. Eh ada orang bawa kamera menghadang kami. "Mas mau dipotret untuk kenang-kenangan? Bisa berlatarbelakang masjid, bagus mas, nih contohnya."

"Kami sedang buru-buru Pak, lain kali aja kalau kemari lagi. Terima kasih." Setelah aku berkata demikian, orang itu berlalu dengan menganggukkan kepalanya pada kami.

"Tuh kan, tukang potret tadi juga dapat ladang pekerjaannya." kataku sambil menepuk bahu kawanku. Ia cuma tersenyum saja.

Semoga saja, pemilik masjid ini membangunnya bukan karena niat sombong atau pamer. Tapi karna ingin mencari indahnya iman dengan mengekspresikannya. Bentuk ekspresi inilah yang ia mampu. Menurutku, tidak ada masalah dengan bentuk ekspresi seperti ini, karena tidak mengganggu orang lain, bahkan mendatangkan manfaat untuk lingkungan sekitarnya.

Bersambung ya....

Kamis, 06 November 2008

[ALiF 10] Hidup Bersama Teknologi

Kamis, 06 November 2008

Aku tergelitik dengan curhat seorang bloger. Setelah telpon genggam booming, ia tidak lagi bisa menikmati kehangatan ngobrol dengan ayahnya. Sekarang, sering sekali orang tuanya sering sekali masih membicarakan pekerjaan ketika di rumah. Di mobil pun terkadang ayahnya berbicara dengan teman kerjanya. Dulu, bersama keluarga dalam mobil bisa menjadi ajang diskusi yang hangat.

Saking jengkelnya dia bilang "Telepon genggam tidak jarang memaksa manusia (secara sadar maupun tidak sadar) untuk memotong waktu pribadinya (waktu santai, waktu bersama keluarga, waktu merenung, dsb) untuk menambah waktu kerja. Jadi tidak ada penghematan waktu, yang ada adalah pengorbanan waktu untuk pekerjaan."

Trenyuh juga aku membaca penelitian di Inggris yang dikutip detikinet, "Sejumlah ABG (Anak Baru Gede) ternyata terhinggap junk sleep gadget alias tidak cukup tidur akibat kecanduan gadget. Akibatnya, kesehatan mereka pun terancam."

Manusia memang selalu berfikir bagaimana menjalani hidup dengan lebih mudah. Olah pikir manusia itu menghasilkan teknologi. Gadget, yang merupakan bagian perkembangan teknologi, berkembang terus. Hidup manusia semakin lama semakin mudah.

Namun demikian, segala macam kemudahan itu bisa "menjebak" manusia sendiri. Pernah nonton Wall-E, film animasi yang lucu sekaligus syarat makna itu? Aku paling terkesan dengan penggambaran keadaan manusia disaat perkembangan teknologi mencapai puncak. Manusia sudah sepenuhnya tergantung pada semua peralatan yang ia ciptakan sendiri. Semua aktifitas manusia dibantu teknologi, bahkan untuk sikat gigi sekalipun.

Ketergantungan itu membuat otot-otot tubuhnya melemah karena jarang dipakai. Sekali terjatuh dari kursi berjalan, susah sekali untuk bangun, apalagi berjalan.

Tentu bukan jaman seperti itu yang ingin kita tuju. Tetapi jaman dimana manusia bisa hidup bersama teknologi, artinya teknologi tetap menjadi sarana yang membuat hidup manusia lebih mudah, tetapi tidak menghilangkan sisi kemanusiaannya.

Setelah menghasilkan teknologi, sepertinya manusia sudah harus berfikir bagaimana menggunakan teknologi itu dengan bijak.

----------------------------------------------
Alhamdulillah it's Friday
"Hidup Bersama Teknologi"
Terbit, Jum'at 7 November 2008
----------------------------------------------

Minggu, 02 November 2008

Menjadi Cermin

Minggu, 02 November 2008

"Imam sudah yakin, berkarir di dunia jurnalistik?"

Pertanyaan ini selalu aku terima sejak awal bergabung dengang ALiF. Ya, wajar saja. Bahkan sangat wajar, sekalipun ada yang menyertainya dengan rasa pesimis. Memang, pada umumnya orang harus menaiki tangga dari anak tangga bawah ke anak tangga diatasnya untuk mencapai ketinggian. Anak tangga itu harus jelas biar mudah dipijak. Agar bisa jelas, harus punya kemampuan melihatnya. Kebanyakan orang masih percaya kalau kemampuan paling baik diperoleh dari pendidikan formal. Nah, aku lulusan statistik, jadi tanggaku adalah statistik.

Dalam usaha menaiki tangga statistik, aku melihat dengan samar, ternyata disamping ada tangga lain, tangga tulis-menulis. Sesekali aku meliriknya. Lama-lama menjadi tertarik. Dari sesekali menjadi berkali-kali dan akhirnya tidak hanya melirik, tapi melihat. Kemudian aku berusaha mencari-cari, apa yang diperlukan untuk bisa melihat dengan jelas. Mulailah aku belajar menulis. Berkali-kali aku coba menulis. Tapi, belum genap satu paragraf, aku merobek dan membuangnya. Hihihi....malu membacanya kembali.

Tulisan yang berhasil aku tulis secara penuh sampai paragraf akhir hanyalah surat yang aku tujukan kepada perempuan yang sekarang menjadi istriku. Itu pun setelah menghabiskan banyak kertas dan merenung cukup lama. Mungkin kalau jaman dulu sudah disebut semedi. Tapi setelah kami menikah dia bilang tulisan-tulisanku dulu garing banget. Glodak.....Wah, kalau dia dulu bilang begitu, aku sudah bunuh diri, terjun ke sumur bor. Hehehehe.... Malu banget.

Sampai suatu saat aku kenal multiply ini. Aku coba menulis kembali. Malu? Enggak. Sejak aku putuskan bergabung multiply, aku putus syaraf maluku. Tulisan garing, ah bodo amat. Yang penting aku punya jurnal. Dengan begitu aku punya sejarah. Dengan begitu anak cucuku nanti bisa baca. Dengan baca mereka akan tahu banyak tentang ayah atau kakeknya. Alhamdulillah kalau sekarang ada yang mau baca dan bisa dapat sesuatu dari situ.

Dari multiply ini juga, aku kenal Hagi. Dialah yang mengajak aku ikut dalam proyek membangun majalah. Namanya Alhamdulillah its Friday disingkat ALiF. Ternyata dia yang menjadi pimrednya dan ternyata juga penerbit Lentera Hati yang menjadi induknya. Surprise sekali menerima ajakan Hagi. Setelah membuat pertimbangan, aku mengiyakan. Aku cocok sekali dengan konsep majalahnya.

Akhirnya, kakiku benar-benar memijak anak tangga itu.

Kemudian masih ada satu pertanyaan lagi. ALiF kan majalah Islam sedangkan aku bukanlah orang yang pandai nulis tentang Islam. Sekali lagi, latar belakang pendidikanku bukan dari sekolah Islam. Belajar Islam hanya aku jalani dari membaca buku dan kadang mendengar ceramah di TV (itupun kalau aku sreg sama penceramahnya). Pernah juga sih sekolah Islam, dulu sewaktu SD sorenya aku masuk sekolah sore (madrasah diniyah), tapi cuma sampai SD saja, selanjutnya tidak sama sekali. Bisakah aku di ALiF?

Ya kalau disuruh nulis untuk mengajari pembaca tentang Islam, tentu aku tidak bisa. Nah, kalau begitu, enaknya menjadi cermin saja. Namanya cermin ya hanya memantulkan cahaya aja, dia sendiri tidak punya. Cahayanya bisa dari mana aja, dari kerlip kunang-kunang pun bisa. Syaratnya cuma satu, cerminnya harus bersih.

Jadi....mohon bantuan teman-teman untuk selalu memberi kritikan dan masukan, agar cermin ini selalu bersih, biar selalu bisa memantulkan dengan sempurnya. Mau kan.......?

Senin, 20 Oktober 2008

Tret-tet-tet Pindah ke Jakarta

Senin, 20 Oktober 2008

Akhirnya kami pindah ke Jakarta.

Sebenarnya sih bukan Jakarta, tepatnya di selatan Jakarta. Kami senang, tapi bukan karena Jakartanya, melainkan karena akhirnya kami bisa kumpul bareng. Setiap hari bisa bertemu, bisa merasakan menjadi keluarga yang sebenarnya.

Banyak hal baru yang kami temui yang jauh berbeda dengan lingkungan kami dulu. Seperti suatu saat sepulang kerja, istriku cerita, "Yah, orang-orang di kereta kayak robot semua." Maksudnya, segitu banyak orang di kereta sama semua. Hanya diam, pasang muka tegang dan jarang yang peduli dengan orang-orang di dekatnya. Begitu pintu kereta dibuka, semua bergegas, berebut keluar duluan. Kalo ada yang coba menyapa sudah curiga, jangan-jangan ada maksud tidak baik.

Memang, yang lebih banyak bersinggungan dengan lingkungan Jakarta adalah istriku. Kalau aku, kebetulan tempat kerjaku tidak terlalu jauh, dan tidak perlu naik angkutan umum, hanya 15 sampai 30 menit naik motor.

"Ada yang senyum-senyum Yah," kata istriku suatu hari. "Orang gila ya?" tanyaku meledek. "Yee..bukan!" Kemudian ia cerita. Tadi ia memperhatikan bapak penjualan minuman di kereta. Orang itu begitu menikmati pekerjaannya, meracik dan menata jualannya. Sesekali ngobrol dengan teman sesama penjual yang mengeluh susahnya mencari rejeki. Dengan senyum bapak itu berkata, "namanya juga jualan, kadang untung kadang juga buntung, yang penting usaha." Kalo nggak ada yang ngajak ngobrol mulutnya bersenandung, entah lagu apa yang dia hafal, kedengarannya cuma mendengung.

Dua cerita dalam kereta membuatku berfikir, mengapa bapak itu bisa menikmati hidup. Bahkan bisa membuat senang orang lain di sekitarnya (ya..paling tidak pada istriku yang melihatnya). Padahal, dilihat dari pakaian dan segala aksesoris yang menempel, status sosialnya jauh dibawah para penumpang kereta. Benar juga kata orang, bahagia itu tidak ditentukan oleh pakaian dan status sosial.

Ada juga cerita yang menggelikan. Biasanya, penumpang yang saling ngobrol itu, sudah kenal diantara mereka, entah teman satu kantor atau satu kampung. Ada sekumpulan bapak-bapak lagi ngobrol, "wah enak para istri ya, taunya nrima duit tiap bulan, nggak tau kalo kita jungkir balik, peras keringan dapatkan duit." Bapak yang lain mengiyakan.

Di hari lain, ada ibu-ibu kumpul, "jaman sekarang susah, apa-apa mahal, pusing ngatur pengeluaran, enak para bapak ya, nggak mikirin gimana ngatur belanjaan, kasih duit beres, nggak tau kalau duitnya mepet." Wah kok bisa klop gitu ya, apa mungkin bapak-bapak dan ibu-ibu itu berpasangan, maksudnya suami-istri? Hehehe.

Ada juga sih cerita yang menyedihkan dan menyeramkan, tapi nggak usahlah diceritakan disini. Biar nggak nambah sumpek dan takut.

Kami berusaha menikmati semuanya, susah dan senang sudah menjadi konsekuensi kami. Semoga saja kepindahan kami tidak menambah ruwet Ibu Kota ini.

Gambar ngambil dari http://www.chalet-park.co.uk/

Jumat, 19 September 2008

Masa depan itu?

Jumat, 19 September 2008
Menakutkan! Sama seperti memasuki lorong gelap yang semakin kita masuk, keadaan tambah gelap. Tidak tahu apa yang ada di kanan, kiri juga depan. Mungkin ada ular, lintah, kelelawar, semak berduri, atau justru buah-buahan yang enak untuk dimakan. Tidak jelas juga, seperti apa ujung lorong itu. Yang pasti, jika terus maju, menyusurinya, kita akan sampai kesana. Kapan? Nah itu yang tidak tahu. Karena menakutkan, kita mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di ujung sana. Bersusah-susah sekarang tidak apa-apa, yang penting di ujung nanti kita bahagia karena sudah siap dengan apa yang terjadi.

Atau seperti pemandangan yang indah yang bisa kita rasakan dari tempat kita berdiri. Meski tempat itu jauh, tapi gelombangnya bisa dirasakan dihati tanpa perlu kita pergi kesana. Kita hanya perlu menyiapkan hati untuk menerimanya. Menyelaraskan frekuensinya, agar bisa membentuk harmoni. Tak perlu kesana? Iya. Justru, saat kita berada disana, tidak ada yang bisa kita nikmati. Sama seperti memandang bulan. Dari bumi, ia begitu indah dan menawan. Tapi, apa jadinya setelah tau seperti apa rupa ia sebenarnya? Jauh dari kesan yang indah.

Atau, justru tidak kedua-duanya. Hampa. Seperti gelembung sabun yang menarik untuk dikejar. Semakin dikejar, ia semakin menjauh. Tapi setelah bisa diraih. Plup.. Meletus dan hilang. Kemudian cari lagi gelembung yang lain. Terus demikian, sampai tidak ada yang bisa mencipta gelembung itu lagi.

Ada yang bisa kasih saran?

Kamis, 18 September 2008

Homo Ayanugello

Kamis, 18 September 2008
Aku dapat kisah menarik dari blognya Dewi Lestari. Setelah digosipkan pindah ke agama Budha biar mudah untuk cerai dengan Marcell ia pun menjawab:

faktanya: Setelah bercerai, Dewi dan Marcell kini berpikir-pikir untuk menjadi penyembah Dewa Tapir. Sebuah aliran berhala zaman baru. Para penyembah Dewa Tapir ini percaya akan datangnya hari kiamat bernama The Armagedillo, di mana semua makhluk akan musnah kecuali hewan tapir dan para manusia penyembah Dewa Tapir.

Kelak, tapir dan manusia akan kawin silang dan menghasilkan spesies baru bernama Homo Ayanugello. Spesies baru ini akan menggantikan Homo Sapiens sebagai penguasa Bumi. Di bawah dominasi spesies Homo Ayanugello, kehidupan di Bumi akan berubah total. Dijamin akan ada kemudahan untuk segalanya. Baik itu kawin, cerai, tidak kawin, bikin KTP, bikin SIM, bayar pajak, dsb.

Aku yakin, ini fakta karangannya dia aja. Tapi, aku kagum pada imajinasinya yang luar biasa itu. Buku-bukunya juga suka, banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku banyangnya.

Bagaimana ya caranya biar bisa punya segudang imajinasi itu? Sering meditasi kayak dia kali.

Selasa, 16 September 2008

Apa yang bisa kita buat?

Selasa, 16 September 2008
Sumbangan kecil ini hanya akan berarti jika anda menanam dan merawatnya
(tag pada souvenir itu)

Sudah kali kedua, aku menerima souvenir berupa tanaman hidup. Yang pertama saat temenku menikah, dan kali ini aku terima saat acara Eagle Award, Gala Premiere.

Ada temen media yang heran, "Ini tamanam sungguhan," katanya. Wajar saja, saat pertama kali menerima souvenir semacam ini, aku juga surprise banget. Secara tujuan, souvenir ini sangat mengena. Souvenir kan tujuannya agar selalu dikenang. Kalau benda mati, mungkin setelah diterima langsung ditaruh, lalau dibiarkan. Yang ini, harus ditanam dan dirawat. Masih ada interaksi secara rutin. Pas kebetulan yang ngasih berkunjung, bisa dilihat sama-sama bagaimana perkembangannya.

Oh ya. Kedua souvenir hidup yang aku terima sama adalah bibit Adenium. Dilihat dari bentuk dan daunnya, kayaknya satu jenis (kayaknya? soalnya nggak ngerti dunia tanaman).

Tas, wadah souvenir itu juga punya semangat yang sama, USE ecofriendly bags. Kalau tas semacam ini, banyak disebar, akan menghemat tas plastik, atau, bahkan bisa menghapus tas pencemar lingkungan itu, dari peradaran (ah teori, hehehe...).

Aku terharu melihat lima film dokumenter yang menjadi finalis kompetisi itu. Semuanya bercerita tentang inisiatif seseorang untuk melestarikan lingkungan. Dan semuanya berawal dari bencana yang mereka alami. Prahara Tsunami Bertabur Bakau, cerita Baba Akong yang gigih menanam bakau setelah daerah tempat tinggalnya terkubur akibat tsunami.

Buah Yang Menunggu Mati, cerita jerih payah petani apel di Batu yang tidak ingin apelnya punah. Ya, punah karena tanahnya banyak kehilangan unsur hara akibat penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Rusaknya tanah itu menyebabkan produksi apel Batu terus-menerus turun. Yang mengejutkan, ada pengakuan petani apel, "Apel sekarang sudah tidak layak dikonsumsi lagi, sudah terlalu banyak bahan kimia yang terkandung didalamnya. Habis gimana, kalau nggak gitu tidak bisa panen." Ini yang menyebabkan Chamim resah. Bersama kelompoknya, ia membuat gerakan rehabilitasi tanah.

Pulau Bangka Menangis, film ini bercerita tentang rusaknya Pulau Bangka akibat penambangan timah. Ada salah seorang warganya yang prihatin. Lalu ia menanam sengon sebanyak-banyaknya. Selain untuk mempersempit lahan tambang, ia berharap dapat menghijaukan Pulau Bangka.

Tanah Terakhir, kalau yang ini bercerita kearifan suku Dayak untuk melestarikan hutan. Tetapi sayang, hutan yang mereka lestarikan adalah hutan yang terakhir. Yang lainnya sudah habis ditebang dan kayunya dijual murah kepada penadah.

Hampir sama dengan Tanah Terakhir, Menjual Mimpi Di Sambak, bercerita pelestarian hutan di desa Sambak, Magelang. Penduduk desa giat menanam kembali hutan yang sudah rusak. Mereka sudah merasakan bagaimana hidup tanpa hutan. Air sulit, kalau tidak itu ya kebanyakan air, banjir.

Saya angkat topi pada mereka semua. Di pinggiran Jakarta juga ada Kampung 99, yang hijau dan sejuk. Di Surabaya ada ibu-ibu PKK yang mengelola sendiri sampah rumah tangga di lingkunganya. Nah, apa yang bisa kita buat?

Senin, 11 Agustus 2008

Telpun Aku Kalau Mau Dipindah

Senin, 11 Agustus 2008
Di gerobak kaki lima itu tertulis

Telpun aku kalau mau Di pindah 98272529
Sholikin koramil
JL Semanggi

Mau nggak ya petugas penggusuran menelpon pemiliknya??

Sabtu, 28 Juni 2008

[cerpen] Teman Sang Gagak

Sabtu, 28 Juni 2008

Aku duduk, termenung, mempertanyakan benarkah Dia selalu mencipta tanpa kesia-siaan? Benarkah semua terlahir karena suatu tugas tertentu? Punya maksud dan punya cita-cita? Kalau memang benar, lalu apa tugasku? untuk apa aku terlahir? Dan masihkah aku bisa bercita-cita? Sedangkan aku hanyalah seekor burung dengan sayap yang patah sebelah. Hidup sendiri tanpa teman. Burung gagak sepertiku yang bersayap lengkap pun hanya pembawa berita buruk, terbang berkeliling menyiarkan kematian.

Untuk sebuah cinta? Ah itu hanya bualan penyair yang mabuk kepayang. Aku menjadi seperti ini karena aku percaya bualannya. Katanya, cinta itu membawa hidup lebih bermakna. Saking percayanya aku bertaruh nyawa, berbaku hantam dengan si elang yang kurang ajar menggoda dan merayunya. Oh kekasihku dimanakah sekarang kamu berada?.

Menyesal juga rasanya, mengapa kugunakan sayap sebelah ini untuk menangkis serangannya. Lebih baik kuserahkan saja kepalaku pada cakarnya. Atau kuberikan leher ini biar dipatuknya sampai putus. Ah, seandainya kemarin aku mati.

Dulu, bila aku boleh memilih, ingin rasanya menjadi manusia. Meski ada kemungkinan menjadi mahklukNya yang paling hina, tetapi, bagaimanapun mereka masih punya harapan menjadi mahkluk yang paling tinggi dan bahagia di surga nanti. Mahkluk sepertiku ini tidak ada tempat di akhirat. Satu-satunya surga untukku hanyalah kesenangan di dunia ini. Ah, bodohnya mereka yang tidak berharap, yang tertipu dan terseret kesenangan semu.

"Dasar mahkluk yang selalu mengeluh."

Busyet, siapa yang bersuara itu. Sekelilingku hanya sepi. Tidak mungkin ada yang lain, selain diriku.

"Hei, turunlah dari punggungku."

Seketika aku melompat dari batu tempat dudukku. Benarkah batu ini yang berbicara? Perlahan aku mendekat kembali.

"Ya benar, ini aku."

"Bukankah engkau batu, mengapa bisa bicara?"

"Bener-benar mahkluk yang tak berguna, sudah pandai mengeluh, dungu lagi. Itulah akibatnya kalau kau selalu memikirkan kepentinganmu sendiri dan abai pada lingkungan sekitarmu."

"Maksudmu"

"Cobalah perhatikan semua yang ada di sekelilingmu, pohon-pohon, rumput, air, awan, gunung, bukit, semuanya bisa bicara. Terkadang mereka malah berteriak-teriak mengingatkan siapa saja yang ceroboh. Hanya saja banyak yang tidak mendengar. Yang tidak menggunakan hatinya untuk mendengar. Sebenarnya isyarat-isyarat dari mereka sangat jelas, jika orang-orang itu tidak hanya menggunakan mata yang dikepala, tetapi juga mata yang di dalam dadanya. Coba berputarlah, lihatlah mereka!"

Aku kembali memandang sekelilingku, menggunakan semua indra sesuai sarannya. Aku sangat terkejut. Semuanya menatap kearahku. Pohon-pohon melambaikan daunnya memberi salam. Angin bergerak memeluk tubuhku. Bahkan gunung dan bukit pun seolah berbicara dengan lekuk-lekuk kontur dan tonjolan bebatuan yang membentuknya.

Sejak saat itu, semuanya menjadi temanku, sahabatku. Setiap kali aku berjalan, menyusuri setapak masuk ke hutan, selalu saja bertemu mereka. Bebatuan, pohon, air, angin, gunung dan bukit menyambutku. Kadang bercanda dan tertawa, tetapi yang lebih sering mereka mencurahkan suara hatinya. Mereka sedih, mengapa mereka diperlakukan semena-mena tanpa sedikitpun berfikir bahwa mereka pun sebenarnya juga mahkluk ciptaanNya yang butuh perlindungan dan kasih sayang.

Sejak saat itu pula hidupku berubah, dari kesia-siaan menjadi penuh makna. Aku sudah melupakan bahwa aku ini seekor burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Kini, hidup bagiku adalah sebuah pertemanan, saling membutuhkan dan kasih sayang. Inilah surgaku.

"Bukan!" kata batu tempatku berbaring.

"Mengapa bukan?"

"Percayalah padaku, ini bukan surgamu. Berjalanlah sana ke punggung bukit. Naiklah sampai keatasnya, di tepi jurangnya. Kamu akan menemukan dimana sebenarnya surgamu."

Aku menuruti sarannya. Aku melihat kearah bukit, ia memanggil-manggilku. Perlahan, dengan kebingunguan yang sangat aku melangkah setapak demi setapak naik sampai jurang yang ditunjuk batu itu.

"Terjunlah" kata bukit yang berjurang.

"Terjun, bagaimana aku bisa terjun. Aku sudah tidak bisa terbang lagi."

"Percayalah."

"Tapi."

"Yakinlah."

Ya, benar, yakin. Aku menjadi tahu bahwa yakin itu berbeda dengan percaya. Percaya itu dengan kepala, sedangkan yakin dengan hati. Mukjizat seorang nabi yang tidak masuk dikepala bisa tidak dipercayai, tetapi kalau melihatnya dengan hati bisa menjadi keyakinan, apa sih yang tidak bisa bagi Sang Pembuat Kejadian. Dengan keyakinan itulah aku melakukannya.

Aku melayang dari ketinggian sambil memejamkan mata. Buat apa melihat ke bawah sana, tempat yang akan membuatku remuk. Tidak hanya itu, aku menutup telinga dan memutus syaraf perasa, sehingga seolah aku mati duluan sebelum terbentur tanah. Aku tersadar kembali ketika sesuatu menahan tubuhkan sehingga tidak remuk membentur tanah. Aku tersangkut jaring perangkap burung. Apakah ini pertanda baik?

Di bawah, orang ramai bersorak-sorak. Jaring diturunkan. Salah satu dari mereka menangkapku. Kemudian menciumku, mengelus-elus lalu mengangkatku keatas. Orang-orang bersorak semakin keras. Aku dibawa beramai-ramai, beriringan sambil menyanyikan lagu kemenangan, lagu kebanggaan prajurit yang kembali dari medan perang membawa kemenangan. Ternyata memang benar, mereka para prajurit kerajaan. Orang-orang menyambut iring-iringan dengan sorakan yang tak kalah ramai.

Sampailah kami di depan istana yang megah. Penjaga dengan segera membuka pintunya. Semua berhenti, hanya dua orang saja yang membawaku masuk dan bertemu seorang perempuan yang sangat cantik, bergaun putih yang melambai. Sepertinya ia seorang permaisuri. Lagu kemenangan masih ramai terdengar diluar. Permaisuri itu menerimaku dengan senyumnya yang manis. Lesung di kedua pipinya menambah keanggunan wajahnya. Dengan sedikit berlari ia membawaku masuk ke dalam sebuah kamar.

"Paduka, ini yang dicari sudah kita dapatkan, semoga paduka berbahagia."

Permaisuri kemudian mengelus-elusku, merapikan bulu-buluku, mendekapku di dadanya yang hangat. Terbayang apa yang akan terjadi. Aku menjadi burung peliharaan seorang raja. Menjadi maskot kerajaan yang dipuja dan dihormati. Dilayani bak seorang pangeran calon penerus tahta. Mungkin inilah yang disebut-sebut teman-teman di hutan sebagai surgaku yang sebenarnya. Aku berucap syukur, "Tuhan, terima kasih. Kau tempatkan aku di tempat yang semulia ini."

Pesta diadakan. Tujuh hari tujuh malam. Di malam yang terakhir aku didandani. Kain sutera putih dibelitkan melingkar di leher menjuntai sampai ke ekorku. Kembali, aku dibawa ke kamar. Kali ini kelambu penutup tempat tidur dibuka. Tampaklah seseorang berbaring lemah diatas ranjang. Wajahnya pucat, matanya terpejam, tubuhnya lemas seperti kain basah terbujur. Tapi masih terlihat bekas-bekas kekekarannya. Meski pucat, ia tampak sangat tampan dan berwibawa. Ialah sang raja.

Saat tengah malam, keramaian pesta berhenti. Orang-orang yang berkumpul dialun-alun duduk bersimpuh mengelilingi panggung di tengah-tengahnya. Suasana hening dan hikmat. Permaisuri menyerahkanku pada seorang tua berkumis dan berjambang putih panjang, serasi dengan jubah dan ikat kepalanya. Dibawanya aku naik keatas panggung, lalu aku dibaringkan diatas sebuah papan kayu. Tidak lama kemudian, tangan kanannya diangkat keatas. Salah satu punggawa kerajaan berlari mendekat. Astaga, ia menyerahkan pisau. Seketika tubuhku gemetar, jantungku berdetak keras. Bayangan kesenangan berubah menjadi ketakutan. Orang tua itu berkomat-kamit, kemudian mengayunkan pisau ke arahku. Tamatlah riwayatku.

Di suatu pagi yang cerah, aku duduk diatas singgasana, dihadapan para punggawa. Aku memang sudah mati, tetapi jiwaku masih hidup, menyatu dengan jiwa sang raja. Ternyata saat itu raja sedang sakit parah. Seorang bijak mengatakan, raja akan sembuh jika memakan daging burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Semua orang bingung, bagaimana mendapatkan obat bagi rajanya. Burung yang patah sayapnya tidak mungkin bisa terbang sangat sulit mencarinya kalau tidak menemukan sarangnya. Dimanakah sarang burung gagak?

Raja itu seorang yang bijaksana, sangat dipuja rakyatnya karena bisa mengusahakan kemakmuran bagi mereka. Semua petuahnya mendatangkan manfaat, termasuk petuah yang menganjurkan untuk baik-baik pada lingkungan. Pada alam yang menjadi gantungan hidup bagi semua. Tak heran jika seluruh wilayah kerajaan adalah tempat yang asri, indah dan nyaman. Peraturan dibuat agar semua rakyat tidak semena-mena memanfaatkan pohon, air dan batuan. Bahkan bercocok tanam pun diatur agar tidak membuat kerusakan lingkungan.

Tentu, semua rakyat bersedih karena sakitnya. Berbulan-bulan mereka mencari gagak yang patah sayapnya. Sampai pada puncak keputusasaan, mereka menaruh begitu saja jaring di bawah tebing bukit, tanpa berharap mendapatkan burung yang dimaksud. Beberapa kali ada burung yang tersangkut, tapi jelas bukan burung yang patah sayapnya karena jaring itu perangkap bagi burung yang bisa terbang. Sampai mukjizat itu terjadi, aku tersangkut jaring. Pantas saja mereka bersorak girang saat melihat sayapku.

Kini, aku mendapat teman yang baru. Jiwa raja yang bijak, jiwa yang hidup karena hatinya yang selalu mendengar dan melihat. Ketika bersamanya aku berkeliling menyusuri seluruh wilayah kerajaan, kami sampai di hutan, tempat teman-temanku dulu berada. Kami duduk diatas batu, kemudian batu itu berbicara, "berbahagialah kalian, karena pertemanan sejati adalah penyatuan jiwa."

 

Pada tengah malam yang sunyi, Sukabumi 2008

Selasa, 17 Juni 2008

Kagum Pada Orang Indonesia

Selasa, 17 Juni 2008
Rating:★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Emha Ainun Najib
Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu ngelu-elu yang berarti mengatakan sesuatu tetapi mengharapkan efek yang berlawanan. Misalnya ketika seorang ibu mengatakan kepada anaknya: "Kono, dolano terus, rausah mulih", sana main terus jangan pulang sekalian, ibu itu bukan berarti menyuruh beneran agar anaknya tidak pulang, tetapi mengharap sebaliknya, anaknya tidak melulu main.

Membaca "Kagum Pada Orang Indonesia", buku kumpulan tulisan Emha Ainun Najib di Suara Merdeka antara tahun 2003 sampai 2007 dan satu transkrip ceramahnya di berbagai tempat, terasa bahwa Cak Nun sedang ngelu-elu kita sebagai orang Indonesia. Dalam buku ini, ia banyak memuji sikap dan perilaku orang Indonesia, entah sebagai rakyat, pemimpin atau sebagai komunitas berbangsa.

Misalnya, ketika Indonesia dipandang masyarakat dunia sebagai negara miskin karena krisis yang berkepanjangan tetapi perilakunya tidak menunjukkan kekrisisannya, ia menulis: Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti terjebak dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Indonesia adalah kampung-kampung setengah hutan yang kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan kareba berbagai sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelapan.

Padahal di muka bumi tak ada orang yang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, ngeses baass buuss baass buuss, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi masyarakat kita....(hal 14)

Tentang jagongan itu, ia benar, sudah sering saya lihat di warung-warung kopi, banyak orang nongkrong disitu, anak-anak muda sampai orang tua berkumpul ngopi bareng. Kalau tidak percaya, coba sekali-sekali berkunjung ke kampung saya, pasti pemandangan seperti itu mudah didapat. Malah sekarang, warung kopi di emperan-emperan toko menjamur dan tidak pernah sepi pengunjung.

Siapa bilang Indonesia itu krisis, "tentang berita krisis negara kita itu hanyalah sebagai ungkapan kerendahan hati", katanya. Kalau kita bilang "Negara kita sedang krisis", itu semacam tawadhu' sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang trilyunan dolar, itu strategi agar kita disangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di bumi, semakin mulia posisi kita di langit... (hal 15)

Mungkin Cak Nun sudah geregetan, seperti ibu yang geregetan pada anaknya yang sukanya main terus, dengan cara apa lagi mengingatkan orang-orang Indonesia. Ia sudah ngomong berbusa-busa di berbagai tempat, ada pengajian padang bulan, ada kenduri cinta dan lain-lain, tetapi tidak ada hasilnya. Sebelumnya, Mochtar Lubis sudah mengingatkan kita dengan mengidentifikasi lebih dari sepuluh sifat orang Indonesia yang kebanyakan bernada negatif. Taufik Ismail pada 1998 yang lalu juga menyindir kita dengan menulis sebuah puisi yang berjudul "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia". Dengan ngelu-ngelu, kagum pada orang Indonesia, Cak Nun berharap orang Indonesia menjadi sadar.

Memang, terkadang kita perlu diolok-olok, dihina dan direndahkan, agar kita bangkit. Kalau olok-olok dan hinaan itu terasa menyakitkan, sebenarnya ngelu-elu itu lebih menyakitkan lagi. Boleh kita sakit hati, menggerutu atau sedih, tetapi apababila tidak merubah sikap kita, selamanya akan seperti itu.

Detail Buku :
Judul : Kagum Pada Orang Indonesia
Penerbit : Progres
Cetakan Pertama, Januari 2008
Tebal : 56 halaman
Harga : Saya belinya Rp 10.000,-

Sabtu, 14 Juni 2008

Sang "Financial Freedom" yang Kesepian

Sabtu, 14 Juni 2008
[catatan sebelumnya] Di kota yang baru, saya bertemu lagi seorang bapak yang juga kesepian. Bapak yang satu ini sangat tau dunia internet dan teknologi informasi yang lain. Ia mahir juga melakukan kofigurasi ulang PC yang ia punyai, memperbaiki hard disk yang badsector dan lain-lain. Mendengar ceritanya, saya teringat teman saya yang sering memperbaiki komputer di kantor. Saya tidak tahu persis apa latar belakang pendidikannya, dan saya tidak peduli tentang itu.

Boleh dibilang ia tidak bekerja, alias menganggur. Tapi jangan salah, meski sebagian besar waktunya dihabiskan nongkrong di rumah, ia punya penghasilan dari uang sewa kamar kost yang ia punyai. Saya kira penghasilan dari sewa kost itu cukup besar, ia punya lebih dari dua puluh kamar kost. Selain itu, setiap bulan ia mendapat kiriman dari hasil bisnis keluarganya, mungkin ia punya saham disitu. Saya ingat jargon yang banyak disebut teman-teman MLM, "Financial Fredom". Ya, ia sudah mencapai tahap itu. Bukan lagi ia bekerja untuk mencari uang, tetapi uanglah yang bekerja untuknya.

Saya bisa mengatakan seperti itu karena dengan penghasilannya tiap bulan, ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, bahkan bisa lebih. Ia juga mampu membiayai ketiga anaknya bersekolah, bahkan anaknya yang pertama sudah kuliah di Bogor.

Saat pertama kali saya datang ke rumahnya, saya tertarik dengan desannya. Penataan pekarangan dan ruang-ruang di dalam rumah sangat bagus. Ada beberapa sisi temboknya yang sengaja dibiarkan terbuka dengan susunan batu bata merah yang terlihat jelas. Saat saya bertanya mengapa tidak seluruh tembok dibikin seperti itu, ia menjawab, "terlalu ekstrim mas." Kelihatan kalau dia tahu banyak desain rumah.

Lalu apa yang membuatnya kesepian?

Seluruh anggota keluarganya tidak ada yang tertarik apalagi berminat di bidang teknologi informasi dan komputer. Ketiga anaknya perempuan, dan kesemuanya tidak ada yang menurun bakat ayahnya. Yang paling kecil sukanya musik. Sayangnya juga ia tidak pandai bergaul dengan tetangga-tetangga sekitar rumahnya. Jadi setiap hari ia hanya mondar-mandir di sekeliling rumahnya. Sudah banyak hobi yang coba ditekuninya, mulai bertaman, memelihara burung dan ikan. Terakhir ia suka memelihara kucing.

Kalau tidak ada yang dikerjakan sukanya nongkrong di teras rumah atau di serambi belakang di depan kamar kost saya. Nah kalau sudah begitu, istrinya harus menyediakan kopi dan rokok. Jangan sampai istrinya telat bikinin kopi atau kehabisan rokok, ia bakal marah besar. Ada istilah kopi yang membuat saya tertawa geli, ada kopi jam enam, jam sepuluh, jam dua belas sampai jam sembilan malam. Jam setengah sepuluh ganti teh manis, setelah itu ada kopi jam sepuluh dan yang terakhir kopi jam dua belas malam.

Biar nggak mikir yang enggak-enggak harus ada yang menemaninya ngobrol. Ini yang membuat istrinya kelimpungan, juga ketiga anaknya. Sebuah kemalangan besar kalau mendapat giliran menemaninya. Selain omongannya tidak nyambung juga tidak betah berlama-lama duduk tanpa mengerjakan apa-apa. Nah kalau sudah begitu, istrinya mencari korban baru. Siapa lagi kalau bukan anak kost. Teman saya satu kamar yang sering menjadi korban.

Suatu saat teman saya sedang malas, sayalah yang diperkenalkan kepada istrinya dan kemudian ia sendiri. Semula saya asyik-asyik saja ngobrol bersamanya, wajar saja kalau anak kost ingin kenal dengan bapak kostnya. Pada saat diajak ngobrol tentang internet, saya bisa nyambung sedikit, ia kelihatan senang sekali. Apalagi saat saya keceplos ngomong tentang blog, ia seperti orang yang baru bangun tidur. Rupanya ia sedang belajar membuat blog. Bergembiralah teman saya karena istrinya ganti mencari-cari saya, bukan dia.

Dua minggu terakhir ini lebih parah. Ia senang sepak bola dan ia tahu kalau saya juga senang. Ia sering mengajak saya nonton bersama di rumahnya. Hampir tiap malam saya begadang. Ada untungnya sih, saya tidak perlu mencari pos satpam atau warung kopi untuk nonton bola. Camilan dan kopi juga tersedia, istrinya sangat rajin menyediakan hidangan itu.

Tapi merepotkan istrinya juga kalau setiap malam begitu, sungkan juga rasanya. Saya berembuk dengan teman saya untuk membuat rencana menghindar. Kebetulan pas malam jum'at ada teman yang menawari kami nonton di rumahnya. Kami bilang ke istrinya, "Bu, ini malam jum'at kan, saya tidak mau mengganggu ibu dan bapak, kan kalau malam jum'at sunnah. Malam ini kami mau nginap di rumah teman, ini kunci kamar saya titipkan ke ibu. Siapa tahu ibu dan bapak butuh suasana lain, boleh kok pakai kamar kami." Istrinya melotot tapi sambil senyum-senyum. Kami tertawa sambil kabur.

Jumat, 13 Juni 2008

Bapak-bapak Yang Kesepian

Jumat, 13 Juni 2008
Orang yang kesepian sering menunjukkan perilaku yang aneh-aneh. Misalnya, orang dewasa yang kesepian bisa bersifat kekanak-kanakan. Sebaliknya anak-anak yang kesepian bertindak layaknya orang dewasa, seperti merokok. Meskipun tidak semua anak yang merokok itu karena kesepian. Atau seperti lirik nakal lagu Iwan Fals berikut :

Tante tante yang kesepian
Bertingkah seperti perawan
Berlomba lomba mencari pasangan
..............

Saya bertemu dengan dua orang bapak. Keduanya mengalami masalah yang sama, yaitu sama-sama menderita kesepian. Bapak yang pertama menangis saat ngobrol dengan saya. Tangisannya mirip seperti anak kecil yang menangis sambil mengadu ke ibunya bahwa mainannya dirusak temannya. Bukan untuk mengejek, tetapi memang benar begitu kenyataannya.

Saya tahu kalau ia sangat kesepian setelah lama ngobrol dengannya. Ia butuh teman untuk mendengar keluhannya. Dan secara tidak sadar ia mengakuinya. Temen ngobrol sangat langka baginya. Orang-orang di kampungnya menganggap ia ketinggian omong karena banyak omongannya yang orang tidak bisa mengerti. Bahkan Pak Lurah pun ogah menampung ide-idenya.

Di rumah, tidak ada yang menganggapnya, termasuk istri dan anak-anaknya. Mereka masih tinggal satu rumah dengan mertuanya (keluarga dari istri). Bukan karena kurang mampu, tapi karena istrinya enggan untuk berumah tangga sendiri. Mertuanya pun enggan untuk berpisah dengan anaknya. Jadilah satu rumah dua keluarga.

Karena ada dua kepala keluarga dalam satu rumah, terjadilah dualisme nilai. Di satu sisi ia ingin menerapkan nilai-nilai yang dianggapnya bagus, sedangkan di sisi yang lain mertuanya menolak nilai itu dan mempunyai nilai sendiri. Misalnya, ia ingin anaknya mengurangi menonton televisi dan lebih banyak menggunakan waktunya untuk belajar. Tetapi ketika ia mencoba menerapkannya dan dengan tegas melarang anaknya menonton televisi di jam-jam belajar, mertuanya malah melindungi cucunya itu. Tentu, bagi anak akan memilih apa yang sesuai dengan kesenangannya. Lama-kelamaan ia merasa menjadi penghuni asing di rumah itu.

Kami mengobrol sampai berjam-jam. Ia sangat bersemangat sekali, seperti menemukan mata air di tengah padang gurun yang kering. Saking semangatnya, sulit bagi saya untuk mencari celah mengakhirinya, bukan apa-apa, saya harus kerja.

Salah satu yang menjadi obrolan kami adalah keinginannya untuk membangun pusat informasi bagi petani di desanya. Ia mempunyai rumah di tempat lain yang tidak ditempati. Di rumah itu ingin dipasangi komputer dengan akses internetnya. Tetapi bagaimana caranya dan berapa biayanya ia masih belum jelas. Selama ini tidak ada yang bisa diajaknya ngobrol. Kebetulan sekali saya baru mendapat penjelasan singkat tentang internet. Dari sedikit yang saya ketahui itu, saya menularkan kepadanya. Tentu yang sedikit sangat berharga bagi orang yang tidak sama sekali.

"Petani-petani itu butuh informasi mas" katanya, "informasi tentang cara bercocok tanam, cara memperoleh bibit yang unggul, bagaimana menghasilkan padi yang berkualitas dan sebagainya. Di internet kan banyak informasi tentang itu, bener nggak mas?"

Iya juga ingin rumahnya itu bisa menjadi tempat belajar. Salah satu ruangannya ingin dijadikan perpustakaan. Banyak anak-anak putus sekolah di situ, mereka bisa belajar gratis dari buku-buku dan akses yang disediakannya. Ia mengatakan, "mereka perlu kesempatan mas. Bukan tidak mungkin, jika ada kesempatan, mereka bisa mencapai cita-citanya."

Saya membenarkan dengan bercerita tentang kisah Laskar Pelangi, novel karya Andrea Hirata itu. Ia sangat tertarik dan ingin membacanya.

"Anak Bapak suka membaca juga?"

"Iya mas."

"Novel ini bisa juga menggugah kesadaran anak untuk semangat belajar Pak. Kalau anak Bapak sempat membacanya bisa jadi ia akan berubah. Tanpa disuruh dan diatur ia akan belajar sendiri." Ia semakin tidak sabar ingin membacanya.

Akhirnya saya punya alasan untuk mengakhiri obrolan kami. Sebelum pergi, ia sempat nitip untuk dibelikan Laskar Pelangi.

Setelah obrolan di pagi itu saya tidak bertemu dengannya lagi. Dua hari kemudian saya harus meninggalkan kotanya. Tapi sebelum hari itu, saya menyempatkan diri ke toko buku, membeli Laskar Pelangi untuk saya berikan kepadanya.

Bersambung ya......

Senin, 02 Juni 2008

Pakaian

Senin, 02 Juni 2008
Saya paling tidak suka menunggu tanpa melakukan aktifitas apa-apa. Makanya di dalam tas saya, selalu ada majalah atau buku bacaan. Jika kebetulan lupa membawanya, saya membeli koran. Nah suatu siang saya menunggu waktu tiba pukul satu untuk bertemu seseorang di kantornya. Sengaja, saya datang sebelum jam 12 dan menyempatkan shalat dzuhur di masjid dekat kantornya. Masih ada waktu sekitar 30 menit, saya duduk di serambi dan mengeluarkan buku bacaan.

Belum sempat saya membacanya, tiba-tiba seseorang di samping saya menyapa, "mas, boleh lihat judulnya?" Judul buku yang saya pegang dibacanya, "Menerobos Kegelapan".

Tampaknya ia berusaha memahami buku macam apa yang sedang ia lihat. Saya tersenyum ketika ia menebak buku ini semacam buku motivasi seperti buku motivasi kerja dan lain-lain. Karena masih tampak bingung, saya mengatakan bahwa buku ini biografi Karen Amstrong, mantan biarawati dan seorang yang percaya Tuhan tetapi tidak beragama. Ia tersenyum dan manggut-manggut.

Sebentar kemudian, kami ngobrol setengah diskusi. Ia bilang, "orang seperti itu banyak mas, banyak yang mengakui Islam itu baik, Kristen itu baik, tetapi tidak pernah masuk salah satunya. Tidak benar-benar menjalankan ajarannya. Orang seperti itu seperti orang yang belum pakai celana kemudian pergi ke toko, memilih-milih celana yang mau dibelinya. Karena semuanya bagus, ia bingung memilih yang mana, akhirnya tidak jadi beli."

Ia menambahkan, "menurut orang Betawi, agama itu ageman, pakaian". Saya mengerti apa yang ia maksud, dalam bahasa Jawa, ageman juga sama dengan pakaian. Agama itu mempunyai fungsi sebagaimana pakaian yang bisa meninggikan derajat manusia. Orang yang tidak beragama, sama seperti orang tidak berpakaian. "Mengerti kan mas, bagaimana jika orang tidak berpakaian" ia menambahkan.

Saya kagum dengan ulama-ulama terdahulu, mengajarkan agama dengan cara yang mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Nilai-nilai agama diselaraskan dengan nilai-nilai yang sudah lama dianut masyarakat.

Malamnya saya merenung, memikirkan kembali obrolan tentang pakaian itu. Benarkah agama itu sama dengan pakaian? Kalau memang benar, saya melihat orang seperti Karen itu sebenarnya bukan tidak memakai pakaian, tetapi ia membuat pakaiannya sendiri karena kecewa dengan pakaian-pakaian yang ada sekarang. Pakaian yang ada sudah berubah fungsinya. Alih-alih meninggikan derajat pemakaianya, malah menjerumuskannya ke dalam sifat-sifat yang berlawanan dengan fungsi pakaian itu. Agama yang sebenarnya untuk menuntun manusia menuju jalan kebaikan, membantu menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera serta memberi pelita saat kegelapan, justru menghasilkan perilaku yang berlawanan dengan semua itu. Tidak salah juga kan, karena kekecewaan itu Karen menganut agamanya sendiri sesuai yang diyakininya.

Pakaian. Saya kembali merenungkannya. Saya merasa saat ini sedang berpakaian, saya meyakini pakaian yang saya kenakan bisa menempatkan diri saya lebih tinggi daripada derajat hewani. Dan pakaian saya masih berfungsi dengan baik, modelnya juga masih sesuai dengan jaman sekarang. Ini keyakinan saya dan tentu saja setiap orang mempunyai keyakinan masing-masing, bisa sama atau berbeda dengan keyakinan saya. Orang juga bisa menilai pakaian yang dikenakannya paling bagus, paling keren paling sesuai dengan tuntutan jaman. Menurut saya itu wajar, sudah menjadi ketentuan dari-Nya, setiap manusia mempunyai keyakinannya masing-masing.

Masih ngobrol tentang pakaian. Esok harinya saya menceritakan diskusi di serambi masjid itu kepada teman saya. Ia langsung bertanya, "kalau agama itu pakaian, berarti kita bisa berganti-ganti agama seperti berganti pakaian. Kalau sudah tidak nyaman dengan pakaian yang kita kenakan sekarang bisa cari-cari pakaian yang baru. Ato tergantung musimnya, musim dingin pakai yang tebal, musim panas pakai yang tipis. Pakaian juga bisa dilepas di tempat yang tersembunyi, atau saat orang lain tidak melihatnya. Benarkah demikian?"

Saya tidak bisa menjawab, cuma bengong saja.

Rabu, 28 Mei 2008

Pekerjaan Paling Mulia

Rabu, 28 Mei 2008
Dulu saya mempunyai anggapan, pekerjaan yang paling mulia adalah menjadi seorang dokter. Saya membayangkan betapa sangat bergunanya menjadi seorang dokter. Bisa menolong sesamanya yang sedang menderita. Membantu manusia yang lain untuk bisa menjalankan kehidupannya dengan baik. Cita-cita menjadi dokter adalah cita-cita tertinggi bagi kemanusiaan. Saya menjadi paham ketika para orang tua banyak yang menganjurkan anaknya untuk menjadi dokter. Tidak pernah saya mendengar orang tua yang ingin anaknya menjadi penulis, kecuali mungkin orang tua yang penulis itu sendiri.

Sekarang, saya mempunyai pandangan yang lain. Ternyata menjadi penulis tidak kalah mulianya dengan menjadi dokter. Penulis juga sangat berguna bagi kemanusiaan. Membaca karya seorang penulis, seseorang bisa terbuka pemikirannya, tergugah kesadarannya dan terbangun pandangan hidupnya sehingga sama seperti orang yang sembuh dari penyakit, bisa menjalankan kehidupannya dengan lebih baik.

Lebih luas lagi, pengaruh pemikiran seorang penulis mampu menggerakkan masyarakat sebuah bangsa untuk bangkit dari ketertindasannya. Juga memberikan arah bagi terbentuknya bangsa. Tengoklah Hatta, pemikirannya yang tertuang dalam "Demokrasi Kita" banyak diakui sebagai peletak dasar-dasar demokrasi yang saat ini menjadi sistem yang dianut Indonesia. Karyanya yang lain, "Dasar Politik Luar Negeri Indonesia" mampu megegaskan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri yang sampai sekarang masih dipegang Indonesia yaitu politik bebas aktif.

"catatan seorang demonstran", sebuah catatan harian yang banyak mengilhami aktifis mahasiswa saat melakukan demonstrasi menentang kekuasaan Orde Baru. Catatan ini menjadi bacaan wajib bagi aktifis mahasiswa. "Habis Gelap Terbitlah Terang", kumpulan surat-surat Kartini tentang kebebasan dan cita-cita, memberikan pandangan yang baru bagaimana seorang perempuan menempatkan diri dan bersama-sama kaum laki-laki berkontribusi dalam menjalankan kehidupan.

Tidak kalah hebatnya, "Laskar Pelangi", menumbuhkan semangat bagi para muda sekarang mengejar cita-cita meski rintangan banyak menghadang. Saya terharu ketika seorang ibu memberi kesaksian bahwa novel Laskar Pelangi mampu menggugah anaknya untuk insaf dari pengaruh narkoba dan berjanji akan bersungguh-sungguh menempuh pendidikan di sekolah.

Wah sangat banyak jika harus saya tuliskan disini, termasuk kitab-kitab agama karangan para ulama kita. Pada akhirnya, saya akan rela ketika suatu saat nanti anak saya bilang, "yah saya ingin menjadi penulis."

Selasa, 29 April 2008

Menulis untuk Belajar

Selasa, 29 April 2008
Menurut saya, ada dua kelompok penulis. Pertama, penulis yang sudah menguasai ilmu. Dia menulis tentang ilmu yang dikuasainya untuk berbagi dengan pembacanya. Sedangkan kelompok yang kedua adalah penulis yang menulis justru untuk belajar tentang ilmu.

Nah, saya termasuk kelompok yang kedua. Saya menulis untuk belajar tentang apa yang saya tulis. Menulis filsafat agar saya lebih mengerti tentangya. Begitu juga menulis tentang ilmu agama, saya ingin lebih mengerti bagaimana agama saya.

Saya percaya dengan membaca saja suatu saat saya akan lupa. Kalaupun ingat, saya tidak bisa menjelaskannya dengan sempurna. Tetapi dengan menulis otak mempunyai rangsangan untuk ingat lebih lama. Apalagi apa yang ditulis hasil dari permenungan setelah membaca, akan lebih mengerti sampai ke akar-akarnya.

Yang lebih baik lagi, setelah membaca, merenungkan dan menuliskannya, kemudian mengamalkannya. Dengan mengamalkannya itu, ilmu tidak saja dimengerti, tetapi akan lebih mudah untuk dipahami.

Senin, 14 April 2008

Asumsi

Senin, 14 April 2008
Dalam "Cerita Penjual Sandal Jepit" saya pernah bercerita tentang suatu daerah yang seluruh penduduknya tidak memakai alas kaki. Dari sudut pandang marketing, ada dua pendekatan yang berbeda. Pertama, kenyataan itu adalah hambatan besar bagi produsen alas kaki, sehingga tidak akan menguntungkan jika dibangun parbrik di daerah itu. Sudut pandang kedua justru sebaliknya, ada sebuah peluang yang sangat besar yang bisa mendatangkan keuntungan melimpah, cocok sekali jika dibangun pabrik alas kaki disitu. Apa yang menyebabkan ada dua sudut pandang yang berbeda padahal kenyataan yang terjadi (faktanya) sama? Dan mana sudut pandang yang benar?

Saya menemukan buku dari pedagang buku bekas di Jalan Dewi Sartika, Bandung. Buku yang saya beli dengan harga 10 ribu rupiah ini dicetak tahun 2006 dan sudah cetakan yang keenambelas, cetakan pertamanya tertulis tahun 1978. Jujun S. Suriasumantri, penyusun buku ini memberi Judul "Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu".

Dalam Pengantar Redaksi yang cukup panjang (40 halaman), Jujun menuliskan bahwa ilmu pengetahuan memerlukan asumsi. Alam yang diamati oleh ilmu pengetahuan sangatlah kompleks. Hampir tidak mungkin ilmu melakukan prosesnya tanpa asumsi-asumsi. Asumsi memberi arah dan landasan bagi ilmu pengetahuan untuk menelaah alam dan segala hal yang terjadi di dalamnya.

Ilmu pengetahuan dalam prosesnya menelaah alam semesta bertujuan untuk menemukan kebenaran. Kebenaran ini sangat berguna untuk membantu manusia dalam menjalankan kehidupannya. Dalam proses itu, ilmu pengetahuan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan. Benar atau tidaknya kesimpulan itu tergantung dari diterima atau tidaknya asumsi yang diberikan. Jika asumsi dapat diterima, kita anggap kesimpulan yang dihasilkan adalah benar. Sebaliknya, jika asumsi tidak dapat kita terima maka kesimpulan kita anggap tidak benar.

Dua sudut pandang yang berbeda dari fakta penduduk yang tidak beralas kaki, diakibatkan karena asumsi yang mendasarinya berbeda. Sudut pandang pertama mempunyai asumsi bahwa kenyataan itu tidak bisa dirubah. Apapun usaha yang dilakukan tetap tidak akan merubah perilaku penduduk daerah itu. Sedangkan sudut pandang kedua mempunyai asumsi bahwa kenyataan itu bisa dirubah. Dengan pendekatan yang tepat, penduduk bisa diajari bagaimana menggunakan alas kaki dan dijelaskan apa manfaatnya.

Mana yang benar? Relatif, tergantung asumsi mana yang bisa kita terima. Jika asumsi pertama diterima, tentu sudut pandang yang pertamalah yang kita anggap benar. Sebaliknya, jika asumsi kedua yang bisa kita terima maka sudut pandang yang kedualah yang kita anggap benar. Lalu mana yang benar secara hakiki? Kita bisa menjawabnya jika sudah ada yang membuktikannya. Kebenaran hakiki tidak kita peroleh sampai ada yang membangun pabrik di daerah itu, kalau rugi berarti sudut pandang yang pertama yang benar. Jika sebaliknya maka sudut pandang yang kedua yang benar.

Kalau demikian, perlu biaya dan resiko yang sangat besar? Bisa iya, bisa tidak. Ya kalau kita benar-benar membangun pabrik. Tidak jika digunakan ilmu statistik. Dengan ilmu statistik kita bisa melakukan eksperimen dari sampel yang mewakili seluruh penduduk. Dari eksperimen itu bisa diperoleh kesimpulan, perilaku penduduk itu bisa dirubah atau tidak. Metode statistik memberi kemampuan untuk mengambil kesimpulan secara keseluruhan dari sampel (contoh) yang sebagian atau biasa disebut generalisasi.

Asumsi, menurut pengertian diatas hanya berlaku di wilayah ilmu pengetahuan, tidak berlaku di wilayah agama dan keyakinan. Kita memeluk agama bukan berdasarkan asumsi, tetapi keyakinan kita terhadap kebenarannya. Benarkah ada kehidupan setelah mati? Kita hanya bisa meyakininya, tidak bisa dibuktikan secara empiris. Karena tidak pernah ada manusia yang mati kemudian hidup lagi dan bercerita keadaan di alam sana. Begitu juga dengan keberadaan dan wujud Tuhan, tidak bisa dibuktikan dengan asumsi. Asumsi bergerak sebatas panca indra manusia. Sedangkan Tuhan, diluar jangkauan panca indra.

-----------------------------------
Gambar pinjam dari sini

Selasa, 04 Maret 2008

Jalan Langit dan Jalan Bumi

Selasa, 04 Maret 2008
Dahulu, gerhana matahari merupakan gejala alam yang penuh dengan misteri dan banyak mengandung kisah mistis. Thales, seorang pemikir dari Miletus, daerah Pantai Barat Asia Kecil, pernah memprediksi datangnya gerhana matahari. Dan prediksinya itu tidak meleset, tahun 585 SM terjadi gerhana matahari.

Karena kepandaiannya memprediksi itu, Ia menjadi terkenal sebagai ahli nujum dan dimasukkan ke dalam tujuh orang bijak (sage) dalam hikayat Yunani. Sebenarnya prediksi itu adalah hasil ketekunannya belajar astronomi, bukanlah prediksi yang didasarkan pada tahayul. Pada saat itu tahayul menjadi hal yang biasa dan menjadi kepercayaan di masyarakat Militus. Ia menemukan perhitungan gerhana matahari berikutnya akan terjadi setelah 18 tahun, 10 hari dan 7,7 jam.

Selain menguasai ilmu astronomi, Ia sangat mahir di bidang matematika terutama geometri. Kedua ilmu itu dipelajarinya disela-sela aktifitas berdagang. Ia adalah seorang saudagar yang sering mengadakan perjalanan dagang ke berbagai kota. Saat sampai di Mesir dan Babilonia, Thales tertarik untuk mempelajari geometri dan astronomi. Prestasinya di bidang geometri melahirkan sebuah teorema yang disebut sesuai namanya, "Teorema Thales".

Thales juga terkenal sebagai bapak filsafat, Ia orang yang pertama kali yang memikirkan : Apa asal alam ini? Apa yang menjadi sebab penghabisan dari segala yang ada? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawabnya melalui tahayul, melainkan menggunakan akal berdasarkan pengalaman yang dilihatnya sehari-hari.

Ia takjub melihat lautan yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak makluk hidup di darat maupun di lautan. Bibit-bibit tanaman dan buah-buahan yang hanyut terbawa gelombang diantar ke pesisir pantai daerah lain. Tanaman dan buah-buahan akhirnya bisa tersebar ke berbagai wilayah di bumi. Di Mesir ia juga melihat betapa tergantungnya rakyat Mesir pada Sungai Nil. Daerah-daerah sekitar aliran Sungai Nil adalah daerah yang subur sehingga dapat dihuni manusia.

Tetapi semuanya bisa musnah. Ia membayangkan bagaimana jika Sungai Nil tidak mengalirkan air lagi, bisa jadi daerah yang semula subur menjadi padang pasir yang tandus, tidak bisa dihuni lagi. Air laut yang bergulung-gulung menghantam tepian pantai sewaktu-waktu bisa menjadi ombak yang sangat besar (tsunami) yang dapat memusnahkan semua kehidupan di daratan. Disitulah kehidupan akan berkahir.

Dari pemikirannya itu ia mengambil kesimpulan bahwa air adalah pokok dan prinsip dari segala-galanya.

Diantara kisah hidupnya ada kejadian yang lucu. Suatu saat ia berjalan-jalan memandangi keindahan bintang gemintang di langit malam hari. Pandangannya yang selalu keatas membuatnya tidak melihat lubang di depannya. Terjatuhlah Ia ke lubang itu. Seorang watnita tua yang sedang melintas berkata, "hai Thales, jalanmu yang ada dilangit kamu ketahui, tetapi jalanmu yang ada di bumi tidak."

Seorang genius seperti Thales bisa terperosok ke dalam lubang karena terlalu asyik dengan apa yang dipikirkannya dan lupa memperhatikan jalan yang dilewatinya. Kitapun akan bernasib sama jika terlalu hanyut pada suatu hal dan melupakan yang lain, padahal keduanya sangat penting dalam hidup kita.

Jalan langit bisa dimaknai sebagai kehidupan religius, alam pemikiran atau dunia ide. Sedangkan jalan bumi adalah realitas hidup kita sehari-hari. Idealnya jalan langit dan jalan bumi itu bisa selaras. Orang yang khusuk ibadahnya, mempunyai perilaku yang menyejukkan, tidak malah membuat onar. Orang yang pandai, banyak memberikan sumbang sih bagi lingkungannya, tidak malah merusaknya. Dan, orang yang banyak idenya, juga banyak berbuat.


Catatan : Gambar pinjam dari sini


12duadua © 2014