Apakah iman itu butuh ekspresi? Aku pikir iya. Sebab iman tanpa ekspresi seperti sayur tanpa garam. Ekspresi itu membuat iman seperti rumah yang berhias taman yang indah. Seperti kayu polos yang berubah menjadi bernilai karena dihias ukiran. Seperti juga pagi hari yang sejuk bertambah riang dengan kicauan burung.
Menengadahkan tangan dan dengan khidmad mengucap "alhamdulillah" setelah menerima gaji pertama, itu bentuk ekspresi. Indah bukan? Atau saat tesandung batu di jalan kemudian kita melihat ke arah langit sambil berucap, "Astaghfirullah. Engkau mengingatkanku dengan hal yang kecil sebelum hal yang besar menimpaku."
Bersama seorang kawan, aku hendak berkunjung ke Kampung 99 Pepohonan di daerah Cinere. Sebuah kampung yang unik, seunik orang-orang yang tinggal di dalamnya. Unik karena pemikiran mereka berbeda dengan kebanyakan orang.
Waktu sudah hampir masuk 'Asyar. Kebetulan jalan ke Kampung 99 searah dan dekat dengan Masjid Kubah Emas, masjid yang terkenal itu. Aku bilang pada kawanku, "shalat 'Asyar di Masjid Kubah Emas yuk!" Syukurlah kawanku mau.
Kami harus memarkir motor di luar area masjid yang luasnya minta ampun. Jarak tempat parkir ke masjid kira-kira 200 meter. Sambil berjalan, aku memandangi masjid yang tampak seperti berada di lembah. Baru kali ini aku berkunjung ke sini. Aku pun langsung kagum pada keindahannya. Sangat megah dilihat dari kejauhan.
"Kenapa ya Mam," kawanku bicara, "uang untuk membangun masjid itu tidak dipakai untuk beramal saja?"
"Maksudmu apa," aku balik tanya.
"Coba bayangkan jika uang sebanyak itu dibagikan ke fakir miskin, atau untuk biaya anak sekolah yang kurang mampu. Betapa banyak yang bisa dibantu."
"Nggak tau ya. Tapi coba lihat, disekitar tempat parkir tadi banyak orang yang jualan. Mereka bisa jualan karena ada masjid ini. Tukang parkir tadi juga dapat penghasilan kan?"
"Hmmmmm..." dahi kawanku berkerut.
"Tuh, lihat juga," aku lanjutkan tanpa menunggu kawanku menjawab, "masjid ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Ada tukang kebon, satpam, penjaga toilet, petugas kebersihan, pengurus masjid. Ternyata banyak juga kan yang tertolong hidupnya setelah masjid ini berdiri?"
Dahi kawanku tidak berkerut lagi, tapi tetap tidak menjawab. Kami sampai ke pelataran masjid. Adzan yang indah berkumandang. Bergegaslah aku dan kawanku mencari tempat wudu. Kemudian kami shalat. Banyak juga pengunjung masjid sore ini, meski bukan hari libur. Penjual air mineral di tempat parkir tadi bilang, kalau hari sabtu dan minggu, atau hari libur, pengunjungnya ramai sekali. Banyak juga yang datang dari jauh. Rupanya tempat ini sudah menjadi tujuan wisata.
Selesai shalat aku dan kawanku menuju tempat parkir. Eh ada orang bawa kamera menghadang kami. "Mas mau dipotret untuk kenang-kenangan? Bisa berlatarbelakang masjid, bagus mas, nih contohnya."
"Kami sedang buru-buru Pak, lain kali aja kalau kemari lagi. Terima kasih." Setelah aku berkata demikian, orang itu berlalu dengan menganggukkan kepalanya pada kami.
"Tuh kan, tukang potret tadi juga dapat ladang pekerjaannya." kataku sambil menepuk bahu kawanku. Ia cuma tersenyum saja.
Semoga saja, pemilik masjid ini membangunnya bukan karena niat sombong atau pamer. Tapi karna ingin mencari indahnya iman dengan mengekspresikannya. Bentuk ekspresi inilah yang ia mampu. Menurutku, tidak ada masalah dengan bentuk ekspresi seperti ini, karena tidak mengganggu orang lain, bahkan mendatangkan manfaat untuk lingkungan sekitarnya.
Bersambung ya....
9 komentar: