
"Imam sudah yakin, berkarir di dunia jurnalistik?"
Pertanyaan ini selalu aku terima sejak awal bergabung dengang ALiF. Ya, wajar saja. Bahkan sangat wajar, sekalipun ada yang menyertainya dengan rasa pesimis. Memang, pada umumnya orang harus menaiki tangga dari anak tangga bawah ke anak tangga diatasnya untuk mencapai ketinggian. Anak tangga itu harus jelas biar mudah dipijak. Agar bisa jelas, harus punya kemampuan melihatnya. Kebanyakan orang masih percaya kalau kemampuan paling baik diperoleh dari pendidikan formal. Nah, aku lulusan statistik, jadi tanggaku adalah statistik.
Dalam usaha menaiki tangga statistik, aku melihat dengan samar, ternyata disamping ada tangga lain, tangga tulis-menulis. Sesekali aku meliriknya. Lama-lama menjadi tertarik. Dari sesekali menjadi berkali-kali dan akhirnya tidak hanya melirik, tapi melihat. Kemudian aku berusaha mencari-cari, apa yang diperlukan untuk bisa melihat dengan jelas. Mulailah aku belajar menulis. Berkali-kali aku coba menulis. Tapi, belum genap satu paragraf, aku merobek dan membuangnya. Hihihi....malu membacanya kembali.
Tulisan yang berhasil aku tulis secara penuh sampai paragraf akhir hanyalah surat yang aku tujukan kepada perempuan yang sekarang menjadi istriku. Itu pun setelah menghabiskan banyak kertas dan merenung cukup lama. Mungkin kalau jaman dulu sudah disebut semedi. Tapi setelah kami menikah dia bilang tulisan-tulisanku dulu garing banget. Glodak.....Wah, kalau dia dulu bilang begitu, aku sudah bunuh diri, terjun ke sumur bor. Hehehehe.... Malu banget.
Sampai suatu saat aku kenal multiply ini. Aku coba menulis kembali. Malu? Enggak. Sejak aku putuskan bergabung multiply, aku putus syaraf maluku. Tulisan garing, ah bodo amat. Yang penting aku punya jurnal. Dengan begitu aku punya sejarah. Dengan begitu anak cucuku nanti bisa baca. Dengan baca mereka akan tahu banyak tentang ayah atau kakeknya. Alhamdulillah kalau sekarang ada yang mau baca dan bisa dapat sesuatu dari situ.
Dari multiply ini juga, aku kenal Hagi. Dialah yang mengajak aku ikut dalam proyek membangun majalah. Namanya Alhamdulillah its Friday disingkat ALiF. Ternyata dia yang menjadi pimrednya dan ternyata juga penerbit Lentera Hati yang menjadi induknya. Surprise sekali menerima ajakan Hagi. Setelah membuat pertimbangan, aku mengiyakan. Aku cocok sekali dengan konsep majalahnya.
Akhirnya, kakiku benar-benar memijak anak tangga itu.
Kemudian masih ada satu pertanyaan lagi. ALiF kan majalah Islam sedangkan aku bukanlah orang yang pandai nulis tentang Islam. Sekali lagi, latar belakang pendidikanku bukan dari sekolah Islam. Belajar Islam hanya aku jalani dari membaca buku dan kadang mendengar ceramah di TV (itupun kalau aku sreg sama penceramahnya). Pernah juga sih sekolah Islam, dulu sewaktu SD sorenya aku masuk sekolah sore (madrasah diniyah), tapi cuma sampai SD saja, selanjutnya tidak sama sekali. Bisakah aku di ALiF?
Ya kalau disuruh nulis untuk mengajari pembaca tentang Islam, tentu aku tidak bisa. Nah, kalau begitu, enaknya menjadi cermin saja. Namanya cermin ya hanya memantulkan cahaya aja, dia sendiri tidak punya. Cahayanya bisa dari mana aja, dari kerlip kunang-kunang pun bisa. Syaratnya cuma satu, cerminnya harus bersih.
Jadi....mohon bantuan teman-teman untuk selalu memberi kritikan dan masukan, agar cermin ini selalu bersih, biar selalu bisa memantulkan dengan sempurnya. Mau kan.......?
16 komentar: