Pages

Jumat, 19 Desember 2008

Setitik Perhatian Berbuah Kebahagiaan

Jumat, 19 Desember 2008

Ada ruang kosong dalam hati Andi [bukan nama sebenarnya] yang sampai sekarang tak pernah terisi. Ruang itu untuk ibunya. Saat usianya masih dalam hitungan bulan, ia dititipkan pada sebuah keluarga. Kemudian ibunya pergi entah ke mana. Sampai kini, saat usianya sudah 35 tahun, ia belum pernah sekali pun bertemu dengan ibunya, apalagi mengenalnya.

Ia merasa aneh ketika sadar bahwa selama ini tak ada seseorang yang dipanggilnya ibu. Ia pun merasa rindu mendapat perhatian dan kasih sayang seorang ibu seperti teman-temannya. Lalu muncullah pertanyaan yang membuat sebagian hidupnya tercurah untuk mencari jawabannya: siapa ibunya? Hingga suatu saat dalam pencariannya itu ia merasa bahwa ibunya memang tidak menginginkannya. Sampai pada titik itu ia berhenti mencari dan menjalani hidup seperti apa adanya.

Benar, hidupnya tetap berjalan meski tak ada seorang pun yang dekat dan akrab layaknya keluarga. Orang-orang yang mengasuhnya tak pernah tulus. Bahkan ia pernah dibawa ke panti asuhan untuk dititipkan segera setelah sang ibu menyerahkannya. Tetapi karena takut berdosa, keluarga itu mengambilnya kembali. Ia tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Semua masalah dalam hidupnya diusahakannya tanpa banyak bantuan dari orang lain, termasuk mencari nafkah untuk biaya hidupnya. Ia telah menjadi seorang Project Manager sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Karena terlalu lama hidup sendiri, sampai-sampai ia merasa aneh saat ada orang yang berusaha mendekat.

Namun, ruang kosong itu terasa kembali saat tahun lalu ia menikah. Ia sedih, bagaimana peristiwa yang begitu penting itu tak disaksikan ibunya. Ia membayangkan betapa bahagia ibunya saat melihatnya berhasil seperti sekarang ini.

Air mata Andi menetes tak tertahan saat ia berkisah pada kami. Ia merasa menjadi anak yang paling malang di dunia ini karena tak bisa berbakti pada ibu yang melahirkannya. Bagaimana bisa berbakti, sedangkan keberadaannya pun tak terlacak.

Tak hanya Andi, secara naluriah setiap orang punya ruang dalam hatinya untuk seorang ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan kita dengan segenap cinta dan kasih sayangnya. Karena setiap manusia, terkecuali Adam dan Hawa, pastilah memiliki ibu. Jika Andi amat merindukan kehadiran sosok sang ibu, bagaimana dengan kita yang sering berselisih paham dengan ibu? Lantas apa yang perlu dilakukan oleh seorang anak untuk berbakti pada ibunya?

Sebuah kisah menarik diceritakan oleh seseorang di blog pribadinya [http://ricisan.wordpress.com/]. Dalam jurnalnya yang berjudul “Cerita Inspirasi Dari Sang Ibu…” ia berkisah ingin membahagiakan ibunya.

Sejak kecil ibunya selalu membangunkan dan menyiapkan sarapan pagi untuknya. Sekarang ia telah berusia tigapuluh tahun lebih dan sudah bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan tambang. Tetapi, kebiasaan ibunya itu tetap tak berubah. Suatu pagi ia meminta kepada ibunya untuk tak lagi repot-repot mengurusinya karena sudah bisa mengerjakannya sendiri. “Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku sudah dewasa,” pintanya.

Wajah ibunya seketika berubah. Juga pada suatu saat ketika ibunya mengajaknya makan di sebuah restoran. Setelah selesai, ia buru-buru mengeluarkan uang dan membayar semuanya. Ia ingin membalas jasa ibunya dengan uang hasil keringatnya sendiri. Tetapi raut sedih kembali tampak pada wajah ibunya. Semula ia menganggap itu wajar. Pernah ia membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa pada orang lanjut usia ada fase yang sangat sensitif dan cenderung untuk bersikap kekanak-kanakan. Tapi lama-kelamaan keadaan itu mengganggunya. Ibunya pun tak pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya, “Bu, maafkan aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang membuat Ibu sedih?” Ia menatap wajah ibunya. Ada genangan airmata yang segera menetes.

Dengan terbata-bata ibunya berkata, “Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri.” Sejak saat itu ia sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan ibunya bukan terletak pada materi yang diberikan kepadanya, tetapi lebih pada bagaimana membuatnya berarti dalam hidupnya.

--------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Friday
Edisi 13: Bahagiakah Ibumu?


6 komentar:

12duadua © 2014