Pages

Rabu, 07 Januari 2009

Ketakutan Pada Yang Lain

Rabu, 07 Januari 2009

Beberapa kali saya harus memunculkan keheranan saya dan berusaha untuk memahami, mengapa diantara sesama manusia saling menyakiti, bahkan ada yang sangat tega memisahkan jiwa dari raga manusia lain seperti segampang menginjak kecoak dengan sepatunya.

Bolehlah seorang teman mengatakan kalau Ryan, sang penjagal itu punya gangguan jiwa, sumber dari segala rasanya. Sehingga itu ia tak merasakan apa-apa ketika memotong-motong tubuh teman-teman dekatnya dan menguburnya di belakang rumah.Tetapi sulit untuk mengatakan bahwa para pemerkosa dalam tragedi Mei 1998 itu punya gangguan jiwa. Mungkinkah segerombolan orang itu tak normal jiwanya? Padahal sebelumnya, mereka itu secara kelompok adalah orang-orang yang wajar, tak menunjukkan tanda-tanda sebagai manusia yang tak beradab.

Bisa jugakah saya memunculkan anggapan bahwa zionis Israel yang menyerang Palestina itu memiliki jiwa yang tak waras? Kalau iya, bisa jadi suatu saat nanti bukan Palestina saja yang akan mereka serang, kita-kita pun bisa. Orang yang tak waras tak akan pernah berhenti mencari objek serangan sebelum gangguan jiwanya itu terobati.

Alasan gangguan jiwa tak bisa menjawab keheranan saya, dan tak banyak membantu memenuhi pemahaman saya.

Suatu hari saya membaca novel sejarah karya John Shors yang berjudul Taj Mahal, Kisah Cinta Abadi. Karena sebuah novel, kebenaran ceritanya bisa diperdebatkan. Tetapi gaya ceritanya sangat memikat. Saya sependapat dengan Andrea Hirata, John Shors memang benar-benar menguasai seni bercerita. Saya terbawa mengikuti babak demi babak, seperti terseret masuk dalam pusaran air.

Dalam waktu yang berselang-seling saya juga membaca bukunya F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Buku ini harus berulang-ulang saya baca karena terlalu rumit untuk otak saya yang tak pernah belajar filsafat.

Meski kedua buku itu sangat berbeda, sebuah fiksi dan pemahaman filsafat, tetapi dalam pemahaman saya, sepertinya keduanya mengusung tema yang saling menguatkan. Seperti kayu bakar yang menyokong nyala api.

Dalam Taj Mahal, tersaji kisah percintaan dan permusuhan. Kisah percintaannya (sekali lagi Andrea benar) membuat pembacanya merona dan merana. Kisah permusuhannya membuat saya bergidik dan bertanya, adakah manusia seperti Aurangzeb di dunia ini?

Aurangzeb, manusia yang sangat kejam. Ia tega membunuh Dara Shikuh, kakaknya sendiri dengan hukum pancung yang direkayasanya. Bahkan tanpa rasa belas kasihan sedikitpun ia mengurung ayah kandungnya, Shah Jahan yang sedang sakit dalam ruang pengab diatas sebuah menara.

Semua karena kegilaan Aurangzeb pada tahta dan kekuasaan. Kegilaan itu memunculkan rasa ketakutan pada dirinya. Setiap orang dicurigai akan menghalanginya mencapai kekuasaan itu. Karenanya ia berusaha menciptakan rasa aman dengan melenyapkan semua yang ia anggap sebagai penghalang, termasuk keluarganya sendiri. Tak hanya itu, banyak punggawa kerajaan yang disingkirkan karena tak bisa ia percaya.

Menurut Budi Hardiman, orang seperti Aurangzeb itu menderita heterophobia yaitu ketakutan pada “yang lain”. Ketakutan yang sebenarnya bersumber dari dirinya sendiri. Ketakutan yang memunculkan perasaan bahwa ada orang diluar dirinya atau diluar kelompoknya, yang mengancam dan menghalangi usahanya untuk hidup atau mencapai apa yang diinginkannya.

“Yang lain” itu dianggap berada di luar dan tak sama dengan dirinya. Dalam kasus-kasus tertentu yang lebih parah, “yang lain” itu dimaknai secara negatif sehingga wajar untuk dilecehkan atau justru harus dilenyapkan.

Padahal, ketakutan itu sering kali tak benar. “Yang lain” yang menjadi objek ketakutannya itu sebenarnya tak menakutkan sama sekali. Dalam kenyataannya Dara Shikuh sangat menyayangi dan mencintai Aurangzeb sebagai adiknya. Begitu juga Shah Jahan yang sangat kagum pada ketrampilan Aurangzeb memimpin perang.

Di akhir cerita, sang hiterofobia tak bisa mencapai apa yang didambakannya. Memang, Aurangzeb mendapatkan kekuasaan. Ia menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Tetapi, kekuasaan itu menjadi tak bermakna ketika tak mendapat pengakukan dari rakyatnya. Apa artinya raja tanpa pengakuan dari rakyatnya? Bahkan ia dianggap sebagai malapetaka bagi Hindustan.

Saya mendapat pencerahan dari kedua buku itu bahwa dalam hubungan sosial, manusia hiterofobia amat sangat menyusahkan. Alih-alih menjadi penyelamat dunia, ia sendiri adalah penyakit.

2 komentar:

12duadua © 2014