Kebetulan nama depan kami sama, "Imam". Dia Imam B Prasojo, sosiolog dari Universitas Indonesia. "Akan ada Imam ketemu Imam," kata teman saya. Mas Imam adalah salah satu tokoh yang saya kagumi. Bukan karena kesamaan nama itu, tapi karena pemikirannya yang cerdas dan sikapnya yang bersahaja.
Suatu pagi kami berkunjung ke rumahnya. Hebat, pagi-pagi ia sudah bersedia menerima tamu, apalagi tamu seperti kami yang hanya mengajaknya ngobrol. Lebih hebat lagi, sepagi itu sudah terlihat kesibukan di rumahnya. Satu dua relawan Nurani Dunia, yayasan sosial yang didirikannya, sudah datang dan bekerja.
Kerja sosial, aktifitas ini yang banyak menyita waktunya setiap hari. Terkadang harus pergi ke luar kota, melayani masyarakat yang menjadi klien Nurani Dunia. Ruang-ruang di rumahnya pun dipenuhi barang-barang yang akan disalurkan untuk kegiatan sosial. Ada tumpukan kardus-kardus berisi buku, perangkat-perangkat komputer yang akan disebar ke berbagai daerah.
Di samping rumah, dekat garasi, ada ruang yang khusus disediakannya untuk melatih guru-guru. "Itu ruang meeting kami," katanya sambil menunjuk sebuah tempat seperti bungalau di teras atas. Lalu dimanakah tempat pribadi Mas Imam, pikirku dalam hati.
Mas Imam memulai obrolan kami dengan mengatakan, "modal sosial yang kita miliki banyak yang mubazir." Kemudian ia menjelaskan, banyak masjid yang dibangung begitu megah, tapi sepi. Bukan karena tidak ada jamaahnya tetapi masjid itu tidak digunakan untuk kegiatan lain selain ritual ibadah.
Sebenarnya, masjid bisa berfungsi untuk membangkitkan kekuatan sosial. Bisa dengan membuat perpustakaan yang dibuka untuk umum, mengadakan pelatihan untuk pemberdayaan atau untuk membentuk komunitas-komunitas. Disamping sangat diperlukan juga kajian-kajian tentang agama. "Sayang sekali, setelah shalat masjid itu sepi," katanya prihatin.
Satu lagi, ada banyak gardu yang dibangun di setiap RT. Dia heran, sebenarnya untuk apa gardu itu dibangun, kenyataannya banyak yang digunakan untuk tempat judi.
Ia pun tergerak. Gardu yang ada di Kampung Bonang, kampun dekat rumahnya, dijadikan perpustakaan. Awalnya memang berat, karena di daerah itu banyak premannya. Tapi lama kelamaan masyarakatnya bisa baik. Muncullah banyak komunitas yang ditata rapi di kampung itu.
Ya, sebenarnya bangsa Indonesia punya cukup banyak modal sosial. Dengan modal itu peradaban Indonesia bisa terbangun.
Di akhir abrolan kami, Mas Imam bilang, "Kerja semacam ini memang tidak banyak mendapat imbalan materi. Tapi, ada kebahagiaan tersendiri jika melihat kerja kita bermanfaat bagi orang lain. Dan kebahagiaan seperti ini tidak bisa dihargai dengan sejumlah materi."
13 komentar: