Aku duduk, termenung, mempertanyakan benarkah Dia selalu mencipta tanpa kesia-siaan? Benarkah semua terlahir karena suatu tugas tertentu? Punya maksud dan punya cita-cita? Kalau memang benar, lalu apa tugasku? untuk apa aku terlahir? Dan masihkah aku bisa bercita-cita? Sedangkan aku hanyalah seekor burung dengan sayap yang patah sebelah. Hidup sendiri tanpa teman. Burung gagak sepertiku yang bersayap lengkap pun hanya pembawa berita buruk, terbang berkeliling menyiarkan kematian.
Untuk sebuah cinta? Ah itu hanya bualan penyair yang mabuk kepayang. Aku menjadi seperti ini karena aku percaya bualannya. Katanya, cinta itu membawa hidup lebih bermakna. Saking percayanya aku bertaruh nyawa, berbaku hantam dengan si elang yang kurang ajar menggoda dan merayunya. Oh kekasihku dimanakah sekarang kamu berada?.
Menyesal juga rasanya, mengapa kugunakan sayap sebelah ini untuk menangkis serangannya. Lebih baik kuserahkan saja kepalaku pada cakarnya. Atau kuberikan leher ini biar dipatuknya sampai putus. Ah, seandainya kemarin aku mati.
Dulu, bila aku boleh memilih, ingin rasanya menjadi manusia. Meski ada kemungkinan menjadi mahklukNya yang paling hina, tetapi, bagaimanapun mereka masih punya harapan menjadi mahkluk yang paling tinggi dan bahagia di surga nanti. Mahkluk sepertiku ini tidak ada tempat di akhirat. Satu-satunya surga untukku hanyalah kesenangan di dunia ini. Ah, bodohnya mereka yang tidak berharap, yang tertipu dan terseret kesenangan semu.
"Dasar mahkluk yang selalu mengeluh."
Busyet, siapa yang bersuara itu. Sekelilingku hanya sepi. Tidak mungkin ada yang lain, selain diriku.
"Hei, turunlah dari punggungku."
Seketika aku melompat dari batu tempat dudukku. Benarkah batu ini yang berbicara? Perlahan aku mendekat kembali.
"Ya benar, ini aku."
"Bukankah engkau batu, mengapa bisa bicara?"
"Bener-benar mahkluk yang tak berguna, sudah pandai mengeluh, dungu lagi. Itulah akibatnya kalau kau selalu memikirkan kepentinganmu sendiri dan abai pada lingkungan sekitarmu."
"Maksudmu"
"Cobalah perhatikan semua yang ada di sekelilingmu, pohon-pohon, rumput, air, awan, gunung, bukit, semuanya bisa bicara. Terkadang mereka malah berteriak-teriak mengingatkan siapa saja yang ceroboh. Hanya saja banyak yang tidak mendengar. Yang tidak menggunakan hatinya untuk mendengar. Sebenarnya isyarat-isyarat dari mereka sangat jelas, jika orang-orang itu tidak hanya menggunakan mata yang dikepala, tetapi juga mata yang di dalam dadanya. Coba berputarlah, lihatlah mereka!"
Aku kembali memandang sekelilingku, menggunakan semua indra sesuai sarannya. Aku sangat terkejut. Semuanya menatap kearahku. Pohon-pohon melambaikan daunnya memberi salam. Angin bergerak memeluk tubuhku. Bahkan gunung dan bukit pun seolah berbicara dengan lekuk-lekuk kontur dan tonjolan bebatuan yang membentuknya.
Sejak saat itu, semuanya menjadi temanku, sahabatku. Setiap kali aku berjalan, menyusuri setapak masuk ke hutan, selalu saja bertemu mereka. Bebatuan, pohon, air, angin, gunung dan bukit menyambutku. Kadang bercanda dan tertawa, tetapi yang lebih sering mereka mencurahkan suara hatinya. Mereka sedih, mengapa mereka diperlakukan semena-mena tanpa sedikitpun berfikir bahwa mereka pun sebenarnya juga mahkluk ciptaanNya yang butuh perlindungan dan kasih sayang.
Sejak saat itu pula hidupku berubah, dari kesia-siaan menjadi penuh makna. Aku sudah melupakan bahwa aku ini seekor burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Kini, hidup bagiku adalah sebuah pertemanan, saling membutuhkan dan kasih sayang. Inilah surgaku.
"Bukan!" kata batu tempatku berbaring.
"Mengapa bukan?"
"Percayalah padaku, ini bukan surgamu. Berjalanlah sana ke punggung bukit. Naiklah sampai keatasnya, di tepi jurangnya. Kamu akan menemukan dimana sebenarnya surgamu."
Aku menuruti sarannya. Aku melihat kearah bukit, ia memanggil-manggilku. Perlahan, dengan kebingunguan yang sangat aku melangkah setapak demi setapak naik sampai jurang yang ditunjuk batu itu.
"Terjunlah" kata bukit yang berjurang.
"Terjun, bagaimana aku bisa terjun. Aku sudah tidak bisa terbang lagi."
"Percayalah."
"Tapi."
"Yakinlah."
Ya, benar, yakin. Aku menjadi tahu bahwa yakin itu berbeda dengan percaya. Percaya itu dengan kepala, sedangkan yakin dengan hati. Mukjizat seorang nabi yang tidak masuk dikepala bisa tidak dipercayai, tetapi kalau melihatnya dengan hati bisa menjadi keyakinan, apa sih yang tidak bisa bagi Sang Pembuat Kejadian. Dengan keyakinan itulah aku melakukannya.
Aku melayang dari ketinggian sambil memejamkan mata. Buat apa melihat ke bawah sana, tempat yang akan membuatku remuk. Tidak hanya itu, aku menutup telinga dan memutus syaraf perasa, sehingga seolah aku mati duluan sebelum terbentur tanah. Aku tersadar kembali ketika sesuatu menahan tubuhkan sehingga tidak remuk membentur tanah. Aku tersangkut jaring perangkap burung. Apakah ini pertanda baik?
Di bawah, orang ramai bersorak-sorak. Jaring diturunkan. Salah satu dari mereka menangkapku. Kemudian menciumku, mengelus-elus lalu mengangkatku keatas. Orang-orang bersorak semakin keras. Aku dibawa beramai-ramai, beriringan sambil menyanyikan lagu kemenangan, lagu kebanggaan prajurit yang kembali dari medan perang membawa kemenangan. Ternyata memang benar, mereka para prajurit kerajaan. Orang-orang menyambut iring-iringan dengan sorakan yang tak kalah ramai.
Sampailah kami di depan istana yang megah. Penjaga dengan segera membuka pintunya. Semua berhenti, hanya dua orang saja yang membawaku masuk dan bertemu seorang perempuan yang sangat cantik, bergaun putih yang melambai. Sepertinya ia seorang permaisuri. Lagu kemenangan masih ramai terdengar diluar. Permaisuri itu menerimaku dengan senyumnya yang manis. Lesung di kedua pipinya menambah keanggunan wajahnya. Dengan sedikit berlari ia membawaku masuk ke dalam sebuah kamar.
"Paduka, ini yang dicari sudah kita dapatkan, semoga paduka berbahagia."
Permaisuri kemudian mengelus-elusku, merapikan bulu-buluku, mendekapku di dadanya yang hangat. Terbayang apa yang akan terjadi. Aku menjadi burung peliharaan seorang raja. Menjadi maskot kerajaan yang dipuja dan dihormati. Dilayani bak seorang pangeran calon penerus tahta. Mungkin inilah yang disebut-sebut teman-teman di hutan sebagai surgaku yang sebenarnya. Aku berucap syukur, "Tuhan, terima kasih. Kau tempatkan aku di tempat yang semulia ini."
Pesta diadakan. Tujuh hari tujuh malam. Di malam yang terakhir aku didandani. Kain sutera putih dibelitkan melingkar di leher menjuntai sampai ke ekorku. Kembali, aku dibawa ke kamar. Kali ini kelambu penutup tempat tidur dibuka. Tampaklah seseorang berbaring lemah diatas ranjang. Wajahnya pucat, matanya terpejam, tubuhnya lemas seperti kain basah terbujur. Tapi masih terlihat bekas-bekas kekekarannya. Meski pucat, ia tampak sangat tampan dan berwibawa. Ialah sang raja.
Saat tengah malam, keramaian pesta berhenti. Orang-orang yang berkumpul dialun-alun duduk bersimpuh mengelilingi panggung di tengah-tengahnya. Suasana hening dan hikmat. Permaisuri menyerahkanku pada seorang tua berkumis dan berjambang putih panjang, serasi dengan jubah dan ikat kepalanya. Dibawanya aku naik keatas panggung, lalu aku dibaringkan diatas sebuah papan kayu. Tidak lama kemudian, tangan kanannya diangkat keatas. Salah satu punggawa kerajaan berlari mendekat. Astaga, ia menyerahkan pisau. Seketika tubuhku gemetar, jantungku berdetak keras. Bayangan kesenangan berubah menjadi ketakutan. Orang tua itu berkomat-kamit, kemudian mengayunkan pisau ke arahku. Tamatlah riwayatku.
Di suatu pagi yang cerah, aku duduk diatas singgasana, dihadapan para punggawa. Aku memang sudah mati, tetapi jiwaku masih hidup, menyatu dengan jiwa sang raja. Ternyata saat itu raja sedang sakit parah. Seorang bijak mengatakan, raja akan sembuh jika memakan daging burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Semua orang bingung, bagaimana mendapatkan obat bagi rajanya. Burung yang patah sayapnya tidak mungkin bisa terbang sangat sulit mencarinya kalau tidak menemukan sarangnya. Dimanakah sarang burung gagak?
Raja itu seorang yang bijaksana, sangat dipuja rakyatnya karena bisa mengusahakan kemakmuran bagi mereka. Semua petuahnya mendatangkan manfaat, termasuk petuah yang menganjurkan untuk baik-baik pada lingkungan. Pada alam yang menjadi gantungan hidup bagi semua. Tak heran jika seluruh wilayah kerajaan adalah tempat yang asri, indah dan nyaman. Peraturan dibuat agar semua rakyat tidak semena-mena memanfaatkan pohon, air dan batuan. Bahkan bercocok tanam pun diatur agar tidak membuat kerusakan lingkungan.
Tentu, semua rakyat bersedih karena sakitnya. Berbulan-bulan mereka mencari gagak yang patah sayapnya. Sampai pada puncak keputusasaan, mereka menaruh begitu saja jaring di bawah tebing bukit, tanpa berharap mendapatkan burung yang dimaksud. Beberapa kali ada burung yang tersangkut, tapi jelas bukan burung yang patah sayapnya karena jaring itu perangkap bagi burung yang bisa terbang. Sampai mukjizat itu terjadi, aku tersangkut jaring. Pantas saja mereka bersorak girang saat melihat sayapku.
Kini, aku mendapat teman yang baru. Jiwa raja yang bijak, jiwa yang hidup karena hatinya yang selalu mendengar dan melihat. Ketika bersamanya aku berkeliling menyusuri seluruh wilayah kerajaan, kami sampai di hutan, tempat teman-temanku dulu berada. Kami duduk diatas batu, kemudian batu itu berbicara, "berbahagialah kalian, karena pertemanan sejati adalah penyatuan jiwa."
Pada tengah malam yang sunyi, Sukabumi 2008
4 komentar: