Pages

Selasa, 16 September 2008

Apa yang bisa kita buat?

Selasa, 16 September 2008
Sumbangan kecil ini hanya akan berarti jika anda menanam dan merawatnya
(tag pada souvenir itu)

Sudah kali kedua, aku menerima souvenir berupa tanaman hidup. Yang pertama saat temenku menikah, dan kali ini aku terima saat acara Eagle Award, Gala Premiere.

Ada temen media yang heran, "Ini tamanam sungguhan," katanya. Wajar saja, saat pertama kali menerima souvenir semacam ini, aku juga surprise banget. Secara tujuan, souvenir ini sangat mengena. Souvenir kan tujuannya agar selalu dikenang. Kalau benda mati, mungkin setelah diterima langsung ditaruh, lalau dibiarkan. Yang ini, harus ditanam dan dirawat. Masih ada interaksi secara rutin. Pas kebetulan yang ngasih berkunjung, bisa dilihat sama-sama bagaimana perkembangannya.

Oh ya. Kedua souvenir hidup yang aku terima sama adalah bibit Adenium. Dilihat dari bentuk dan daunnya, kayaknya satu jenis (kayaknya? soalnya nggak ngerti dunia tanaman).

Tas, wadah souvenir itu juga punya semangat yang sama, USE ecofriendly bags. Kalau tas semacam ini, banyak disebar, akan menghemat tas plastik, atau, bahkan bisa menghapus tas pencemar lingkungan itu, dari peradaran (ah teori, hehehe...).

Aku terharu melihat lima film dokumenter yang menjadi finalis kompetisi itu. Semuanya bercerita tentang inisiatif seseorang untuk melestarikan lingkungan. Dan semuanya berawal dari bencana yang mereka alami. Prahara Tsunami Bertabur Bakau, cerita Baba Akong yang gigih menanam bakau setelah daerah tempat tinggalnya terkubur akibat tsunami.

Buah Yang Menunggu Mati, cerita jerih payah petani apel di Batu yang tidak ingin apelnya punah. Ya, punah karena tanahnya banyak kehilangan unsur hara akibat penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Rusaknya tanah itu menyebabkan produksi apel Batu terus-menerus turun. Yang mengejutkan, ada pengakuan petani apel, "Apel sekarang sudah tidak layak dikonsumsi lagi, sudah terlalu banyak bahan kimia yang terkandung didalamnya. Habis gimana, kalau nggak gitu tidak bisa panen." Ini yang menyebabkan Chamim resah. Bersama kelompoknya, ia membuat gerakan rehabilitasi tanah.

Pulau Bangka Menangis, film ini bercerita tentang rusaknya Pulau Bangka akibat penambangan timah. Ada salah seorang warganya yang prihatin. Lalu ia menanam sengon sebanyak-banyaknya. Selain untuk mempersempit lahan tambang, ia berharap dapat menghijaukan Pulau Bangka.

Tanah Terakhir, kalau yang ini bercerita kearifan suku Dayak untuk melestarikan hutan. Tetapi sayang, hutan yang mereka lestarikan adalah hutan yang terakhir. Yang lainnya sudah habis ditebang dan kayunya dijual murah kepada penadah.

Hampir sama dengan Tanah Terakhir, Menjual Mimpi Di Sambak, bercerita pelestarian hutan di desa Sambak, Magelang. Penduduk desa giat menanam kembali hutan yang sudah rusak. Mereka sudah merasakan bagaimana hidup tanpa hutan. Air sulit, kalau tidak itu ya kebanyakan air, banjir.

Saya angkat topi pada mereka semua. Di pinggiran Jakarta juga ada Kampung 99, yang hijau dan sejuk. Di Surabaya ada ibu-ibu PKK yang mengelola sendiri sampah rumah tangga di lingkunganya. Nah, apa yang bisa kita buat?

6 komentar:

12duadua © 2014