Pages

Kamis, 13 Oktober 2005

Dokter Muda dan Orang Gila

Kamis, 13 Oktober 2005



MALAM sudah berjalan lebih setengahnya ketika ia
terbangun dari tidurnya. Tidak ada suara apapun malam itu kecuali detak jam
dinding yang tergantung tepat diatas tempat tidurnya. Hujan deras baru saja
reda, udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Lampu kamar yang sengaja dibuat
redup menambah suasana senyap di kamar itu. "Baru jam tiga" katanya dalam hati.




Biasanya
tidurnya pulas
sekali, jam enam pagi baru bisa bangun. Seharian penuh waktunya
dihabiskan di
rumah sakit, mulai jam tujuh pagi sudah berangkat dan jam enam sore
baru
nyampai di kontrakannya kembali, itupun kalau tidak ada tugas tambahan.
Selain untuk memulihkan kondisi badan, tidur merupakan ajang balas
dengan baginya.


Dua minggu yang lalu, Ia
dilantik menjadi Dokter Muda. Empat tahun sudah dia berjuang mendapatkan gelar itu. Sekarang, ia harus menjalani kuliah
profesi di sebuah Rumah Sakit Umum. Setiap hari Ia harus berkunjung dari kamar yang satu ke kamar yang lain
membantu dokter yang lebih senior merawat pasiennya atau menjadi asisten
mengajar untuk mahasiswa kedorteran.





Malam ini Ia terbangun karena
mimpi yang membuatnya resah. Beberapa kali Ia berusaha memejamkan mata kembali,
tetapi setiap kali matanya terpejam bayang-bayang mimpi itu selalu muncul.
Segelas
air putih hangat sudah tidak bisa membantu menenangkan pikirannya. Dalam mimpi
itu ia bertemu orang gila yang setiap hari dilihatya di depan pasar dekat rumah
sakit.




Memang, semenjak berada di
rumah sakit itu, sering sekali ia bermimpi yang aneh-aneh. Pernah suatu malam
ia bermimpi didatangi pasien yang siang tadi meninggal dunia.
Tidak ada
cerita yang bisa ia ingat dalam mimpi itu. Pasien tadi hanya malambai-lambaikan
tangannya dan pergi, menghilang begitu saja. Tidak
jelas apa yang diucapkannya tetapi gerakan tangan dan raut mukanya
menandakan
ia ingin mengucapkan selamat tinggal padanya. Mimpi-mimpi itu
dianggapnya sebagai bunga tidur saja, tidak lebih. Yang
melebih-lebihkan biasanya
teman-temannya di rumah sakit setelah mendengar cerita tentang
mimpi-mimpinya itu.




Tetapi mimpi kali ini lain. Tidak ada hubungannya dengan rumah
sakit atau aktifitasnya merawat pasien, dan justru karena itulah membuatnya
resah. Orang gila yang setiap hari dijumpainya muncul dalam mimpinya malam ini.
Sama, orang gila itu hanya melambai-lambaikan tangan, tersenyum dan
kemudian menghilang.




PAGI
ini Ia segera
mandi dan segera bersiap-siap untuk berangkat. Sebelum ke rumah sakit,
sengaja Ia mampir ke pasar terlebih dahulu. Mencari tau apa yang
terjadi dengan orang gila dalam mimpinya itu. Ia sempat ragu-ragu,
untuk apa Ia mengetahuinya, lebih baik dilupakan saja. Tetapi semakin
kuat keinginan melupakannya semakin resah pikirannya. Lambaian
tangannya, senyumnya,
nyata sekali.




Di
depan pasar ia celingukan,
menyebar pandangan ke segala arah, mencari orang gila dalam mimpinya.
Ia berdiri didekat patok kilometer jalan. Yang dicarinya tidak
ditemukan. Kemudian ia melihat orang penjual mainan anak agak
jauh dari tempatnya berdiri, ia berjalan mendekatinya dan bertanya
padanya.




“Maaf Pak, Bapak tau dimana orang gila yang
biasanya duduk disana ?“ tanya dokter muda itu sambil menunjuk ke arah patok
itu.




Penjual mainan memandang ke
arah yang ditunjukkan dokter muda “Kurang tau ya dik, sudah beberapa hari
ini saya tidak melihatnya.“




“Bapak tau siapa orang itu“




“Waduh
dik, saya juga tidak tau." Penjual mainan mengingat-ingat sesuatu,
kemudian "Coba  tanyakan ke Pak Kus Dik, mungkin Pak Kus tau,
Setiap hari Ia minta makan di sana Dik"




“Baik Pak terima kasih”




Setalah itu, dokter muda berjalan ke warung yang
ditunjukkan penjual mainan, tentunya sambil melihat-lihat sekitar, siapa tau
orang yang dicarinya terlihat.




Sesampainya di pojok pasar, dokter muda
melihat dua buah warung yang berjajar dan saling berhimpitan, keduanya tanpa
papan nama hanya cat tembok depannya yang berbeda, satu berwarna putih dan
satunya hijau. Yang berwarna hijau ramai pengunjungnya sedangkan yang putih
biasa saja. “Mungkin yang hijau itu warung Pak Kus“ kata dokter muda dalam hati.




Dokter muda bertanya pada
orang yang baru saja keluar dari warung yang hijau itu, memastikan bahwa ia
tidak salah tebak “Maaf Pak mau tanya, apakah benar itu warung Pak Kus ?“
dokter muda menunjuk warung yang bercat hijau.




“Benar dik, itu warung Pak
Kus?“




“Terima kasih Pak“




Warung Pak Kus tidak terlalu
besar. Jika dibandingkan dengan warung-warung yang ada di pasar ini, warung Pak
Kus tidak terlalu bagus, di dalam ruang makannya hanya ada satu meja panjang
yang di kanan kirinya terdapat dingklik
(kursi dari kayu) sepanjang meja. Diatas meja tersedia pisang, tempe dan tahu
goreng yang diletakkan dalam piring berjajar dari ujung meja yang satu ke ujung
yang lain. Lantainya tidak dari keramik atau pleste’r hanya berupa
batu-bata merah yang ditata. Antara dapur dan ruang makan hanya dibatasi
anyaman bambu sehingga sering kali asap dapur masuk ke ruang makan. Orang-orang
di warung ini lahap sekali makannya. Dokter muda kemudian masuk, ia langsung
menuju ke arah dapur dan menemui seseorang yang kebetulan berada di dekat pintu
dapur. “Maaf pak saya mau mencari Pak Kus“




“Iya dik saya sendiri, ada
perlu apa“ jawab orang itu.




Dokter muda menjelaskan maksud
kedatangannya kepada Pak Kus. Kemudian Pak Kus berkata dengan suara yang pelan
yang hanya terdengar oleh dokter muda itu “Kita ngomong di dapur aja dik, lebih
santai“ Pak Kus mengajak dokter muda masuk ke dapurnya. Di dapur ada lincak,
tempat duduk yang terbuat dari bambu. Mereka duduk berdua disitu.




“Mo, buatkan teh untuk adik
ini“ Pak Kus menyuruh pembantunya membuatkan teh.




“Terima kasih Pak, jangan
repot-repot, saya cuma sebentar saja“ dokter muda basa-basi.




“Tidak mengapa dik, tinggal
tuang aja kok. Adik saudaranya bapak itu ya ?“




“Bukan pak, saya bukan
saudaranya, kenal pun tidak, saya hanya ingin tau saja, waktu saya lewat tadi
kok ia tidak ada di sana, di tempat biasanya ia duduk. Kata penjual mainan di
depan pasar tadi, sudah beberapa hari ini ia tidak kelihatan, ia tidak tau
kemana perginya, tapi ia bilang juga, orang gila itu sering minta makan disini,
mungkin Pak Kus tau, siapa orang gila itu“




“Saya sendiri juga heran dik,
sudah tiga hari ini saya tidak melihatnya kemari, biasanya jam segini ia sudah
berjongkok di depan pintu sana. Jam-jam segini biasanya ia minta makan“ Pak Kus
diam sebentar, matanya menerawang seperti mengingat-ingat sesuatu “Kasihan dik,
ia tidak punya siapa-siapa lagi, setiap hari saya yang ngasih makan, ia butuh
makan juga to. Meskipun gila, toh ia juga manusia yang butuh makan, lagian ia tidak
pernah membuat keributan disini. Mungkin sudah digariskan-Nya bahwa sayalah
yang harus memberinya makan ?“




Pak Kus berhenti bicara, Marmo
menyuguhkan dua gelas teh, satu untuk dokter muda dan satunya lagi untuk Pak
Kus. “Mari diminum“ kata Marmo mempersilahkan, lalu pergi melanjutkan
pekerjaannya.




Setelah Marmo pergi, Pak Kus
melanjutkan ceritanya “Dulunya ia punya istri dan anak. Tetapi sekarang anak
dan istrinya sudah tidak ada lagi. Istri dan anak satu-satunya yang masih
berumur satu tahun meninggal dunia karena luka bakar yang amat serius ketika
api membakar rumahnya. Ia sendiri selamat karena saat kebakaran terjadi ia
sedang bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut, mengangkut barang-barang dari
kapal yang sedang membongkar muatannya. Suatu waktu ia pernah bercerita
kepadaku, ia dan istrinya diusir dari keluarga karena perkawinan mereka tidak
direstui, baik oleh keluarganya maupun keluarga istrinya, tetapi ia dan
istrinya nekat, keluarga mereka marah dan tidak menganggap mereka anak lagi“




“Apa penyebab kebakaran itu
Pak ?“




“Tidak jelas penyebab
kebakaran itu. Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu, waktu pagi-pagi
sekali sebelum adzan subuh terdengar. Tetangga-tetangganya sedang tertidur
pulas.
Saat semua orang mengetahui ada kebakaran, rumahnya sudah hampir
ludes dilahap api. Orang-orang bilang istrinya sengaja membakar diri bersama
anaknya karena kondisi ekonomi rumah tangganya yang serba kekurangan. Uang
hasil kerja hariannya sebagai kuli tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya
setiap hari, apalagi saat itu mereka perlu uang yang cukup banyak untuk
mengoperasi anaknya. Buah zakar anaknya terus membesar setiap hari. Karena
penyakit itu, anaknya selalu merintih kesakitan jika mau buang air. Pernah,
sekali anaknya itu dibawa ke dokter, dan dokter bilang buah zakar anaknya harus
dioperasi. Setelah itu anaknya tidak pernah dibawa berobat kemana-mana lagi.
Mungkin karena keadaan yang seperti itu istrinya tidak tahan, lalu mengakhiri
semua penderitaannya bersama anaknya”.




“Setelah kejadian itu ia
langsung hilang ingatan Pak“




“Tidak dik, setelah kebakaran
itu, ia masih sempat makan di warung ini, masih bisa pesan ini-pesan itu, dan
masih bisa diajak bicara meskipun hanya menjawab sepotong-sepotong. Kebakaran
itu membuat tetangga-tetangganya sering menggunjingkannya. Ia mendengar
gunjingan-gunjingan itu hampir setiap hari. Perasaan bersalah tidak bisa
membahagiakan istri dan anaknya membuat gunjingan itu dianggapnya sebagai
tuduhan kepada dirinya. Tuduhan bahwa ialah penyebab kematian istri dan
anaknya. Kemudian ia sering menyendiri. Terkadang ia duduk di rumahnya, tetapi
lebih sering ia duduk di depan pasar di dekat patok itu. Disitulah, katanya
padaku, tempat menunggu istrinya setelah mereka diusir keluarganya. Sesekali
terlihat air mata keluar dari sudut matanya“




Marmo datang lagi “Pak, pinjam
kunci lacinya, Pak Gito perlu uang kembalian“




Pak Kus merogoh saku baju,
kemudian berdiri merogoh saku celana sebelah kanan, saku kiri dan saku
belakangnya, tidak ditemukan kunci yang dimaksud. Pak Kus diam sejenak lalu “oo
iya, itu diatas rak Mo, coba kamu cari“, Marmo menuju rak di ruang makan, lalu
Pak Kus menyeru “ada Mo ?“




“Ada Pak“ jawab Marmo dari
ruang makan.




Pak Kus duduk kembali “Diminum
tehnya dik, nanti keburu dingin, tidak nikmat kalo tidak diminum hangat-hangat“
Kami berdua minum teh, kemudian Pak Kus berkata lagi “sampai dimana tadi dik“




“Sampai patok di depan pasar
Pak“ jawabku




“Ya disitulah dik, sepanjang
hari ia berada, duduk dan diam. Sapaan tetangga-tetangganya sudah tidak
digubrisnya lagi. Sepertinya ia sudah berada di dunia yang lain dari kita.
Sekarang seperti itulah keadaannya, badannya sudah tidak terurus lagi, semakin
hari-semakin kurus saja. Pakaian yang dipakainya itu, pakaian waktu ia
mengantar jenazah istri dan anaknya ke pemakaman, disuruh ganti tidak mau,
dikasih pakaian dibuang. Orang-orang sudah menganggapnya gila“




Mereka berdua diam. Sosok
orang gila itu terbayang oleh dokter muda, badannya kurus, rambutnya yang
panjang dan gimbal, jambang dan
kumisnya tumbuh lebat dan sudah berwarna kemerahan, pakaian yang sudah
kehitam-hitaman. dan sobek di beberapa bagian.




“Sungguh saya takjub kepada
kepedulian Pak Kus, tidak mengusir orang gila itu malah memberinya makan tiap
hari, bukan sanak saudara lagi“




“Ya itu tadi dik, sudah
digariskan oleh yang memberi kita hidup bahwa saya yang harus memberinya makan,
dan saya percaya itu ?“




“Baik Pak, terima kasih atas
semua ceritanya. Hari sudah siang, saya harus pamit Pak, ada mahasiswa yang
menunggu saya di rumah sakit“




“Oalah, adik ini dokter to,
makanya pakek seragam putih“




Dokter muda itu tersenyum
“Masih dokter muda kok pak, baru lulus“




“O ya, kalo adik bertemu orang
itu, tolong saya diberi tau, biar Marmo nanti yang membawanya kemari“




“Baik Pak“




SETELAH sampai di rumah sakit, dokter muda langsung menuju ruang praktek
tempat calon sarjana kedokteran melakukan paraktikum pembedahan mayat. Hari ini
dokter seniornya berhalangan hadir, sedang mengantar anaknya ke bandara.
Anaknya, yang juga seorang dokter itu akan pergi ke luar negeri menlanjutkan
kuliahnya untuk menjadi spesialis. Ia yang ditugasi menggantikannya, memandu
mahasiswa membedah mayat.




Di ruang pembedahan mayat, mahasiswa sudah menunggunya, mereka sudah
berkumpul mengelilingi mayat yang tergeletak diatas meja bedah. Mengetahui
dokter muda itu masuk, mahasiswa berhenti bercanda dan memberi tempat untuk
asistennya itu, di salah satu sisi meja bedah.




“Baik, semuanya perhatikan” dokter muda memulai “hari ini kita lakukan
pembedahan, ingat, hati-hati jangan sampai mayat itu rusak, lakukan sesuai
prosedur yang sudah diajarkan Dokter Budi kepada kalian, jelas semuanya ?”




“Jelas Dok” jawab mahasiswa serempak.




“Sekarang kalian bisa memulai” kata dokter muda itu memberikan instruksi.




Ketika dokter muda mulai bergerak menjauh dari meja, ia melihat wajah
mayat itu, sepertinya pernah mengenalnya, tapi dimana ya. Dokter muda mulai
mengingat-ingatnya.




“Astaga, mayat itu”. Mimpinya tadi malam terbayang kembali, sesosok yang kurus, rambut yang panjang dan gimbal, jambang dan kumis yang lebat dan
sudah berwarna kemerahan, pakaian yang sudah kehitam-hitaman. dan sobek di
beberapa bagian
. Melambaikan tangannya, tersenyum padanya.




“Pak Kus, lihatlah Pak, orang gila itu ada di sini, aku menemukannya”
katanya dalam hati. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, badannya gemetar,
matanya terbuka lebar, bibirnya bergetar, tidak bisa berkata-kata, keringat
dingin tiba-tiba keluar membasahi seluruh badannya.




Sementara itu mahasiswa-mahasiswa tidak melihat perubahan yang terjadi
pada asistennya itu, dengan cekatan mereka malakukan pembedahan. Tangan, kaki,
perut, semuanya kecuali kepalanya.







3 komentar:

12duadua © 2014