
Suatu
ketika Sayidina Ali bin Abitholib k.w pernah berkata "Ada sekelompok
orang yang beribadah karena takut hukuman, itulah ibadahnya para budak,
kelompok yang lain adalah beribadah karena ingin mendapatkan pahala,
itulah ibadahnya para pedagang, dan ada pula kelompok orang yang
beribadah karena cinta kepada Allah, itulah kelompok orang yang bebas
dan terbebaskan" Beliau juga mengatakan "Tidak ada yang salah dengan
ketiganya dan semuanya dibenarkan, tetapi hendaknya kita termasuk
kepada kelompok orang yang ketiga, yang beribadah karena cinta, karena,
cinta adalah alasan terbaik bagi kita untuk beribadah"
Pada
sebuah diskusi kecil, dengan beberapa orang tua siswa SMA tentang
pendidikan anak, ditanyakan apa sebenarnya yang diharapkan orang tua
dengan menyekolahkan anaknya. Hasilnya sangat mengejutkan. Sebagian
besar orang tua menjawab, mereka menyekolahkan anaknya agar anak
mendapat bekal untuk hidup mandiri, artinya tidak tergantung kepada
orang tua lagi. Berdasarkan pengelompokan Sayidina Ali k.w diatas,
orang tua semacam ini dikelompokkan sebagai kelompok pedagang. Mereka
menyekolahkan anak mereka dengan harapan mendapat keuntungan darinya.
Investasi yang besar dengan menyekolahkan anaknya harus menguntungkan,
minimal impas. Salah satu keuntungan yang diharapkan orang tua adalah,
anak bisa hidup mandiri, tidak tergantung (ngrecoki, ngriwuki) orang
tua lagi. Orang tua bisa hidup tenang di sisa-sisa hidupnya tanpa
terganggu masalah anaknya lagi. Mereka menganggap pendidikan anak sudah
selesai dengan kemandirian anaknya.
Tidak masalah dengan harapan
orang tua diatas. Tidak ada salahnya orang tua berharap semacam itu.
Tetapi ada harapan, yang menurut saya, lebih baik dan lebih berarti
dibandingkan harapan sebagian besar orang tua diatas. Sayangnya harapan
ini hanya dipilih oleh sebagian kecil saja dari orang tua peserta
diskusi. Mereka berharap dengan menyekolahkan anaknya, apa yang
dimpikan dan dicita-citakan anak dapat terwujud. Meskipun pada akhirnya
kedua harapan tersebut berujung pada kepuasan orang tua menjadi orang
tua (siapa sih orang tua yang tidak puas dengan kesuksesan anaknya
mencapai impian dan cita-citanya), tetapi harapan untuk mewujudkan
impian dan cita-cita anak berpusat pada kemauan dan keinginan anak
untuk menjadi apa dia nanti, bukan berpusat pada keinginan orang tua
untuk hidup tenang karena tidak direcoki dan "diriwuki" anaknya di
kemudian hari. Harapan inilah yang bersumber dari cinta orang tua
kepada anaknya, dan orang tua semacam ini termasuk kelompok orang yang
beribadah karena cinta, bukan karena ingin mendapat pahala.
Saya
penasaran dengan hasil diskusi diatas. Mengapa yang dominan adalah
kelompok "pedagang" bukan kelompok "pecinta" ? Lalu saya melihat profil
peserta diskusi. Mulai dari pendidikan, sebagian besar dari meraka
mempunyai tingkat pendidikan Sarjana (S1) bahkan ada yang lebih tinggi
lagi, tidak ada masalah dengan pendidikan, pola pikir pedagang tidak
disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan. Lanjut ke status sosial
ekonomi, kelihatannya juga tidak ada masalah, hampir semua peserta
mempunyai status sosial yang tinggi, diatas rata-rata masyarakat pada
umumnya. Jika status sosial peserta rendah sudah wajar jika mempunyai
harapan mendapat keuntungan dari investasi pendidikan anaknya. Lanjut
lagi ke pekerjaan, ha..ha... terang aja hasilnya pola pikir pedagang
"la wong" peserta diskusi sebagian besar adalah pedagang dan ibu rumah
tangga (istri pedagang). Untung tidak ada orang tua yang masuk dalam
kelompok budak, yang mendidik anaknya karena takut dipenjara.
Akhirnya
saya berdo'a, semoga kita (para orang tua dan calon orang tua) termasuk
kelompok orang yang mempunyai derajat tertinggi, yang melakukan
semuanya karena cinta, karena, cinta adalah alasan yang terbaik untuk
melakukan segala sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar