
Hampir bisa dipastikan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan
biaya transportasi, apalagi kenaikan yang ditetapkan pemerintah
sekarang cukup tinggi. Setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga
BBM pada 1 Oktober lalu para pengusaha angkutan kota di Malang langsung
menaikan tarif angkot 2.000 rupiah untuk penumpang umum dan 1.500 untuk
pelajar. Tarif tersebut diberlakukan setelah para pengusaha angkot
melakukan rembukan bersama mengingat surat keputusan dari walikota
belum keluar.
Tetapi tidak semua sopir angkot melaksanakan keputusan tersebut
dengan kaku. Diantara mereka ada sopir angkot yang merasa tidak tega
menerapkan tarif tersebut kepada penumpang yang memang tidak mampu.
Sebut saja Pak Tono, karena
memang saya tidak tahu namanya. Dia adalah sopir angkot yang kebetulan
saya tumpangi, saya naik dari Jalan Sukarno Hatta sampai terminal
Arjosari. Di depan pasar Blimbing ada seorang ibu yang memberhentikan
angkot,
ibu itu tampak ragu-ragu menaiki angkot, dia melihat-lihat kembali isi
dompetnya. Tak lama
kemudian ibu itu berkata kepada sopir angkot dalam bahasa Jawa "Pak arto kulo kantun sewu patangatus, sampun telas kangge blonjo, angsal mboten", Pak uang saya tinggal seribu empat ratus, sudah habis buat belanja, boleh naik atau tidak.
Sungguh tidak saya duga sopir tersebut menjawab "Nggih monggo angsal mawon", ya boleh saja.
Sambil membawa barang belanjaannya Ibu tadi langsung naik dan memberi
Pak Tono uang recehan seribu empat ratus. Pak Tono menerimanya dengan
tersenyum.
Tadi pagi saya membaca koran tentang penjual minyak tanah keliling.
Karena kenaikan harga minyak tanah yang tinggi sekali, setiap hari
mereka mendapat keluhan dari masyarakat yang menjadi pelanggannya.
Tetapi mereka tidak bisa berkata apa-apa selain menjelaskan bahwa
memang harga dari pemerintah sudah naik.
Namun, terkadang mereka menjual minyak tanah lebih rendah dari harga
eceran kepada pelanggan yang dirasa kurang mampu. Biasanya satu liter
minyak tanah dijual dengan harga 3.000 rupiah, tetapi kepada pelanggan
yang kurang mampu harga 2.600 mereka kasihkan. "Tidak sampai hati
mendengar keluhan mereka" katanya.
Dalam hati saya bersyukur, masih ada orang-orang yang mau menolong sesamanya
meskipun dia sendiri mengalami kesusahan, masih ada orang-orang yang mau
merasakan penderitaan orang lain disaat dia sendiri menderita. Saya
percaya sikap semacam inilah yang diperlukan bangsa kita agar bisa
keluar dari kesusahan.
Saya teringat dengan kisah seorang Gandhi dengan kebijakan Swadesi-nya
ketika memimpin India dulu. Rakyat India semuanya menderita, semua
mengalami kesusahan. Tetapi tidak hanya rakyat saja yang merasakannya,
Gandhi sendiri memberi contoh dengan gaya hidup yang sederhana,
pakaiannya hanya kain putih yang diserempangkan ke tubuhnya, tidak
jarang pula dia naik kereta kelas III yang biasanya ditumpangi pedagang
dan kaum miskin.
Bisakah para petinggi negeri ini merasakan bagaimana susahnya rakyat
kecil karena naiknya tarif angkutan dan naiknya harga minyak tanah yang
hampir dua kali lipat, sementara mereka mempunyai kendaraan dinas
sendiri yang dibiayai negara dan tidak satupun dari mereka yang
mengkonsumsi minyak tanah di rumahnya ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar