Pages

Kamis, 06 Oktober 2005

Dua Sisi Mata Uang Ramadhan

Kamis, 06 Oktober 2005


Sebentar lagi kita akan bertemu bulan suci Ramadhan. Suasana akan
datangnya bulan suci itu sudah terasa saat ini. Pengurus masjid sudah
mulai sibuk menata tempat ibadah yang akan digunakan untuk sholat
tarawih, tembok masjid yang sudah kelihatan kusam dicat dan lantai
dipoles sedemikian rupa agar mengkilat dan bersih. Di media-media
termasuk mailing list, tulisan-tulisan menyambut Ramadhan sudah
tersebar, "Marhaban Ya Ramadhon" begitu judul tulisan itu. Televisi
juga tidak mau ketinggalan, sinetron-sinetron bertemakan Ramadhan sudah
mulai ditayangkan termasuk iklan-iklan acara selama Ramadhan.



Selama
bulan Ramadhan, banyak sekali aktifitas ibadah yang dilakukan oleh umat
Islam. Mulai makan sahur dinihari, sholat shubuh yang biasanya sendiri,
diusahakan berjamaah selama Ramadhan, sepanjang siang harus menahan
makan dan minum sekaligus menahan segala perbuatan yang merusak amalan
pusa. Waktu matahari terbenam, semua yang berpuasa akan berbuka dan
setelah itu bersiap-siap untuk sholat tarawih. Di malam hari disunahkan
untuk tadarus Al-Quran, bahkan ada yang melakukan tadarus sampai
menjelang waktu sahur tiba. Begitulah selama bulan Ramadhan tidak ada
waktu tampa diisi dengan ibadah.



Begitu suci dan besarnya
bulan Ramadhan bagi umat Islam sehingga pemerintah perlu membuat
undang-undang yang mewajibkan tempat-tempat hiburan tutup sebulan penuh
selama bulan Ramadhan dengan alasan untuk menghormati umat Islam yang
sedang menjalankan ibadah. Berbagai elemen masyarakat, terutama
tokoh-tokoh agama dan organisasi islam, mendukung sepenuhnya
pelaksanaan undang-undang tersebut. bahkan untuk menegaskan dukungan
terhadap undang-undang tersebut beberapa dari mereka mendatangi wakil
rakyat untuk menuntut pelaksanaan undang-undang itu dengan tegas jika
tidak mereka akan melakukannya dengan cara mereka sendiri.



Di
satu sisi pemilik dan pelaku bisnis hiburan memprotes pelaksanaan
undang-undang tersebut. Hiburan adalah ladang nafkah bagi mereka,
penyambung hidup seluruh keluarganya. Jika mereka diwajibkan untuk
tidak melakukan aktifitas selama bulan Ramadhan otomatis mereka akan
kehilangan mata pencahariannya. Apalagi sebentar lagi akan lebaran,
tentu kebutuhan mereka akan meningkat bukan cuma karena harga-harga
kebutuhan pokok akan naik tetapi mereka juga harus membelikan kebutuhan
lebaran, baju baru, sepatu baru bagi anak mereka. Darimana mereka
mendapatkan uang untuk mencukupi semua kebutuhan itu jika tidak bekerja
?



Melihat keadaan yang berkembang saat ini, kedua masalah
tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang saling menegasikan, untuk
memenangkan satu sisi harus mengalahkan dan meniadakan sisi yang lain.
Jika satu sisi terletak diatas maka sisi yang lain harus berada di
bawah, tidak mungkin kedua sisi akan berada diatas semua. Penyelesaian
dengan paradigma mata uang ini tidak akan mencapai kesepakatan yang
saling memuaskan dan bukan penyelesaian yang baik. Umat Islam
memerlukan suasana yang tenang dalam menjalankan ibadah, sedangkan para
pekerja tersebut memerlukan matapencaharian. Maka ketenangan itu harus
ditebus dengan menutup semua tempat hiburan sehingga banyak yang
kehilangan mata pencaharian. Atau sebaliknya, untuk tetap bisa
menyambung hidup hiburan harus tetap dibuka bahkan perlu untuk ditambah
(diperluas), perduli amat masyarakat yang resah dan tidak tenang
menjalankan ibadah, itu urusan mereka.



Ada dua kemungkinan
mengapa mereka terjun dalam bisnis yang kita anggap "maksiat itu".
Pertama, karena ketidak tahuan mereka. Disinilah tugas tokoh agama dan
organisasi-organisasi keagamaan untuk memberikan pencerahan kepada
mereka, bukan hanya pelaku atau pemilik usaha hiburan saja tetapi
terutama kepada masyarakat sebagai konsumen. Jika kita pikir lebih
dalam lagi, munculnya tempat-tempat hiburan itu karena kegagalan kita
semua, tugas pencerahan tidak memperoleh hasil yang kita harapkan,
buktinya pekerja hiburan dan konsumennya adalah umat Islam sendiri.



Kedua,
karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain yang lebih baik.
Penyediaan lapangan kerja adalah tugas dan wewenang pemerintah.
Menyediakan lapangan kerja tidak hanya membangun pabrik atau
mengirimnya ke luar negeri menjadi TKI, tetapi diperlukan usaha yang
lebih mendasar daripada itu. Salah satu usaha itu adalah menyediakan
pendidikan "yang murah" bagi masyarakat sehingga mereka mempunyai
ketrampilan untuk bekerja atau bahkan menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri.



Jadi kedua sisi tersebut tidak harus dipertentangkan.
Para pekerja hiburan tidak seharusnya menganggap tokoh agama dan
organisasi keagamaan sebagai ancaman yang harus dilawan, begitu juga
sebaliknya, tokoh agama dan organisasi keagamaan tidak menganggap
mereka itu kotor, penuh dosa dan menjijikkan sehingga perlu dijauhi
bahkan dilawan. Dengan begitu saya yakin keduanya akan mendapatkan
penyelesaian yang saling menguntungkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

12duadua © 2014