Pages

Senin, 17 Oktober 2005

Orang Desa Dan Kota

Senin, 17 Oktober 2005


Masalah yang selalu dihadapi orang desa dari waktu-kewaktu adalah
masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Begitulah sehingga Badan Pusat
Statistik kita perlu untuk mengkelompokkan penduduk menjadi penduduk
desa (rural) dan penduduk kota (urban).
Mungkin pengelompokan itu dapat berubah menjadi orang yang
berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan. Tetapi tetap
bermuara pada desa dan kota. Orang yang berpendidikan banyak terdapat
di kota sedangkan di desa banyak orang yang tidak berpendidikan.



Karena keterbelakangannya itu orang desa yang tidak berpendidikan
sering menjadi obyek dari orang kota yang berpendidikan. Ada saja ulah orang
kota membohongi orang desa untuk mendapatkan keuntungan. Sebut saja
Paijo (bukan nama sebenarnya) tetangga pembantu saya di rumah. Paijo
adalah korban dari oknum kepolisian yang terlibat narkoba. Ceritanya,
suatu saat Paijo didatangi orang yang berseragam Polisi. Paijo ditawari
akan diberikan sejumlah uang yang menurut ukurannya banyak sekali.
Masih ditambah lagi, biaya hidup keluarganya akan ditanggung selama
menjalankan tugas yang ditawarkan Polisi tersebut.



Ternyata Polisi tadi menyuruh Paijo mengakui semua perbuatan yang
dilakukan Polisi di pengadilan dan otomatis Paijo akan menerima hukuman
beberapa tahun sebagai konsekuensinya. Tanpa pikir panjang Paijo
menerima tawaran Polisi tadi. Untuk beberapa tahun dia sudah tidak
kuatir akan nasib keluarganya, dirinya sendiripun dapat makan gratis di
penjara pikirnya.



Sungguh luar biasa praktek hukum di negeri kita ini. Uang mengalahkan
kebenaran dan keadilan. Praktek semacam ini terjadi dari tingkat yang
paling kecil sampai tingkat yang paling tinggi. Yang paling tinggi,
akhir-akhir ini bnyak diberitakan di media masa. Lembaga tertinggi
pengadilan
kita terkena kasus suap. Di lembaga peradilan tertinggi itu ternyata
keputusan benar atau salah dapat dibeli dengan sejumlah uang. Setiap
orang, yang seharusnya bersalah, dapat dengan mudah mendapatkan
keputusan bebas dari pengadilan tertinggi tersebut asal membayar
sejumlah uang yang ditentukan dari tawar-menawar sebelumnya



Sudah menjadi nasib orang desa yang tidak berpendidikan yang miskin
menjadi obyek. Kenyataan ini sangat mengenaskan ketika melihat mereka
ngantri untuk mendapatkan bantuan kompensasi kenaikan harga BBM dengan jumlah
yang menurut orang-orang kaya di kota hanya cukup untuk biaya potong
rambut di salon. Tetapi bagi mereka, orang-orang desa, miskin dan tidak
berpendidikan jumlah tersebut adalah biaya hidupnya dan keluarganya
satu bulan. Sehingga mereka harus berjuang untuk mendapatkannya bahkan
dengan nyawa kalo perlu.







Jumat, 14 Oktober 2005

Nahi Mungkar

Jumat, 14 Oktober 2005


Biasanya kita sering melakukan amal ma'ruf tetepi jarang menjalankan nahi mungkar. Kedua tindakan tersebut sebenarnya sama pentingnya bagi kelangsungan hidup kita bermasyarakat dan bernegara. Pentingnya nahi mungkar
ini sempat disampaikan Rosulullah dalam sebuah cerita. Rosulullah
bercerita, suatu saat ada sekelompok orang yang menaiki sebuah perahu.
Perahu tersebut terbagi menjadi dua tingkat, tingkat atas dan tingkat
bawah. Kedua tingkat penuh dengan penumpang sehingga sulit bagi
penumpang untuk bergerak atau berpindah tempat.



Setelah sekian lama perahu melaju, penumpang perahu di tingkat bawah
merasa kesulitan untuk pergi mengambil minum karena air minum hanya
dapat diambil dari tingkat atas. Karena kesulitan tersebut maka salah
satu penumpang di tingkat bawah menyampaikan usul bagaimana jika
dinding perahu di tingkat bawah ini dilubangi sehingga air laut dapat
masuk dan penumpang yang di tingkat bawah tidak perlu lagi naik ke atas untuk minum.



Mendengar usulan salah satu penumpang di tingkat bawah, semua penumpang
menolaknya. Mereka beralasan jika dinding perahu di tingkat bawah
dilubangi perahu akan kemasukan air laut dan lama-kelamaan akan
tenggelam. Jika perahu tenggelam maka matilah semua penumpang. Akhirnya
usulan tersebut tidak bisa dilaksanakan.



"Begitulah", kata Rosulullah "Jika tidak ada satupun penumpang yang
mencegah perbuatan itu maka semua penumpang akan terkena akibatnya,
begitupun kemaksiatan, jika tidak ada satu orangpun yang mampu mencegah
kemaksiatan, maka kita semua, tanpa terkecuali, akan mendapat adzab
dari Allah"



Berkaca pada cerita Rosulullah diatas, bagaimana jika perahu tersebut
adalah negara kita dan penumpangnya adalah warga negaranya termasuk
kita. Maka mencegah kemungkaran atau kemaksiatan adalah tanggung jawab
kita bersama, jika tidak ada satupun dari kita mampu mencegah
kemungkaran dan kemaksiatan maka mari kita tunggu kehancuran negara ini
karena azab Allah pasti akan turun.


Lalu bagaimana melakukan nahi mungkar ? Rasulullah bersabda : "Jika
kita melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu, jika tidak
mampu dengan tangan cegahlah dengan lisanmu, jika dengan lisanpun tidak
mampu maka cegahlah dengan hatimu. Mencegah dengan hati merupakan iman
yang selemah-lemahnya
"


Sekarang kita melihat kondisi negara kita saat ini. Kasus suap yang
terjadi di Mahkamah Agung (MA) sangat memprihatinkan bagi kita. MA
sebagai lembaga tertinggi dalam penegakan hukum di negeri ini terlibat
jual beli perkara. Keputusan bersalah atau bebas tidak lagi bersumber
dari kebenaran dan keadilan tetapi berdasarkan ada atau tidaknya uang bahkan sudah
berada pada taraf cukup atau tidaknya uang. Tidak tanggung-tanggung
pemicu terbongkarnya Mafia Peradilan di MA adalah uang senilai 16 milyar
rupiah. Ternyata uang sebesar itu masih belum cukup untuk menutup
sebuah kasus peradilan sehingga Probo merasa perlu untuk bersuara.



Kita mungkin juga masih ingat dengan kasus rekening misterius milik petinggi
Polri yang diduga hasil transaksi yang tidak benar. Kaus ini bak
tertelan ombak lautan, tidak ada kabarnya lagi. Kepentingan korp
kepolisian lebih penting dari kepentingan bangsa ini sehingga
penyelidikan dan pemutusan perkara ini ditangani sendiri oleh instrumen
di kepolisian. Jika bapak polisi kita sadar bahwa kasus ini bukan saja
sebatas kasus korp kepolisian tetapi menjadi kasus bangsa yang tentunya
masyarakat perlu mengetahui hasil penyelidikan dan keputusan yang
diambil.



Jaksa, polisi dan hakim sebagai tiga lembaga penegak hukum kita yang
mempunya kekuatan dan kekuasaan, seharusnya menjadi pelopor nahi mungkar, tetapi pada
kenyataannya malah melakukan kemungkaran dan kemaksiatan itu sendiri.
Lalu siapa lagi yang kita harapkan menjaga tegaknya hukum di negeri
ini, haruskah rakyat sendiri yang melakukannya, jika jawabannya ya,
siapa yang akan menjamin tidak akan muncul hukum rimba, siapa yang
kuat dialah yang berkuasa ? Siapa yang menjamin tidak terjadinya tindakan seperti yang
dilakukan FPI, merusak tempat-tempat hiburan malam di Jakarta karena
mereka menganggap pemerintah tidak mampu melakukannya ?



Kamis, 13 Oktober 2005

Dokter Muda dan Orang Gila

Kamis, 13 Oktober 2005



MALAM sudah berjalan lebih setengahnya ketika ia
terbangun dari tidurnya. Tidak ada suara apapun malam itu kecuali detak jam
dinding yang tergantung tepat diatas tempat tidurnya. Hujan deras baru saja
reda, udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Lampu kamar yang sengaja dibuat
redup menambah suasana senyap di kamar itu. "Baru jam tiga" katanya dalam hati.




Biasanya
tidurnya pulas
sekali, jam enam pagi baru bisa bangun. Seharian penuh waktunya
dihabiskan di
rumah sakit, mulai jam tujuh pagi sudah berangkat dan jam enam sore
baru
nyampai di kontrakannya kembali, itupun kalau tidak ada tugas tambahan.
Selain untuk memulihkan kondisi badan, tidur merupakan ajang balas
dengan baginya.


Dua minggu yang lalu, Ia
dilantik menjadi Dokter Muda. Empat tahun sudah dia berjuang mendapatkan gelar itu. Sekarang, ia harus menjalani kuliah
profesi di sebuah Rumah Sakit Umum. Setiap hari Ia harus berkunjung dari kamar yang satu ke kamar yang lain
membantu dokter yang lebih senior merawat pasiennya atau menjadi asisten
mengajar untuk mahasiswa kedorteran.





Malam ini Ia terbangun karena
mimpi yang membuatnya resah. Beberapa kali Ia berusaha memejamkan mata kembali,
tetapi setiap kali matanya terpejam bayang-bayang mimpi itu selalu muncul.
Segelas
air putih hangat sudah tidak bisa membantu menenangkan pikirannya. Dalam mimpi
itu ia bertemu orang gila yang setiap hari dilihatya di depan pasar dekat rumah
sakit.




Memang, semenjak berada di
rumah sakit itu, sering sekali ia bermimpi yang aneh-aneh. Pernah suatu malam
ia bermimpi didatangi pasien yang siang tadi meninggal dunia.
Tidak ada
cerita yang bisa ia ingat dalam mimpi itu. Pasien tadi hanya malambai-lambaikan
tangannya dan pergi, menghilang begitu saja. Tidak
jelas apa yang diucapkannya tetapi gerakan tangan dan raut mukanya
menandakan
ia ingin mengucapkan selamat tinggal padanya. Mimpi-mimpi itu
dianggapnya sebagai bunga tidur saja, tidak lebih. Yang
melebih-lebihkan biasanya
teman-temannya di rumah sakit setelah mendengar cerita tentang
mimpi-mimpinya itu.




Tetapi mimpi kali ini lain. Tidak ada hubungannya dengan rumah
sakit atau aktifitasnya merawat pasien, dan justru karena itulah membuatnya
resah. Orang gila yang setiap hari dijumpainya muncul dalam mimpinya malam ini.
Sama, orang gila itu hanya melambai-lambaikan tangan, tersenyum dan
kemudian menghilang.




PAGI
ini Ia segera
mandi dan segera bersiap-siap untuk berangkat. Sebelum ke rumah sakit,
sengaja Ia mampir ke pasar terlebih dahulu. Mencari tau apa yang
terjadi dengan orang gila dalam mimpinya itu. Ia sempat ragu-ragu,
untuk apa Ia mengetahuinya, lebih baik dilupakan saja. Tetapi semakin
kuat keinginan melupakannya semakin resah pikirannya. Lambaian
tangannya, senyumnya,
nyata sekali.




Di
depan pasar ia celingukan,
menyebar pandangan ke segala arah, mencari orang gila dalam mimpinya.
Ia berdiri didekat patok kilometer jalan. Yang dicarinya tidak
ditemukan. Kemudian ia melihat orang penjual mainan anak agak
jauh dari tempatnya berdiri, ia berjalan mendekatinya dan bertanya
padanya.




“Maaf Pak, Bapak tau dimana orang gila yang
biasanya duduk disana ?“ tanya dokter muda itu sambil menunjuk ke arah patok
itu.




Penjual mainan memandang ke
arah yang ditunjukkan dokter muda “Kurang tau ya dik, sudah beberapa hari
ini saya tidak melihatnya.“




“Bapak tau siapa orang itu“




“Waduh
dik, saya juga tidak tau." Penjual mainan mengingat-ingat sesuatu,
kemudian "Coba  tanyakan ke Pak Kus Dik, mungkin Pak Kus tau,
Setiap hari Ia minta makan di sana Dik"




“Baik Pak terima kasih”




Setalah itu, dokter muda berjalan ke warung yang
ditunjukkan penjual mainan, tentunya sambil melihat-lihat sekitar, siapa tau
orang yang dicarinya terlihat.




Sesampainya di pojok pasar, dokter muda
melihat dua buah warung yang berjajar dan saling berhimpitan, keduanya tanpa
papan nama hanya cat tembok depannya yang berbeda, satu berwarna putih dan
satunya hijau. Yang berwarna hijau ramai pengunjungnya sedangkan yang putih
biasa saja. “Mungkin yang hijau itu warung Pak Kus“ kata dokter muda dalam hati.




Dokter muda bertanya pada
orang yang baru saja keluar dari warung yang hijau itu, memastikan bahwa ia
tidak salah tebak “Maaf Pak mau tanya, apakah benar itu warung Pak Kus ?“
dokter muda menunjuk warung yang bercat hijau.




“Benar dik, itu warung Pak
Kus?“




“Terima kasih Pak“




Warung Pak Kus tidak terlalu
besar. Jika dibandingkan dengan warung-warung yang ada di pasar ini, warung Pak
Kus tidak terlalu bagus, di dalam ruang makannya hanya ada satu meja panjang
yang di kanan kirinya terdapat dingklik
(kursi dari kayu) sepanjang meja. Diatas meja tersedia pisang, tempe dan tahu
goreng yang diletakkan dalam piring berjajar dari ujung meja yang satu ke ujung
yang lain. Lantainya tidak dari keramik atau pleste’r hanya berupa
batu-bata merah yang ditata. Antara dapur dan ruang makan hanya dibatasi
anyaman bambu sehingga sering kali asap dapur masuk ke ruang makan. Orang-orang
di warung ini lahap sekali makannya. Dokter muda kemudian masuk, ia langsung
menuju ke arah dapur dan menemui seseorang yang kebetulan berada di dekat pintu
dapur. “Maaf pak saya mau mencari Pak Kus“




“Iya dik saya sendiri, ada
perlu apa“ jawab orang itu.




Dokter muda menjelaskan maksud
kedatangannya kepada Pak Kus. Kemudian Pak Kus berkata dengan suara yang pelan
yang hanya terdengar oleh dokter muda itu “Kita ngomong di dapur aja dik, lebih
santai“ Pak Kus mengajak dokter muda masuk ke dapurnya. Di dapur ada lincak,
tempat duduk yang terbuat dari bambu. Mereka duduk berdua disitu.




“Mo, buatkan teh untuk adik
ini“ Pak Kus menyuruh pembantunya membuatkan teh.




“Terima kasih Pak, jangan
repot-repot, saya cuma sebentar saja“ dokter muda basa-basi.




“Tidak mengapa dik, tinggal
tuang aja kok. Adik saudaranya bapak itu ya ?“




“Bukan pak, saya bukan
saudaranya, kenal pun tidak, saya hanya ingin tau saja, waktu saya lewat tadi
kok ia tidak ada di sana, di tempat biasanya ia duduk. Kata penjual mainan di
depan pasar tadi, sudah beberapa hari ini ia tidak kelihatan, ia tidak tau
kemana perginya, tapi ia bilang juga, orang gila itu sering minta makan disini,
mungkin Pak Kus tau, siapa orang gila itu“




“Saya sendiri juga heran dik,
sudah tiga hari ini saya tidak melihatnya kemari, biasanya jam segini ia sudah
berjongkok di depan pintu sana. Jam-jam segini biasanya ia minta makan“ Pak Kus
diam sebentar, matanya menerawang seperti mengingat-ingat sesuatu “Kasihan dik,
ia tidak punya siapa-siapa lagi, setiap hari saya yang ngasih makan, ia butuh
makan juga to. Meskipun gila, toh ia juga manusia yang butuh makan, lagian ia tidak
pernah membuat keributan disini. Mungkin sudah digariskan-Nya bahwa sayalah
yang harus memberinya makan ?“




Pak Kus berhenti bicara, Marmo
menyuguhkan dua gelas teh, satu untuk dokter muda dan satunya lagi untuk Pak
Kus. “Mari diminum“ kata Marmo mempersilahkan, lalu pergi melanjutkan
pekerjaannya.




Setelah Marmo pergi, Pak Kus
melanjutkan ceritanya “Dulunya ia punya istri dan anak. Tetapi sekarang anak
dan istrinya sudah tidak ada lagi. Istri dan anak satu-satunya yang masih
berumur satu tahun meninggal dunia karena luka bakar yang amat serius ketika
api membakar rumahnya. Ia sendiri selamat karena saat kebakaran terjadi ia
sedang bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut, mengangkut barang-barang dari
kapal yang sedang membongkar muatannya. Suatu waktu ia pernah bercerita
kepadaku, ia dan istrinya diusir dari keluarga karena perkawinan mereka tidak
direstui, baik oleh keluarganya maupun keluarga istrinya, tetapi ia dan
istrinya nekat, keluarga mereka marah dan tidak menganggap mereka anak lagi“




“Apa penyebab kebakaran itu
Pak ?“




“Tidak jelas penyebab
kebakaran itu. Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu, waktu pagi-pagi
sekali sebelum adzan subuh terdengar. Tetangga-tetangganya sedang tertidur
pulas.
Saat semua orang mengetahui ada kebakaran, rumahnya sudah hampir
ludes dilahap api. Orang-orang bilang istrinya sengaja membakar diri bersama
anaknya karena kondisi ekonomi rumah tangganya yang serba kekurangan. Uang
hasil kerja hariannya sebagai kuli tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya
setiap hari, apalagi saat itu mereka perlu uang yang cukup banyak untuk
mengoperasi anaknya. Buah zakar anaknya terus membesar setiap hari. Karena
penyakit itu, anaknya selalu merintih kesakitan jika mau buang air. Pernah,
sekali anaknya itu dibawa ke dokter, dan dokter bilang buah zakar anaknya harus
dioperasi. Setelah itu anaknya tidak pernah dibawa berobat kemana-mana lagi.
Mungkin karena keadaan yang seperti itu istrinya tidak tahan, lalu mengakhiri
semua penderitaannya bersama anaknya”.




“Setelah kejadian itu ia
langsung hilang ingatan Pak“




“Tidak dik, setelah kebakaran
itu, ia masih sempat makan di warung ini, masih bisa pesan ini-pesan itu, dan
masih bisa diajak bicara meskipun hanya menjawab sepotong-sepotong. Kebakaran
itu membuat tetangga-tetangganya sering menggunjingkannya. Ia mendengar
gunjingan-gunjingan itu hampir setiap hari. Perasaan bersalah tidak bisa
membahagiakan istri dan anaknya membuat gunjingan itu dianggapnya sebagai
tuduhan kepada dirinya. Tuduhan bahwa ialah penyebab kematian istri dan
anaknya. Kemudian ia sering menyendiri. Terkadang ia duduk di rumahnya, tetapi
lebih sering ia duduk di depan pasar di dekat patok itu. Disitulah, katanya
padaku, tempat menunggu istrinya setelah mereka diusir keluarganya. Sesekali
terlihat air mata keluar dari sudut matanya“




Marmo datang lagi “Pak, pinjam
kunci lacinya, Pak Gito perlu uang kembalian“




Pak Kus merogoh saku baju,
kemudian berdiri merogoh saku celana sebelah kanan, saku kiri dan saku
belakangnya, tidak ditemukan kunci yang dimaksud. Pak Kus diam sejenak lalu “oo
iya, itu diatas rak Mo, coba kamu cari“, Marmo menuju rak di ruang makan, lalu
Pak Kus menyeru “ada Mo ?“




“Ada Pak“ jawab Marmo dari
ruang makan.




Pak Kus duduk kembali “Diminum
tehnya dik, nanti keburu dingin, tidak nikmat kalo tidak diminum hangat-hangat“
Kami berdua minum teh, kemudian Pak Kus berkata lagi “sampai dimana tadi dik“




“Sampai patok di depan pasar
Pak“ jawabku




“Ya disitulah dik, sepanjang
hari ia berada, duduk dan diam. Sapaan tetangga-tetangganya sudah tidak
digubrisnya lagi. Sepertinya ia sudah berada di dunia yang lain dari kita.
Sekarang seperti itulah keadaannya, badannya sudah tidak terurus lagi, semakin
hari-semakin kurus saja. Pakaian yang dipakainya itu, pakaian waktu ia
mengantar jenazah istri dan anaknya ke pemakaman, disuruh ganti tidak mau,
dikasih pakaian dibuang. Orang-orang sudah menganggapnya gila“




Mereka berdua diam. Sosok
orang gila itu terbayang oleh dokter muda, badannya kurus, rambutnya yang
panjang dan gimbal, jambang dan
kumisnya tumbuh lebat dan sudah berwarna kemerahan, pakaian yang sudah
kehitam-hitaman. dan sobek di beberapa bagian.




“Sungguh saya takjub kepada
kepedulian Pak Kus, tidak mengusir orang gila itu malah memberinya makan tiap
hari, bukan sanak saudara lagi“




“Ya itu tadi dik, sudah
digariskan oleh yang memberi kita hidup bahwa saya yang harus memberinya makan,
dan saya percaya itu ?“




“Baik Pak, terima kasih atas
semua ceritanya. Hari sudah siang, saya harus pamit Pak, ada mahasiswa yang
menunggu saya di rumah sakit“




“Oalah, adik ini dokter to,
makanya pakek seragam putih“




Dokter muda itu tersenyum
“Masih dokter muda kok pak, baru lulus“




“O ya, kalo adik bertemu orang
itu, tolong saya diberi tau, biar Marmo nanti yang membawanya kemari“




“Baik Pak“




SETELAH sampai di rumah sakit, dokter muda langsung menuju ruang praktek
tempat calon sarjana kedokteran melakukan paraktikum pembedahan mayat. Hari ini
dokter seniornya berhalangan hadir, sedang mengantar anaknya ke bandara.
Anaknya, yang juga seorang dokter itu akan pergi ke luar negeri menlanjutkan
kuliahnya untuk menjadi spesialis. Ia yang ditugasi menggantikannya, memandu
mahasiswa membedah mayat.




Di ruang pembedahan mayat, mahasiswa sudah menunggunya, mereka sudah
berkumpul mengelilingi mayat yang tergeletak diatas meja bedah. Mengetahui
dokter muda itu masuk, mahasiswa berhenti bercanda dan memberi tempat untuk
asistennya itu, di salah satu sisi meja bedah.




“Baik, semuanya perhatikan” dokter muda memulai “hari ini kita lakukan
pembedahan, ingat, hati-hati jangan sampai mayat itu rusak, lakukan sesuai
prosedur yang sudah diajarkan Dokter Budi kepada kalian, jelas semuanya ?”




“Jelas Dok” jawab mahasiswa serempak.




“Sekarang kalian bisa memulai” kata dokter muda itu memberikan instruksi.




Ketika dokter muda mulai bergerak menjauh dari meja, ia melihat wajah
mayat itu, sepertinya pernah mengenalnya, tapi dimana ya. Dokter muda mulai
mengingat-ingatnya.




“Astaga, mayat itu”. Mimpinya tadi malam terbayang kembali, sesosok yang kurus, rambut yang panjang dan gimbal, jambang dan kumis yang lebat dan
sudah berwarna kemerahan, pakaian yang sudah kehitam-hitaman. dan sobek di
beberapa bagian
. Melambaikan tangannya, tersenyum padanya.




“Pak Kus, lihatlah Pak, orang gila itu ada di sini, aku menemukannya”
katanya dalam hati. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, badannya gemetar,
matanya terbuka lebar, bibirnya bergetar, tidak bisa berkata-kata, keringat
dingin tiba-tiba keluar membasahi seluruh badannya.




Sementara itu mahasiswa-mahasiswa tidak melihat perubahan yang terjadi
pada asistennya itu, dengan cekatan mereka malakukan pembedahan. Tangan, kaki,
perut, semuanya kecuali kepalanya.







Selasa, 11 Oktober 2005

Empati Sesama Rakyat

Selasa, 11 Oktober 2005


Hampir bisa dipastikan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan
biaya transportasi, apalagi kenaikan yang ditetapkan pemerintah
sekarang cukup tinggi. Setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga
BBM pada 1 Oktober lalu para pengusaha angkutan kota di Malang langsung
menaikan tarif angkot 2.000 rupiah untuk penumpang umum dan 1.500 untuk
pelajar. Tarif tersebut diberlakukan setelah para pengusaha angkot
melakukan rembukan bersama mengingat surat keputusan dari walikota
belum keluar.


Tetapi tidak semua sopir angkot melaksanakan keputusan tersebut
dengan kaku. Diantara mereka ada sopir angkot yang merasa tidak tega
menerapkan tarif tersebut kepada penumpang yang memang tidak mampu.
Sebut saja Pak Tono, karena
memang saya tidak tahu namanya. Dia adalah sopir angkot yang kebetulan
saya tumpangi, saya naik dari Jalan Sukarno Hatta sampai terminal
Arjosari. Di depan pasar Blimbing ada seorang ibu yang memberhentikan
angkot,
ibu itu tampak ragu-ragu menaiki angkot, dia melihat-lihat kembali isi
dompetnya. Tak lama
kemudian ibu itu berkata kepada sopir angkot dalam bahasa Jawa "Pak arto kulo kantun sewu patangatus, sampun telas kangge blonjo, angsal mboten", Pak uang saya tinggal seribu empat ratus, sudah habis buat belanja, boleh naik atau tidak.



Sungguh tidak saya duga sopir tersebut menjawab "Nggih monggo angsal mawon", ya boleh saja.



Sambil membawa barang belanjaannya Ibu tadi langsung naik dan memberi
Pak Tono uang recehan seribu empat ratus. Pak Tono menerimanya dengan
tersenyum.


Tadi pagi saya membaca koran tentang penjual minyak tanah keliling.
Karena kenaikan harga minyak tanah yang tinggi sekali, setiap hari
mereka mendapat keluhan dari masyarakat yang menjadi pelanggannya.
Tetapi mereka tidak bisa berkata apa-apa selain menjelaskan bahwa
memang harga dari pemerintah sudah naik.



Namun, terkadang mereka menjual minyak tanah lebih rendah dari harga
eceran kepada pelanggan yang dirasa kurang mampu. Biasanya satu liter
minyak tanah dijual dengan harga 3.000 rupiah, tetapi kepada pelanggan
yang kurang mampu harga 2.600 mereka kasihkan. "Tidak sampai hati
mendengar keluhan mereka" katanya.



Dalam hati saya bersyukur, masih ada orang-orang yang mau menolong sesamanya
meskipun dia sendiri mengalami kesusahan, masih ada orang-orang yang mau
merasakan penderitaan orang lain disaat dia sendiri menderita. Saya
percaya sikap semacam inilah yang diperlukan bangsa kita agar bisa
keluar dari kesusahan.



Saya teringat dengan kisah seorang Gandhi dengan kebijakan Swadesi-nya
ketika memimpin India dulu. Rakyat India semuanya menderita, semua
mengalami kesusahan. Tetapi tidak hanya rakyat saja yang merasakannya,
Gandhi sendiri memberi contoh dengan gaya hidup yang sederhana,
pakaiannya hanya kain putih yang diserempangkan ke tubuhnya, tidak
jarang pula dia naik kereta kelas III yang biasanya ditumpangi pedagang
dan kaum miskin.



Bisakah para petinggi negeri ini merasakan bagaimana susahnya rakyat
kecil karena naiknya tarif angkutan dan naiknya harga minyak tanah yang
hampir dua kali lipat, sementara mereka mempunyai kendaraan dinas
sendiri yang dibiayai negara dan tidak satupun dari mereka yang
mengkonsumsi minyak tanah di rumahnya ?





Senin, 10 Oktober 2005

Kesetiaan Adalah Contoh Rosulullah saw

Senin, 10 Oktober 2005


Dalam obrolan setelah makan siang dengan seorang manager BUMN
beliau mengatakan kepada saya "Godaan besar pertama suami yang sudah
mapan adalah ingin nikah lagi". Tentu saja kata-katanya membuat saya
heran, kok ada godaan yang semacam itu, dan sederet pertanyaanpun muncul dalam pikiranku mungkinkah
semua suami akan mengalami godaan itu ? Apakah saya juga akan
mengalaminya nanti ? Saat ini belum ada dalam pikiran saya untuk
menikah lagi, memang usia pernikahan saya dan istri saya boleh dibilang
masih muda dan saat ini meskipun sudah berpenghasilan tetapi belum
layak untuk dikatakan mapan.



Masih dalam obrolan yang sama manager tersebut mengatakan juga "Gimana
tidak tergoda, dia sendiri yang mau, jadi istri simpananpun dia mau,
meskipun kita sudah berusaha mengatakan tidak, ee dia yang malah gencar
menawarkan diri, lama-lama siapa sih yang tidak tergoda ?"



Tambah bingung lagi aku. Menikah lagi berarti berpoligami. Ketika kami
belum menikah sering saya dan istri saya yang saat itu belum menjadi
istri berdiskusi tentang poligami. Istri saya tidak menyetujui
poligami, bagi dia poligami menyengsarakan perempuan. Pernah suatu saat
saya bertanya kepadanya, bolehkah nanti saya menikah lagi, dia menjawab
"Ceraikan saya dulu, baru kamu boleh menikah lagi, saya tidak bisa
hidup dimadu" Saat menikahpun dia tidak mau melakukan ritual-ritual
yang menurut dia merendahkan martabat perempuan misalnya membasuh kaki
calon suaminya, menurut dia ritual tersebut tidak perlu dan tidak
mempunyai makna apa-apa untuk dilakukan. Bahkan kotbah nikahpun dia
pilih seorang penceramah yang tidak lagi mengungkit-ungkit arrijalu
kawwamuna 'alannisa
sebagai isi ceramahnya.



Banyak ulama bilang bahwa ajaran agama tidak melarang laki-laki untuk
berpoligami, Rosulullah saw bahkan mempunyai istri yang lebih dari
empat. Ada juga yang bilang, karena Rasul saw berpoligami maka
berpoligami hukumnya sunnah. Bagi istri-istri yang rela dimadu mendapat
pahala yang besar karena telah merelakan sakit hatinya demi
melaksanakan sunnah Rosul. Mungkin dasar ini yang dipakai oleh
kiai-kiai di Jawa yang kebanyakan mempunyai istri lebih dari satu.



Tetapi ada satu kiai yang aneh menurut saya, Beliau tidak mau meniikah
lagi mesikupun belasan tahun tidak dikaruniai anak. Cerita ini kisah
nyata yang diceritakan Kang Ahmad Tohari (Resonansi,
www.repuplika.co.id). Sudah banyak saran dari kiai-kiai lain padanya
untuk menikah lagi tetapi semuanya saran-saran dijawab dengan senyuman.
Bahkan suatu ketika ada kiai yang mengundangnya berkunjung di pondok
pesantren asuhannya. Tujuannya diajak keliling-keliling pondok putri
siapa tahu ada yang cocok. Tetapi jawabnya, "Maafkan saya. Tolong
biarkan saya meniru tabiat Kanjeng Nabi terhadap istri pertama Beliau,
karena cinta yang amat besar Beliau tidak menikah lagi selama istri
pertama Beliau masih hidup"



Kiai temannya tidak kurang akal "Bukankan dalam kitab suci kita
diperkenankan menikahi satu, dua, tiga bahkan empat orang istri ?"



Beliaupun menjawab "Ya kita semua meyakini kebenaran ayat itu. Tetapi
sekali lagi saya hanya ingin meniru tabiat Kanjeng Nabi dan hanya
Beliaulah satu-satunya penafsir wahyu yang paling benar. Beliau menikah
lagi setelah istri pertamanya meninggal dunia"



Begitulah cerita Kang Sobari membuka wacana baru bagi saya, ternyata
Rosulullah saw adalah suami yang setia. Berarti menikah lagi itu memang
benar-benar godaan..






Sabtu, 08 Oktober 2005

Sumbangan

Sabtu, 08 Oktober 2005


Dullah masuk warung Cak Khosim dengan muka cemberut sambil
menggerutu, "Orang gila, ditanya baik-baik kok marah-marah, kalo minta
sumbangan itu ya yang baik-baik, sopan gitu, jadi yang mau ngasih itu
iklhas"


"Dul-dul baru dateng sudah ngomel-ngomel, bikin ngopi gak nikmat
aja, kalo ada masalah itu nggak usah dibawa kemari, bikin orang lain
sumpek aja," Protes Suroso yang sudah lebih dahulu berada di situ.
"Orang itu siapa, jangan ngawur lho kamu."


"Gini lho So, tadi pagi aku didatangi orang, dia mau minta
sumbangan, katanya sumbangan untuk pembangunan masjid di pesantrennya,
sudah beberapa kali dia datang ke rumahku, hampir setiap bulan dia
nongol. Karena sudah beberapa kali datang aku nanya sama dia, sudah
sampai dimana pembangunan masjidnya kok belum selesai-selesai, ee dia
malah ngamuk, kalo nggak mau nyumbang yang jangan nanya macem-macem
gitu katanya"


"Trus kamu bilang apa Dul" tanya Suroso


"Nggak sempat bilang apa-apa, aku kaget setengah mati, tidak ngira
kalo dia seperti itu, waktu aku mau ngomong dianya sudah kabur" Dullah
mengatur nafasnya "Sebenarnya setiap kali dia datang pasti aku kasih
meskipun cuma lima ribu, kali ini aku penasaran benar nggak uangku itu
untuk membangun masjid, jangan-jangan dia makan sendiri"


"Kamu sih aneh-aneh Dul, kalo ngasih ya ngasih aja jangan nanya macem-macem"


"Kok kamu malah belain dia So, apa aku salah nanya seperti itu, kan
aku punya hak tau untuk apa uang sumbanganku, aku nggak mau terima kalo
digunakan yang nggak benar lagian sudah beberapa kali aku nyumbang"


"Sudah berapa kali Dul, jumlahnya berapa, paling-paing ndak cukup beli semen satu truk"


"Semakin lama kok omonganmu semakin nggak enak gitu So, jangan-jangan itu keponakanmu ya, pantas aja kalo memang keponakanmu"


"Apa kamu bilang"


"Sudah-sudah, kok malah kalian yang bertengkar" Cak Khosim keluar
dari dapur "Bener Dul kalo memang niat mau ngasih ya ngasih aja jangan
berfikir yang macem-macem, jangan suudhon, kalo ada orang yang meminta
bantuan kewajiban kita memberi bantuan, termasuk jika ada orang yang
meminta sumbangan, kewajiban kita cuma sampai memberi sumbangan,
masalah untuk apa sumbangan yang kita berikan itu urusannya yang
meminta, kalo nggak bener yang tanggung jawab dia sendiri, bukan
tanggung jawabmu"


"Bener kan Dul, wuek..." Suroso mengejek.


"Tapi kalo kita nggak percaya sama orang itu gimana Cak, siapa orangnya yang mau dibohongi" Dullah membela


"Kemampuan itu bukan cuma diukur dari punya atau tidaknya uang,
tetapi juga dari mampu ndak kita mengiklaskannya, termasuk ikhlas untuk
dibohongi itu, kita kan tidak tau, jangan-jangan cuma pikiran kita yang
terlalu negatif pada orang itu, kecuali kalo kita tau pasti orang itu
memang berniat gak bener"


"Tapi orang itu kan nggak bener juga, ditanya baik-baik eee malah marah-marah, ya kan Cak"


"Bener Dul, kalo kamu nanyaknya baik-baik ya nggak papa, tapi kali
nanyakmu bernada menuduh, itu yang masalah, ya sudah jika orang itu
lewat mari kita tanya baik-baik, kalo bener untuk pembangunan masjid
mari kita bantu nyariin sumbangan, tapi kalo ndak bener mari kita
sadarkan sama-sama"


Disela pembicaraan itu tiba-tiba ada orang yang masuk dan langsung
menyodorkan map berwarna hijau pada Cak Khosim "Maaf Pak, saya mau
minta sumbangan untuk pembangunan masjid"


"Naaaa......h" teriak Dullah







Jumat, 07 Oktober 2005

Tokoh

Jumat, 07 Oktober 2005



Pertanyaan Dari Kisah Seorang Petani


Setelah pulang kampung temanku bercerita tentang orang tuanya yang
seorang petani. Dalam sebuah perbincangan temanku menyarankan kepada
orang tuanya untuk berhenti saja menggarap sawah, tidak ada gunanya,
malah merugi. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
hasil yang didapat ketika panen. Lebih baik sawah dijual saja.



"Aku
ini petani, Nduk. Petani itu kerjanya ya menggarap sawah, tidak peduli
itu untung atau rugi. Kalo petani sudah tidak mau menggarap sawah, dari
mana kita makan ? jawab orang tuanya.



Jawaban orang tua temanku
membuat aku jadi gelisah. Jika dilihat dari teori ekonomi jelas itu
tidak dibenarkan. Usaha yang dihasilkan harus lebih besar dibandingkan
modal yang dikeluarkan, sehingga usaha yang kita kerjakan dapat
berkembang. Begitu kata teori ekonomi. Jika memang usaha yang kita
kerjakan sudah tidak memungkinkan untuk memberi keuntungan dan tidak
berkembang hendaknya kita cepat berubah mencari usaha lain yang
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat keuntungan.
Jangan malas untuk berusaha dan mencari terobosan baru, masih banyak
usaha lain selain menjadi seorang petani.



Terbersit juga dalam
pikiranku sisi yang lain diluar teori ekonomi tadi. Ketulusan dia
mengabdi pada pekerjaannya dan kecintaannya menggarap sawah yang sudah
berpuluh-puluh tahun menjadi sahabatnya setiap hari, membuatnya
bertahan untuk tidak menjual sawahnya. Ada sesuatu yang lebih besar
yang didapatkannya selain materi dan uang. Hidup kitakan tidak melulu
materi dan uang. Rejeki itukan pemberian Tuhan dan pasti tidak akan
tertukar.



Mana yang harus dipilih ?? Entahlah, saat ini aku
belum mempunyai alasan untuk condong pada salah satu sisi dan otomatis
aku tidak dapat membenarkan atau menyalahkan salah satunya.



Idealnya,
selain ketulusan dan kecintaan pada pekerjaan juga mendapat keuntungan
dari pekerjaan itu sehingga kita bisa berkembang. Itu mah jangan
diomongkan !!!!!!!!!!!!!

Lokalisasi



Jum'at ini, seperti biasa aku sholat di Masjid Muhajirin, masjid
terdekat dengan kantor tempatku bekerja, jaraknya kurang lebih 100
meter, 10 menit jalan sudah nyampek. Hari ini tema khotbah jum'at
adalah tentang ciri-ciri orang-orang yang bertakwa, salah satu yang
kuingat adalah orang bertakwa itu membela kebenaran yang datangnya dari
Allah.



Khotib menjelaskan ada banyak macam kebenaran, ada kebenaran menurut
diri kita, kebenaran menurut orang banyak dan kebenaran yang hakiki
yaitu kebenaran menurut Allah. Beliau mencontohkan kebijakan pemerintah
tentang diadakannya lokalisasi, yang menurut beliau kebijakan tersebut sudah disetujui oleh wakil rakyat. Karena
mengeluarkan kebijakan tersebut, pemimpin kita
sekarang termasuk juga wakil rakyat tidak termasuk golongan orang yang bertakwa.
Kebijakan tersebut diambil lebih karena asas manfaat bukan bersumber
kebebaran dari Allah.



"Diadakannya lokalisasi pada esensinya mengakui keberadaan pelacur dan
memberikan kesempatan perempuan untuk bekerja sebagai pelacur atau
Pekerja Seks Komersial, ini bertentangan dengan kebenaran yang bersumber dari Allah" begitu kata Beliau.


Saya sendiri sepakat dengan apa yang dikatakan Khotib diatas namun
bukan berarti saya menolak diadakannya lokalisasi. Sejauh yang saya
pahami,
lokalisasi dibentuk untuk menghindari para PSK berkeliaran di
jalan-jalan dan ditempat umum lainnya. Akan lebih baik jika
mereka para PSK tersebut dijauhkan dari masyarakat, diperkecil ruang
lingkup bergeraknya dengan begitu diharapkan interaksi dengan
masyarakat akan berkurang, sehingga dampak negatif praktek PSK dapat
dijauhkan dari lingkungan masyarakat.



Suatu saat temanku pernah bercerita ketika mengajak anaknya
berjalan-jalan di Surabaya. Sampailah mereka di Jalan Jendral Sudirman
yang terkenal sebagai jalan tempat mangkalnya PSK di malam bahkan di
sore hari. Melihat banyak PSK yang berdiri di pinggir jalan anaknya
yang baru berusia 9 tahunan bertanya siapa mereka dan mengapa mereka
bergerombol dan berpakaian seperti itu. Temanku bingung harus menjawab apa, akhirnya dia menjawab sekenanya saja,
"Mereka sedang berjualan, mereka menjual daging mentah" katanya. Bagaimana jika anak-anak lain yang melintas di
jalan tersebut tanpa sempat didampingi orang tuanya, apa yang ada dalam
benak mereka ?



Lokalisasi menurutku juga akan berefek psikologis bagi para
pengunjungnya, mereka akan merasa malu atau sungkan jika terlihat orang
memasuki area tersebut. Masyarakat akan turus-menerus mengamati siapa
saja yang masuk dan mobil dengan plat nomor berapa yang parkir di area
tersebut. Mereka yang masuk bahkan lewat saja di daerah tersebut akan
mendapat penilaian yang jelek.



Aku sependapat dengan Khotib jika memang lokalisasi dibangun hanya
memperhatikan asas manfaat, mengeruk keuntungan dengan pajak yang
tinggi dan menjadikan daerah tersebut sebagai pasar seks yang dapat
dijual bahkan sebagai komoditi ekspor. Aku sepakat jika lokalisasi dibangun sebagai upaya
memberantas pelacuran dan melindungi masyarakat dari dampak pelacuran.



Lokalisasi hendaknya dibangun jauh dari lingkungan masyarakat sehingga
tidak mencemari daerah di sekitarnya. Jika mungkin lokalisasi dibangun
di suatu pulau terpencil di tengah laut, akses kesana dibangun sebuah
jembatan yang dijaga oleh aparat, siapa yang lewat jembatan tersebut
harus dicatat identitasnya dan diumumkan di media masa, itu kalo
mungkin dan mau.



Wallahu'alam





Kamis, 06 Oktober 2005

Bahasa Ilmu Pengetahuan

Kamis, 06 Oktober 2005


Disela-sela membantu Cak Khosim, bapaknya, Sarjan membaca jurnal ilmu pengetahuan yang kemarin diperolehnya dari internet.

"Dik Sarjan, sedang baca apa, kok serius banget ?" tanyak Dullah pelanggan setia warung Cak Khosim

"Ini Pak, jurnal tentang bagaimana membuat tempe yang enak "

"Coba pinjam, kelihatannya menarik, buat tempe aja kok dibuat tulisan seperti itu ?"

Dullah
membolak-bailk beberapa lembar kertas yang diberikan Sarjan padanya.
Setelah beberapa lama kerutan di dahinya nampak jelas, kelihatan ia
sedang berfikir. Lalu kertas itu dibolak-balik lagi, lembar demi lembar.

"Dul-dul,
kayak orang pinter aja kamu, baca sambil mikir, emang kamu tahu apa
isinya" hardik Suraso yang duduk di sebelah Dullah.

"Tahu sih tahu, ini cara membuat tempe So, tapi tulisannya kok pakek bahasa planet gini"

"Itu bahasa Inggris Pak " saut Sarjan sambil mesem.

"Semprul kamu Dul, bilang aja gak mudeng, gitu pakek berlagak, SD aja gak tamat mau ngerti bahasa Ingris"

"Iya Dik Sarjan, kenapa pakek bahasa Ingris, emang yang bahasa Indonesia gak ada ?" tanya Dullah.

"Soalnya
yang nulis orang Inggris Pak. Kebanyakan jurnal-jurnal ilmu pengetahuan
ditulis oleh orang Inggris. Buku-buku kuliah Sarjan dulu semuanya juga
pakek bahasa Ingris. Sekarang ini bahasa Inggris sudah menjadi Bahasa
Ilmu Pengetahuan. Jadi setiap orang yang ingin belajar Ilmu Pengetahuan
harus bisa bahasa Inggris"

"Siapa yang menetapkan bahasa Inggris menjadi bahasa Ilmu Pengetahuan Dik, itukan namanya menangnya sendiri" protes Suroso

"Tidak
ada yang menetapkan Pak. Itu terjadi karena literatur-literatur Ilmu
Pengetahuan banyak yang ditulis oleh orang yang kebetulan menggunakan
bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, bahasa Jerman juga menjadi
bahasa Ilmu Pengetahuan, khususnya dalam ilmu teknik. Saat ini bahasa
Jepang dan China juga mulai berkedudukan sama dengan bahasa Ingris dan
Jerman"

"Terus apa bahasa Indonesia, bahasa kita ini, tidak bisa
mempunyai kedudukan yang sama dengan bahasa-bahasa itu ?" kata Suroso
lagi.

"Sebenarnya bisa Pak. Dulu bahasa Indonesia sempat menjadi
bahasa yang sangat terkenal. Buku karangan Pramoedya Ananta Toer banyak
tersebar di seluruh dunia dan menjadi literatur ilmu sastra di beberapa
perguruan tinggi di luar negeri. Pidato-pidato Bung Karno dulu juga
pernah menjadi bahan kajian banyak orang di dunia"

"Lha berarti bisa kan? Suroso masih belum terima.

"Makanya
So, kalo kamu mau bahasa kita menjadi bahasa terkenal, kamu buat jurnal
atau buku yang menarik orang seluruh dunia membacanya, jangan enaknya
sendiri, mau terkenal tapi tidak mau berusaha" Cak Khosim keluar dari
dapur.

"Kalo gitu aku mau buat buku bagaimana menyedu kopi yang
nuiiiiiiiikmaaat kayak kopi sampeyan Cak" Suroso menyeruput kopi
"Jaaaaan, enak tenan, Sampeyan mau kan saya wawancarai Cak"

"Huuuuu" Dullah menyorong bahu Suroso

Pak Mul


Aku kenal beliau di angkot. Usianya sudah hampir separuh baya. Saat itu
beliau sedang menarik ongkos dari para penumpang, termasuk aku. Mulanya
aku pikir dia kernet, tetapi aneh, sopir angkot dan banyak orang di
terminal sangat hormat kepadanya. Bicaranya juga tidak menunjukkan
orang terminalan.

"Ongkosnya dua ribu Dik" katanya kepada penumpang yang saat itu hanya memberinya 1.300.

Penumpang
itu agak kaget karena jelas stiker yang tertempel di pintu angkot
tertulis, keputusan wali kota tentang tarif angkot untuk umum 1.300 dan
untuk pelajar 1.000. Aku sendiri tidak begitu perhatian tempelan stiker
itu meskipun setiap hari aku naik angkot. Muncul pertanyaan dalam
hatiku, ada apa dengan wali kota, keputusan yang dikeluarkan seperti
tidak punya gigi. Setelah penumpang itu turun, aku bertanya pada Pak
Mul yang kebetulan dekat dengan tempat dudukku.

"Pak, kenapa ongkosnya jadi 2.000 padahal kan diputuskan pemerintah 1.300"

"La itu Dik keputusan yang tidak mengerti keadaan yang sebenarnya" jawab Pak Mul.

"Maksudnya gimana pak"

"Sebenarnya
keputusan itu dibuat karena kenaikan BBM. Karena BBM naik 30 persen
akhirnya tarip angkot dinaikkan 30 persen jadi 1.300"

"Berarti sesuai kan Pak"

"Hitungannya
sih pas Dik, tapi coba adik pikir, kenaikan BBM itu membuat juragan
angkot menaikkan setorannya, belum lagi setiap kami masuk terminal
harus bayar retribusi yang juga naik dan ketika kami keluar harus bayar
lagi untuk orang yang ngatur di pintu keluar, itu juga naik. Belum lagi
kalo kena preman dan calo terminal, bayar lagi Dik. Kalo kami hanya
menaikkan ongkos cuma 300 ndak cukup Dik, trus kami makan apa ?"

Kami
berdua diam. Memang keputusan itu jadi tidak berarti sama sekali Nggak
ada yang menggubris. Meskipun wali kota yang memutuskan, jika tidak
paham keadaan yang sebenarnya seperti "macan ompong", mengaum sekeras
apapun kancil tidak akan lari.

"ITP kiri Pak" Hampir saja kelewat. Aku turun dari angkot "Makasih Pak"

"Sama-sama Dik" jawab Pak Mul.

****

Aku sungguh tidak mengira akan ketemu Pak Mul lagi di sini, di tempat parkir kampus tempatku kuliah.

"Pak Mul" aku menyapa terlebih dahulu.

"Lho Dik, Adik kuliah disini" tanya Pak Mul

"Iya Pak, Bapak kok ada disini ada apa Pak"

"Ini Dik, sedang nyelesaikan administrasi, kemarin Bapak habis ujian"

"Lho Bapak S2 ya"

Pak
Mul tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Aku melirik buku yang dibawa
Pak Mul, hanya sebagian saja judul makalahnya terlihat dan tertulis
"ANGKOT"

"Makanya" kataku dalam hati

Nggak Bisa Tidur


Cak Khosim pemilik warung kopi tiba-tiba terperangah ketika mendengar
protes dari anaknya yang lulusan perguruan tinggi ternama di kota ini.

"Pak selama ini kita salah, kita telah membohongi banyak orang" kata anaknya.

"Lho kenapa le, kamu jangan sembarangan kalo ngomong, Bapak ini jelek-jelek lulusan pesantren, ndak ada dalam kamus bapak tipu menipu"

"Bapak kan jualan kopi, ya to"

"Benar, trus"

"Lha, waktu nggoreng kopi kok dicampuri beras, itukan bukan kopi, tapi kopi beras, berarti kan bapak berbohong"

Setelah
pembicaraan itu, Cak Khosim pusing tujuh keliling. Kopi kan mahal
sekali, butuh lebih banyak uang untuk membuat kopi murni. Tapi Cak
Khosim ndak mau dibilang pembohong dan
penipu. Cak Khosim akhirnya
mau menuruti saran anaknya, tetapi tidak langsung menghilangkan
campuran berasnya, takut kalo langsung dihilangkan pelanggannya malah
lari karena rasa kopinya berubah dari biasanya.

Setelah sekian
lama mengurangi sedikit demi sedikit campuran beras Cak Khosim berhasil
menghilangkan sama sekali campuran beras itu. Pelanggan juga tidak
terasa bahwa rasa kopinya sudah berubah. Memang perubahan itu harus
dilakukan pelan-pelan. Hati Cak Khosim
lega bercampur bahagia, tuduhan pembohong dan penipu tidak mungkin ditujukan lagi padanya.

Pagi
itu, Cak Khosim baru saja membuka matanya setelah semalam penuh
menuggui warung kopinya, suara orang-orang ramai sekali terdengar di
depan rumahnya yang sekaligus juga warungnya. Teriakan orang-orang
terdengar semakin keras memanggil namanya. Suara orang-
orang yang sudah dikenalnya.

"Kenapa orang-orang sudah datang kemari, padahal warung belum buka" katanya dalam hati.

Dilihatnya
orang-orang tampak marah sekali, tidak mungkin mereka mau beli kopi,
beli kopi kok sambil marah. Salah satu dari mereka mencoba menenangkan
orang-orang.

"Tenang teman-teman, Cak Khosim sudah keluar, ndak
usah ribut kalo terjadi apa-apa kita sendiri yang rugi, ndak usah
bakar-bakaran segala, kalo warung kita bakar, ndak ada warung kopi lagi
disini, kita mau ngopi dimana" kata orang itu. "Lebih baik kita
tanyakan saja pada Cak Khosim"

"Iya, kenapa kok ribut pagi-pagi gini, ada apa" kata Cak Khosim bingung campur gemetar.

"Begini
Pak, teman-teman ini mengeluh beberapa hari ini susah sekali tidurnya,
semula saya pikir cuman saya aja yang mengalaminya, eh, ternyata semua
orang di kampung ini susah tidur, setelah kami cari-cari penyebabnya
kami berkesimpulan kopi Cak Khosim yang menyebabkannya"

Bagaikan
disambar petir di siang hari, Cak Khosim kaget setengah mati dan
pingsan. Orang-orang tidak jadi merusak warung Cak Khosim malah berebut
membantu menggotong Cak Khosim ke dalam rumahnya.

Dua Sisi Mata Uang Ramadhan



Sebentar lagi kita akan bertemu bulan suci Ramadhan. Suasana akan
datangnya bulan suci itu sudah terasa saat ini. Pengurus masjid sudah
mulai sibuk menata tempat ibadah yang akan digunakan untuk sholat
tarawih, tembok masjid yang sudah kelihatan kusam dicat dan lantai
dipoles sedemikian rupa agar mengkilat dan bersih. Di media-media
termasuk mailing list, tulisan-tulisan menyambut Ramadhan sudah
tersebar, "Marhaban Ya Ramadhon" begitu judul tulisan itu. Televisi
juga tidak mau ketinggalan, sinetron-sinetron bertemakan Ramadhan sudah
mulai ditayangkan termasuk iklan-iklan acara selama Ramadhan.



Selama
bulan Ramadhan, banyak sekali aktifitas ibadah yang dilakukan oleh umat
Islam. Mulai makan sahur dinihari, sholat shubuh yang biasanya sendiri,
diusahakan berjamaah selama Ramadhan, sepanjang siang harus menahan
makan dan minum sekaligus menahan segala perbuatan yang merusak amalan
pusa. Waktu matahari terbenam, semua yang berpuasa akan berbuka dan
setelah itu bersiap-siap untuk sholat tarawih. Di malam hari disunahkan
untuk tadarus Al-Quran, bahkan ada yang melakukan tadarus sampai
menjelang waktu sahur tiba. Begitulah selama bulan Ramadhan tidak ada
waktu tampa diisi dengan ibadah.



Begitu suci dan besarnya
bulan Ramadhan bagi umat Islam sehingga pemerintah perlu membuat
undang-undang yang mewajibkan tempat-tempat hiburan tutup sebulan penuh
selama bulan Ramadhan dengan alasan untuk menghormati umat Islam yang
sedang menjalankan ibadah. Berbagai elemen masyarakat, terutama
tokoh-tokoh agama dan organisasi islam, mendukung sepenuhnya
pelaksanaan undang-undang tersebut. bahkan untuk menegaskan dukungan
terhadap undang-undang tersebut beberapa dari mereka mendatangi wakil
rakyat untuk menuntut pelaksanaan undang-undang itu dengan tegas jika
tidak mereka akan melakukannya dengan cara mereka sendiri.



Di
satu sisi pemilik dan pelaku bisnis hiburan memprotes pelaksanaan
undang-undang tersebut. Hiburan adalah ladang nafkah bagi mereka,
penyambung hidup seluruh keluarganya. Jika mereka diwajibkan untuk
tidak melakukan aktifitas selama bulan Ramadhan otomatis mereka akan
kehilangan mata pencahariannya. Apalagi sebentar lagi akan lebaran,
tentu kebutuhan mereka akan meningkat bukan cuma karena harga-harga
kebutuhan pokok akan naik tetapi mereka juga harus membelikan kebutuhan
lebaran, baju baru, sepatu baru bagi anak mereka. Darimana mereka
mendapatkan uang untuk mencukupi semua kebutuhan itu jika tidak bekerja
?



Melihat keadaan yang berkembang saat ini, kedua masalah
tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang saling menegasikan, untuk
memenangkan satu sisi harus mengalahkan dan meniadakan sisi yang lain.
Jika satu sisi terletak diatas maka sisi yang lain harus berada di
bawah, tidak mungkin kedua sisi akan berada diatas semua. Penyelesaian
dengan paradigma mata uang ini tidak akan mencapai kesepakatan yang
saling memuaskan dan bukan penyelesaian yang baik. Umat Islam
memerlukan suasana yang tenang dalam menjalankan ibadah, sedangkan para
pekerja tersebut memerlukan matapencaharian. Maka ketenangan itu harus
ditebus dengan menutup semua tempat hiburan sehingga banyak yang
kehilangan mata pencaharian. Atau sebaliknya, untuk tetap bisa
menyambung hidup hiburan harus tetap dibuka bahkan perlu untuk ditambah
(diperluas), perduli amat masyarakat yang resah dan tidak tenang
menjalankan ibadah, itu urusan mereka.



Ada dua kemungkinan
mengapa mereka terjun dalam bisnis yang kita anggap "maksiat itu".
Pertama, karena ketidak tahuan mereka. Disinilah tugas tokoh agama dan
organisasi-organisasi keagamaan untuk memberikan pencerahan kepada
mereka, bukan hanya pelaku atau pemilik usaha hiburan saja tetapi
terutama kepada masyarakat sebagai konsumen. Jika kita pikir lebih
dalam lagi, munculnya tempat-tempat hiburan itu karena kegagalan kita
semua, tugas pencerahan tidak memperoleh hasil yang kita harapkan,
buktinya pekerja hiburan dan konsumennya adalah umat Islam sendiri.



Kedua,
karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain yang lebih baik.
Penyediaan lapangan kerja adalah tugas dan wewenang pemerintah.
Menyediakan lapangan kerja tidak hanya membangun pabrik atau
mengirimnya ke luar negeri menjadi TKI, tetapi diperlukan usaha yang
lebih mendasar daripada itu. Salah satu usaha itu adalah menyediakan
pendidikan "yang murah" bagi masyarakat sehingga mereka mempunyai
ketrampilan untuk bekerja atau bahkan menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri.



Jadi kedua sisi tersebut tidak harus dipertentangkan.
Para pekerja hiburan tidak seharusnya menganggap tokoh agama dan
organisasi keagamaan sebagai ancaman yang harus dilawan, begitu juga
sebaliknya, tokoh agama dan organisasi keagamaan tidak menganggap
mereka itu kotor, penuh dosa dan menjijikkan sehingga perlu dijauhi
bahkan dilawan. Dengan begitu saya yakin keduanya akan mendapatkan
penyelesaian yang saling menguntungkan.


FAG Grand Bromo 2004


Iyus, Dodit dan Aku

Family Auto Gathering

Mendidik Anak Gaya Pedagang



Suatu
ketika Sayidina Ali bin Abitholib k.w pernah berkata "Ada sekelompok
orang yang beribadah karena takut hukuman, itulah ibadahnya para budak,
kelompok yang lain adalah beribadah karena ingin mendapatkan pahala,
itulah ibadahnya para pedagang, dan ada pula kelompok orang yang
beribadah karena cinta kepada Allah, itulah kelompok orang yang bebas
dan terbebaskan" Beliau juga mengatakan "Tidak ada yang salah dengan
ketiganya dan semuanya dibenarkan, tetapi hendaknya kita termasuk
kepada kelompok orang yang ketiga, yang beribadah karena cinta, karena,
cinta adalah alasan terbaik bagi kita untuk beribadah"



Pada
sebuah diskusi kecil, dengan beberapa orang tua siswa SMA tentang
pendidikan anak, ditanyakan apa sebenarnya yang diharapkan orang tua
dengan menyekolahkan anaknya. Hasilnya sangat mengejutkan. Sebagian
besar orang tua menjawab, mereka menyekolahkan anaknya agar anak
mendapat bekal untuk hidup mandiri, artinya tidak tergantung kepada
orang tua lagi. Berdasarkan pengelompokan Sayidina Ali k.w diatas,
orang tua semacam ini dikelompokkan sebagai kelompok pedagang. Mereka
menyekolahkan anak mereka dengan harapan mendapat keuntungan darinya.
Investasi yang besar dengan menyekolahkan anaknya harus menguntungkan,
minimal impas. Salah satu keuntungan yang diharapkan orang tua adalah,
anak bisa hidup mandiri, tidak tergantung (ngrecoki, ngriwuki) orang
tua lagi. Orang tua bisa hidup tenang di sisa-sisa hidupnya tanpa
terganggu masalah anaknya lagi. Mereka menganggap pendidikan anak sudah
selesai dengan kemandirian anaknya.



Tidak masalah dengan harapan
orang tua diatas. Tidak ada salahnya orang tua berharap semacam itu.
Tetapi ada harapan, yang menurut saya, lebih baik dan lebih berarti
dibandingkan harapan sebagian besar orang tua diatas. Sayangnya harapan
ini hanya dipilih oleh sebagian kecil saja dari orang tua peserta
diskusi. Mereka berharap dengan menyekolahkan anaknya, apa yang
dimpikan dan dicita-citakan anak dapat terwujud. Meskipun pada akhirnya
kedua harapan tersebut berujung pada kepuasan orang tua menjadi orang
tua (siapa sih orang tua yang tidak puas dengan kesuksesan anaknya
mencapai impian dan cita-citanya), tetapi harapan untuk mewujudkan
impian dan cita-cita anak berpusat pada kemauan dan keinginan anak
untuk menjadi apa dia nanti, bukan berpusat pada keinginan orang tua
untuk hidup tenang karena tidak direcoki dan "diriwuki" anaknya di
kemudian hari. Harapan inilah yang bersumber dari cinta orang tua
kepada anaknya, dan orang tua semacam ini termasuk kelompok orang yang
beribadah karena cinta, bukan karena ingin mendapat pahala.



Saya
penasaran dengan hasil diskusi diatas. Mengapa yang dominan adalah
kelompok "pedagang" bukan kelompok "pecinta" ? Lalu saya melihat profil
peserta diskusi. Mulai dari pendidikan, sebagian besar dari meraka
mempunyai tingkat pendidikan Sarjana (S1) bahkan ada yang lebih tinggi
lagi, tidak ada masalah dengan pendidikan, pola pikir pedagang tidak
disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan. Lanjut ke status sosial
ekonomi, kelihatannya juga tidak ada masalah, hampir semua peserta
mempunyai status sosial yang tinggi, diatas rata-rata masyarakat pada
umumnya. Jika status sosial peserta rendah sudah wajar jika mempunyai
harapan mendapat keuntungan dari investasi pendidikan anaknya. Lanjut
lagi ke pekerjaan, ha..ha... terang aja hasilnya pola pikir pedagang
"la wong" peserta diskusi sebagian besar adalah pedagang dan ibu rumah
tangga (istri pedagang). Untung tidak ada orang tua yang masuk dalam
kelompok budak, yang mendidik anaknya karena takut dipenjara.



Akhirnya
saya berdo'a, semoga kita (para orang tua dan calon orang tua) termasuk
kelompok orang yang mempunyai derajat tertinggi, yang melakukan
semuanya karena cinta, karena, cinta adalah alasan yang terbaik untuk
melakukan segala sesuatu.


Zaim Aydin Nazif (Azif)


Bginilah gaya azif ketika belajar merangkak

Azif Waktu Umur 5 bulan
12duadua © 2014