Pages

Senin, 05 November 2007

[cerpen] Di Dasar Jurang Pringgitan

Senin, 05 November 2007
Berjalan dalam gelap membuat mata seperti buta. Tidak ada yang bisa kulihat melainkan pekatnya malam. Justru karena itu aku berjalan seenaknya tanpa memperhitungkan ada jurang menganga di hadapanku. Meski Pringgitan bukan bukit yang cukup tinggi, tapi di lerengnya ada jurang yang dalam dengan dinding yang curam. Pemberani tidak selamanya orang yang tangguh, ada juga orang menjadi pemberani karena kebodohan dan ketidaktahuannya.
 
Sama sekali aku tidak mempersiapkan pendakian ini. Ini pelarianku dari semua masalah yang terus menerus datang. Bertubi-tubi menghantam setiap gerak dan langkah hidupku. Rasanya tak kuat aku menanggungnya. Kemudian aku teringat Pringgitan, sebuah bukit di selatan kota. Dari puncaknya aku bisa melihat cakrawala yang begitu luas. Dari sana pula aku bisa melihat kotaku seperti miniatur yang dipajang dalam kotak kaca.
 
Tak terhitung sudah beberapa kali aku sampai puncak Pringgitan. Dulu, tak kan pernah kubiarkan malam purnama terlewat tanpa menyusur lereng dan merebah diatas batu puncak Pringgitan. Sudah menjadi ritual kami, pelajar pecinta alam di SMA, bermalam di Pringgitan setiap bulan purnama. Adik dan kakakku pernah juga kuajak mencicipi keindahan kota dari puncak Pringgitan. Karena seringnya, sampai aku kenal Mbah Seto, penjaga warung kopi di kampung terakhir rute perjalanan. Warung ini menjadi tempat kami menanti kawan yang datang belakangan untuk kemudian naik bersama-sama menuju puncak.
 
Tapi malam ini tidak ada seorang kawanpun yang menyertaiku. Malam pun gelap gulita, selain bukan malam purnama, cahaya bintang tertutup mendung. Jarak terjauh yang bisa kulihat hanya dua atau tiga langkah kedepan. Suasana sepi, bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar. Mbah Seto sudah menutup warungnya, berarti sudah lewat tengah malam.

Terus saja aku berjalan tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Semakin lama langkah semakin cepat. Aku sedikit berlari ketika kaki ini tidak menemukan pijakan yang kuat. Seperti berjalan di awang-awang. Ya aku menginjak bibir jurang dengan semak-semak yang menutupinya. Seketika itu badanku meluncur tanpa bisa kukendalikan. Masih untung aku tidak terantuk batu. Di musim hujan seperti sekarang ini, semak dan rumput tumbuh lebat. Jadilah aku seperti meluncur di perosotan mainan anak taman kanak-kanak.
 
Percuma saja aku berusaha naik lagi. Dinding sangat licin. Tidak mungkin pula berpegangan pada rumput dan semak. Akarnya tertanam di tanah basah sehingga tidak kuat menahan berat tubuhku. Dinding yang lain memang lebih keras, tapi sangat terjal dengan kemiringan yang susah untuk dinaiki tanpa menggunakan tali. Keinginan mencapai puncak tanpa perhitungan dan persiapan yang matang hanya membuat keinginan itu seperti bulan yang dirindukan pungguk. Bahkan keinginan itu hanyalah impian yang menghempaskan kita ke dasar jurang yang paling dalam.
 
Aku mencari tempat yang nyaman untuk berebahan. Udara dingin dan basah menyejukkan kepalaku yang pening sejak dari rumah. Dalam kesejukan itu aku tertidur dan bermimpi melihat anak kecil yang berlarian di padang rumput. Menendang bola plastik kesana kemari. Anehnya tidak jauh dari situ ada singa jantan mondar-mandir. Sesekali melihat anak kecil itu dengan tatapan yang tajam. Lidahnya menjulur keluar. Air liurnya menetes dari sela-sela taringnya yang tajam. Sepertinya singa itu menahan lapar yang sangat.
 
Ketika singa itu mendekat hendak menerkam anak kecil itu, muncul anak singa dari semak di belakangnya. Anak singa berlari menuju sasaran mendahuluinya. Singa jantan yang lapar itu menhentikan langkahnya saat melihat anaknya bermain bola dengan anak kecil itu. Ia berbalik dan masuk kembali ke hutan. Tak tega membunuh teman sepermainan anaknya.
 
Ternyata hewan buas itu mempunyai hati yang lebih jernih dibanding aku. Memang Ia harus memperoleh makanan untuk disantap bersama keluarganya, tapi menyantap anak kecil itu sama saja membunuh keceriaan anaknya. Ia rela mencari mangsa yang lain. Aku ini apa, lari dari masalah dan membiarkan anak dan istriku kelaparan di rumah.
 
Aku terbangun saat sinar matahari menerpa tubuhku. Kehangatan pelan-pelan mulai menyebar. Aku berada pada puncak kesadaran. Setiap mahkluk yang hidup pasti mempunyai masalah. Lari dari masalah akan menambah masalah yang baru. Justru karena masalah itu menandakan kalau aku ini masih hidup. Aku ingat, saat pengajian di kampung ustad bilang "dibalik masalah itu pasti ada penyelesaiannya, dan percayalah bahwa Tuhan tidak akan membebani masalah pada mahkluknya di luar batas kemampuannya".
 
Aku berdiri dengan semangat yang baru. Dengan kekuatan seperti Gatot Kaca yang baru keluar dari Kawah Candradimuka. Siap mengerahkan sekuat tenaga untuk menghadapi masalah yang datang, berapapun banyaknya. Tapi masalahnya bagaimana aku bisa naik keatas sana ? Hoooooiiiiiiii......... Aku berteriak sekencang-kencangnya berharap ada pencari rumput yang mendengarkannya.

Catatan :
  • Pringgitan adalah bukit di daerah Slahung Ponorogo, biasa digunakan anak pecinta alam melatih pendakitan.
  • Gambar nyomot dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

12duadua © 2014