
Menjadi pemulung saya jalani ketika duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Awalnya dari ketidak sengajaan. Saat membantu Ibu membersihkan dan beres-beres rumah, ada banyak kaleng bekas susu yang berhasil saya kumpulkan. Nah, kaleng-kaleng itu saya jual ke pengepul yang tidak jauh dari rumah saya. Hasilnya lumayan untuk menambah uang saku.
Karena hasilnya cukup, bahkan berlebih, saya berfikir, kenapa saya tidak mencari barang yang lain di sekitar rumah atau di tempat lainnya. Mulailah saya beraksi dengan alat sebuah karung beras milik Bapak. Pertama berputar-putar di sekeliling rumah, lama-lama sampai jauh ke pinggir desa.
Uang hasil penjualan saya kumpulkan. Saya tidak ingat berapa perolehan saya waktu itu. Yang saya ingat, dari hasil menjual barang bekas itu, saya bisa pergi bertamasya dengan teman-teman ke rumah nenek. Saya bangga sekali bisa berpergian beramai-ramai dengan teman dengan uang jerih payah sendiri.
Setelah beberapa hari menjadi pemulung, saya dipanggil Bapak. Saya diminta berhenti. Awalnya saya menolak, tetapi akhirnya setuju setelah diancam tidak diberi uang saku. Bapak tidak tahan omongan tetangga yang mengolok-olok Beliau, "Guru kok anaknya jadi pemulung." Maklumlah di desa tekanan sosial itu lebih hebat dari tekanan fisik. Orang desa bisa stres dan bunuh diri jika dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya.
Ada tetangga saya yang stres dan dirundung malu berbulan-bulan sehingga menyebabkan ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia malu karena waktu pesta pernikahan anaknya yang pertama, hidangan yang disediakan kurang. Ada satu blok tamu tidak kebagian hidangan. Padahal sudah dilakukan perhitungan yang matang sebelum acara.
Macam-macamlah omongan tetangga, ada yang menduga karena sabotase, ada yang mengira karena tukang masaknya yang kurang. Bahkan muncul fitnah, sengaja hidangan diirit agar tuan rumah mendapat untung yang besar dari buwuhan (sumbangan) undangan yang datang. Memang gunjingan orang di desa itu lebih kejam dibanding omongan orang di kota.
Hidup di desa itu hubungan kekeluargaannya masih sangat erat. Ada tidak enaknya, tapi banyak sekali enaknya. Kalau kita sedang kesusahan banyak orang yang membantu. Tapi syaratnya harus pandai-pandai bergaul dan mengambil hati tetangga-tetangga. Harus bisa tahan juga dengan omongan-omongan yang negatif tentang kita, biarkan saja dan buktikan dengan tindakan bahwa omongan itu tidak benar. Kalau terlalu dimasukkan ke hati jadinya seperti tetangga saya yang satu itu. Memang gampang-gampang susah bergaul di masyarakat desa.
Karena tekanan yang semacam itulah, Bapak memaksa saya berhenti menjadi pemulung. Setelah lebih dari 20 tahun dan setalah saya punya anak, istri saya sering mengumpulkan kaleng bekas susu dan sesekali ada orang yang datang membeli kaleng-kaleng itu. Saya sangat mendukungnya, bahkan tidak hanya kaleng, ada koran bekas, mainan anak saya yang sudah rusah, pokoknya semua yang bisa ditukar dengan uang kami kumpulkan. Lumayan untuk tambahan uang belanja.
Pesan : kalau akan membuang atau menjual kembali, kaleng atau kemasan bekas lebih baik dirusak dulu untuk menghindari pemalsuan produk. |
14 komentar: