
Ukuran jauh-dekat kami berbeda dengan ukurannya penduduk. Apa yang dikatakan dekat, ternyata masih jauh sekali bagi kami. Jauh dan dekat itu relatif, tergantung persepsi masing-masing orang. Sama juga seperti jarak Surabaya-Ponorogo, dulu terasa jauh sekali sehingga kalau kami sekeluarga akan pergi ke Surabaya, banyak sekali yang perlu disiapkan termasuk perbekalan di jalan.
Tapi sekarang, jarak itu terasa dekat. Apalagi saat ini saya sering balak-balik Surabaya-Ponorogo. Karena keseringan itu, saya tidak perlu ribet-ribet lagi mempersiapkannya. Untuk pergi Surabaya-Ponorogo atau sebaliknya, cukup membawa uang ongkos bus dan angkutan. Jarak terasa semakin dekat kalau saya bisa tidur pulas di bus. Setelah bayar karcis langsung molor, tau-tau sudah hampir sampai, rasanya cuma sekejap saja. Pernah juga, saking pulasnya tidur, tidak terasa sudah nyampai, terbawalah saya sampai ke parkiran bus dan dibangunkan kernet bus yang melakukan cheking.
Tentang persepsi jauh-dekat ini saya pernah mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan. Sewaktu mahasiswa, saya bersama teman-teman berkunjung ke rumah salah dari kami. Rumahnya di Ujung Pangkah, Gresik.
Teman yang punya rumah sudah berangkat duluan kemarinnya. Kami yang berangkat belakangan belum tahu dimana Ujung Pangkah itu. Kami berangkat hanya berbekal peta yang digambar teman yang punya rumah. Karena masih wilayah Gresik, kami mengira jaraknya tidak terlalu jauh. Kami sepakat berangkat pagi jam 05.30 dan berharap sampai di tempat tujuan tidak lebih dari jam tujuh sehingga bisa sarapan disana.
Sampai di perbatasan Surabaya-Gresik jam enam lewat sedikit. Kami semua bergurau menebak kira-kira menu apa yang disiapkan untuk sarapan nanti. Langsung saja saya menjawab "rawon", sambil membayangkan pagi-pagi yang dingin makan rawon sedikit panas, wah nikmat sekali.
Ternyata, Ujung Pangkah itu wilayah di ujung utara Gresik yang masih satu sampai dua jam lagi sampai disana. Ditambah muter-muter dan tanya-tanya, kami baru sampai di rumah teman saya sudah lewat jam sepuluh. Kami semua cengar-cengir, rasa lapar kami sudah hilang, tapi berganti "senep", sakit.
Tulisan ini saya tulis di terminal Selo Aji Ponorogo, dinihari, saat menjadi orang aneh.
14 komentar: