Pages

Minggu, 30 September 2007

Hari Besar Nasional, Masih Ingat ?

Minggu, 30 September 2007
Saya kemarin sempat heran melihat tetangga-tetangga memasang bendera setengah tiang. Ada apa ya ? Ternyata kemarin tanggal 30 September, hari berkabung nasional atas meninggalnya Pahlawan Revolusi. Semestinya hari ini bendera berkibar penuh, diujung tiang tertinggi. Menurut sejarah, hari ini Hari Kesaktian Pancasila.

Terus terang, sejak lulus SMA, saya sudah banyak yang lupa hari-hari besar nasional, yang saya tahu hanya hari liburnya saja, waktunya pulang bertemu keluarga. Terakhir kali saya ikut upacara bendera pas penataran P4, diawal masuk kuliah. Setelah itu tidak pernah sama sekali.

Saya merasa, ingatan saya tentang hari-hari besar nasional itu semakin hari semakin luntur, bahkan nyaris hilang. Yang paling saya ingat tentu tanggal 17 Agustus, lainnya sudah di awang-awang.

Teman-teman masih ingat hari besar nasional itu apa saja ?

Kamis, 27 September 2007

Kangen Itu Anugrah-Nya Yang Indah

Kamis, 27 September 2007
Saya bersyukur Allah menciptakan rasa kangen. Rasa yang membuat hubungan antar sesama insan menjadi indah. Rasa yang memberi warna hidup  saling membutuhkan, menghargai, menyayangi dan mencintai. Menghilangkan kebecian dan kedengkian. Memenjarakan kejahatan.
 
Suatu saat Azif, anak saya, bertanya pada pengasuhnya, "Mbak, ini Jum'at malam ya ?" padahal hari itu masih hari Selasa. "Memang kenapa Dik" tanya pengasuhnya. "Kalau Jum'at malam kan Ayah pulang."
 
Mendengar cerita itu saya senang sekaligus sedih. Senangnya karena Azif masih mengharapkan saya datang padanya. Saya masih dibutuhkannya. Sedihnya karena tidak setiap hari saya bisa berjumpa dengannya. Tidak bisa selalu hadir saat ia membutuhkan saya.
 
Saya dan anak saya saling membutuhkan, menyayangi dan mencintai. Ia sangat berharga bagi saya. Begitu pula sebaliknya, saya sangat berharga baginya. Karena itu, jika kami saling berjauhan, ada rasa kangen diantara kami.
 
Komunitas MP ini juga memberi saya rasa kangen. Setiap hari, sebisa mungkin, saya selalu ingin "berjumpa" dan saling berkomunikasi dengan teman-teman semua. Sehari saja tidak membuka jurnal teman-teman rasanya tidak enak. Apakah saya kecanduan ? Hehehe nggak apalah kalau memang demikian. Semoga saja tidak menyebabkan hal yang tidak baik.
 
Ditarik ke hubungan vertikal kepada Sang Pencipta. Adakah pada kita rasa kangen ? Rasa yang menyebabkan selalu ingin berjumpa dengan-Nya. Rasa yang memunculkan gairah untuk mengabdi kepada-Nya. Selalu berusaha berjalan dan beringkah laku sesuai dengan kehendak-Nya. Mengharap ridlo-Nya tanpa mempedulikan Surga dan Neraka. Atau puja puji.
 
Ada atau tidak, yang pasti Ia sangat sayang pada kita. Sudah begitu banyak anugrah yang diberikan-Nya. Tak terhitung nikmat-Nya yang tercurah setiap waktu kepada kita. Tak terkira jumlah rejeki-Nya yang sampai pada kita. Tak habis-habisnya Ia memberi ilmu pengetahuan kepada kita. Sampai jika semua pohon menjadi pena dan air laut jadi tintanya, takkan cukup untuk menuliskannya. Karena ingin kita tidak bodoh dan terpuruk.
 
Kembali, saya beryukur. Allah memberi rasa kangen pada saya dan Azif. Rasa yang membuat ia, setiap Jum'at malam, berlari dan memeluk saya dengan erat sambil berteriak, "Ayah pulaaaaaaaang."

Gambar pinjam dari A Painting A Day of Eco Art

Rabu, 26 September 2007

Oh, Semoga Tidak Disia-siakan

Rabu, 26 September 2007
Nilai sebuah benda tidak saja dilihat dari berapa harganya, besar bentuknya dan indah warnanya. Benda bisa bernilai karena sejarah yang melatarbelakanginya. Terkadang nilai sejarah itu melebihi nilai-nilai benda yang lainnya.
 
Saya mempunyai sebuah buku yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi bagi saya. Bentuknya memang kecil dan jelek. Tambah jelek saat banyak orang yang meminjamnya. Buku itu diberikan mantan pacar saya saat ulang tahun saya. Tapi lupa ulang tahun yang keberapa.
 
Yang membuat buku itu mempunyai nilai sejarah yang tinggi sebenarnya bukan hanya itu. Buku itulah yang membangkitkan semangat saya untuk membaca. Yang membawa saya mengakrabi jendela dunia dan sumber ilmu pengetahuan. Itulah episode hidup saya yang selalu saya syukuri.
 
Semasa sekolah, saya tidak mengenal buku-buku bacaan. Saya hanya mengenal buku pelajaran sekolah. Setiap saya meminta untuk dibelikan novel, Bapak menolaknya. Kalau buku pelajaran, berapapun harganya pasti diusahakan. Jadilah isi rak buku di rumah saya buku pelajaran sekolah semua. Di lingkungan saya tinggal juga tidak pernah terlihat orang yang sedang membaca buku. Majalah, ya beberapa kali Bapak membawakan Kuncung untuk saya dan adik. 
 
Pernah suatu saat saya tertarik meminjam buku-buku di perpustakaan. Sepulang sekolah saya datang ke Perpustakaan Daerah dan mendaftar sebagai anggotanya. Tapi sampai di rumah, bapak memarahi saya. Saya dilarang membaca buku-buku selain pelajaran sekolah. Bapak takut saya jadi lupa belajar dan prestasi di sekolah akan menurun.
 
Karena itu, minat membaca saya terpendam dalam-dalam. Selanjutnya, yang ada di pikiran saya hanya buku-buku pelajaran sekolah dan bagaimana usaha saya meningkatkan prestasi di sekolah. Keinginan membaca buku sudah terlupakan.
 
Sampai suatu saat, ketika saya kuliah, ada kiriman melalui pos. Di alamat pengirim bertuliskan namanya. Isinya buku kecil berwarna hijau. Saya membacanya dengan penuh semangat. Ternyata saya sangat suka membaca dan memahami isinya. Ternyata membaca itu memberikan pemahaman yang baru bagi saya. Ternyata, membaca buku tanpa bergambar itu juga sangat mengasikkan. Dan ternyata-ternyata yang lain saya temukan.
 
Saat ini buku itu entah ada dimana dan di tangan siapa. Teman yang terakhir meminjam menghilangkannya. Oh, dimanapun tempatnya, semoga buku itu tidak disiasiakan. Saya sudah merelakannya asal bisa bermanfaat bagi orang lain.

Selasa, 25 September 2007

Menjadi Pemulung

Selasa, 25 September 2007
Ya, benar, saya pernah menjadi pemulung dalam arti yang sebenarnya. Memungut barang-barang tak terpakai dan menjualnya ke pengepul. Tentu, dari situ saya mendapat imbalan sejumlah uang, tergantung jenis dan banyaknya barang yang bisa saya kumpulkan.
 
Menjadi pemulung saya jalani ketika duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Awalnya dari ketidak sengajaan. Saat membantu Ibu membersihkan dan beres-beres rumah, ada banyak kaleng bekas susu yang berhasil saya kumpulkan. Nah, kaleng-kaleng itu saya jual ke pengepul yang tidak jauh dari rumah saya. Hasilnya lumayan untuk menambah uang saku.
 
Karena hasilnya cukup, bahkan berlebih, saya berfikir, kenapa saya tidak mencari barang yang lain di sekitar rumah atau di tempat lainnya. Mulailah saya beraksi dengan alat sebuah karung beras milik Bapak. Pertama berputar-putar di sekeliling rumah, lama-lama sampai jauh ke pinggir desa.
 
Uang hasil penjualan saya kumpulkan. Saya tidak ingat berapa perolehan saya waktu itu. Yang saya ingat, dari hasil menjual barang bekas itu, saya bisa pergi bertamasya dengan teman-teman ke rumah nenek. Saya bangga sekali bisa berpergian beramai-ramai dengan teman dengan uang jerih payah sendiri.
 
Setelah beberapa hari menjadi pemulung, saya dipanggil Bapak. Saya diminta berhenti. Awalnya saya menolak, tetapi akhirnya setuju setelah diancam tidak diberi uang saku. Bapak tidak tahan omongan tetangga yang mengolok-olok Beliau, "Guru kok anaknya jadi pemulung." Maklumlah di desa tekanan sosial itu lebih hebat dari tekanan fisik. Orang desa bisa stres dan bunuh diri jika dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya.
 
Ada tetangga saya yang stres dan dirundung malu berbulan-bulan sehingga menyebabkan ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia malu karena waktu pesta pernikahan anaknya yang pertama, hidangan yang disediakan kurang. Ada satu blok tamu tidak kebagian hidangan. Padahal sudah dilakukan perhitungan yang matang sebelum acara.
 
Macam-macamlah omongan tetangga, ada yang menduga karena sabotase, ada yang mengira karena tukang masaknya yang kurang. Bahkan muncul fitnah, sengaja hidangan diirit agar tuan rumah mendapat untung yang besar dari buwuhan (sumbangan) undangan yang datang. Memang gunjingan orang di desa itu lebih kejam dibanding omongan orang di kota.
 
Hidup di desa itu hubungan kekeluargaannya masih sangat erat. Ada tidak enaknya, tapi banyak sekali enaknya. Kalau kita sedang kesusahan banyak orang yang membantu. Tapi syaratnya harus pandai-pandai bergaul dan mengambil hati tetangga-tetangga. Harus bisa tahan juga dengan omongan-omongan yang negatif tentang kita, biarkan saja dan buktikan dengan tindakan bahwa omongan itu tidak benar. Kalau terlalu dimasukkan ke hati jadinya seperti tetangga saya yang satu itu. Memang gampang-gampang susah bergaul di masyarakat desa.
 
Karena tekanan yang semacam itulah, Bapak memaksa saya berhenti menjadi pemulung. Setelah lebih dari 20 tahun dan setalah saya punya anak, istri saya sering mengumpulkan kaleng bekas susu dan sesekali ada orang yang datang membeli kaleng-kaleng itu. Saya sangat mendukungnya, bahkan tidak hanya kaleng, ada koran bekas, mainan anak saya yang sudah rusah, pokoknya semua yang bisa ditukar dengan uang kami kumpulkan. Lumayan untuk tambahan uang belanja.


 
Pesan : kalau akan membuang atau menjual kembali, kaleng atau kemasan bekas lebih baik dirusak dulu untuk menghindari pemalsuan produk.

Senin, 24 September 2007

Tukang Semir Sepatu dan Uji Kesabaran

Senin, 24 September 2007
Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan dengan tukang semir sepatu. Ceritanya, sehari sebelum puasa, saya sholat dzuhur di masjid deket Pemkot Surabaya. Sepatu, saya taruh di depan teras, seperti orang-orang kebanyakan.

Pas selesai sholat, sepatu saya tidak ada di tempatnya. Sempat berpikiran jelek, sepatu saya dicuri orang. Saya bingung sekali, sebentar lagi mau presentasi. Kalau benar-benar hilang, bagaimana mencari penggantinya dengan cepat. Tidak mungkin kan presentasi tanpa memakai sepatu ?

Saya masih berusaha mencari di sekeliling. Hati semakin lama semakin berdebar, takut kalau benar-benar hilang. Sampailah saya di depan tukang semir sepatu. Saya lihat satu persatu sepatu di depannya. Ternyata, salah satu diantaranya adalah sepatuku.

Penginnya mendamprat tukang semir itu, "saya kan tidak meminta untuk disemir, kenapa disemir ?" Atau langsung saja saya ambil sepatuku tanpa memberinya bayaran, salah sendiri kan, saya kan tidak minta disemir.

Tapi semua itu saya urungkan. Kemarin saya sudah janji tidak akan marah-marah selama bulan puasa, syukur kalau bisa terus sampai puasa berikutnya. Meski puasa kurang sehari saya ingin menepati janji itu, itung-itung buat latihan.

Ternyata janji itu ada ujiannya. Baru sehari saya berjanji, ujian sudah datang, padahal belum masuk bulan puasa. Syukurlah saya bisa mengatasinya. "Berapa Pak ?" tanya saya. "Dua ribu" jawab tukang itu. Akhir saya bisa presentasi dengan memakai sepatu.

Minggu, 23 September 2007

Kenangan Sesaat, Ayahanda Rizal

Minggu, 23 September 2007
Sebenarnya saya tidak mengenal Ayahanda Rizal, saya baru melihat beliau minggu kemarin (19 Sept) ketika sudah terbaring di rumah sakit. Ada kesan yang baik saat kami menjenguknya, para penjenguk banyak sekali, satu ruangan yang berisi 6 pasien dipenuhi kerabat, tetangga dan keluarga Rizal. Padahal saat itu yang sakit hanya beliau seorang.

Oh ya, Rizal itu teman kantor saya, satu divisi dengan saya. Beberapa hari ia tidak masuk karena menunggui ayahandanya. Sebenarnya ayahandanya harus masuk kamar ICU, tapi keluarga meminta dipindah ke kamar biasa saja agar keluarga dan kerabat bisa leluasa menjenguk dan mendoakan, toh dokter sudah angkat tangan. Kalau di ruang ICU tidak bisa sembarang orang bisa masuk, dan jumlahnya terbatas.

Dalam kesedihan, saya melihat kebahagiaan yang sangat di ruang itu. Tidak ada hal yang paling membahagiakan ketika kita sakit selain banyaknya teman dan kerabat yang datang menjenguk dan mendoakan kesembuhan kita. Dan tidak akan banyak yang menjenguk kita kecuali kita termasuk orang yang baik.

Kami tidak melihat Beliau merasa tersiksa dalam sakitnya, seperti tidur pulas saja, hanya sesekali bernafas panjang dan menggigau. Keluarga, secara bergantian, membisikkan "Allah...Allah...Allah..." ke telinga Beliau. Sesekali ada yang membisikkan "Sudah, keluarga semua sudah ikhlas..."

Waktu itu saya berdoa, "Ya Allah, kalau memang Engkau berikan kesembuhan padanya, segerakanlah. Dan jika memang sudah waktunya Beliau menghadap-Mu, segerakanlah pula"

Beberapa hari setelah kami datang, tepatnya hari Jum'at, 21 September, Beliau menghadap Sang Khalik. Waktu Dwi SMS mengabarkannya, saya dalam bus, perjalanan pulang ke Ponorogo. Subhanallah, kepergian beliaupun di hari yang baik dan pada bulan yang terbaik. Siapa yang tidak ingin berakhir dengan baik begitu ?

(*maaf teman-teman, tulisannya melompat-lompat dan kurang rapi, lain waktu diperbaiki*)

Rabu, 19 September 2007

Orang Tua Renta Duduk di Pinggir Jalan

Rabu, 19 September 2007
Ada orang tua renta duduk di pinggir jalan, bersimpuh dengan tongkat yang bersandar di sebelahnya. Aku tidak tau persis mengapa ia disitu. Pengemis ? Ah sepertinya bukan. Tidak ada kaleng di depannya, tangannya juga tidak menengadah. Sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu, siapa tau ia menunggu seseorang, mungkin anaknya atau cucunya.

Setiap pergi ke masjid, aku selalu lewat jalan itu. Beberapa hari ini orang tua itu selalu ada di tempat itu. Kalau menunggu seseorang, mengapa begitu lama, sampai berhari-hari ?

Ketika lewat di depannya, ia selalu memandangku, seperti berharap, memohon sesuatu dariku. Tapi tangannya tidak menengadah, tidak juga ada kaleng di depannya. Beberapa kali aku hanya lewat saja tanpa menghiraukannya, kadang pura-pura tidak melihatnya.

Tapi lama-lama rasa iba merayap di dadaku, terus masuk menembus jantungku hingga dada ini bergetar semakin kencang saat mendekatinya. Aku merogoh saku celanaku, mengeluarkan lembaran uang dan memberikan kepadanya. Rasa terima kasih yang sangat terpancar dari wajahnya. Kedua tangannya memegang erat tanpa berkata-kata.

Esoknya dan esoknya lagi hal yang sama berulang. Dan tidak hanya aku saja yang menghampiri. Ada sedan berhenti persis di depannya, penumpangnya turun dan mengulurkan tangan padanya. Begitu senangnya, ia memegang tangan orang bersedan itu lama-lama sambil menatapnya. Tetap tanpa kata-kata.

Hari ini aku menyiapkan lembaran lima ribuan untuknya. Menjelang adzan dzuhur aku bergegas menghampirinya. Sampai di tempat ia biasanya duduk, aku tidak menemukannya. Ah, mungkin ia belum datang, kuberikan saja setelah sholat. Tapi tidak ada juga. Sholat Ashar dan setelahnya juga tidak ada. Ya sudah kuberikan besok saja.

Pulang dari kantor ada kerumunan orang di jalan besar depan perumahan. Rupanya ada kecelakaan. Kabar dari orang-orang yang kutemui, ada kakek-kakek tertabrak sepeda motor saat ingin menyebrang. Deg. Langsung saja teringat orang tua yang kucari.

Aku parkir sepeda motorku dan menuju ke kerumunan. Ada orang yang terkapar di tengah-tengahnya dengan koran bekas menutup seluruh tubuhnya. Untung tidak ada darah yang mengalir sehingga aku berani membuka penutup wajahnya. Dan benar aku melihat wajah yang kucari. Matanya tertutup tapi dengan raut muka yang cerah seperti saat kemarin aku memberikan lembaran uang padanya, dan tentu tanpa kata-kata.

Di dekatnya ada bungkusan tas plastik bertuliskan nama toko baju seberang jalan itu. Isinya, sebuah baju koko putih kecil. 

Senin, 17 September 2007

Ramadhan Untuk Semua

Senin, 17 September 2007
Sekarang giliranku menjadi ketua panitia Pondok Ramadhan, setelah kedua temanku di Sie Kerohanian Islam (SKI), Danang dan Winanto masing-masing sudah melaksanakan tugasnya menjadi ketua panitia peringatan Isro' Mi'roj dan Maulid Nabi. Pondok Ramadhan ini juga menjadi penutup kegiatan SKI dan sekaligus kegiatan yang paling besar tahun ini. Karena itu kami bertiga ingin agar kegiatan terakhir ini dapat dilaksanakan dengan sukses.

Kami, terutama aku, ingin Ramadhan ini juga menjadi milik seluruh teman-teman kelas dua, tidak hanya milik pengurus OSIS saja. Aku usul kepada Danang dan Winanto, "Nang, Win, bagaimana kalau seluruh teman kelas dua dilibatkan menjadi panitia."

"Wah, apa tidak terlalu banyak" kata Danang

"Iya, kalau seluruhnya kurasa terlalu banyak, bagaimana kalau kita pilih saja yang menurut kita cakap dan mampu melaksanakan tugas, juga yang pantas menjadi contoh adik-adik, jangan sampai panitia berkelakuan jelek di depan peserta," kata Winanto memberi pertimbangan.

Kalau dipilih-pilih, tidak menjadi milik semua dong, hanya milik sebagian saja, pikirku. Aku ingin mereka semua bisa merasakan menjadi panitia, menjadi penyelenggara, juga untuk teman-teman yang terkenal preman sekolahan. Kapan lagi mereka dikenalkan kegiatan kerohanian kalau tidak dengan cara seperti ini. Memang sewaktu kelas satu mereka juga pernah merasakan menjadi peserta, tapi rasanya kan lain, mungkin dulu mereka terpaksa ikut karena diwajibkan, sekarang kan sukarela, rasanya lebih menyentuh.

"Tenang saja, aku sudah punya rencana, semuanya bisa diatur, tanpa terlihat terlalu banyak panitia" kataku pada Danang dan Winanto, "untuk para teman-teman preman, aku kenal mereka semua, aku yakin mereka cukup mengerti kalau ini kegiatan keagamaan, inysa Allah mereka tidak akan membikin ulah."

Sebenarnya dalam hati aku juga kawatir, mereka anak-anak liar yang sulit diatur. Aturan sekolah saja sering mereka langgar, apalagi mematuhi kata-kataku. Memang aku kenal mereka, tapi untuk mengatur mereka rasanya sulit sekali, bahkan mungkin tidak bisa. Tapi, kalau mereka disisihkan, siapa lagi yang akan mengenalkan mereka dengan kegiatan-kegiatan seperti ini, apalagi melibatkannya menjadi penyelenggara. Bismillah, aku bertekad untuk tetap menjalankan rencanaku.

Alhamdulillah, semua persiapan sudah tertata, teman-teman konsumsi siap dengan urusan saur dan buka puasa. Bagian kegiatan siap dengan rencananya, termasuk menghubungi penceramah yang mengisi ceramah tarawih selama Pondok Ramadhan berlangsung. Bagian lomba-lomba juga sudah siap dengan sederet lomba yang akan dilakukan untuk peserta.

Nah untuk teman-teman yang dibilang preman, mempunyai tugas khusus. Aku bilang pada mereka untuk membantu bagian keamanan, menjaga keamanan lingkungan sekolah. Mereka akan begadang menjaga pos-pos dan berkeliling. Untuk itu, aku menyediakan rokok dan kopi untuk mereka. Ya, memang mereka sudah terbiasa merokok. Siangnya mereka boleh pulang. Nah dengan itu tidak terlalu tampak kebanyakan panitia.

Kami sangat terbantu dengan adanya teman-teman preman. Saat mempersiapkan ruang kelas menjadi tempat tidur peserta, merekalah yang giat mengangkut bangku dan kursi keluar kelas dan menatanya dengan rapi. Badan mereka kan besar-besar dan berotot. Sepertinya merekat tidak ada capeknya. Padahal waktu itu siang hari dan sudah masuk bulan Ramadhan. Apakah mereka puasa ? Hanya mereka sendiri yang tahu.

Pondok Ramadhan berjalan dengan lancar, semua panitia melaksanakan tugasnya dengan baik. Teman-teman penjaga malam juga mempunyai komitmen yang baik melaksanakan tugasnya. Aku senang semua rencanaku terlaksana, Danang dan Winanto akhirnya tau juga apa yang menjadi kemauanku melibatkan seluruh teman kelas dua.

Malam ini malam terakhir, peserta dikumpulkan di lapangan basket untuk menjalani renungan. Semua panitia juga berkumpul disana, kecuali teman-teman penjaga, tetap pada posnya masing-masing. Menjelang tengah malam, saya keliling, sekedar menyapa teman-teman penjaga. Di pos satu tidak saya jumpai seorang pun penjaga. Di pos dua juga demikian, sepi, hanya bangku dan kursi kosong, ada gelas bekas kopi tinggal separuh isi. Mendekati pos tiga ada bau aneh tercium hidungku, baunya agak menyengat. Aku mencermati dan menghirup dalam-dalam bau itu mencoba mengenali. Rasanya saya pernah mencium bau seperti ini, sepertinya ini bau alkohol dari minuman keras.

Aku mempercepat langkah, setengah berlari mendekati pos tiga yang kebetulah juga gudang OSIS. Cepat-cepat saya membuka pintu, bau alkohol menyengat sekali. Dan, benar, semua panita penjaga berkumpul disini, mereka sudah teler. Ada yang sudah tergeletak dilantai. Si Iwen yang badannya paling besar masih kuat berdiri, kaget melihat aku masuk. "Hei, apa-apan kalian, mana botol-botol itu" aku membentak dan merebut botol minuman keras dari tangan Iwen. Mereka kutarik keluar dan menyuruh mereka pulang. Dengan terhuyung mereka bergegas pergi meninggalkan sekolah.

Saat itu juga aku meminta panitia yang lain untuk ikut membantu menjadi penjaga keamanan. Aku tidak bercerita apa-apa tentang kejadian itu pada teman-teman panitia yang lain. Aku rasa bentakanku tadi sudah cukup memberi mereka peringatan, tidak perlu teman-teman yang lain ikut marah. Aku berdoa dalam hati, semoga mereka sadar dan tetap menjalankan komitmen sebagai penjaga malam.

Menjelang sahur ada panitia yang memberi tau, teman-teman penjaga malam sudah datang, "tapi mereka baunya aneh," katanya.

"Ya sudah, tinggalkan mereka" kataku sambil tersenyum, "mereka sudah tau tugasnya, lebih baik kita sahur saja, nanti aku sendiri yang akan mengirim mereka makan sahur di posnya masing-masing".

Kamis, 13 September 2007

Free Online Course Materials | MIT OpenCourseWare

Kamis, 13 September 2007

http://ocw.mit.edu/OcwWeb/web/home/home/index.htm
Waktu mengikuti mata kuliah Probabilitas (teori peluang) selalu yang digunakan sebagai alat peraga adalah uang receh (koin) dan dadu 6 sisi. Peragaan itu menunjukkan, setelah pelemparan koin dilakukan berulang-ulang, jumlah angka yang keluar sebanding dengan jumlah gambar, artinya peluang muncul angka sama dengan gambar yaitu 1/2.

Hari ini saya mendapatkan ejekan dari Open Course Ware (OCW), situs milik Massachussetts Institute of Technology (MIT), "Why flip a coin? Try these instead to increase the number of outcomes," sambil menampilkan dadu dengan berbagai macam bentuk.

Kalau dulu sudah ada situs ini dan para pengajar di kampus saya menerapkannya, tentu mata kuliah probabilitas akan sangat menarik, tidak melulu hitung-hitungan angka yang bikin pusing dan membosankan.

OCW adakah situs yang menyediakan seluruh mata kuliah di MIT yang dapat diakses secara cuma-cuma oleh masyarakan di seluruh dunia. Situs ini untuk mendukung komitmen MIT membagikan seluruh pengetahuannya untuk pendidikan di seluruh dunia.

Ada lebih dari 1.700 jenis tema kuliah yang diambil dari kurikulum MIT dapat diunduh. Selain dalam bentuk materi kuliah, juga disediakan video yang menampilkan gambar dosen saat mengajar.

Ini sangat menarik untuk perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di Perguruan Tinggi, tidak menutup kemungkinan juga bagi pendidikan menengah dan menengah atas. Bahan kuliah semakin banyak sumbernya dan semakin beragam. Mahasiswa mempunyai alternatif mendapat materi kuliah yang lebih murah.

Ya tentunya dengan syarat, dosen dan guru pemberi materi, harus terbuka, mahasiswa dibebaskan untuk memilih sumber bahan dari mana saja, tidak terpaku pada satu buku yang direkomendasikan. Dosen dan guru juga harus terus belajar agar suasana dikelas menjadi menarik.

Rambu-rambu Puasa


Gambar ini dikirim salah seorang teman, saya ketawa-ketiwi melihatnya....

Selasa, 11 September 2007

Ramadhan Penuh Cinta

Selasa, 11 September 2007
Sebentar lagi Ramadhan tiba. Alhamdulillah banyak yang mengingatkan saya untuk bersiap-siap menyongsongnya. Ada teman yang menanyakan apa target di bulan puasa besok ? Wah apa ya....

Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel yang sangat menarik di GusMus.net, "Cinta Tuhan, Cinta Sesama". Ada cerita sufi yang sangat menyentuh hati saya. Ternyata Tuhan sangat mencintai hambanya yang mencintai hambanya yang lain. Cinta Tuhan dapat dicapai dengan cinta sesama, malah mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding cinta untuk-Nya. Inilah ceritanya

Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas.

Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?" Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan."

"Adakah namaku di situ?" kata Abu. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia."

Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama.


Mencintai sesama, ingin sekali saya menjadikannya sebagai target untuk bisa saya laksanakan di bulan Ramadhan mendatang. Banyak sekali perilaku saya, di waktu-waktu lalu, yang kurang pas untuk disebut mencintai sesama. Masih banyak orang yang tidak enak, tersinggung dan marah karena perilaku saya. Saya ingin itu semua bisa saya perbaiki.

Kamis, 06 September 2007

Kehidupan

Kamis, 06 September 2007
Saya salah satu pembaca yang menikmati kisah bos Jawa Pos menjalankan transplantasi livernya. Setiap pagi saya selalu menunggu apa yang diceritakan di korannya. Semoga cerita itu berakhir bahagia.
 
Salah satu yang menarik bagi saya adalah bagaimana dunia kedokteran sudah begitu majunya sehingga saat organ yang ada di tubuh kita ini rusak dapat diganti dengan organ lain yang lebih bagus. Tentu jika kita bisa mengganti biaya untuk melakukan proses itu. Dengan kemampuan ilmu kedokteran nyawa manusia seolah bisa disambung dan diperpanjang.
 
Tentu kita semua sudah tahu, ilmu kedokteran berkembang untuk memperjuangkan kehidupan, dan salah besar jika ada beberapa oknum yang menyelewengkan ilmu itu untuk merenggutnya.
 
Setelah membaca beberapa kali kisah penggantian liver Dahlah Iskan, muncul khayalan saya. Suatu saat seseorang dapat dengan mudah mengganti organ-oragan rusak dalam tubuhnya dengan resiko kematian yang sangat kecil. Kemudian tersiarlah ada orang yang kaya raya berhasil mengganti 90 % organ dalam tubuhnya.
 
Sampai disitu khayalan saya berhenti dan kembali mundur jauh kebelakang, saat saya dilahirkan. Alhamdulillah, Saya lahir dalam kondisi yang lengkap, semua organ penunjang kehidupan ada pada saya, tanpa kurang satu sel pun.
 
Bersamaan dengan perjalanan waktu, saya berkembang, tangan dan kaki saya berkembang, kepala dan isinya berkembang, organ-organ dalam tubuh pun juga berkembang. Tiga puluh satu tahun kemudian, bayi yang dilahirkan ibu saya menjadi saya saat ini.
 
Nah seandainya, orang yang kaya raya itu saya. Dengan sebagian besar organ penunjang hidup saya diganti milik orang lain, saya bisa melanjutkan hidup sampai 30 atau bahkan 60 tahun lagi. Lalu siapa saya saat itu ?

Selasa, 04 September 2007

Jauh-Dekat itu Relatif

Selasa, 04 September 2007
Dulu, waktu sering melakukan penjelajahan bersama teman-teman pencinta alam di SMA, ada gurauan, jangan terlalu percaya dengan kata penduduk setempat tentang jarak suatu tempat. Sebab seringkali apa yang dibilang penduduk "dekat" ternyata masih satu dua jam lagi jalan sampai disana.

Ukuran jauh-dekat kami berbeda dengan ukurannya penduduk. Apa yang dikatakan dekat, ternyata masih jauh sekali bagi kami. Jauh dan dekat itu relatif, tergantung persepsi masing-masing orang. Sama juga seperti jarak Surabaya-Ponorogo, dulu terasa jauh sekali sehingga kalau kami sekeluarga akan pergi ke Surabaya, banyak sekali yang perlu disiapkan termasuk perbekalan di jalan.

Tapi sekarang, jarak itu terasa dekat. Apalagi saat ini saya sering balak-balik Surabaya-Ponorogo. Karena keseringan itu, saya tidak perlu ribet-ribet lagi mempersiapkannya. Untuk pergi Surabaya-Ponorogo atau sebaliknya, cukup membawa uang ongkos bus dan angkutan. Jarak terasa semakin dekat kalau saya bisa tidur pulas di bus. Setelah bayar karcis langsung molor, tau-tau sudah hampir sampai, rasanya cuma sekejap saja. Pernah juga, saking pulasnya tidur, tidak terasa sudah nyampai, terbawalah saya sampai ke parkiran bus dan dibangunkan kernet bus yang melakukan cheking.

Tentang persepsi jauh-dekat ini saya pernah mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan. Sewaktu mahasiswa, saya bersama teman-teman berkunjung ke rumah salah dari kami. Rumahnya di Ujung Pangkah, Gresik.

Teman yang punya rumah sudah berangkat duluan kemarinnya. Kami yang berangkat belakangan belum tahu dimana Ujung Pangkah itu. Kami berangkat hanya berbekal peta yang digambar teman yang punya rumah. Karena masih wilayah Gresik, kami mengira jaraknya tidak terlalu jauh. Kami sepakat berangkat pagi jam 05.30 dan berharap sampai di tempat tujuan tidak lebih dari jam tujuh sehingga bisa sarapan disana.

Sampai di perbatasan Surabaya-Gresik jam enam lewat sedikit. Kami semua bergurau menebak kira-kira menu apa yang disiapkan untuk sarapan nanti. Langsung saja saya menjawab "rawon", sambil membayangkan pagi-pagi yang dingin makan rawon sedikit panas, wah nikmat sekali.

Ternyata, Ujung Pangkah itu wilayah di ujung utara Gresik yang masih satu sampai dua jam lagi sampai disana. Ditambah muter-muter dan tanya-tanya, kami baru sampai di rumah teman saya sudah lewat jam sepuluh. Kami semua cengar-cengir, rasa lapar kami sudah hilang, tapi berganti "senep", sakit.


Tulisan ini saya tulis di terminal Selo Aji Ponorogo, dinihari, saat menjadi orang aneh.

Senin, 03 September 2007

Kagum dan Terharu

Senin, 03 September 2007
Tadi pagi saya kagum sekaligus terharu pada warga korban lumpur di Sidoarjo karena bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran ganti rugi lahan miliknya. Di saat-saat yang sulit ternyata mereka masih mempunyai hati nurani, tidak menggunakan yang bukan hak mereka.

Saya mencoba mencari-cari berita tentang pengembalian ini. Ternyata, sebelumnya sudah ada beberapa warga yang melakukan hal serupa. Salah satunya adalah Waras, warga Desa Siring. Uang yang dikembalikan terbilang besar Rp 429,4 juta.

Setelah Waras kemudian menyusul Lestari dan Yayuk, keduanya warga Perum TAS. Lestari mengembalikan Rp 32 juta, sedangkan Yayuk sebesar Rp 25,2 juta.

Sikap yang ditunjukkan korban lumpur Sidoarjo seolah membuktikan gurauan yang sering saya dengar, sebenarnya korupsi itu dilakukan bukan oleh orang-orang yang kekurangan, tetapi oleh orang-orang yang bergelimang harta.


Gambar pinjam dari Antara

Minggu, 02 September 2007

Jadi Orang Aneh

Minggu, 02 September 2007
Menjadi pusat perhatian karena menjadi artis mungkin menyenangkan sekaligus membanggakan. Tetapi dilihat banyak orang karena dirasa aneh, sangat tidak enak, kikuk dan serba salah.

Ceritanya, ketika saya pulang ke Ponorogo, tiba di terminal sekitar jam satu malam. Sementara bus yang akan saya tumpangi lagi, baru berangkat jam setengah dua. Jadi nunggu agak lama.

Rasanya tidak enak kalau hanya bengong saja, saya keliling mencari kios yang jual koran atau majalah, atau apa sajalah yang penting bisa untuk baca-baca. Tapi semua kios yang buka dini hari itu tidak ada yang menjual bahan bacaan. Akhirnya saya mengeluarkan buku tulis dan pena, dan mulailah saya menulis.

Di tengah-tengah saya menulis ada orang yang memanggil saya dengan keras, "Mas, sedang bikin laporan apa ?"

Ha..., saya sedikit kaget. Apalagi mendengar kata laporan. Mungkin saya ini dikira intel yang sedang observasi mencari target. "Eh...emmm, endak kok Pak, cuma nulis-nulis aja."

"Ooo...bikin catatan pribadi ya Mas."

Langsung saja saya iyakan. Meski agak sedikit kikuk karena banyak yang melihat, tapi rasanya lega tidak dikira macam-macam. Saya tetap melanjutkan menulis, biarlah dikira orang aneh asal tidak dikira orang jahat.
12duadua © 2014