
"Ini masih mending Om, kalau gelombang dua bisa sampai 50 jutaan" tambahnya. Dia juga bercerita, ada temannya yang diterima di universitas di Jogja dengan jalur yang sama dengannya, harus membayar 90 juta.
Seingat saya, waktu masuk kuliah dulu tidak semahal itu, kurang dari 1 jutaan. Sekarang kok melangit seperti itu. Seandainya saya sekarang masuk kuliah, orang tua saya belum tentu bisa membiayainya. Kalaupun bisa tentu tidak semuanya, saya harus berusaha sendiri menutupi kekurangannya.
Kalau biayanya sebesar itu, siapa yang bisa kuliah ? Iseng-iseng saya membuat gambar berikut. Ada dua sumbu sebagai variabel pengelompok, sumbu kecerdasan dan kekayaan. Di tengahnya ada garis yang membagi kelompok tadi, daerah di sebelah kanan garis adalah orang-orang yang bisa sekolah, itu kalau mau dan di sebelah kirinya daerah orang yang tidak bisa sekolah.

Ini kelompok-kelompok yang terjadi :
- orang kaya dan pandai, mereka sangat bisa untuk kuliah dimanapun perguruan tinggi dan jurusan yang diinginkannya. Hampir semua orang kaya yang pandai bisa kuliah.
- orang kaya tapi bodoh, bisa saja mereka kuliah sesuai dengan keinginannya, tapi masih ada jatahnya. Jadi harus bersaing dengan test maupun biaya.
- orang yang miskin tapi pandai, dengan kuota yang kecil mereka bisa memilih perguruan tinggi dan jurusan melalui PMDK atau test tersendiri. Tapi harus diingat, setelah diterima sesegera mungkin mencari biasiswa atau donatur mengingat biaya kuliah tetap mahal, ditambah lagi biaya hidupnya.
- orang miskin dan bodoh, nah mereka ini yang kemungkinan besar tidak dapat melanjutkan kulian ke perguruan tinggi. Lebih baik menggali bakat yang lain saja.
11 komentar: