
Ini salah satu bukti bahwa pendidikan kita sangat rentan dan belum mampu menciptakan jiwa yang tangguh. Seharusnya mendidik itu mengarahkan dan membimbing jiwa anak agar bisa menghadapi kehidupan sesua dengan bakat dan kemampuannya. Bukan malah menghantarkannya ke gerbang kematian.
Sistem pendidikan kita masih belum bisa menghargai dan mengapresiasi banyak kemampuan yang dimiliki anak didik. Hanya beberapa bidang kemampuan saja yang menjadi fokus dan ukurannya. Inilah malapetekanya, anak dianggap bodoh jika tidak dapat menguasai bidang yang hanya beberapa itu.
Dalam sebuah seminar beberapa tahun yang lalu Kak Seto, panggilan akrab Seto Mulyadi, pemerhati pendidikan anak memberikan pertanyaan, "dari 5 Rudy, mana yang paling sukses ?"
Rudy yang pertama adalah Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan bisa menjadi presiden. Yang kedua, Rudy Hartono yang pernah beberapa kali menjadu juara bulu tangkis kelas dunia. Ketiga Rudy Salam pemain sinetron yang sangat terkenal. Keempat, Rudy Hadisuwarno, ahli bidang kecantikan dan punya banyak salon di beberapa kota. Dan yang kelima Rudy Choirudin, jago masak dan sering tampil memandu acara memasak di TV. Ternyata Kak Seto memandang kelimanya adalah orang yang sukses, tentu di bidangnya masing-masing.
Pendidikan kita masih menganggap Rudy Habibie-lah yang paling sukses, sedangkan Rudy-Rudy yang lain tidak. Endang Lestari menjadi korban paradigma yang timpang itu. Endang mempunyai rata-rata unas 5,71 dari nilai bahasa Indonesia 7,8, matematika 5,0 dan bahasa Inggris 3,33. Sebenarnya nilai rata-rata Endang sudah melampaui batas nilai rata-rata lulus yang 5,0. Tetapi tetap tidak lulus karena ada syarat tidak ada nilai matinya. Nilai bahasa Inggris Endang adalah nilai mati.
Dari nilai-nilai tersebut, sebenarnya Endang tidak cukup bodoh, dan itu diakui teman-temannya, Endang adalah anak periang dan mempunyai kemampuan akademik yang cukup baik (kompas.com). Nilai bahasanya sudah sangat baik, mendekati 8. Bagimana dengan kemampuannya yang lain, seni, olahraga, tata boga ? Tidak tahu dan tidak mau tahu. Endang tetap mendapat cap "Tidak Lulus".
Dan anehnya, para orang tua juga mengamini dan memberikan cap yang sama. Cap tidak lulus dan bodoh semakin tebal seolah menutup seluruh wajahnya. Sehingga orang yang berpaling padanya akan melihat dengan jelas cap itu.
Orang tua Endang, ibunya, juga memberikan cap yang sama, bahkan lebih tebal lagi. Endang sempat dimarahi di depan teman-teman sekolahnya. Sebenarnya pihak sekolah sudah berupaya menjaga perasaan siswa yang tidak lulus. Pengumuman ketidaklulusan tidak dipajang disekolah melainkan ada guru yang memberitahu orang tua masing-masing siswa di rumahnya. Rupanya, orang tua Endang tidak bisa menahan kekecewaan sehingga ibunya menjemput Endang di sekolah. Saat itu pula Endang sempat dimarahi.
Jika dunia pendidikan dan lingkungannya belum dapat menghargai dan mengapresiasi banyak kemampuan yang dimiliki anak didik bukan tidak mungkin ada lagi yang bakal menyusul Endang di setiap pengumuman kelulusan.
Gambar dari : wikipedia
6 komentar: