
“Mbak, Lia enaknya dimasukkan ke jurusan apa ya, bidang kesehatan atau pariwisata ?”
Begitulah pertanyaan Mbak Fitri kepada istri saya ketika datang ke rumah. Lia, anaknya, sudah lulus SMP, Mbak Fitri memilih menyekolahkan Lia ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tetapi masih bingung mau memilih bidang kejuruan apa. Sebenarnya ia cenderung untuk memilih bidang kesehatan, tapi apakah nantinya mempunyai masa depan yang menjanjikan. Kalau pariwisata, ia kurang begitu tertarik, karena persepsinya tentang pariwisata adalah dunia perhotel dan hiburan yang menurutnya kurang begitu baik, pakaian yang minim dan dunia malam. Tata boga, wah kayaknya Lia tidak suka masak-memasak. Istri saya memberi pertimbangan sesuai dengan pengetahuannya dan berusaha untuk tidak mengarahkan.
Para orang tua di sekitar rumah saya memang banyak yang memilih SMK dibanding SMA. Alasannya, ingin anaknya cepat bekerja sehingga cepat bisa membantu orang tuanya. Sebagian besar tetangga saya memang mempunyai ekonomi yang cukupan saja, tidak kekurangan juga tidak berlebihan. Keluarga Mbak Fitri misalnya, suaminya bekerja sebagai kondektur bus sedangkan ia sendiri tidak bekerja. Sekarang ia belajar menjahit agar nantinya bisa menerima jahitan.
Kalau SMA, lulusannya belum bisa diandalkan karena tidak punya ketrampilan atau keahlian. Lulusan SMA disiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal biaya kuliah di perguruan tinggi sekarang sangat mahal dan butuh waktu lebih lama untuk lulus. Belum tentu juga setela lulus bisa langsung bekerja.
Anak-anak mereka sebenarnya termasuk anak yang pandai. Prestasi di sekolahnya termasuk diatas rata-rata. Bahkan Angga, anak sulung Pak Rahmat, penjual nasi dan mie goreng keliling, mendapat nilai unas 27 lebih (rata-ratanya lebih dari 9). Pak Rahmat ingin memasukkan Angga ke SMK Grafika, sekolah kejuruan cetak dan sablon.
Pandangan beberapa orang tua tetangga saya sangat berbeda saat saya SMP dulu. Sekolah kejuruan ibaratnya sekolah buangan, murid-murid yang masuk sekolah kejuruan adalah murid yang tidak diterima di SMA. Daripada tidak sekolah, dimasukanlah mereka ke sekolah kejuruan. Karena sumbernya sudah seperti itu banyak masalah yang muncul kemudian. Tawuran antar sekolah di kotaku dulu pasti melibatkan anak STM.
Sekarang, setidaknya bagi orang tua tetangga saya, sekolah kejuruan menjadi alternatif yang tepat untuk memperpendek usia sekolah tetapi lulus dengan bekal ketrampilan dan keahlian. Mereka segera dapat diandalkan orang tuanya untuk membantu ekonomi keluarga, atau setidaknya mereka cepat bisa mandiri.
Tetapi, tetap saja semuanya tergantung pada tersedianya lapangan kerja. Setrampil dan seahli apapun lulusan sekolah kejuruan tanpa ada lapangan kerja yang menampung, mereka akan sulit untuk mendapat pekerjaan. Karena ketrampilan yang diajarkan di sebagian besar sekolah kejuruan hanya ketrampilan dasar saja.
Nah bagaimana jika sekolah kejuruan juga mengajarkan entrepreneurship atau kewirausahaan, sehingga setelah mereka lulus bisa membuka lapangan kerja sendiri, tidak harus menggantungkan pada lapangan kerja yang tersedia ? Bisa nggak ya ?
12 komentar: