
"Anakmu sedelo maneh wis iso nyenengno keluarga." Inilah kata-kata yang diucapkan ulama berjubah putih dalam mimpi Mukaromah, ibunda Ponari. Semula ia anggap mimpi itu biasa saja, tapi tak lama kemudian mimpi itu menjadi kenyataan. Ponari, menjadi anak yang sakti, bisa mengobati orang yang sakit. Ia bukan saja menyenangkan keluarganya, tapi ribuan orang.
Kalau menurut saya, sebenarnya bukan Ponari-nya yang sakti, tetapi batunya itu. Konon batu itu terkena sambaran petir. Ponari melihatnya sendiri saat bermain hujan-hujanan. Kemudian batu itu diambil dan dibawanya pulang.
Ponari menceritakan apa yang terjadi kepada keluarganya. Semua tak mempercayainya. Bahkan neneknya sempat membuang batu itu. Tapi anehnya, batu itu kembali lagi ke rumah.
Fenomena dukun cilik dari Jombang ini sempet juga menjadi obrolan kami dikantor. Apakah ini syirik? Ya, kalau kita percaya, yang memberi kesembuhan itu adalah Ponari atau batunya. Sama juga saat kita datang ke dokter dan percaya bahwa yang membuat kita sembuh adalah dokter itu.
Kalau tetap percaya bahwa sebenarnya yang memberi kesembuhan adalah Allah, bukan yang lain, ya boleh-boleh saja kita mencari jalan kemanapun untuk kesembuhan penyakit kita, asal tidak dengan bantuan jin atau semacamnya.
Dari sisi sosial, sebenarnya fenomena dukun cilik ini sangat menarik. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata banyak sekali masyarakat Indonesia yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang murah. Kabarnya, Ponari tidak mau menerima imbalan banyak. Ia hanya meminta dua ribu dan dimasukkan kedalam kotak yang sampai sekarang belum dibukanya.
Ramainya pengobatan alternatif juga pernah saya lihat di Bandung. Suatu hari saya jalan pagi-pagi, sehabis shalat shubuh. Saya melihat ada kerumunan banyak orang di salah satu ruko di Jalan Kopo. Setelah saya mendekat, ternyata mereka mengantri untuk mendapatkan terapi gratis. Kata orang, banyak penyakit yang bisa disembuhkan dengan terapi itu.
Teman saya, istrinya terkena lupus. Setiap hari seluruh badannya sakit luar biasa. Sudah beberapa kali ke dokter tapi tidak ada perubahan. Memang, penyakit ini tak ada obatnya. Teman saya mencoba terapi itu. Setelah beberapa kali terapi, kondisi badan istrinya membaik. "Sekarang nafsu makannya kembali normal," katanya.
Pagi itu antriannya sudah panjang bekelok, padahal buka prakteknya baru jam delapan nanti. Di Sukabumi, saya juga pernah melihat hal yang sama. Kenyataan ini hendaknya menjadi catatan kita, terutama bagi yang terkait langsung dengan urusan kesehatan.
Saya teringat Pak Klasmono, dokter di kota saya. Berobat ke dia cuma belasan ribu rupiah saja, sangat murah dibanding dokter-dokter yang lain, sekalian dengan obatnya lagi. Tak heran pelanggannya banyak sekali, termasuk kami sekeluarga.
Cerita-punya cerita, mengapa Pak Klasmono memasang tarif yang murah? Dulu ia pernah terkena sakit yang parah. Secara medis diperkirakan umurnya tak panjang. Kemudian ia bertekat kalau diberi kesembuah, ia akan lebih banyak membantu orang lain.
Dan kesembuhan pun didapatkannya, malah ia bisa bertahan hidup beberapa tahun. Sayang sekarang ia telah tiada, sepertinya hutangnya sudah lunas. Masyarakat di kota saya menunggu dokter seperti dia lagi, mungkin juga seluruh masyarakat Indonesia. <<
Gambar pinjam dari Robert Webman MD
11 komentar: