Pages

Minggu, 07 Oktober 2007

Cinta Seorang Pembantu

Minggu, 07 Oktober 2007
Saya tidak mengerti apa itu cinta, lagian saya ini seorang pembantu tidak pantaslah terus-menerus memikirkan cinta. Yang saya tahu, Si Mas orangnya baik, pengertian dan enak diajak ngomong. Ia juga suka membantu kalau saya bawa belanjaan yang banyak.

Saya kenal Si Mas setahun yang lalu. Ia buruh bangunan di gedung sebelah rumah majikan saya. Katanya, rumah Si Mas di kampung, di Jawa Tengah sana. Memang terlihat dari tindak-tanduk dan gaya bicaranya yang lembut dan sopan, Ia asli orang Jawa.

Saya semakin hari-semakin akrab dengannya. Beberapa kali saya keluar bareng, makan atau sekedar jalan-jalan di pasar kaget pinggiran kompleks perumahan. Majikan saya mengijinkan saya dekat dengan seseorang, tapi selalu mewanti-wanti jangan terlalu dekat dan mudah tergoda dengan seseorang.

"Ini kota besar nduk, orangnya banyak dan bermacam-macam, kita tidak tahu asal-usulnya dari mana. Nduk, kehidupan kota itu sangat keras. Orang yang kelihatannya baik bisa berubah jahat kalau kepepet."

Tapi, kelihatannya Si Mas tidak seperti sangkaan majikan saya. Ia orangnya tegas dan bertanggung jawab. Apalah artinya cinta tanpa tanggung jawab, nasehat majikan saya suatu waktu. Saya memegang kata-kata itu dan menjadi janji saya, kalau mencari jodoh harus pilih orang yang bertanggung jawab.

"Jum, maukan kau menikah denganku ?" kata Si Mas suatu sore di trotoar depan perumahan.

Saya kaget mendengarnya. Dada saya berdebar, mulut saya terkunci tidak bisa berkata-kata. Tidak pernah saya mendengar kata-kata seindah itu. Seumur hidup, saya menjadi manusia kelas bawah, kelas pembantu, selalu disuruh-suruh tanpa sekalipun menyuruh. Kali ini saya seperti terlahir kembali menjadi manusia yang setara, yang bebas memilih, menentukan masa depan saya sendiri.

Tapi saya tidak langsung mengiyakan. Kata orang tua, tidak baik langsung menerima lamaran orang tanpa pertimbangan. Saya meminta waktu barang dua-tiga hari untuk berfikir sekaligus meminta pertimbangan pada majikan saya. Mau minta pertimbangan orang tua, terlalu lama, di rumah saya tidak ada telepon, bisanya hanya berkirim surat. Belum tentu juga surat itu nyampek, terkadang terselip di meja pak sekdes. Majikan saya kan sudah saya anggap orang tua saya sendiri.

Majikan saya meragukan niat baik Si Mas karena tidak tahu asal-usulnya dari mana, orang tuanya siapa dan statusnya, perjaka, menikah atau duda. Tapi saya tetap ngotot, saya yakin Si Mas baik dan bertanggung jawab. Akhirnya majikan saya menyerahkan keputusan sepenuhnya pada saya. Majikan saya juga berpesan, kalau saya jadi menikah, saya diminta sebisa mungkin mengabari keluarga di kampung. Bagaimanapun, orang tua sayalah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk menikahkan saya.

Setelah enam bulan menikah ada yang berubah dari Si Mas. Ia menjadi pemarah dan susah sekali diajak ngobrol tentang masa depan rumah tangga kami. Saya yang sering mengalah. Saya tidak ingin bertengkar. Saya harus lebih bersabar, mungkin Ia capek sekali. Saya harus lebih pandai mencari waktu untuk mengobrol dengannya.

Suatu saat, Si Mas berkunjung ke rumah majikan saya. Saya sendang mencuci pakaian waktu itu. Oh ya, saya dan Si Mas ngontrak rumah, majikan saya juga yang membayar uang kontrakan kami. Ia bertanya, apakah saya punya uang, katanya untuk modal bisnis dengan temannya. Ia tidak mau terus-menerus menjadi buruh bangunan, Ia Ingin berubah.

Saya senang sekali mendengarnya. Kalau bisnis suami saya majua, tak usahlah saya menjadi pembantu. Biar saya di rumah saja, mengurus anak-anak. Terbayanglah kehidupan yang bahagia di masa depan. Tapi saya tidak begitu jelas bisnis apa suami saya itu.

"Pokokknya bisnis, kamu tidak usah banyak tanyak, yang penting menhasilkan uang," katanya.

Waktu itu saya tidak punya uang. Ada sih, tapi kan untuk hidup sampai akhir bulan. Ia tetap ngotot. Ini kesempatan yang baik, sayang kalau dilewatkan dan kesempatan itu tidak bisa datang dua kali, katanya. Saya juga ngotot tidak punya uang. Ia marah dan masuk kamar majikan saya.

"Jangan Mas, jangan" saya menangis dan meronta menghalanginya. Tapi badannya terlalu kekar untuk saya tahan. Setelah beberapa lama di dalam kamar, Ia keluar dan pergi begitu saja tanpa pamit kepada saya.

Beberapa hari kemudian majikan saya kaget, uang dan perhiasannya hilang. Nilainya cukup besar, puluhan juta rupiah. Saya menjadi tersangka utama. Saya hanya tertunduk dan menangis saat majikan saya menginterogasi. Saya pasrah, meski harus berhadapan dengan polisi dan jeruji besi.

Oh, saya semakin tidak mengerti apa cinta itu. "Semoga kamu tidak bernasip seperti saya, semoga kamu mendapat cinta yang sebenarnya," saya usapkan telapak tangan saya ke perut yang sudah kelihatan membesar ini.

Gambar pinjam dari Abstract-Life

9 komentar:

12duadua © 2014