Pages

Kamis, 28 Juni 2007

Cerita Sekolah Kejuruan

Kamis, 28 Juni 2007

“Mbak, Lia enaknya dimasukkan ke jurusan apa ya, bidang kesehatan atau pariwisata ?”

Begitulah pertanyaan Mbak Fitri kepada istri saya ketika datang ke rumah. Lia, anaknya, sudah lulus SMP, Mbak Fitri memilih menyekolahkan Lia ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tetapi masih bingung mau memilih bidang kejuruan apa. Sebenarnya ia cenderung untuk memilih bidang kesehatan, tapi apakah nantinya mempunyai masa depan yang menjanjikan. Kalau pariwisata, ia kurang begitu tertarik, karena persepsinya tentang pariwisata adalah dunia perhotel dan hiburan yang menurutnya kurang begitu baik, pakaian yang minim dan dunia malam. Tata boga, wah kayaknya Lia tidak suka masak-memasak. Istri saya memberi pertimbangan sesuai dengan pengetahuannya dan berusaha untuk tidak mengarahkan.

Para orang tua di sekitar rumah saya memang banyak yang memilih SMK dibanding SMA. Alasannya, ingin anaknya cepat bekerja sehingga cepat bisa membantu orang tuanya. Sebagian besar tetangga saya memang mempunyai ekonomi yang cukupan saja, tidak kekurangan juga tidak berlebihan. Keluarga Mbak Fitri misalnya, suaminya bekerja sebagai kondektur bus sedangkan ia sendiri tidak bekerja. Sekarang ia belajar menjahit agar nantinya bisa menerima jahitan.

Kalau SMA, lulusannya belum bisa diandalkan karena tidak punya ketrampilan atau keahlian. Lulusan SMA disiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal biaya kuliah di perguruan tinggi sekarang sangat mahal dan butuh waktu lebih lama untuk lulus. Belum tentu juga setela lulus bisa langsung bekerja.

Anak-anak mereka sebenarnya termasuk anak yang pandai. Prestasi di sekolahnya termasuk diatas rata-rata. Bahkan Angga, anak sulung Pak Rahmat, penjual nasi dan mie goreng keliling, mendapat nilai unas 27 lebih (rata-ratanya lebih dari 9). Pak Rahmat ingin memasukkan Angga ke SMK Grafika, sekolah kejuruan cetak dan sablon.

Pandangan beberapa orang tua tetangga saya sangat berbeda saat saya SMP dulu. Sekolah kejuruan ibaratnya sekolah buangan, murid-murid yang masuk sekolah kejuruan adalah murid yang tidak diterima di SMA. Daripada tidak sekolah, dimasukanlah mereka ke sekolah kejuruan. Karena sumbernya sudah seperti itu banyak masalah yang muncul kemudian. Tawuran antar sekolah di kotaku dulu pasti melibatkan anak STM.

Sekarang, setidaknya bagi orang tua tetangga saya, sekolah kejuruan menjadi alternatif yang tepat untuk memperpendek usia sekolah tetapi lulus dengan bekal ketrampilan dan keahlian. Mereka segera dapat diandalkan orang tuanya untuk membantu ekonomi keluarga, atau setidaknya mereka cepat bisa mandiri.

Tetapi, tetap saja semuanya tergantung pada tersedianya lapangan kerja. Setrampil dan seahli apapun lulusan sekolah kejuruan tanpa ada lapangan kerja yang menampung, mereka akan sulit untuk mendapat pekerjaan. Karena ketrampilan yang diajarkan di sebagian besar sekolah kejuruan hanya ketrampilan dasar saja.

Nah bagaimana jika sekolah kejuruan juga mengajarkan entrepreneurship atau kewirausahaan, sehingga setelah mereka lulus bisa membuka lapangan kerja sendiri, tidak harus menggantungkan pada lapangan kerja yang tersedia ? Bisa nggak ya ?


Rabu, 27 Juni 2007

Bermain Logika

Rabu, 27 Juni 2007
Akhir-akhir ini anak saya sering menggunakan kata "kenapa". Seperti pada suatu sore, menjelang maghrib, saya menyuruhnya pulang.

"Zif, ayo pulang"

"Kenapa pulang ?"

"Karena sudah gelap"

"Kenapa sudah gelap ?"

"Karena mataharinya tenggelam"

"Kenapa tenggelam ?"

"Karena capek ingin istirahat"

"Kenapa capek ingin istirahat ?"

"Karena main seharian terus capek"

Kalau sudah agak lama dan ia kehabisan pertanyaan, biasanya ia bilang "oooo....."

Kadang-kadang saya jengkel juga, pertanyaan-pertanyaan itu diulang terus. Kalau sudah begitu saya langsung memutar pertanyaannya.

"Kenapa gelap ?"

"Karena sudah malam"

"Kenapa sudah malam ?"

"Karena gelap"

Hehehe...ia lagsung bilang "oooo...." tapi sambil tersenyum, seolah dia tahu kalau saya jengkel.

Selain "kenapa", ia suka bermain-main dengan logika. Kemarin istri saya menasehatinya agar tidak main jauh-jauh.

"Zif, jangan main jauh-jauh ya, kalau main jauh-jauh nanti hilang, kalau hilang nanti Bunda nangis"

Ia langsung bilang, "Iya kalau sudah besar boleh main jauh-jauh, kalau hilang Bunda tidak nangis"

Hehe...tetangga yang dengar jadi tertawa.

Senin, 25 Juni 2007

Lagi, Dunia Pendidikan Membawa Korban

Senin, 25 Juni 2007
Endang Lestari, siswa SMP 1 Kerjo, Karanganyar, Jawa Tengah mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri karena tidak lulus ujian nasional (unas), Jawa Pos 25 Juni 2007.

Ini salah satu bukti bahwa pendidikan kita sangat rentan dan belum mampu menciptakan jiwa yang tangguh. Seharusnya mendidik itu mengarahkan dan membimbing jiwa anak agar bisa menghadapi kehidupan sesua dengan bakat dan kemampuannya. Bukan malah menghantarkannya ke gerbang kematian.

Sistem pendidikan kita masih belum bisa menghargai dan mengapresiasi banyak kemampuan yang dimiliki anak didik. Hanya beberapa bidang kemampuan saja yang menjadi fokus dan ukurannya. Inilah malapetekanya, anak dianggap bodoh jika tidak dapat menguasai bidang yang hanya beberapa itu.

Dalam sebuah seminar beberapa tahun yang lalu Kak Seto, panggilan akrab Seto Mulyadi, pemerhati pendidikan anak memberikan pertanyaan, "dari 5 Rudy, mana yang paling sukses ?"
Rudy yang pertama adalah Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan bisa menjadi presiden. Yang kedua, Rudy Hartono yang pernah beberapa kali menjadu juara bulu tangkis kelas dunia. Ketiga Rudy Salam pemain sinetron yang sangat terkenal. Keempat, Rudy Hadisuwarno, ahli bidang kecantikan dan punya banyak salon di beberapa kota. Dan yang kelima Rudy Choirudin, jago masak dan sering tampil memandu acara memasak di TV. Ternyata Kak Seto memandang kelimanya adalah orang yang sukses, tentu di bidangnya masing-masing.

Pendidikan kita masih menganggap Rudy Habibie-lah yang paling sukses, sedangkan Rudy-Rudy yang lain tidak. Endang Lestari menjadi korban paradigma yang timpang itu. Endang mempunyai rata-rata unas 5,71 dari nilai bahasa Indonesia 7,8, matematika 5,0 dan bahasa Inggris 3,33.  Sebenarnya nilai rata-rata Endang sudah melampaui batas nilai rata-rata lulus yang 5,0. Tetapi tetap tidak lulus karena ada syarat tidak ada nilai matinya. Nilai bahasa Inggris Endang adalah nilai mati.

Dari nilai-nilai tersebut, sebenarnya Endang tidak cukup bodoh, dan itu diakui teman-temannya, Endang adalah anak periang dan mempunyai kemampuan akademik yang cukup baik (kompas.com). Nilai bahasanya sudah sangat baik, mendekati 8. Bagimana dengan kemampuannya yang lain, seni, olahraga, tata boga ? Tidak tahu dan tidak mau tahu. Endang tetap mendapat cap "Tidak Lulus".

Dan anehnya, para orang tua juga mengamini dan memberikan cap yang sama. Cap tidak lulus dan bodoh semakin tebal seolah menutup seluruh wajahnya. Sehingga orang yang berpaling padanya akan melihat dengan jelas cap itu.

Orang tua Endang, ibunya, juga memberikan cap yang sama, bahkan lebih tebal lagi. Endang sempat dimarahi di depan teman-teman sekolahnya. Sebenarnya pihak sekolah sudah berupaya menjaga perasaan siswa yang tidak lulus. Pengumuman ketidaklulusan tidak dipajang disekolah melainkan ada guru yang memberitahu orang tua masing-masing siswa di rumahnya. Rupanya, orang tua Endang tidak bisa menahan kekecewaan sehingga ibunya menjemput Endang di sekolah. Saat itu pula Endang sempat dimarahi.

Jika dunia pendidikan dan lingkungannya belum dapat menghargai dan mengapresiasi banyak kemampuan yang dimiliki anak didik bukan tidak mungkin ada lagi yang bakal menyusul Endang di setiap pengumuman kelulusan.

Gambar dari : wikipedia

Kamis, 21 Juni 2007

Menulis Blog karena Frustasi

Kamis, 21 Juni 2007
Kemarin saya ngobrol dengan beberapa teman tentang dunia tulis menulis, salah satunya membicarakan jurnalisme. Salah satu teman mengatakan, setengan menyindir "Ada orang yang tidak bisa menjadi jurnalis akhirnya membuat blog yang diisi sendiri" sambil senyum-senyum.

Saya tahu arah sindiran itu kepada siapa. Saya merasa jengkel dan marah. Tapi saya berusaha manahan diri dan tidak menanggapinya. Tidak juga melakukan pembelaan apalagi mendebatnya. Saya hanya tersenyum saja, seolah mengiyakan perkataannya.

Saya memang pernah meminta tolong padanya untuk menilai tulisan di blog saya. Saat itu dia bilang bagus. Ternyata penilaian itu cuma di bibir saja, tidak benar-benar keluar dari hati.  Ia  tidak memberi penilaian yang sesungguhnya, mungkin malah mengejek saya.

Dia memang seorang jurnalis yang pernah bekerja di beberapa surat kabar ternama. Karena itu dia sangat menguasai teknik menulis dan paham betul dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya bagus. Selain di tempatnya bekerja ia juga sering menulis di majalah. Karena itu saya ingin sekali menimba ilmu pada orang seperti dia, salah satunya meminta menilai tulisan saya. Saya berharap ada koreksi dan perbaikan.

Memang harapan itu tercapai dengan ada sedikit koreksi darinya. Tapi setelah perkataannya itu saya jadi ragu dia benar-benar ingin membagi ilmunya pada saya. Saya benar-benar kecewa dan marah. Sampai di rumah saya merenung, apakah pantas saya kecewa dan marah ?

Setelah lama merenung dan berpikir, saya mendapat jawaban, kenapa saya harus kecewa dan marah ? Sindiran itu harusnya menjadi koreksi diri bahwa tulisan saya memang kurang bagus dan perlu untuk diperbaiki. Harus lebih giat belajar, lebih banyak lagi membaca dan lebih tajam lagi mengasah pikiran dan perasaan.

Dan, memang saya tidak ingin menjadi jurnalis. Saya menulis blog karena saya ingin berbagi. Yang lebih penting, saya menulis karena saya ingin menyusun sejarah saya sendiri. Apa yang saya alami, saya pikirkan dan saya rasakan bisa saya baca kembali di masa datang. Lebih senang lagi kalau anak cucu saya nanti bisa membacanya.

Alhamdulillah, saya menjadi tenang dan menerima apa yang dikatakan teman saya. Saya pun bersyukur, ada pemacu untuk terus belajar. Perkataannya itu keluar karena kekurangtahuan tentang apa niat saya menulis dan belum paham dunia blog. Saya yakin kalau dia mengetahuinya, tidak akan muncul perkataan itu.

Terima kasih teman, meski sempat jengkel, perkataanmu sangat berguna bagi pengembangan diri saya, memacu saya untuk terus belajar, belajar dan belajar lagi. Dan percayalah teman, menulis di blog itu sangat menyenangkan bagi orang biasa seperti saya, tanpa harus menjadi jurnalis.

Rabu, 20 Juni 2007

Kyai dan Politik

Rabu, 20 Juni 2007
Sejak reformasi bergulir dan arusnya begitu deras menembus seluruh lekuk-lekuk kehidupan masyarakat, banyak dijumpai kyai yang berperan dan aktif di dunia politik. Di beberapa daerah malah banyak yang menjadi kepala daerah, bupati atau walikota. Bisa dihitung pula berapa banyak kyai yang menduduki kursi wakil rakyat mulai dari DPRD kabupaten sampai DPRRI. Para kyai juga banyak yang masuk dalam jajaran kepengurusan partai politik atau menjadi penasehatnya.

Kiprah para kyai, sebagai panutan dan penegak moral masyarakat, ternyata tidak banyak merubah tabiat perpolitikan kita. Lihat saja banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih banyak terjadi, malah ada sebagian kasus yang menyeret mereka. Pertengkaran dalam tubuh partai politik yang memecah-belah menjadi banyak kelompok yang saling bertentangan, juga terjadi pada partai politik dimana para kyai juga ikut andil di dalamnya. Kondisi demikian ini menyebabkan sebagian kalangan menuntut agar para kyai atau ulama meninggalkan dunia politik.

Tetapi Gusmus, panggilan akrab Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Tholibin, Rembang, mempunyai pandangan yang berbeda. Tidak masalah kyai atau ulama terjun dalam dunia politik sepanjang dalam konteks politik kebangsaan dan kerakyatan secara luas, bukan politik kekuasaan seperti yang terjadi saat ini. Peran kyai dan ulama akan lebih besar jika mereka masuk di dalamnya. Kyai dan ulama dapat melakukan peran sebagai pengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah.

Saya sendiri lebih sepakat kalau untuk saat ini kyai atau ulama lebih banyak berperan di pesantren dan lembaga pendidikan. Tenaga, pikiran dan ilmu mereka lebih banyak dicurahkan untuk mendidik generasi muda kita. Bukan karena saya tidak senang pada para kyai atau membencinya, justru sebaliknya saya sangat menyayangi mereka, dunia politik saat ini masih berkubang pada kepentingan sesaat kekuasaan dan banyak intrik-intrik yang malah memperjelek citra mereka.

Pernah suatu ketika saya bertemu dan ngobrol dengan orang Sumenep, salah satu kabupaten di Madura yang banyak pondok pesantren dan kyai-kyai ternama. Orang tersebut mengatakan sekarang sulit sekali cari kyai yang benar-benar kyai, kyai sekarang sudah terkotori dengan politik. Kyai yang sebenarnya sekarang tinggal di pelosok-pelosok desa yang sayangnya mereka belum terkenal sehingga sangat sedikit muridnya.

Kalau pendapat teman-teman seperti apa ?




Sumber artikel : Kiai Boleh Berpolitik - GusMus.NET
Gambar dari : ACICIS

Senin, 18 Juni 2007

Ternyata Belajar Itu Menyenangkan

Senin, 18 Juni 2007
Tadi malam saya sempat nonton News Dot Com, Setitik Kebanggaan Di Tengan Keterpurukan Bangsa, yang menghadirkan Tim Olimpiade Fisika hasil didikan Prof. Yohanes Surya. Berbeda dengan acara News Dot Com biasanya, tadi malam banyak diperagakan eksperimen-eksperimen fisika. Yang menarik, salah satu eskperimennya adalah berjalan diatas bara api. Beberapa personil News Dot Com menjadi aktor dalam peregaan itu.
Gambar : News Dot Com


Hebat, semua bisa melakukannya. Apa rahasianya ? ternyata ada hubungannya dengan fisika. Yohanes Surya menjelaskan bahwa berjalan diatas bara itu tidak berbahaya asal tahu caranya, sebenarnya ini merupakan gejala fisika. Bagaimana terjadinya ? Yohanes Surya kemudian membawa dua balon, satu berisi udara dan satunya berisi air. Secara bergantian kedua balon disulut dengan korek api, ternyata balon yang berisi udara meletus sedangan yang berisi air tidak.

"Air menyerap energi panas sehingga api tidak membakar balon, sama seperti tubuh kita, darah menyerap panas dari bara sehingga tidak melukai kaki kita, asal jangan terlalu lama, maksimal 3 detik" jelas Yohanes Surya yang disambut tepuk tangan penonton di studio.

Saya juga merasa kagum, ternyata belajar fisika itu menyenangkan, bisa dihungkan dengan peristiwa yang kita alami sehari-hari. Saya membandingkan dengan pelajaran fisika saya waktu di SMA. Wah beda banget, penuh dengan rumus-rumus yang harus dihafal dan minim alat peraga. Guru fisikapun cenderung menakutkan.

Sama halnya ketika belajar matematika, sangat menjemukan, papan tulis isinya angka melulu. Sampai-sampai ada salah satu teman saya yang trauma berat, setiap pelajaran matematika kepalanya pusing dan mau muntah. Pokoknya kalau lihat angka bawaannya perut mual.

Mungkin akan lain jika matematika itu diajarkan oleh Siradjudin, Kepala Sekolah SD 43 Mataram NTB. Belajar matematika versi Siradjudin ini banyak menggunakan peraga, contohnya menggunakan mobil-mobilan untuk mengajarkan konsep perkalian. Siradjudin menyadari bahwa belajar matematika itu menjadi momok bagi sebagian siswanya. Makanya dengan alat yang sederhana ia membuat alat banyak alat peraga untuk mengajarkan matematika sambil bermain. Ide membuat peraga dari mobil mainan itu juga dari mainan anak-anak hadiah dari membeli makanan ringan.

Jika saja Indonesia mempunyai banyak pendidik seperti Yohanes Surya dan Siradjudin, mungkin fisika dan matematika tidak lagi menempati urutan terakhir rata-rata nilai siswa dan banyak ahli dari kedua bidang tersebut lahir di Indonesia.

Kamis, 14 Juni 2007

Obral Buku !!!

Kamis, 14 Juni 2007
Dalam tumpukan tidak teratur, berserakan diatas lantai yang entah beralas atau tidak, sebagian ada yang lebih untung, diletakkan di atas meja dengan batas di keempat sisinya. Tangan-tangan berebut membolak-balik, mengaduk dan melemparnya setelah selesai mengincipi sedikit isinya. Obral, harga hanya 5.000 sampai 10.000 rupiah, persis seperti obral pakaian di pasar, padahal ini bukan pasar tapi bursa buku.

Mungkin mereka menyamakan nilai sebuah buku dengan sepotong pakaian, semakin usang harganya semakin turun sehingga harus diobral biar laku. Buat apa menyimpan banyak stok di gudang, bisa-bisa dimakan rayap atau hanyut dibawa air bah yang datang tiba-tiba. Masalah harga murah tidak masalah, toh dulu sudah balik modal bahkan lebih meski sedikit. Itung-itung ini untuk menambah keuntungan. Sebenarnya dibagikan gratis pun tidak masalah.

..........

Sudahlah, buat apa mempermasalahkan obral buku. Masih untung ada yang mau jual buku murah. Lihat, buku-buku apik di rak-rak toko, harganya selangit, mampukah dibeli ? Kalau tidak ada obral buku, perpustakaan di kampung-kampung mana bisa menambah koleksinya, uang darimana, meminjamnya saja gratis. Lalu anak-anak nanti mau baca apa. Apa iya disuruh baca buku yang itu-itu saja, bosan kan ?

Tapi mengapa harus disamakan dengan pakaian seribu tiga, tidakkah ada sedikit penghargaan bagi yang membuatnya, bukankah itu hasil olah pikir dan gambaran jiwa manusia ?

Kalau nggak begitu lalu bagaimana, mau ditaruh di rak-rak kayu yang mahal atau dipajang di almari kaca berhias lampu warna-warni kayak perhiasan. Sudahlah jangan mengurusi itu, yang penting buku-buku itu bisa sampai ditangan yang membutuhkan. Lha kamu sendiri ikut ngambil, tiga malah. Kalau nggak di obral mana mungkin kamu bisa bawa pulang tiga sekaligus, paling-paling cuma satu itupun yang tipis.

Hari sudah malam, mari pulang, bersuka citalah kamu. Tiga buku itu bisa menjadi milikmu. Kalau kamu ingin menghargai empunya ya baca dan resapi apa maunya. Syukur kalau bisa kamu bagikan ke teman-teman yang lain.

[Kartun] Menikah Itu.....


Beberapa waktu yang lalau (sudah agak lama) saya berdiskusi dengan azmeel lewat chating. Temanya tentang pernikahan. Untuk apa sih kita menikah ? Nah barusan saya dapat gambar-gambar yang membuat tertawa.


Rabu, 13 Juni 2007

Geliat Film Indonesia

Rabu, 13 Juni 2007
Beberapa hari ini, saya sering melihat film-film Indonesia diputar di televisi, menyaingi film-film impor. Memang beberapa tahun terakhir, produksi film Indonesia membludak. Sebuah perkembangan yang bagus, seburuk apapun film produksi dalam negeri, ketika diputar di televisi, sedikit banyak menggantikan peran film impor. Dan tentu, film-film impor akan berkurang jam tayangnya di televisi.

Sebenarnya kualitas film kita tidak jelek-jelek amat, buktinya ketika film tersebut diputar di bioskop penontonnya banyak sekali. Ya, terlepas dari peran media yang mempromosikan, berarti kecintaan masyarakat pada film lokal semakin meningkat.

Cerita mengenai film ada yang menarik dan pantas menjadi perhatian yatiu film India dan industrinya. Banyak pengamat mengatakan, salah satu kekuatan ekonomi India berada di industri filmnya. India, yang diramalkan akan menyusul China, mempunyai industri film yang sangat produktif. Bersama mata rantainya, industri film india menyumbang banyak divisa bagi India.

Bagaimana dengan kualitasnya ? Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih film Indonesia dibanding film India yang juga banyak ditayangkan di televisi kita. Bukan hanya karena saya orang Indonesia, menurut saya, cerita film India itu ya seputar itu-itu saja, percintaan, pengkhianatan dan balas dendam. Ditambah adegan klasik, polisi yang datang terlambat ketika sang tokoh berhasil melakukan aksinya.

Tapi justru karena itu saya ngiri. Film India dengan kualitas yang seperti itu bisa laku di pasar film dunia. India banyak mengekspor film-filmnya. Tidak heran jika produksi film India melebihi Amerika. Tahun 2003 yang lalu, produksi film India sebanyak 877 judul film, bandingkan dengan Amerika yang hanya separuhnya, 473 judul film.

Kekayaan yang diperoleh India dari industri film cukup besar. Jumlahnya bisa sampai 1,01 miliar dollar AS pertahun, itu tahun 2001, sekarang bisa 2 sampai 3 kali lipatnya mengingat pertumbuhannya mencapai 12,6 persen pertahun. Ini sungguh luar biasa, Amerika saja kalah, meskipun industri film negeri Paman Sam itu lebih dulu eksis.

Kembali ke film Indonesia. Bisa saja film Indonesia menjadi sumber penghasilan negara yang punya kontribusi besar membangkitkan perekonomian seperti India. Memang masih cukup panjang perjalanan yang harus ditempuh, tapi yang lebih penting, maukah masyarakat Indonesia sendiri mendukungnya ? Kalau tidak ada dukungan, sangat berat beban film Indonesia untuk bisa sama dengan film India. Sedangkan film India sendiri lebih banyak ditonton oleh masyarakatnya, lebih dari 87 persen penjualan tiketnya berasal dari dalam negeri.

Selasa, 12 Juni 2007

Nonton Catur = Nonton Lawak

Selasa, 12 Juni 2007
Baru malam itu saya nonton catur sambil tertawa-tawa, seperti nontok ludruk Kartoloan atau banyolannya dagelan ketoprak. Catur yang biasanya bikin dahi berkerut, karena ikut mikir, waktu itu malah bikin urat syaraf jadi kendor.

Ceritanya, suatu malam sehabis muter-muter, saya mampir ke warungnya Cak Solikin. Banyak sopir angkot yang berkumpul di warung itu, untuk ngopi atau sekedar ngobrol dengan sesama sopir. Warung Cak Solikin tepat di samping terminal angkot. Sambil ngobrol, beberapa sopir bermain catur. Yang lainnya menjadi penonton dan suporter, persis seperti pertandingan sepak bola. Benar, bukan permainan caturnya yang bikin tertawa, tapi komentar dan celetukan suporternya.

Ada ledekan jika pemain lambat jalan karena mikirnya terlalu lama, "Wah seperti nunggu nenek-nenek makan kuwaci".

Tapi giliran pemain mikirnya cepat, langsung merespon gerakan lawannya, yang lain nyeletuk "Wah kuwacinya tidak dikunyah, langsung ditelan".

Karena hiburan gratis itu, saya sering mampir. Sangat menyenangkan, malah lebih menyenangkan dibanding nonton empat mata.

Suasana seperti itu tidak saya jumpai beberapa tahun yang lalu, sebelum ada tindakan tegas bagi para penjudi. Kalau kumpul-kumpul, sopir angkot ditambah tukan becak pasti bermain judi. Sangat memprihatinkan, uang hasil memeras keringat dari pagi sampai sore bisa ludes karena mainan haram itu.

Sejak banyak penggerebekan tukang judi, saya tidak pernah menjumpai arena judi. Mungkin saja tidak berkurang, hanya pindah ke tempat yang tersembunyi. Tapi, paling tidak di tempat umum sudah tidak ada arena permainan itu.

Di malam yang berbeda, saya pernah ngopi di warung itu. Sama, sambil melihat pertandingan catur. Tapi baik yang nonton maupun yang main pada mabuk semua. Botol-botol minuman keras ada dimana-mana, "Anu Mas, lagi ada pesta, Pak Joko tadi menang billiard, juara satu" kata Cak Solikin. Wah, kebiasaan yang satu ini belum hilang juga.

Karena pada linglung, ada jurus maboknya segala. Meski akhirnya langkahnya tepat, tapi sangat sulit menempatkan buah caturnya, pakek muter-muter dulu diatas. Gimana ya kalau Grand Master Utut main lawan jurus mabok itu ? Hehehe, mungkin Utut bisa kalah karena kehilangan konsentrasi.

Siapa yang Bisa Kuliah ?

Hari ini ada kabar gembira dari keponakan saya. Setelah test masuk perguruan tinggi (bukan SPMB), Ia diterima. Alhamdulillah, saya ikut senang. Keponakan saya ini ikut Jalur Umum yang katanya Ia harus bayar 15 jutaan. Wow, mahal sekali.

"Ini masih mending Om, kalau gelombang dua bisa sampai 50 jutaan" tambahnya. Dia juga bercerita, ada temannya yang diterima di universitas di Jogja dengan jalur yang sama dengannya, harus membayar 90 juta.

Seingat saya, waktu masuk kuliah dulu tidak semahal itu, kurang dari 1 jutaan. Sekarang kok melangit seperti itu. Seandainya saya sekarang masuk kuliah, orang tua saya belum tentu bisa membiayainya. Kalaupun bisa tentu tidak semuanya, saya harus berusaha sendiri menutupi kekurangannya.

Kalau biayanya sebesar itu, siapa yang bisa kuliah ? Iseng-iseng saya membuat gambar berikut. Ada dua sumbu sebagai variabel pengelompok, sumbu kecerdasan dan kekayaan. Di tengahnya ada garis yang membagi kelompok tadi, daerah di sebelah kanan garis adalah orang-orang yang bisa sekolah, itu kalau mau dan di sebelah kirinya daerah orang yang tidak bisa sekolah.



Ini kelompok-kelompok yang terjadi :
  • orang kaya dan pandai, mereka sangat bisa untuk kuliah dimanapun perguruan tinggi dan jurusan yang diinginkannya. Hampir semua orang kaya yang pandai bisa kuliah.
  • orang kaya tapi bodoh, bisa saja mereka kuliah sesuai dengan keinginannya, tapi masih ada jatahnya. Jadi harus bersaing dengan test maupun biaya.
  • orang yang miskin tapi pandai, dengan kuota yang kecil mereka bisa memilih perguruan tinggi dan jurusan melalui PMDK atau test tersendiri. Tapi harus diingat, setelah diterima sesegera mungkin mencari biasiswa atau donatur mengingat biaya kuliah tetap mahal, ditambah lagi biaya hidupnya.
  • orang miskin dan bodoh, nah mereka ini yang kemungkinan besar tidak dapat melanjutkan kulian ke perguruan tinggi. Lebih baik menggali bakat yang lain saja.
Gambar diatas hanya reka-reka saya saja, tidak berdasarkan riset yang mendalam, namanya juga iseng, boleh dipercaya boleh juga diabaikan. Kalau ada yang ingin membuktikan dengan riset ya monggo.

Senin, 11 Juni 2007

Seorang Kawan

Senin, 11 Juni 2007
Aneh bin ajaib, saya punya dua orang kawan yang karakternya mirip sekali, mulai dari postur tubuhnya, gaya bicaranya sampai sifat-sifatnya. Padahal satu teman SMA dan satunya lagi teman kuliah. Ingatan saya sering bertubrukan jika mengingat keduanya.


Mempunyai banyak teman itu asyik dan mengasyikkan, maka perbanyak teman dan jangan menambah musuh.
Nah setelah beberapa tahun lulus kuliah, saya sulit membayangkan gambaran teman saya tersebut jika salah satu dari mereka menelepon atau bertemu. Nama mereka juga sering tertukar.

Saya tidak tahu, apakah ini terjadi pada semua orang. Setiap bertemu teman, karakternya saya catat dalam ingatan, bagaimana suaranya, bentuk matanya, hidungnya, sinar matanya, nada suaranya, postur tubuhnya dan banyak karakter-karakter yang lain. Teman-teman yang mirip saya kelompokkan menjadi satu kelompok. Maunya untuk mempermudah mengingatnya.

Ternyata pengelompokan itu yang kemudian menjadi kelemahan saya, karakter teman yang mirip saling berdekatan sehingga sulit (karena terjadi tubrukan karakter) untuk mengingat salah satunya.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat telepon dari teman kost dulu. Tentu selain dari namanya, saya akan mengenal dari nada suaranya. Kebetulan suara teman saya itu sudah banyak berubah. Sehingga lama sekali saya mengorek-ngorek memori dikepala, mencari file teman saya itu. Alhamdulillah setelah agak beberapa lama saya bisa menemukannya dan langsung mengenalnya.

Tapi ada perasaan tidak enak. Seolah-olah saya melupakannya, padahal dulu dekat sekali, teman dekat kok lama sekali mengingatnya. Kami mempunyai hobi yang sama, bermain bola dan banyak kenangan dari main bola itu. Wah benar-benar tidak enah hati ini. Untuk menebus kesalahan saya itu, beberapa hari kemudian saya mengirim SMS untuk merekatkan kembali hubungan kami. Tapi SMS saya tidak dibalas. Waduh...

Karena pengalaman itu kemudian saya berjanji, kalau bertemu dengan teman lama, saya harus berusaha lebih keras untuk mengingatnya. Lebih cepat mencari filenya dan segera menggambarkannya di memori. Dan berhasil, beberapa hari kemudian saya bertemu seorang kawan lama. Tidak terlalu lama saya menemukan filenya. Langsung saya bisa mengenal nama dan karakternya. Memang wajahnya tidak banyak berubah.

Selang beberapa hari, saya disapa oleh seseorang di jalah arah ke masjid dekat kantor. Dia menyapa dengan akrab sekali, tapi saya belum berhasil mengingat siapa Dia. Saya coba membuka memori. Wah susah sekali, file orang di depan saya tidak ketemu. Saya tetap berbicara dengannya, tentu sambil pura-pura kenal. Dia tambah akrab. Wah gawat pikirku.

Karena takut menyinggungnya, saya berusaha sekuat tenaga untuk berpura-pura kenal. Sambil terus mencari-cari, mengobrak-abrik isi kepala. Dan setelah agak lama, Dia bertanya.

"Mas, ada kerjaan ?" seketika itu dada saya berdebar, siapa ya orang ini, jangan-jangan memang benar teman dekatku. "sudah lama saya nganggur" lanjutnya.

Dengan sedikit senyum saya mengalihkan perhatiannya untuk tidak nanya pekerjaan karena saya tidak punya pekerjaan untuknya, hehehe... saya sendiri masih karyawan Pak, perusahaan tempat saya bekerja juga masih kecil, pikirku. Tapi tidak langsung saya jawab, tidak, saya takut Dianya tersinggung. Saya nanya "sekarang tinggal dimana Pak ?"

"Di Sidoarjo, sama ibu" jawabnya.

Saya tetap mencoba mengingat-ingat, siapa orang di depan saya ini, ketemu dimana ya, jangan-jangan Dia dulu sering membantu saya dan sekarang menagih balas budi. Sungguh orang tak tau balas budi saya ini sampai tidak mengenalnya. Lama saya seperti melamun.

"Mas, minta rokoknya" saya agak kaget mendengar permintaannya.

"Waduh...Kebetulan saya tidak bawa rokok Pak" jawab saya

"Ya sudah, nanti saya beli sendiri saja, minta uangnya dong !"

"Wah, saya juga tidak bawa uang Pak, ini tadi saya mau ke masjid, dompet saya tinggal di kantor"

"Ya sudah", Dia menstarter motornya dan pergi.

Saya masih mengingat-ingat, membuka file-file di memori saya, siapa tahu ada yang terselip. Tapi tidak ketemu juga. Sampai sekarang pun saya tidak menemukannya.

Kamis, 07 Juni 2007

Puskesmas pun Ngeblog

Kamis, 07 Juni 2007

http://puskesmaspalaran.wordpress.com/
Waktu berjalan-jalan di Google, mencari artikel pendukung tentang kesehatan, saya menemukan blog puskesmas palaran. Wah senang sekali, puskesmas sebagai pelayan kesehatan masyarakat mempunyai blog. Saya langsung membayangkan, pelayan kesehatan punya sarana komunikasi yang bisa diakses oleh masyarakat dan bersedia bertukar pikiran dan gagasan sekaligus kritikan lewat reply-reply nya, sungguh menyenangkan sekali. Institusi kesehatan sebesar Rumah Sakit pun belum tentu bersedia untuk itu.

Blog ini dikelola oleh cakmoki (dr. Hatmoko), dulu beliau adalah Kepala Puskemas Rawat Inap Palaran. Blog ini dibuat untuk berbagi informasi tentang kesehatan masyarakat sekaligus menjaring kritik dan saran dari masyarakat untuk perbaikan pelayanan.

Kami hadir ingin berbagi informasi tentang kesehatan masyarakat terutama yang berhubungan dengan keseharian kita. Dengan makin pesatnya perkembangan TI rasanya tidaklah salah bila kami memanfaatkan media ini untuk menampilkan informasi layanan kesehatan di Puskesmas Rawat Inap Palaran, dengan harapan banyak pihak yang memberikan saran perbaikan kepada kami.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi sesama. Amin.


Sayang, sejak 28 Februari lalu, cakmoki mengundurkan diri sebagai pengelola. Pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada Kepala Puskesmas yang baru. Semoga postingan ini bukan yang terakhir dan pertanda matinya blog ini. cakmoki pun meninggalkan catatan

CATATAN:
Apabila ada diantara pengunjung yang berminat melanjutkan diskusi seputar kesehatan masyarakat terutama upaya peningkatan layanan kesehatan, dipersilahkan mengunjungi blog pribadi di : cakmoki Blog

Sejarah Tentara

Sunggung nyamannya jika tentara kita mempunyai hati nurani.
Bukan, ini bukan sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ini hanya sebuah persepsi saya tentang tentara, mulai kecil sampai sekarang. Persepsi tentang sesuatu mengalami perkembangan seiring dengan berkembangan usia dan pola pikirnya. Begitu juga dengan persepsi saya tentang tentara. Tentu saja perkembangan itu dipengaruhi juga oleh faktor internal, kejadian-kejadian yang sempat saya alami, baca maupun saya lihat.

Menjadi tentara menjadi salah satu cita-cita saya semasa kecil. Saya ingin menjadi pejuang, berkorban dan mengabdi pada negara ini. Menjadi tentaralah alternatif yang paling bagus. Pada waktu itu, di desa saya sedang banyak tentara, satu truk tentara menginap di balai desa. Ya, desa saya termasuk daerah yang terkena program ABRI Masuk Desa yang lebih dikenal dengan AMD.

Saya sering bermain dengan mereka, bergurau layaknya teman. Merekapun sangat senang jika saya dan teman-teman sebaya saya berkunjung ke balai desa, mengajak mereka main catur atau sepak bola. Sesekali main kartu, yang kalah dihukum mengenakan helm tempur tentara dari baja yang beratnya lumayan buat kepala kecil seperti saya.

Warga desa juga sangat senang dengan program itu. Desa jadi ramai dan tentu saja aman, waktu itu masih banyak pencuri yang berkeliaran di desa saya. Banyak infrastruktuf seperti jalan dan jembatan dibangun. Desa saya masih termasuk desa miskin jadi kami sangat senang pembangunan itu.

Ketika SMP, saya tambah semangat ingin masuk akademi militer. Saya sangat tertarik dengan film (atau sinetron ya...) bagaimana para taruna Angkatan Laut menjalankan pendidikan militer di Bumi Moro. Kesan saya, taruna-taruna itu sangat gagah dan berwibawa.

Ternyata teman-teman saya juga banyak yang ingin menjadi tentara. Waktu ada pendaftaran SMA Taruna Nusantara banyak yang mendaftar. Tapi saya tidak ikut mendaftar, saya tidak percaya diri dengan postur tubuh saya yang kecil dan kurus kering. Keinginan saya untuk menjadi tentara saya salurkan ke kegiatan kepramukaan. Lumayan bisa merasakan bagaimana susahnya belajar baris-berbaris dan halang rintang ala tentara.

Ketertarikan saya menjadi tentara berkurang saat saya masuk SMA, mungkin sudah capek disuruh tegap terus ketika menjadi Pramuka. Kakak sepupu saya juga memberikan pandangan yang lain. Kebetulan kakak sepupu saya itu berhasil masuk ITS. Mahasiswa ITS masih sangat jarang di desa bahkan di kecamatan saya. Sayapun beralih cita-cita, ingin masuk perguruan tinggi.

Alhamdulillah saya keterima UMPTN dan masuklah saya ke ITS. Selama menjadi mahasiswa saya aktif di salah satu kegiatan kampus. Sayapun banyak berkenalan dengan aktifis-aktifis kampus dan sering diskusi dengan mereka. Disitulah persepsi saya tentang tentara berubah 180 derajat.

Peristiwa reformasi saya alami. Banyak kejadian terjadi, menambah buruk citra tentara bagi saya. Manusia yang punya akal kok didoktrin untuk tidak digunakan. Apa yang dilakukannya hanya menurut perintah atasan. Tak perduli di depan siapa, kalau ada perintah tembah ya harus ditembak. Begitulah pandangan saya tentang tentara.

Kejadian di Alas Tlogo kemarin menambah gelap pandangan saya terhadap tentara. Selain dilarang berfikir dan membantah juga tidak punya hati nurani. Sungguh sangat kejam.

Saya penasaran, sebenarnya bagaimana sih tentara itu ? Ketemulah saya dengan sejarah tentara. Ternyata tentara dulu terbentuk dari rakyat yang berjuang demi kepentingan dan keselamatan rakyat. Pemberontakan PETA di Blitar juga karena melihat rakyatnya menderita akibat Romusa.

Tetapi mengapa sekarang rakyat yang harus menderita justru karena tentara. PETA sekarang bukan Pembela Tanah Air tapi Pembela Tanah Abah.

Saya hanya bisa berharap, semoga tentara itu tidak seburuk seperti apa yang saya persepsikan dan semoga saya menemukan alasan untuk merubah persepsi buruk itu.
12duadua © 2014