Pages

Jumat, 02 Juli 2010

Bergaul

Jumat, 02 Juli 2010

Saya membaca status seorang teman di situs jejaring sosial. Ia mengutip kitab Bughyah al-Mustarsyidin, salah satu kitab rujukan kyai-kyai Nahdatul Ulama karya Al-Hadrami.

Seorang tidak akan melakukan delapan hal kecuali Allah akan memberinya delapan hal pula. Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta. Kalau ia akrab dengan orang miskin, maka timbul dalam hatinya rasa syukur dan qana’ah. Kalau ia berteman dengan penguasa, maka timbullah rasa sombong.

Temanya menarik, tentang pergaulan. Disadari atau tidak, lingkungan pergaulan turut membentuk karakter kita. Bahkan teman-teman sepergaulan menunjukkan identitas diri seseorang. Jika ingin mengetahui siapa dia, lihatlah siapa teman-temanya.

Namun, rasanya kurang pas jika ajaran Al-Hadrami tersebut dimaknai sebagai anjuran untuk pilih-pilih teman. Misalnya dalam kalimat, “Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta.” Jika dimaksudkan anjuran untuk pilih-pilih teman, ajaran ini seolah-olah melarang kita bergaul dengan orang kaya, karena akan menjadikan kita senang terhadap harta.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah semua orang kaya itu senang harta? Jika benar, apakah senang harta itu sesuatu yang buruk?

Ketika merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu saya teringat, beberapa waktu lalu saya tertarik mengetahui kisah Warren Buffett, investor nomor wahid sejagad dan salah satu orang terkaya di dunia. Saya tertarik karena dia seorang yang bersahaja. Ia bukan tipe pebisnis yang mengandalkan kejelian melihat kekurangan orang lain dan mengambil untung darinya. Meski ia bermain saham, tapi ia bukan spekulan yang membeli disaat harga rendah dan menjualnya saat harganya melonjak.

Ia tidak akan membeli saham sebuah perusahaan jika produknya tidak dikenal betul. Tidak heran jika tidak satu pun saham perusahaan dotcom yang dimilikinya, karena ia tidak mengenal bisnis dotcom. Ia akan membangun perusahaan yang sahamnya dia beli sehingga perusahaan tersebut memunyai nilai tambah. Otomatis, nilai sahamnya juga akan bertambah. Di situlah ia mendapat untung. Karena gayanya itu, ia dijuluki pembeli bisnis, bukan pembeli saham.

Ada salah satu sifatnya yang menurut saya sesuai dengan tema ini. Dia orang kaya yang sederhada dan tidak pelit. Meski mampu membeli istana, tapi dia tetap tinggal di rumah yang dibelinya 40 tahun yang lalu. Ia sudah merasa cukup dengan itu.

Lalu, kemana uang-uangnya? Dia punya janji, setelah meninggal ia akan mendermakan hartanya. Namun, janji itu ia penuhi lebih cepat. Pertengahan 2006, ia menyumbangkan  sebagian besar sahamnya di Berkshire. Total sumbangannya waktu itu senilai US$ 31 milliar, jika dirupiahkan kurang lebih 300 trilliun.

Buffet merupakan salah satu bukti, menyenangi harta dan menjadi kaya bukanlah hal yang buruk. Bila kita membaca sejarah, sahabat-sahabat dulu juga banyak yang kaya raya, hartanya melimpah, ternaknya ribuan. Namun, kesenangannya terhadap harta tidak mengalahkan kecintaannya pada upaya memperjuangkan nilai-nilai Islam.

Karena itu, saya lebih suka memahami ajaran Al-Hadrami diatas sebagai rambu-rambu agar kita berhati-hati dalam bergaul. Berhati-hatilah bergaul dengan orang kaya, bisa-bisa kamu senang terhadap harta, bahkan melebihi orang kaya itu, sehingga kesenangan itu membuatmu lupa segalanya. Bergaullah dengan orang kaya untuk belajar bagaimana ia menggunakan potensinya mencapai kemakmuran dunia. Kemudian bersyukurlah atas apa yang kamu peroleh, karena disekitarmu masih banyak orang-orang yang lebih buruk keadaanya dibanding kamu.

Rabu, 30 Juni 2010

Kepedulian terhadap Risiko

Rabu, 30 Juni 2010
Menarik sekali sentilan kartun majalah Tempo edisi 28 Juni – 4 Juli 2010. Dalam kartun itu tertulis, “baru elpiji udah booom, apalagi nuklir”. Sindiran setengah mengejek itu sungguh tepat. Sejak dicanangkannya konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji, sering kita dengar berita, tabung gas meledak. Di Jakarta saja puluhan kasus terjadi selama empat bulan pertama tahun 2010.

Mari kita tengok data dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta. Dari Januari sampai April 2010 terjadi 205 kali kebakaran, 28 kasus diantaranya disebabkan oleh tabung gas elpiji tiga kilogram yang meledak.

Sangat sulit mengurai permasalan ini. Banyak analisa dikemukakan, mulai dari kurang berkualitasnya tabung gas yang beredar sampai dugaan adanya pihat-pihak yang memalsukan tabung gas. Terlepas dari apa penyebabnya, harus kita akui, ternyata kita memang belum siap dengan program konversi ini.

Ternyata, perubahan bukan hanya masalah teknis, menyalurkan gas elpiji ke masyarakat dan mengurangi stok minyak tanah, kemudian masalah selesai. Ada soal budaya di situ. Penggunaan gas elpiji memerlukan kehati-hatian dan kedisiplinan yang lebih dibanding minyak tanah. Bila ceroboh risikonya akan lebih besar.

Kepedulian terhadap risiko ini yang tampaknya kurang digarap dalam program itu. Tidak untuk menakut-nakuti tapi menjamin keselamatan. Misalnya di setiap desa ditugaskan seorang penyuluh, seperti penyuluh pertanian, yang tugasnya memastikan bahwa masyarakat benar dan mengikuti prosedur penggunaan kompor gas. Ia bisa juga menjadi rujukan bila masyarakat ada yang ragu-ragu apakah peralatan yang digunakan sudah memenuhi standar atau belum.

Lebih jauh lagi, ia menjadi pendeteksi dini jika ada pihak tertentu yang melakukan kecurangan, misalnya memasulkan tabung gas, menyuntik atau mengurangi isi gas, dan lain-lain.

Sentilan kartun majalah Tempo itu benar, jika kepedulian terhadap risiko masih seperti sekarang ini, rawan sekali jika rencana pengadaan energi nuklir itu dilaksanakan. Jika tetap dipaksakan, bahanya melebihi tabung gas yang meledak.

---------
Gambar pinjam dari sini
Sumber data dari Elpiji Meledak, Pertamina Salahkan Selang Bocor

Sabtu, 05 Juni 2010

Adhitia Sofyan (Cara Baru Jualan Musik)

Sabtu, 05 Juni 2010

http://adhitiasofyan.wordpress.com/
Mungkin cara inilah yang paling efektif melawan pembajak musik, merelakan sebuah karya diunduh, diedarkan, bahkan dibajak sekalipun.

Melalui sebuah blog, saya mengenal Adhitia Sofyan. Saya suka lagu-lagunya, tapi yang membuat saya salut, karyanya boleh disebar tanpa takut dengan tuntutan hak cipta. Bagaimana dia mendapat hasil jerih payahnya? “Album pertama saya di-download tiga ribu orang dalam dua hari pertama dan itu gratis. Saya cari uang lewat gigs,” katanya

Jumat, 28 Mei 2010

Kita yang Kreatif, Produsen Mobil yang Sebel

Jumat, 28 Mei 2010
Saya pernah mendengar cerita bahwa produsen mobil sangat jengkel pada orang Indonesia. Masalahnya, orang Indonesia itu sangat kreatif. Suku cadang mobil yang seharusnya diganti bisa berfungsi kembali berkat tangan-tangan trampil teknisi lokal kita. Pokoknya, selama suku cadang bisa diotak-atik, para teknisi lokal akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengganti dengan yang baru.

Akibat kreatifitas mengutak-atik itu, permintaan suku cadang baru tak sebanyak jumlah yang seharusnya. Otomatis, pendapatan produsen tak sesuai dengan yang diharapkan.

Tentu, cerita yang saya dengar itu hanya sekedar desas-desus, boleh juga disebut kabar burung yang tak bisa dipertanggungjawankan kebenarannya.

Namun, masuk akal sekali jika cerita tersebut memang benar. Mengganti suku cadang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kadang jauh lebih mahal dibandingkan me-reuse suku cadang tersebut. Kalau masih bisa digunakan, mengapa harus diganti. Kalau bisa menekan biaya, mengapa harus mengeluarkan lebih. Begitulah kira-kira prinsipnya.

Para podusen mobil mungkin akan lebih jengkel lagi jika mereka melihat bengkel di pelosok-pelosok Indonesia. Mereka lebih gila lagi, apa yang tidak bisa ditangai oleh teknisi di kota, ternyata bisa diselesaikannya.

Saya pernah menyervis mobil di bengkel sekitar Jakarta. Ada suku cadang yang divonis harus diganti. Saya tanya berapa biayanya. Ternyata mahal sekali. Saya memutuskan untuk membiarkannya dulu, nanti kalau sudah cukup dana baru diganti.

Tak lama setelah itu, saya pulang kampung. Saya menceritakan kerusakan itu kepada bapak saya. Kemudian, Bapak mengantar saya ke bengkel langganannya. Saya tercengang, ternyata suku cadang yang seharusnya diganti itu bisa berfungsi kembali dengan baik, dan biayanya sepuluh kali lebih murah dibanding kalau harus diganti.

Kreatifitas memang senjata yang ampuh. Dengan itu kita bisa memunyai kekuatan yang sangat dasyat.

Namun, untuk kreatifitas dalam urusan service-menyervice harus ditambah catatan, "perlu perhatian lebih pada suku cadang yang menyangkut keselamatan berkendara, jangan sampai kreatifitas itu justru menimbulkan bahaya."

Selasa, 11 Mei 2010

Museum Wayang, Indah tapi Kurang Menarik

Selasa, 11 Mei 2010
Saat teman mengajak ke Museum Wayang, saya bersemangat. Terik matahari tak jadi masalah. Saya membayangkan akan mendapat pengalaman yang mengesankan. Terus terang, baru siang itu saya tahu ada Museum Wayang, makanya saya penasaran.

Sampai di depan pintu masuk, penasaran saya bertambah. Pintunya begitu apik. Museum ini terletak di kawasan cagar budaya Museum Fatahilah. Bangunannya khas bangunan zaman Belanda, besar dan kokoh.

Setelah membayar tiket masuk yang hanya dua ribu, kami menyusuri ruangan demi ruangan, melewati lorong-lorongnya. Kami takjub dengan apa yang terpajang di etalase maupun di dinding-dinding. Sebuah karya seni yang sungguh indah.

Saya ingat pernah menulis tentang wayang di suatu media. Bentuk wayang yang sedang kami nikmati ini merupakan hasil kompromi antara larangan menciptakan bentuk menyerupai manusia dan keinginan penciptanya membuat karakter manusia.

Wayang memang diciptakan untuk menggambarkan berbagai macam karakter manusia. Interaksi antar karakter itu kemudian digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. ”Mana Janaka,” kata teman saya mencari tokoh Pandawa yang sering dijadikan idola itu. Teman saya yang satunya lagi tak henti-hentinya mengagumi keindahan bentuk dan ukiran wayang.

Saya juga sangat menikmati kunjungan ini. Namun, saya merasa ada yang kurang. Mengapa tempat yang menampung karya-karya indah ini tak membuat saya tertarik berkunjung lagi? Kenikmatan yang saya rasakan selesai begitu saja saat keluar museum. Harusnya, saya membawa setumpuk cerita yang bisa saya bagi-bagikan. Syukur lagi bisa menyerap pesan dari penggambaran masing-masing karakter wayang. Akan menjadi luar biasa.

Saya mengira-ira. Mungkin museum ini kurang menarik karena hanya sekedar memajang benda-benda, tak banyak yang saya peroleh selain keindahan. Akan lain apabila selain berjalan-jalan ada yang bercerita, menjelaskan siapa karakter yang sedang dilihat dan apa relevansinya dengan kehidupan sekarang. Apalagi kalau pengantar tersebut seorang dalang dan bisa menunjukkan keahliannya menghidupkan karakter itu.

Saat kami akan keluar, saya melihat beberapa turis sedang melihat-lihat souvnir. Tak tahu, apakah mereka memunyai pengalaman yang sama seperti saya, tapi kelihatannya mereka begitu antusias, semoga saja ada yang bisa mereka ceritakan setelah kembali ke negaranya.

Kamis, 15 April 2010

SurveyGizmo [Anda bisa survey meski bukan Lembaga Survey]

Kamis, 15 April 2010

http://www.surveygizmo.com
Menjelang makan siang, ponsel saya bergetar, ternyata istri saya yang menelpon. "Yah, tolong buatin survey online, kata Vic (teman istri saya) bisa lewat surveygizmo.com".

Saya langsung mengetik alamat itu ke browser di layar monitor. Untuk bisa memanfaatkan fasilitasnya saya harus mendaftar. Ternyata ada yang free account.

Your Account is Perfect for:
- Conducting Research
- Senior thesis research
- Dissertation research
- Test marketing & viability of new ventures
- Classwork
- Group projects
- Marketing Research & Consumer Behavior class
- Psychology & Sociology classes
- For Fun
- Poll friends to decide where to go for Happy Hour
- Create party RSVP forms
- Vote anonymously on club officers

Oke, saya langsung coba bikin kuesionernya. Tak terlalu lama, survey online sudah jadi. Silahkan kalau teman-teman ingin melihat, klick saja di Surve Sosial dan Kebijakan. Sekalian saja kalau berkenan mengisi.

Rabu, 14 April 2010

Anjing [Jangan Setia Pada Orang yang Tak Bertanggung Jawab]

Rabu, 14 April 2010
Saat berkunjung ke rumah teman, anjingnya menyalak-nyalak. "Maaf ya Mas, berisik," kata temanku merasa tak enak. Saya mengiyakan. Anjing penjaga rumah ya harus begitu, memberi tanda kepada majikannya saat ada orang asing masuk ke rumah.

Anjing itu sangat agresif. Saya gemetar membayangkan tubuh saya diterkam anjing seseram itu. Tapi saya bisa tenang karena teman saya sudah menyiapkan jalur yang aman untuk para tamunya.

Di lain waktu, saya bertamu ke rumah seorang kenalan. Saya agak merinding, banyak sekali anjing di rumahnya. Tapi anjing-anjing itu ramah, tak galak melihat orang yang belum dikenal. Saya tak tahu mengapa demikian, mungkin karena jenisnya atau fungsinya yang berbeda. Meski demikian, kenalan saya itu menyuruh hewan peliharaannya masuk ke daerah terpisah yang aman.

Anjing disebut sebagai binatang yang paling setia pada manusia. Tapi lebih tepatnya setia kepada manusia yang menjadi majikannya. Apa pun perintah majikannya akan dilaksanakannya. Termasuk mencurigai orang asing yang berbahaya, kalau perlu menerkamnya.

Kesetiaan itu akan berakibat fatal jika majikannya adalah manusia yang tak bertanggung jawab. Kesetiaan itu justru sangat berbahaya bagi manusia lain.

Di Sidoarjo, seekor rottweiler terlepas. Insting membuatnya berlari dan menyerang orang asing yang ada dihadapannya. Seorang anak yang sedang bermain tak jauh dari rumah majikannya menjadi korban. Koyakan gigi dan cakarnya membuat balita itu luka parah hingga harus dilarikan ke Rumah Sakit.

Keganasan seekor hewan tak bisa disalahkan, apalagi anjing yang memang dilatih untuk menyerang. Sang Majikanlah yang harus mempertanggujawabkan jatuhnya korban itu. Mengapa bisa lalai sampai terlepas dan menyerang.

Tapi anehnya, Sang Majikan sedikit pun tak punya empati, malah terkesan cuci tangan. Baru setelah warga beramai-ramai menyerbu rumahnya, ia mau membayar semua biaya pengobatan balita itu.

Ini pelajaran bagi saya, "janganlah setia pada orang yang tak bertanggung jawab, sangat berbahaya".

Senin, 05 April 2010

Petualangan Azif di Museum Nasional

Senin, 05 April 2010



Sepertinya Azif tak terlalu suka berkunjung ke Museum Nasional. Dia belum bisa menikmatinya, tak paham juga mengapa benda-benda kuno yang antik itu perlu dipajang disitu.

Sebenarnya kami sudah berusaha menjelaskan sesuai dengan jangkauan pemikirannya, ia hanya melihat sebentar kemudian asik berlarian dengan sepupunya.

Minggu, 04 April 2010

Gayus dan Engkong Penjual Pisang

Minggu, 04 April 2010
Bagi saya, apa yang dilakukan Gayus Tambunan sangat menyebalkan. Saya sudah berusaha menjadi orang bijak dengan membayar pajak seperti pesan dalam iklan itu. Saya sudah punya NPWP sebagai tanda kerelaan dipotong penghasilan saya. Saya pun berusaha mematuhi kewajiban memberikan laporan ke kantor pajak sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Tapi, pegawai pajak sendiri yang berkhianat, merekayasa pajak untuk memperkaya diri.

Saya yakin, Gayus melakukan itu bukan atas dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Penghasilan yang diterimanya sudah diatas standar, lebih dari 12 juta perbulan. Saya kira, penghasilan sebesar itu lebih dari cukup untuk biaya hidup diri dan keluarganya. Sangat mungkin sebagaian kebutuhan sekunder pun sudah bisa terpenuhi.

Potensi paling besar memunculkan kasus seperti Gayus ini bukan dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidup, melainkan keinginan mengejar gaya hidup. Seberapa pun penghasilan seseorang tak akan cukup jika gaya hidup yang terus dikejar. Bayangkan, menurut berita di media masa, pengeluaran Gayus setiap bulannya bisa lebih dari sepuluh juta.

Sebenarnya tak masalah seseorang memunyai gaya hidup mewah, asal benar-benar mampu. Namun, menurut penilaian Dr Andi Irawan (seorang pengkaji masalah ekonomi dan politik), Gayus masih dikategorikan belum mampu untuk itu. Di Koran Tempo (03/04/2010), Dr Andi menulis, Gayus yang kelas pekerja memunyai gaya hidup para leisure class, kelompok yang berorientasi pada kenyamanan, bersenang-senang, prestise dan status sosial.

Tarikan untuk menjadi leisure class sangatlah kuat. Apalagi, paradigma masyarakat sekarang lebih cenderung mengagungkan harta yang tampak seperti rumah, mobil, dan lain-lain daripada harta yang tak tampak seperti kepandaian dan kesalehan. Tarikan yang kuat itu membuat banyak orang mengambil jalan pintas untuk mencapainya. Dalam kasus Gayus ini, ia merekayasa pajak dengan imbalan sejumlah uang. Dengan cepat, miliaran rupiah terkumpul di rekening pribadinya.

Jalan pintas tak hanya menjadi pilihan seorang birokrat seperti Gayus, Engkong penjual pisang yang sering lewat di depan rumah pun memilih jalan itu. Ia ingin mendapat uang yang lebih banyak dengan jalan yang lebih cepat.

Begini ceritanya. Suatu hari istri saya membeli pisang satu "lirang" pada Engkong dengan harga lima belas ribu. Istri saya membayarnya dengan uang dua puluh ribuan. Engkong bilang tak ada kembaliannya. Spontan istri saya mengatakan, "ya sudah, kembaliannya buat Engkong saja".

Melihat reaksi spontan istri saya, Engkong kikuk. Dengan malu-malu ia mengeluarkan uang lima ribuan dari kantong celananya, "Ini Neng kembaliannya." Istri saya menolak. Sudah lama kami ingin membantu Engkong dengan memberinya lebih dari harga pisang yang kami beli. Kami salut dengan perjuangannya, ia yang serenta itu masih punya semangat berusaha. Engkong terheran, kemudian ia kembali memastikan bahwa istri saya rela memberikannya.

Saat itu  istri saya tidak marah, meski tahu kalau ditipu. Kemarahan itu sudah reda sekitar seminggu sebelumnya. Engkong yang sama menipu dengan memberi pisang yang tak sesuai dengan harga seperti kesepakatan awalnya.

Pagi itu Engkong mengatakan harga pisang yang dipilih istri saya tiga belas ribu. Tapi, saat pisang akan dibayar ia bilang harganya lima belas ribu. Istri saya pun kaget dan menyakinkan bahwa tadi sudah sepakat dengan harga tiga belas ribu. Namun, Engkong tetap kekeh mengatakan lima belas ribu. Dengan tak rela istri saya membayar lima belas ribu, padahal sudah ada niatan untuk membayar dengan dua puluh ribuan tanpa meminta kembalian.

Malamnya kami membahas kejadian itu dan sepakat untuk tetap membayar lebih pada Engkong untuk pisang yang akan kami beli berikutnya, apa pun yang terjadi, apakah nanti Engkong akan menipu atau tidak, tak menjadi soal, yang penting niat kami untuk membantu bisa tercapai.

Tujuan dari jalan pintas yang dipilih Engkong dan Gayus pastinya berbeda. Mungkin keduanya sama-sama ingin masuk ke leisure class, namun jenis dan tingkatannya tentu berbeda. Meski demikian, jalan keduanya tak bisa diterima oleh logika moral dan agama.

Saya setuju dengan Dr Andi. Ia menulis pada tajuk yang sama bahwa dalam jangka panjang perlu ada usaha untuk menanamkan pentingnya paradigma proses dalam mendapatkan kekayaan. Proses yang baik mendapat kekayaan lebih penting untuk dihargai daripada kekayaan itu sendiri. Kebersihan harta lebih tinggi nilainya dibanding jumlahnya.

Saya pun sependapat, tugas memanamkan paradigma itu terletak pada pundak kita semua, khususnya tugas para orangtua kepada anaknya, guru pada murid-muridnya, ulama dan rohaniawan pada jama'ahnya, serta tugas pemerintah melalui penegakkan hukum.


Catatan:
Gambar Engkong penjual pisang diatas bukan yang suka menipu, tapi Engkong yang satunya lagi.

Rabu, 31 Maret 2010

Sudimara Dikala Senja

Rabu, 31 Maret 2010



Menjemput istri di Sudimara. Ternyata, masih harus menunggu lama sampai kereta datang. Daripada nganggur, iseng-iseng motret sana-sini

Senin, 29 Maret 2010

Amplop dan Kelahiran

Senin, 29 Maret 2010
Sering saya menerima amplop kosong. Biasanya bertuliskan nama sebuah yayasan yatim piatu, panti jompo, pendidikan anak terlantar atau nama sebuah pesantren yang entah dimana. Ya, benar, pemberi amplop itu berharap saya menyumbang sejumlah uang.

Terkadang saya memberi, terkadang pula tidak. Tergantung apa kata hati kecil saya. Kalau bisikan dalam hati mengatakan "ya, berilah" maka amplop itu akan terisi. Tak peduli pemberi amplop itu menipu atau tidak. Itu bukan urusan saya, yang penting bagi saya adalah ikhlas.

Tapi, jika hati kecil saya mengatakan "tidak", maka saya biarkan amplop itu tetap kosong sampai di tangan orang yang mengumpulkannya.

Cerita amplop itu saya alami lagi pada suatu siang, saat saya hendak Shalat Jum'at. Di depan masjid, ada seseorang yang menghentikan saya. Ia berusia sekitar 40 tahunan. Sambil menatap saya, ia memberikan sebuah amplop. Saya sudah mengerti maksudnya, pasti meminta sumbangan.

Saya lihat ada tulisan di amplop itu. Saya membacanya. Astaga! Amplop itu bertertuliskan, "maaf mohon bantuan se ikhlas nya. Dana itu buat biaya lahiran istri saya". Di bawahnya ada penanda bertuliskan "(Pedagang Peci)". Saya trenyuh sekali membacanya.

Terbayang dalam angan-angan saya, seorang ibu sedang hamil tua mengerang kesakitan. Bayi dalam kandungannya meronta ingin segera keluar. Saya rasakan juga kepanikan seorang suami mencari biaya untuk persalinan istrinya. Hasil berdagang peci hanya cukup untuk menebus kebutuhan sehari-hari.

Tak perlu menunggu lama, hati saya mengatakan "berikan".

Alhamdulillah, saat selesai Shalat Jum'at, saya melirik beberapa jama'ah memasukkan sejumlah uang ke amplop itu. Semoga saja amal para jama'ah dan yang lainnya cukup menutupi biaya persalinan istrinya.

Kamis, 25 Maret 2010

Generasi Kurikulum

Kamis, 25 Maret 2010
Saat melintas di jalan Sultan Agung, Jakarta, saya melihat seorang anak perempuan, berseragam Sekolah Dasar (SD), sedang terkantuk-kantuk dibonceng motor (yang kemungkinan besar) ayahnya. Badannya terlihat lesu menanggung beban yang berat.

Dalam berita di televisi dilaporkan sekelompok pelajar SMA di Makassar mengadakan konvoi sepeda motor. Sebelumnya, mereka mencorat-coret baju seragam dengan cat semprot berbagai warna.Salah seorang diwawancarai. Ia mengatakan, konvoi ini merupakan ekspresi kelegaan mereka karena telah menyelesaikan Ujian Nasional (UN).

Saya ingin menggunakan ilmu "othak-athik gathuk" untuk melihat kedua peristiwa diatas. "Othak-athik Gathuk" itu mengait-kaitkan beberapa peristiwa atau segala sesuatu sehingga terlihat hubungannya. Apakah memang punya hubungan? Bisa ya, bisa tidak.

Kedua peristiwa yang saya ceritakan berkaitan dengan sekolah. Anak perempuan berseragam SD sedang menjalani proses sekolah, sedangkan anak-anak SMA yang berkonvoi baru selesai.

Yang menjalani proses, terlihat menanggung beban berat. Saking beratnya, mereka gembira dan lega setelah beban itu hilang. Lihatlah anak-anak SMA Makassar yang berkonvoi ria. Padahal, menurut saya, kegembiraan itu belum berdasar.

Ujian baru saja selesai, dikoreksi pun belum. Berarti, belum tentu juga mereka mendapat nilai bagus dan lulus. Tapi, bagi mereka yang penting lega, beban itu "sementara" sudah terlepas.

Benarkah sekolah menjadi beban? Perlu ada fakta lain yang di-"gathuk"-kan.

Saya melihat-lihat arsip melalui internet. Diantaranya, "Kurikulum Tidak Efektif - Pelajar Cenderung Stres", "Kurikulum Kita: Beban Berat Bagi Siswa", "Beban Siswa SMK Lebih Berat", dan "Empat Jam Sehari, 16 Buku, dan Dunia yang Musnah".

Ada yang menarik ingin saya ceritakan disini. Amelia Ayu (12), siswi SMP di Yogyakarta berkisah, selain jam-jam yang dihabiskan di sekolah, di rumah ia masih menambah 4 jam lagi, jam 15.00-17.00 dan 19.00-21.00 untuk mempelajari pelajaran sekolah.

Cukupkah? Ternyata belum. Amelia mengatakan, masih ada pelajaran yang belum sempet dipelajari. Ia merasa kesulitan membagi waktunya untuk semua pelajaran sekolah.

Di-"gathuk"-kan lagi. Jika sebagian besar waktu digunakan untuk pelajaran sekolah, kapan waktu bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya atau membantu orangtuanya mengerjakan pekerjaan rumahtangga, menyapu, mencuci pakaian dan lain-lain?

Padahal aktifitas-aktifitas selain belajar pelajaran sekolah itu menjadi media pembangunan karakter bagi anak.

Bisakah generasi kurikulum itu bisa berkembang jiwa dan badannya? Saya agak kawatir jika sistem belajar semacam ini terus dijalankan, generasi kita kurang terbangun jiwanya.

Ini hanya ilmu "othak-athik gathuk". Boleh diterima dan sangat boleh ditolak. Namun, tak ada salahnya kita merenung untuk pendidikan anak-anak kita.

[Gambar pinjam dari sini]

Selasa, 23 Maret 2010

Ke Istiqlal

Selasa, 23 Maret 2010

Saya memasang timer di camera dan lariiii....bergabung sama Azif dan Bundanya

Setelah keliling Jakarta, kami mengajak Azif mampir ke Istiqlal, dia terkagum melihat interior masjid yang megah. Dia juga suka pelatarannya yang luas. Dari situ bisa lihat puncak Monas.

Para Penghuni Kampus, Dimanakah Mereka Sekarang?

Ayahnya seorang buruh tani, ibunya "bakul" (penjual) sayuran. Meski demikian, tak menghalangi niatnya untuk kuliah di Perguruan Tinggi. Bagaimana dengan biaya hidup dan studinya? Tak kurang akal, dengan segala upaya ia berusaha mendapat biasiswa mulai dari semester pertama.

Ia juga memanfaatkan masjid sebagai tempat tinggalnya, untuk itu ia mengajukan diri menjadi pengurus masjid. Semua Unit Kegiatan Mahasiswa ia masuki dan berkeras menjadi sie konsumsi. Di posisi itu ia sering mendapat jatah dari kelebihan konsumsi saat seminar atau kegiatan lain.

Ia adalah Dr. Purwadi, doktor bidang filsafat Jawa. Teman-teman yang mengikuti Kick Andy episode "Mengejar Mimpi", 19 Maret yang lalu pasti mengetahui kisahnya. Sangat inspiratif, tentang orang-orang dari keluarga berekonomi lemah yang berhasil mengejar impiannya mencapai tingkat pendidikan tinggi. Ternyata Saldi Isra, Ahli Hukum Tata Negara yang terkenal itu juga berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Saya masih bisa membayangkan bagaimana suasana kampus waktu saya kuliah dulu. Mirip dengan Dr. Purwadi, banyak teman-teman saya yang tinggal di sekretariat Himpunan Mahasiswa, laboratorium atau di masjid kampus.

Setiap malam, kampus ramai. Di sudut-sudutnya selalu saja terdengar gurauan, teriakan dan nyanyian para penghuni kampus. Sekretariat Himpunan Mahasiswa jurusan saya disebut Graha, maka kami menyebut mereka "Penghuni Graha".

Adakah mereka sekarang?

Hari ini saya membaca berita di Kompas, "Kos Rp 2 Juta Sebulan di Yogya". Saya kaget membacanya. Ternyata, kos-kosan dengan fasilitas layaknya hotel sudah marak di Yogyakarta. Padahal dulu terkenal dengan hidup yang sederhana alias semuanya murah. Yang menyewa kamarnya bukan hanya karyawan, tapi juga para mahasiswa.

Tentu, yang tinggal disitu bukan mahasiswa seperti saya atau Dr. Purwadi dan teman-teman saya para penghuni kampus dulu. Fasilitas mewah bukan kebutuhan kami, yang paling penting terjangkau, syukur-syukur bisa gratis.

Ada dua sudut pandang untuk melihat fenomena ini, optimis dan pesimis. Sudut pandang optimis, mudah-mudahan ini yang sebenarnya terjadi, tempat kos mahal menjamur padahal biaya kuliah melambung. Berarti, mahasiswa yang kuliah berasal dari keluarga yang sangat mampu.

Jika sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah (seperti saat saya kuliah dulu), maka banyak keluarga dari daerah yang sangat mampu. Artinya, masyarakat di daerah jauh lebih makmur dibanding zaman saya mahasiswa dulu dan bisa jadi kesejahteraan negeri ini semakin merata. Sehingga, para penghuni kampus sudah tidak ada lagi.

Namun, saya sedih dan kawatir melihatnya dari sudut pandang pesimis. Sebenarnya, anak-anak muda setingkat penghuni kampus masih banyak. Mereka terpinggirkan karena kampus tak memberi tempat bagi mereka, sedang biaya ekonomi tinggi menggilasnya.

Mereka bukan menghilang, melainkan terbuang. Kampus bukan tempat bagi mereka, sepandai apa pun ia.

Bukankah masih ada biasiswa? Benar, dengan biasiswa beban biaya studinya berkurang. Tapi, bagaimana dengan biaya-biaya yang lain? Masihkan kampus memberinya tempat untuk tinggal saat mereka tak mampu membayar sewa kos? Bagaimana pula dengan harga-harga yang sudah berlipat-lipat dibanding dulu?

Saya berharap, ini hanya kekawatiran saya yang kurang benar.

[Catatan: gambar hanya ilustrasi saja]

Senin, 08 Februari 2010

Kaya, Sukses dan Bahagia

Senin, 08 Februari 2010
Salah satu orang terkaya di suatu negeri ditanya wartawan tentang rasanya menjadi orang yang sukses. Eh, bukannya menjawab dianya malah balik bertanya, "Menurut saudara, sukses itu apa sih?"

"Ya seperti Anda ini, menjadi orang terkaya di negeri ini," jawab si wartawan.

"Kalau yang saudara maksud sukses adalah kaya raya, punya banyak harta, mmmm....menurut saya itu belum cukup."

"Maksudnya?"

"Harus ditambah satu lagi, bahagia. Menurut saya, sukses itu bagaimana selalu bersyukur pada setiap tingkatan dalam hidup sehingga membuatnya merasa bahagia."

Orang kaya itu diam sejenak untuk memberi kesempatan wartawan berfikir. Setelah itu dia melanjutkan, "Kalau kepemilikan harta menjadi ukurannya, orang sukses akan selalu bersyukur saat hartanya belum banyak. Di level itu, ia menemukan kebahagiaan. Di saat ia kaya raya juga bersyukur, dan ia pun bertemu lagi dengan kebahagiaan."

Si wartawan mulai manggut-manggut. Si kaya berkata lagi, "Kalau konsepnya seperti itu, menjadi orang yang sukses tak harus menunggu kaya dulu. Banyak juga orang kaya yang tidak sukses karena hidupnya tidak bahagia."

"Kalau begitu, kita tak perlu menjadi kaya dong?" Si wartawan mulai menimpali.

"Lho siapa bilang? Kalau kita memilih menjadi kaya, kenapa tidak? Kalau kesempatan untuk menjadi kaya ada, kenapa tidak dikejar? Kalau kita merasa bisa lebih banyak berbuat kebaikan dengan menjadi orang kaya, kenapa tida diperjuangkan? Tapi jangan disalah pahami. Orang yang tak punya apa-apa pun bisa sukses karena dia bisa mencapai kebahagiaan."

"Contohnya."

Orang kaya itu tersenyum, kemudian berkata, " dahulu, ada seorang filsuf yang memilih untuk melepaskan semua kemelekatan pada dunia. Dia tidak memiliki apa-apa kecuali satu kantong untuk tidur, satu toples untuk tempat roti, dan sepasang baju yang dipakainya. Meski tak punya apa-apa dia merasa bahagia karena yang dianggap penghalang kebahagiaan sudah disingkirkan semuanya. Suatu hari, datanglang seorang raja menghampirinya. Raja suka kepadanya karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Raja ingin memberi imbalan kepadanya, semua permintaannya akah dituruti. Tapi yang dia minta cuma satu yaitu agar Raja geser sedikit dari tempatnya berdiri karena menghalangi kenikmatannya merasakan sinar matahari pagi."

------

Pertemuan si kaya dan wartawan itu berlangsung cukup lama karena keasikan berdiskusi. Sampai-sampai mereka berdua luma hari sudah hampir tengah malam.

"Wah lama sekali kita ngobrol ya," kata si kaya. "Kalau begitu mari ke ruang makan, kebetulan saya juga belum makan."

Si wartawan menolak, dia ingin kerja jurnalistiknya tidak dikotori dengan jamuan makan nara sumbernya. "Maaf, saya ingin menjadi orang sukses yang tadi Anda katakan. Biarlah saya menikmati level saya ini dengan makan di warteg sepulang dari sini. Itu sudah membuat saya bahagia."

"Okelah kalau begitu..."
12duadua © 2014