Pages

Jumat, 02 Juli 2010

Bergaul

Jumat, 02 Juli 2010

Saya membaca status seorang teman di situs jejaring sosial. Ia mengutip kitab Bughyah al-Mustarsyidin, salah satu kitab rujukan kyai-kyai Nahdatul Ulama karya Al-Hadrami.

Seorang tidak akan melakukan delapan hal kecuali Allah akan memberinya delapan hal pula. Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta. Kalau ia akrab dengan orang miskin, maka timbul dalam hatinya rasa syukur dan qana’ah. Kalau ia berteman dengan penguasa, maka timbullah rasa sombong.

Temanya menarik, tentang pergaulan. Disadari atau tidak, lingkungan pergaulan turut membentuk karakter kita. Bahkan teman-teman sepergaulan menunjukkan identitas diri seseorang. Jika ingin mengetahui siapa dia, lihatlah siapa teman-temanya.

Namun, rasanya kurang pas jika ajaran Al-Hadrami tersebut dimaknai sebagai anjuran untuk pilih-pilih teman. Misalnya dalam kalimat, “Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta.” Jika dimaksudkan anjuran untuk pilih-pilih teman, ajaran ini seolah-olah melarang kita bergaul dengan orang kaya, karena akan menjadikan kita senang terhadap harta.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah semua orang kaya itu senang harta? Jika benar, apakah senang harta itu sesuatu yang buruk?

Ketika merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu saya teringat, beberapa waktu lalu saya tertarik mengetahui kisah Warren Buffett, investor nomor wahid sejagad dan salah satu orang terkaya di dunia. Saya tertarik karena dia seorang yang bersahaja. Ia bukan tipe pebisnis yang mengandalkan kejelian melihat kekurangan orang lain dan mengambil untung darinya. Meski ia bermain saham, tapi ia bukan spekulan yang membeli disaat harga rendah dan menjualnya saat harganya melonjak.

Ia tidak akan membeli saham sebuah perusahaan jika produknya tidak dikenal betul. Tidak heran jika tidak satu pun saham perusahaan dotcom yang dimilikinya, karena ia tidak mengenal bisnis dotcom. Ia akan membangun perusahaan yang sahamnya dia beli sehingga perusahaan tersebut memunyai nilai tambah. Otomatis, nilai sahamnya juga akan bertambah. Di situlah ia mendapat untung. Karena gayanya itu, ia dijuluki pembeli bisnis, bukan pembeli saham.

Ada salah satu sifatnya yang menurut saya sesuai dengan tema ini. Dia orang kaya yang sederhada dan tidak pelit. Meski mampu membeli istana, tapi dia tetap tinggal di rumah yang dibelinya 40 tahun yang lalu. Ia sudah merasa cukup dengan itu.

Lalu, kemana uang-uangnya? Dia punya janji, setelah meninggal ia akan mendermakan hartanya. Namun, janji itu ia penuhi lebih cepat. Pertengahan 2006, ia menyumbangkan  sebagian besar sahamnya di Berkshire. Total sumbangannya waktu itu senilai US$ 31 milliar, jika dirupiahkan kurang lebih 300 trilliun.

Buffet merupakan salah satu bukti, menyenangi harta dan menjadi kaya bukanlah hal yang buruk. Bila kita membaca sejarah, sahabat-sahabat dulu juga banyak yang kaya raya, hartanya melimpah, ternaknya ribuan. Namun, kesenangannya terhadap harta tidak mengalahkan kecintaannya pada upaya memperjuangkan nilai-nilai Islam.

Karena itu, saya lebih suka memahami ajaran Al-Hadrami diatas sebagai rambu-rambu agar kita berhati-hati dalam bergaul. Berhati-hatilah bergaul dengan orang kaya, bisa-bisa kamu senang terhadap harta, bahkan melebihi orang kaya itu, sehingga kesenangan itu membuatmu lupa segalanya. Bergaullah dengan orang kaya untuk belajar bagaimana ia menggunakan potensinya mencapai kemakmuran dunia. Kemudian bersyukurlah atas apa yang kamu peroleh, karena disekitarmu masih banyak orang-orang yang lebih buruk keadaanya dibanding kamu.

1 komentar:

12duadua © 2014