Pages

Minggu, 04 April 2010

Gayus dan Engkong Penjual Pisang

Minggu, 04 April 2010
Bagi saya, apa yang dilakukan Gayus Tambunan sangat menyebalkan. Saya sudah berusaha menjadi orang bijak dengan membayar pajak seperti pesan dalam iklan itu. Saya sudah punya NPWP sebagai tanda kerelaan dipotong penghasilan saya. Saya pun berusaha mematuhi kewajiban memberikan laporan ke kantor pajak sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Tapi, pegawai pajak sendiri yang berkhianat, merekayasa pajak untuk memperkaya diri.

Saya yakin, Gayus melakukan itu bukan atas dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Penghasilan yang diterimanya sudah diatas standar, lebih dari 12 juta perbulan. Saya kira, penghasilan sebesar itu lebih dari cukup untuk biaya hidup diri dan keluarganya. Sangat mungkin sebagaian kebutuhan sekunder pun sudah bisa terpenuhi.

Potensi paling besar memunculkan kasus seperti Gayus ini bukan dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidup, melainkan keinginan mengejar gaya hidup. Seberapa pun penghasilan seseorang tak akan cukup jika gaya hidup yang terus dikejar. Bayangkan, menurut berita di media masa, pengeluaran Gayus setiap bulannya bisa lebih dari sepuluh juta.

Sebenarnya tak masalah seseorang memunyai gaya hidup mewah, asal benar-benar mampu. Namun, menurut penilaian Dr Andi Irawan (seorang pengkaji masalah ekonomi dan politik), Gayus masih dikategorikan belum mampu untuk itu. Di Koran Tempo (03/04/2010), Dr Andi menulis, Gayus yang kelas pekerja memunyai gaya hidup para leisure class, kelompok yang berorientasi pada kenyamanan, bersenang-senang, prestise dan status sosial.

Tarikan untuk menjadi leisure class sangatlah kuat. Apalagi, paradigma masyarakat sekarang lebih cenderung mengagungkan harta yang tampak seperti rumah, mobil, dan lain-lain daripada harta yang tak tampak seperti kepandaian dan kesalehan. Tarikan yang kuat itu membuat banyak orang mengambil jalan pintas untuk mencapainya. Dalam kasus Gayus ini, ia merekayasa pajak dengan imbalan sejumlah uang. Dengan cepat, miliaran rupiah terkumpul di rekening pribadinya.

Jalan pintas tak hanya menjadi pilihan seorang birokrat seperti Gayus, Engkong penjual pisang yang sering lewat di depan rumah pun memilih jalan itu. Ia ingin mendapat uang yang lebih banyak dengan jalan yang lebih cepat.

Begini ceritanya. Suatu hari istri saya membeli pisang satu "lirang" pada Engkong dengan harga lima belas ribu. Istri saya membayarnya dengan uang dua puluh ribuan. Engkong bilang tak ada kembaliannya. Spontan istri saya mengatakan, "ya sudah, kembaliannya buat Engkong saja".

Melihat reaksi spontan istri saya, Engkong kikuk. Dengan malu-malu ia mengeluarkan uang lima ribuan dari kantong celananya, "Ini Neng kembaliannya." Istri saya menolak. Sudah lama kami ingin membantu Engkong dengan memberinya lebih dari harga pisang yang kami beli. Kami salut dengan perjuangannya, ia yang serenta itu masih punya semangat berusaha. Engkong terheran, kemudian ia kembali memastikan bahwa istri saya rela memberikannya.

Saat itu  istri saya tidak marah, meski tahu kalau ditipu. Kemarahan itu sudah reda sekitar seminggu sebelumnya. Engkong yang sama menipu dengan memberi pisang yang tak sesuai dengan harga seperti kesepakatan awalnya.

Pagi itu Engkong mengatakan harga pisang yang dipilih istri saya tiga belas ribu. Tapi, saat pisang akan dibayar ia bilang harganya lima belas ribu. Istri saya pun kaget dan menyakinkan bahwa tadi sudah sepakat dengan harga tiga belas ribu. Namun, Engkong tetap kekeh mengatakan lima belas ribu. Dengan tak rela istri saya membayar lima belas ribu, padahal sudah ada niatan untuk membayar dengan dua puluh ribuan tanpa meminta kembalian.

Malamnya kami membahas kejadian itu dan sepakat untuk tetap membayar lebih pada Engkong untuk pisang yang akan kami beli berikutnya, apa pun yang terjadi, apakah nanti Engkong akan menipu atau tidak, tak menjadi soal, yang penting niat kami untuk membantu bisa tercapai.

Tujuan dari jalan pintas yang dipilih Engkong dan Gayus pastinya berbeda. Mungkin keduanya sama-sama ingin masuk ke leisure class, namun jenis dan tingkatannya tentu berbeda. Meski demikian, jalan keduanya tak bisa diterima oleh logika moral dan agama.

Saya setuju dengan Dr Andi. Ia menulis pada tajuk yang sama bahwa dalam jangka panjang perlu ada usaha untuk menanamkan pentingnya paradigma proses dalam mendapatkan kekayaan. Proses yang baik mendapat kekayaan lebih penting untuk dihargai daripada kekayaan itu sendiri. Kebersihan harta lebih tinggi nilainya dibanding jumlahnya.

Saya pun sependapat, tugas memanamkan paradigma itu terletak pada pundak kita semua, khususnya tugas para orangtua kepada anaknya, guru pada murid-muridnya, ulama dan rohaniawan pada jama'ahnya, serta tugas pemerintah melalui penegakkan hukum.


Catatan:
Gambar Engkong penjual pisang diatas bukan yang suka menipu, tapi Engkong yang satunya lagi.

8 komentar:

12duadua © 2014