Pages

Kamis, 25 Maret 2010

Generasi Kurikulum

Kamis, 25 Maret 2010
Saat melintas di jalan Sultan Agung, Jakarta, saya melihat seorang anak perempuan, berseragam Sekolah Dasar (SD), sedang terkantuk-kantuk dibonceng motor (yang kemungkinan besar) ayahnya. Badannya terlihat lesu menanggung beban yang berat.

Dalam berita di televisi dilaporkan sekelompok pelajar SMA di Makassar mengadakan konvoi sepeda motor. Sebelumnya, mereka mencorat-coret baju seragam dengan cat semprot berbagai warna.Salah seorang diwawancarai. Ia mengatakan, konvoi ini merupakan ekspresi kelegaan mereka karena telah menyelesaikan Ujian Nasional (UN).

Saya ingin menggunakan ilmu "othak-athik gathuk" untuk melihat kedua peristiwa diatas. "Othak-athik Gathuk" itu mengait-kaitkan beberapa peristiwa atau segala sesuatu sehingga terlihat hubungannya. Apakah memang punya hubungan? Bisa ya, bisa tidak.

Kedua peristiwa yang saya ceritakan berkaitan dengan sekolah. Anak perempuan berseragam SD sedang menjalani proses sekolah, sedangkan anak-anak SMA yang berkonvoi baru selesai.

Yang menjalani proses, terlihat menanggung beban berat. Saking beratnya, mereka gembira dan lega setelah beban itu hilang. Lihatlah anak-anak SMA Makassar yang berkonvoi ria. Padahal, menurut saya, kegembiraan itu belum berdasar.

Ujian baru saja selesai, dikoreksi pun belum. Berarti, belum tentu juga mereka mendapat nilai bagus dan lulus. Tapi, bagi mereka yang penting lega, beban itu "sementara" sudah terlepas.

Benarkah sekolah menjadi beban? Perlu ada fakta lain yang di-"gathuk"-kan.

Saya melihat-lihat arsip melalui internet. Diantaranya, "Kurikulum Tidak Efektif - Pelajar Cenderung Stres", "Kurikulum Kita: Beban Berat Bagi Siswa", "Beban Siswa SMK Lebih Berat", dan "Empat Jam Sehari, 16 Buku, dan Dunia yang Musnah".

Ada yang menarik ingin saya ceritakan disini. Amelia Ayu (12), siswi SMP di Yogyakarta berkisah, selain jam-jam yang dihabiskan di sekolah, di rumah ia masih menambah 4 jam lagi, jam 15.00-17.00 dan 19.00-21.00 untuk mempelajari pelajaran sekolah.

Cukupkah? Ternyata belum. Amelia mengatakan, masih ada pelajaran yang belum sempet dipelajari. Ia merasa kesulitan membagi waktunya untuk semua pelajaran sekolah.

Di-"gathuk"-kan lagi. Jika sebagian besar waktu digunakan untuk pelajaran sekolah, kapan waktu bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya atau membantu orangtuanya mengerjakan pekerjaan rumahtangga, menyapu, mencuci pakaian dan lain-lain?

Padahal aktifitas-aktifitas selain belajar pelajaran sekolah itu menjadi media pembangunan karakter bagi anak.

Bisakah generasi kurikulum itu bisa berkembang jiwa dan badannya? Saya agak kawatir jika sistem belajar semacam ini terus dijalankan, generasi kita kurang terbangun jiwanya.

Ini hanya ilmu "othak-athik gathuk". Boleh diterima dan sangat boleh ditolak. Namun, tak ada salahnya kita merenung untuk pendidikan anak-anak kita.

[Gambar pinjam dari sini]

4 komentar:

12duadua © 2014