Pages

Sabtu, 12 September 2009

Silaturahmi, Perlukah Berkunjung?

Sabtu, 12 September 2009
Pastinya semua setuju kalau silaturahmi itu baik dan perlu untuk kita lakukan. Silaturahmi itu dapat melapangkan rezeki dan memanjangkan umur, begitu kira-kira sabda Nabi.

Di era kemajuan telekomunikasi seperti sekarang ini, sangat mudah menjalin hubungan silaturahmi. Jarak dan waktu tak menjadi soal. Setiap saat kita bisa bertegur sapa dengan kerabat dan sahabat di belahan bumi yang jauh, tanpa kita bertemu langsung dengan mereka.

Meski demikian, bersilaturahmi dengan berkunjung tetap harus diusahakan, meski hanya sesekali saja, terutama dengan kerabat dan sahabat dekat. Keakraban bisa kita jalin dengan bantuan alat telekomunikasi, namun keakraban akan jauh lebih dekat jika kita mau berkunjung ke tempat tinggal mereka.

Ketika bertandang, kita bisa mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya. Ya kalau baik-baik saja sih alhamdulillah, tapi kalau keadaan mereka membutuhkan bantuan dan mereka enggan memintanya, kita tak akan mengetahuinya.

Saya punya cerita. Saya tulis kembali dari kisah nyata. Ada seseorang pergi ke Jakarta. Selain berkunjung ke rumah anaknya, ia ingin mencari saudara sepupunya. Sudah puluhan tahun sepupunya itu merantau dan tak pernah pulang. Mereka berdua hanya berkirim kabar melalui telepon, sesekali berkirim surat.

Saat telepon, keadaan sepupunya itu sepertinya baik-baik saja. Tapi, setelah mengetahui rumah sepupunya, ia tak kuasa menahan air matanya. Rumahnya di ujung lorong sempit sebuah kampung kumuh. Itu pun bukan rumahnya sendiri.

Sehari-hari sepupunya itu berjualan koran dari jam 5 sore sampai jam 2 dinihari. Tak jarang ia pulang setelah subuh. Karena sering menghirup udara malam dan juga polusi, ia terserang penyakit paru-paru. Tubuhnya kurus kering tanpa daging.

Pertemuan kedua saudara itu menjadi pertemuan yang mengharukan. Ia tak menyangka, keadaan sepupunya begitu mengenaskan. Jauh sekali dengan bayangannya saat berbicara lewat telepon. Mungkin sepupunya sungkan untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya, takut dikira meminta-minta.

Dibalik kesedihannya itu ia lega, akhirnya bisa melihat keadaan sepupunya yang sebenarnya dan bisa membantu sekuat kemampuannya.

Selasa, 01 September 2009

Yang Membutuhkan dan Dibutuhkan

Selasa, 01 September 2009
Hampir di setiap lampu merah Jakarta bisa saya temui peminta-minta. Saya selalu memperhatikan mereka, bagaimana gayanya meminta. Teman-teman pasti sudah banyak yang tau bagaimana ganya orang-orang yang meminta itu.

Saya tak sedang membahas soal gaya mereka, namun saya melihat bagaimana kerasnya usaha orang tatkala membutuhkan sesuatu. Peminta itu membutuhkan uang untuk mempertahankan hidupnya, uang begitu penting baginya. Apa pun dilakukan untuk mengundang iba orang yang didekatinya. Sementara orang yang didekati itu terkadang tak merasa membutuhkannya sehingga cuek-cuek saja.

Apabila yang menjadi ukuran adalah uang, maka yang tak punya uang menjadi yang membutuhkan dan yang berpunya berperan sebagai yang dibutuhkan. Begitulah memang, yang merasa dibutuhkan sering kali berlagak acuh dan merasa dirinya lebih tinggi dari yang membutuhkan. Dan yang membutuhkan berusaha menempatkan dirinya serendah mungkin.

Namun jika kebaikan yang menjadi ukurannya, bisa berubah menjadi kebalikannya. Yang berpunya justru menjadi yang membutuhkan dan yang tak berpunya menjadi yang dibutuhkan. Yang berpunya butuh berbuat baik. Kalau pun tidak, ia memunyai kewajiban untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada yang tak berpunya. Dan sebenarnya, ia harus mencari sendiri atau dibantu mencari orang-orang yang berhak menerimanya karena ia yang butuh untuk mensucikan hartanya.

Kalau sudah demikian, orang yang berpunya, karena merasa membutuhkan, akan mencari dimana orang-orang yang tak berpunya. Ia akan melihat tetangga kanan-kirinya, berkeliling ke kampung-kampung, masuk ke gang-gang sempit untuk mencari siapa saja orang-orang yang tak berpunya. Jika ia bertemu orang itu, ia akan sangat berterima kasih karena mau menerima pemberian darinya. Mengapa harus berterima kasih? Ya karena orang itu telah memberi kesempatan kepadanya untuk berbuat baik atau telah membantu mensucikan hartanya.

Sekarang, bagaimana yang tak berpunya? Mereka tak harus berada di perempatan-perempatan lampu merah, tak perlu berkeliling ke rumah-rumah dengan sandal japitnya, juga tak perlu berdesak-desakan sambil membawa kupon untuk ditukar dengan sembako.

Mereka tak perlu berpikir untuk itu sehingga pikiran mereka terfokus pada ikhtiar mencari rezeki tanpa meminta-minta. Kalau dengan ikhtiar itu mereka tetap tak berpunya, tak usah kawatir karena akan ada orang-orang berpunya yang mendatangi rumah mereka untuk berbuat baik atau mensucikan hartanya.

--------------
Pinjam gambar dari sini

Kamis, 13 Agustus 2009

"ALL about MARRIAGE" Pengajian Islam for Busy People

Kamis, 13 Agustus 2009
Start:     Aug 19, '09 6:30p
End:     Aug 19, '09 9:00p
Location:     Red Pepper, Basement Level @ Plaza Indonesia, Jl. M. Thamrin, Jakarta Pusat
Pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang dijalani dengan kesungguhan hati dan perbuatan. Pastikan Anda memahami seluk-beluknya.

Plaza Indonesia & Majalah Alhamdulillah It's Friday menghadirkan Islam for Busy People dengan tema:
"ALL about MARRIAGE" dan juga akan membahas "nikah siri", "nikah mut'ah" dan poligami. Bersama Muchlis M. Hanafi (Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an).

Untuk rsvp, ketik: DAFTAR [spasi] NAMA ANDA kirim ke: 0817742438. Untuk info lengkap: Yulia 081386186851.

Senin, 03 Agustus 2009

Noe Letto

Senin, 03 Agustus 2009



Hehehehe...sempet ikut nonton acara Dering live di Mall if Indonesia...

Jumat, 31 Juli 2009

Di Perpustakaan

Jumat, 31 Juli 2009



Saat ke Rumah Dunia aku lihat dua anak SD sedang mencari-cari bahan untuk mengerjakan tugas sekolah

Kamis, 23 Juli 2009

Mengaji

Kamis, 23 Juli 2009



Bapak ini sedang menyimak al-Qur'an saat mengikuti Pengajian Tafsir di Pusat Studi al-Qur'an [PSQ], Ciputat

Minggu, 19 Juli 2009

Awan

Minggu, 19 Juli 2009



Kata temenku, sulit mencari awan yang bagus di Jakarta. Pagi kemarin cerah banget, aku ambil kamera dan dapatlah awan-awan ini

Sabtu, 18 Juli 2009

Banyak Arti Cinta itu Bukanlah Cinta

Sabtu, 18 Juli 2009
“Banyak arti tentang cinta, namun itu bukanlah cinta yang sebenarnya,” demikian ungkap Muchlis M. Hanafi saat membuka uraiannya tentang cinta. Bang Muchlis, sapaan beliau, tak lupa menyampaikan bahwa cinta tak terlarang dalam Islam, asal cara mengekspresikannya tak menyalahi kaidah-kaidah Islam.
    Pembahasan tentang cinta ini dikemas dalam pengajian rutin ALiF bertajuk Islam for Busy People yang digelar 15 Juli 2009 di Soho Café, Senayan City. Tema yang diangkat kali ini adalah “Cinta Terlarang”. Tema ini sangat menarik. Buktinya, perserta yang sebagian besar adalah profesional muda, antusias berdiskusi. Bukan saja dengan Bang Muchlis, diskusi juga terjadi antar-peserta.
    Salah seorang peserta laki-laki meminta tanggapan Bang Muchlis yang langsung direspon sorak-sorai peserta lain. Ia mengatakan, banyak teman perempuannya sering curhat [curahan hati-Red] kepadanya. Lama-kelamaan ia merasa terganggu karena teman-temannya itu tak kenal waktu. Terkadang malam-malam mengontak untuk mengajak bicara, padahal saat itu ia sedang tidur bersama istrinya.
    Seorang psikolog yang kebetulan hadir saat itu menyampaikan pendapatnya. Memang ada tipe-tipe orang yang enak di-curhat-i, perhatian, dan mau mendengar. Jarang ada orang yang mau mendengar keluhan orang lain. Sebenarnya tak masalah jika ada batasan yang tegas. Jangan sampai awalnya curhat kemudian berlanjut ke perselingkuhan.
    Bang Muchlis menambahkan, permasalahan dalam rumahtangga itu hendaknya diselesaikan dulu antar-suami istri. Jika tidak bisa, pilih orang dari keluarga suami atau istri untuk menjadi penengah. Bisa juga datang ke psikolog atau penasehat perkawinan. Jadi tak sembarang orang bisa menjadi penengah, apalagi apabila curhat itu memungkinkan terjadi perselingkuhan atau hubungan yang tak baik.
    Diskusi berkembang ke masalah-masalah yang lain, seperti jodoh, pacaran, dan lain sebagainya. Tak terasa dua jam telah terlewati dan terpaksa penyelenggara menutup pengajian itu. Sebelum ditutup, diumumkan tema pengajian untuk bulan depan dari hasil polling peserta yaitu tentang “Pernikahan”.
    Tunggu informasi dari ALiF untuk pengajian Islam for Busy People bulan depan dan nikmati diskusi yang hangat dan menarik soal pernikahan.

Jumat, 17 Juli 2009

Selepas Shalat Jum'at

Jumat, 17 Juli 2009



Di halaman sebuah masjid selepas Shalat Jum'at...Wuih..ramai sekali.

Masjid Blok A Tanah Abang




Masjid ini terletak di atap Blok A Pasar Tanah Abang. Bangunannya menarik, fasilitasnya lengkap dan bersih. Suasana sangat sejuk, pas bagi teman-teman yang kelelahan keliling Pasar Tanah Abang untuk sekedar leyeh-leyeh atau melaksanakan kewajiban shalat.

Rabu, 10 Juni 2009

Sebuah Pesan

Rabu, 10 Juni 2009
Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa Sang Maha Kuasa tak diam, duduk manis di singgasana-Nya. Saya yakin, Ia tetap memantau segala aktifitas di jagad raya ini. Ia pun selalu memberi petunjuk dan menyampaikan pesan-pesan kepada mahkluknya agar tak tersesat untuk sampai kepada-Nya. Namun, ada mahkluk-Nya yang peka dan ada juga yang tidak.

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang yang peka terhadap pesan itu. Ia adalah sopir taksi yang kebetulan saya tumpangi. Seperti biasa, jika tak sedang lelah atau sumpek, saya mengajak ngobrol sopir taksi yang saya naiki. Saya membuka obrolan dengan pertanyaan standard, "Bapak sudah punya anak berapa?"

"Malu Mas," jawabnya.

"Lho, mengapa mesti malu?"

"Anak saya banyak Mas, empat orang."

"Ya nggak perlu Malu lah Pak, kalau sudah dikasih ya berarti Bapak mampu."

Lama-lama sopir taksi itu bercerita. Sebenarnya ia dan istrinya berencana untuk tak punya banyak anak, dua sudah cukup, paling banyak tiga. Ia dan istrinya sepakat untuk memakai alat kontrasepsi. Tapi, meski sudah berusaha, anaknya yang ketiga lahir, yang keempat pun juga lahir.

Saat hamil anaknya yang keempat ia dan istrinya bingung. Apa jadinyanya keluarganya nanti. Bisakah ia hidup dengan empat orang anak, padahal hidupnya masih susah. Ia dan istrinya kalut. Dalam keputus-asaan, ia dan istrinya sepakat untuk menggugurkannya. Tapi, sebuah peristiwa membuat rencana pengguguran itu batal.

Peristiwa itu berawal dari naiknya seorang ibu setengah tua menumpang taksinya. Perjalanannya lumayan jauh, Jakarta-Bogor. Rupanya ibu itu seorang yang ramah. Sepanjang perjalanan ia terus diajak ngobrol. Ketika taksinya masuk wilayah bogor, ibu itu bercerita tentang pengalamannya ketika berhaji.

Di tanah suci, ibu itu terheran-heran. Dalam bayangannya, ada seorang anak kecil yang berteriak memanggil-manggilnya. Sesaat kemudian, ibu itu tersadar, ia langsung berlutut dan memohon ampun. Tak kuasa pula ia menahan tangis. Ia teringat, dulu ia pernah meminta anaknya menggugurkan kandungannya.

"Saya langsung gemetar Mas," kata sopir taksi itu pada saya.

Setelah ibu hajah itu turun dari taksi. Ia langsung menelpon istrinya. Ia bilang agar bayi dalam kandungan itu tetap dipertahankan. "Biarkan saja dia lahir," katanya.

"Pesan, Ia mengirim pesan melalui ibu hajah," pikirku. Saat itu saya merinding, saya merasakan betapa besar kuasa-Nya. Tangan-Nya melingkupi seluruh jaga raya ini. Tapi yang lebih besar lagi adalah kasih dan sayang-Nya. Ia kirimi sopir taksi itu pesan agar kemiskinan tak menjadi alasan untuk melakukan perbuatan nista.

Saya lebih merinding lagi ketika sopir taksi itu melanjutkan ceritanya. "Tau nggak Mas, ketika saya harus melunasi tagihan rumah sakit untuk biaya melahirkan, tiba-tiba rejeki itu mengalir begitu saja. Padahal paginya saya bingung setengah mati, darimana saya dapat uang sebesar itu."

Memang pagi itu ia sangat bingung. Usahanya pinjam uang ke tetangga dan saudaranya belum cukup menutupi biaya rumah sakit, sisanya masih berbilang jutaan. Akhirnya, ia berangkat kerja dengan pasrah, yang penting berusaha.

Di sebuah jalan di Jakarta, ada bapak-bapak yang menumpang. Eh bapak itu bercerita, dirinya baru saja mendapat proyek besar. Kemudian dari sakunya ia keluarkan sejumlah uang dan diberikan kepadanya. "Segitu cukup Pak?" tanya bapak itu.

"Ya kalau ukurannya cukup sih nggak ada cukupnya Pak," jawannya.

Eh, bapak itu merogoh saku lagi, mengeluarkan uang dan diberikan kepadanya lagi. Ia sama sekali tak menyangkanya. Jawabanya tadi bukan bermaksud untuk meminta tambahan. Ia hanya ingin mengatakan, sifat manusia itu tak pernah cukup, diberi berapa pun pasti nggak akan cukup.

Sehari itu, ia mendapati beberapa penumpang yang hampir sama dengan bapak pemenang proyek itu, orang-orang yang berpunya dan baik hati. Sehingga hari itu juga, ia mendapat uang yang cukup untuk membayar tagihan rumah sakit.

Alhamdulillah, saya berucap syukur. Hari itu saya mendapat pelajaran (pesan) yang sangat berharga. Dia yang menunjukkan kita jalan, Dia juga yang akan memberi kita kekuatan untuk menyusurinya.

rasanya kok pernah nulis kayak gini, dimana ya? hehehehe....

Rabu, 03 Juni 2009

Jangan Anggap Kami Bodoh

Rabu, 03 Juni 2009
Saya trenyuh dan sedih dengan kasus yang menimpa Ibu Prita Mulyasari. Saya langsung memberikan dukungan lewat Facebook dan memasang banner dukungan itu di Multiply ini. Ketika membaca berita-berita di media, saya langsung merasa ada yang salah dengan penahanan beliau.

Saya kurang tahu, dukungan spontan saya itu karena penilaian emosional saya atau karena pengalaman saya yang berlawanan dengan kasus Ibu Prita.

Dulu, kami pernah membawa pembantu saya berobat ke salah satu rumah sakit di Malang. Pembantu saya mengeluh mual dan sudah lebih dari tiga hari badannya panas. Setelah masuk UGD, dokter jaga waktu itu melakukan tes darah. Ternyata trombositnya cuma 80 ribu. Kesimpulannya, pembantu saya terkena demam berdarah.

Setelah dirawat tiga hari, trombositnya naik. Hari itu juga diputuskan boleh pulang. Namun, beberapa jam sebelum pulang, pembantu saya muntah darah dan kondisinya drop.

Dilakukanlah diagnosis ulang. Akhirnya ketahuan, pembantu saya terkena kanker hati yang sudah parah. Dokter yang bertugas waktu itu menjelaskan dengan rinci prosedur yang akan dilakukan. Kami pun mendapat rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam.

Lebih satu minggu pembantu saya dirawat di rumah sakit itu. Setiap habis pemeriksaan, dokter memanggil saya ke ruanggannya. Dijelaskan kondisi pembantu saya dan treatment apa yang akan dilakukan. Tak satu pun yang disembunyikan. Bahkan obat-obat yang akan diberikan dijelaskan degan detail.

Kami pun berdiskusi. Dokter itu juga memberikan no HP-nya jika sewaktu-waktu kami butuh berkonsultasi. Kami semua merasa tenang, meski belum bisa dipastikan kapan pembantu saya boleh dibawa pulang.

Yang membuat kami tenang adalah karena kami merasa dimanusiakan, tidak dianggap bodoh. Meskipun dokter yang lebih tahu semua tindakan medis, tapi kami diajak ngobrol dan berdiskusi seolah-olah kami rekan satu timnya.

Lebih terharunya lagi, setelah mengetahui yang dirawat itu bukan keluarga saya, dan yang menanggung semua biaya adalah saya, dokter itu menggratiskan seluruh biaya kunjungannya.

Berdasarkan pengalaman itu, saya bisa langsung menilai, jelas perlakuan kepada Ibu Prita itu bukanlah perlakuan yang seharusnya diberikan oleh institusi medis, lebih-lebih rumah sakit itu dibilang berstandart internasional. Rasanya kok jauh sekali ya.

Kekurang cerdasannya lagi, membawa kasus Ibu Prita ke delik hukum tanpa mempertimbangan situasi politik sekarang. Lihat saja, tokoh-tokoh politik memanfaatkan momentum ini untuk meraih simpati masyarakat. Hasilnya, bukan Ibu Prita yang mendapat pandangan negatif, justru rumah sakitnya yang banyak dikecam.

Bagi perusahaan jasa, kecaman itu pertanda yang sangat buruk dan akan sangat merugikan perusahaan di masa yang akan datang. Saya membaca sebuah komentar dari seseorang di media yang mengharamkan keluarga dan keturunannya berobat ke rumah sakit itu. Hampir semua komentar senada dengan itu. Kalau sudah begini, cilaka dua belas, ambruklah image rumah sakit itu. Sia-sia biaya advertising yang dikeluarkannya.

Senin, 25 Mei 2009

The Devil and Miss Prym

Senin, 25 Mei 2009
Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Paulo Coelho
Sebenarnya, manusia itu pada dasarnya baik atau jahat? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab. The Devil and Miss Prym, sebuah novel yang berdasar pada pertanyaan itu.

Carlos, seorang pendatang, membuat sebuah permainan di sebuah desa terpencil bernama Viscos. Ia menyembunyikan sepuluh batang emas di sebuah tempat. Nilai emas itu sangat besar. Saking besarnya, emas itu bisa mendatangkan kemakmuran pada seluruh penduduk Viscos.

Carlos akan memberikan semua emas itu jika dalam jangka waktu seminggu, ada penduduk Viscos yang tewas terbunuh. Jika demikian, maka Carlos bisa mengatakan bahwa sebenarnya manusia itu bersifat jahat. Namun jika sebaliknya, ia akan mengakui bahwa sebenarnya manusia itu baik.

Namun, permainan itu tak segampang rencana Carlos. Chantal, seorang perempuan muda satu-satunya di Viscos, ternyata ikut mengendalikan permainan. Chantal dijuluki penduduk desa dengan sebutan Miss Prym. Kehadiran Chantal membuat permainan menjadi rumit. Setiap kejadian tak berjalan linier. Ada banyak kemungkinan yang terjadi dari satu stimulus yang dilempar oleh Carlos maupun Chantal.

Lebih rumit lagi setelah penduduk desa juga ikut-ikutan bermain. Ternyata mereka bukan buah catur yang bisa dimainkan sesuai kehendak dua pengendalinya.

Membaca The Devil and Miss Prym ini seperti melihat ke dalam diri kita masing-masing. Ada pertentangan antara baik dan jahat. Seperti pertentangan saat kita menemukan sebuah dompet di jalan. Dompet itu berisi uang yang tak sedikit, bisa untuk membayar hutang-hutang kita pada rentenir yang bunga berbunga. Juga ada kartu identitas pemilik dompet itu di dalamnya.

Sisi jahat kita berkata, "Sudah ambil saja, ini rejeki yang jatuh dari langit. Kapan lagi kamu dapat kesempatan melepaskan cekikan rentenir itu. Tak mungkin kan mengandalkan gajimu tiap bulan?" Tapi sisi baik kita akan berkata sebaliknya, "Uang ini bukan hakmu, lebih baik kamu kembalikan kepada yang berhak. Bukankah kamu bisa mencarinya dengan kartu identitas itu?" Pertentangan itu terus berlangsung sampai diri kita mengambil sebuah keputusan.

Tentu yang kuat yang akan menang. Namun, jangan dibayangkan kuat itu identik dengan besar, kekar, banyak atau sifat dominan lainnya. Kekuatan bisa muncul dari kepasrahan yang mendalam.

Paulo Coelho dengan baik menunjukkan kekuatan itu dengan sebuah cerita tentang sejarah Viscos.

Ada seorang yang bertahun-tahun tinggal di gua yang tak jauh dari Viscos. Ia bernama Savin. Saat itu, Viscos tak lebih dari desa yang dihuni oleh para penjahat yang melarikan diri dari hukuman, pencuri kelas kakap, atau tempat peristirahatan para pembunuh bayaran sebelum mereka beraksi lagi.

Ahab adalah orang yang terkuat dan terjahat dari penduduk Viscos. Ia menguasai seluruh desa, menarik pajak dari petani dan tak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang membangkang kemauannya.

Suatu hari Savin pergi ke rumah Ahab dan meminta ijin untuk menginap barang semalam. Ahab mentertawakannya, "Kau tahu bukan, aku ini pembunuh yang sering menggorok leher orang, dan nyawamu sama-sekali tak berharga bagiku?"

Savin tetap bersikeraspada keinginannya. Akhirnya Ahab mengijinkannya. Dalam pikiran Ahab, ini adalah kesempatan baik mengenyahkan Savin. Ia saingan terberat bagi kekuasaannya karena Savin terkenal sebagai orang yang bijaksana. Ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dialah yang paling kuat, yang layak untuk dihormati.

Saat malam tiba Savin tidur di kamar yang telah disediakan, sementara Ahab mengasah pisau yang kan digunakan untuk menghabisi Savin. Keesokan harinya, Savin menemukan Ahab menangis di sisi tempat tidurnya. Sambil sesenggukan ia berjanji, mulai hari ini akan menjadi orang yang baik. Tak hanya itu, ia akan menyuruh seluruh penduduk desa untuk bertobat mengikuti jejaknya.

Ahab berubah drastis seperti itu karena ia sangat trenyuh dengan percakapan antara dirinya dengan Savin sebelum tidur. Coelho menceritakan percakapan itu di bab terakhir novel ini dan menjadi jawaban atas pertanyaan apakah manusia itu sebenarnya baik atau jahat.

Minggu, 24 Mei 2009

Tak Masalah Gagal Bayar, Itung-itung Sewa

Minggu, 24 Mei 2009
Sewaktu di bengkel, saya melihat ada pengendara sepeda motor yang diberhentikan oleh dua orang. Yang satu berperawakan seperti petugas dari kepolisian. Saya mengira pengendara itu ditindak karena tak memakai helm. Tapi anehnya dua petugas itu tidak berseragam dinas.
Bapak di sebelah saya tiba-tiba bersuara, "Akhirnya ketemu juga."

Saya bertambah heran. Apanya yang ketemu?

Bapak itu berkata lagi, seperti tau keheranan saya, "Sudah lama dua orang itu mencari, eh ketemu juga disini. Sepeda motor itu bermasalah, sudah lama tidak membayar cicilan."

Oh, saya mengerti. Sudah sering saya mendengar, ada petugas khusus dari lembaga pemberi kredit yang khusus menciduk sepeda motor nasabah yang bermasalah. Para petugas tak segan-segan mengambil sepeda motor dimana pun tempatnya. Entah itu di tempat parkir umum, di pasar, atau di jalan seperti yang baru saja saya lihat.

Kredit sepeda motor memang rawan macet. Pasalnya, banyak nasabah yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka sebenarnya tak mampu melunasi cicilannya per bulan. Lalau mengapa mereka mengambil kredit?

Diskusi kami, para pelanggan di bengkel, pun sampai ke pertanyaan itu. Bapak di sebelah saya tadi bilang, "Gimana nggak mau, syarat mengambil kredit kan mudah sekali. Tanpa uang muka dan agunan pun jadi."

"Tapi mengapa mereka berani ambil kalau tau nggak bisa bayar," tanya saya.

"Ya itung-itung sewa lah Dik. Lumayan, sebulan-dua bulan bisa makek motor baru. Setelah itu mau diambil ya silahkan."

Ternyata, godaan memiliki sepeda motor itu begitu besar. Apalagi mode-model baru selalu bermunculan. Iklan sepeda motor juga gencar dan sangat agresif. Jualan sepeda motor seperti jualan kacang goreng. Pernah waktu ada survey di daerah terpencil, saya melihat salah satu produsen sepeda motor sampai keliling kampung menawarkan dagangannya.

Pantas saja, tahun 2008 yang lalu penjualan sepeda motor mencapai 6,2 juta unit atau hampir 17 ribu sepeda motor per harinya. Meski menurun, penjualan sepeda motor tahun 2009 diprediksi sekitar 4,5 sampai 5 juta.

Penjualan itu sebagian besarnya dilakukan dengan cara kredit, baik oleh bank maupun lembaga pembiayaan. Potensi kredit macetnya sekitar 3 persen. Kalau dihitung perharinya, rata-rata ada sekitar 350 sampai 400 ribu sepeda motor yang bermasalah per harinya. Bisa dimengerti, jika ada petugas khusus yang menciduk sepeda motor yang bermasalah.

Tapi syukurlah, pengendara sepeda motor yang ketangkap itu tidak ditinggal begitu saja di jalan. Petugas masih mau mengantarnya pulang.

Sumber:
Data: Kredit Macet di Jalur Sepeda Motor
Gambar: Okezone.com

Rabu, 20 Mei 2009

Musik itu Untuk Apa?

Rabu, 20 Mei 2009
Asyik juga denger lagunya Olga Saputra yang liriknya hanya mengandung dua kata, hancur dan hatiku. Cukup menghibur. Sebelumnya, saya pernah mendengar lagu dari Potret yang liriknya juga hanya sedikit kata, I Just Wanna Say I Love You.

Saya lebih suka dengerin lagunya Olga dibanding Melly. Mungkin karena saya terlanjur memasang nilai yang tinggi pada seorang Melly Goslow. Banyak lirik lagu Melly yang sangat saya suka, karena begitu mendalam dan sangat mengena. Tapi, setelah dengar I Just Wanna Say I Love You, rasanya kok kurang sreg ya.

Ada satu lagu lagi yang sekarang banyak diputar. Lagu dari sebuah group band yang namanya sangat unik, Kuburan. Judul lagunya juga tak biasa, Lupa-lupa Ingat. Saya senang sekali dengar lagu ini, asyik banget. Orangnya juga kocak-kocak, meski pakaiannya menakutkan. Saya tertawa ngakak waktu lihat Kuburan menjadi tamu di Bukan Empat Mata. Tukul aja kalah lucu dengan personil Kuburan.

Namun, dibalik keasyikan mendengar lagu-lagu itu, saya jadi berfikir. Oke, saya senang, terhibur, lalu? Balik lagi, saya senang, terhibur, lalu? Meski beberapa kali bolak-balik, tetap saja, yang ada hanya senang dan terhibur. Tidak ada lagi yang lain.

Apakah lagu-lagu itu diciptakan hanya untuk membuat pendengarnya senang dan terhibur? Apa sih maknanya mengulang-ulang kalimat hancur hatiku, apa yang didapat dari kalimat I Just Wanna Say I Love You yang diulang-ulang? Yang ini juga, C A-minor D-minor ke G ke C lagi A-minor...

Ya. Sepertinya lagu-lagu itu memang hanya untuk menghibur dan membuat senang pendengarnya.

Ragu dengan pikiran itu, saya mengajak diskusi seorang teman. Saya ajak dia duduk berdua di warung kopi. Saya putar lagu-lagu itu di laptop saya. Kemudian saya utarakan apa yang saya pikirkan.

Sambil menyeruput kopi, teman saya itu bilang, "Tak usah dipikirin lah, dinikmati saja. Kita ini sudah berat mikir yang lain. Mikir pekerjaan, rumah tangga, cicilan rumah, motor. Belum lagi kalau pas tanggal tua dan waktunya bayar sekolah anak, stress Mas. Pikiran kita perlu di refresh."

"Refresh, bener juga," kataku dalam hati. Mungkin dengan mendengar lagu itu pikiran kita jadi segar kembali, tidak stress lagi. Sehingga bisa mikir yang berat-berat lagi

Oke, dinikmati saja...

Senin, 18 Mei 2009

Seberapa Penting Mengajak Anak Berbelanja?

Senin, 18 Mei 2009
Berkali-kali saya mendapat berita, seorang anak mendapat celaka saat berkunjung di pusat perbelanjaan. Bahkan diantaranya ada yang meninggal dunia.

Baru hari Minggu kemarin saya mendapati seorang anak perempuan menangis di tengah keramaian sebuah pusat perbelanjaan. Rupanya ia tak menemukan dimana orang tuanya berada. Syukurlah ada yang mengantarnya menuju tempat informasi.

Sebenarnya, pentingkah mengajak anak berbelanja?

Setiap orang tua tentu memunyai alasan mengapa mereka mengajak anaknya ke pusat perbelanjaan. Kalau saya lebih karena ingin menyenangkan anak. Agar anak merasa gembira.

Namun dengan banyak kejadian itu, saya pun berpikir, benarkah anak senang diajak berbelanja? Jangan-jangan mereka tersiksa, atau hanya sedikit kesenangan yang mereka peroleh.

Saya membayangkan, ketika kita berbelanja konsentrasi kita tertuju pada barang-barang yang terdisplay di depan kita. Kita sibuk memilih dan mencari barang yang sesuai dengan kebutuhan kita. Mengamati harga setiap barang agar pas dengan budget yang kita sediakan. Setelah itu kita pun kerepotan membawa barang-barang itu ke tempat parkir. Lalu, sempatkah kita memperhatikan anak yang kita ajak?

Beberapa kasus kecelakaan anak di pusat perbelanjaan disebabkan karena orang tua lepas kontrol terhadap anaknya. Padahal, tempat seperti pusat perbelanjaan belum tentu menjadi tempat yang aman bagi anak.

Ya, memang lebih baik tidak mengajak anak berbelanja, kecuali ada orang dewasa yang khusus mengawasinya. Kalau tujuan kita ingin mengajak mereka berjalan-jalan agar senang, ya fokus pada tujuan itu saja. Syukur-syukur kita bisa menambah sedikit cerita kepada mereka agar bisa menikmati setiap lantai yang kita kunjungi. Belanja, carilah waktu lain yang tepat.

catatan:
Foto saya ambil saat meliput INACRAFT2009

Sabtu, 16 Mei 2009

Untuk Apa Menjadi Tua?

Sabtu, 16 Mei 2009
Negara kita menjadi negara dengan penduduk tua terbesar keempat di dunia. Penduduk tua yang dimaksud adalah penduduk yang berusia diatas 60 tahun. Sebenarnya ini menjadi kabar yang harus diterima dengan gembira karena pada umumnya, jumlah penduduk berusia tua menandakan tingkat harapan hidupnya suatu negara tinggi. Artinya, usia penduduk relatif lebih panjang.

Namun, banyaknya penduduk usia tua juga dinilai rentan terhadap masalah-masalah sosial. Salah satunya karena mereka bukan lagi termasuk kelompok penduduk yang produktif. Karena itu, mereka berpotensi tidak mendapatkan kualitas hidup yang layak. Untuk bisa bertahan hidup, sebagian besar tergantung pada orang lain.

Kenyataan demikian menimbulkan pertanyaan, mengapa manusia mempunyai takdir menjadi tua jika memang tak mempunyai kontribusi (bermanfaat) dalam kehidupan masyarakat dan justru menjadi beban?

Dalam sebuah talkshow, Gede Prama mengatakan, ada dua macam ilmu yang berbeda yang seharusnya dikejar oleh dua kelompok penduduk, muda dan tua. Bagi kelompok muda, ilmu yang dikejar adalah ilmu yang bermanfaat untuk menunjang hidupnya. Keahlian mereka diperlukan untuk mengolah sumber daya alam sehingga bisa dimanfaatkan misalnya untuk makan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.

Namun seiring dengan bertambahnya usia, menuju kelompok usia tua, manusia harus mulai mengejar ilmu kebijaksanaan sehingga saat masanya nanti ia menjadi orang yang selalu memberi petuah, menjaga keseimbangan hidup, dan menjadi panutan bagi yang muda. Ilmu ini yang berperan sebagai pemberi arah karena berisi ajaran moral, etika dan agama.

Kedua ilmu itu sangat bermanfaat dalam membangun masyarakat. Tak mungkin masyarakat bisa berkembang tanpa ada kelompok yang mengolah sumber daya alamnya dan tak kan seimbang jika masyarakat mengabaikan ilmu tentang kebijaksanaan.

Jika konsep ini bisa dipahami, mungkin tak ada lagi peminggiran terhadap penduduk usia tua. Memang secara fisik mereka perlu untuk dibantu, namun bantuan yang diberikan menjadi hak mereka karena mereka pun mempunyai kontribusi yang tak bisa disebut kecil dalam membangun masyarakat atau keluarga.

Takdir menjadi tua bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebelah mata sebagai beban, tetapi menjadi saat yang ditunggu karena dari orang tua akan mengalir petuah dan nasehat bijak yang sangat berguna. Seperti juga saat mendapat seorang anak. Kita bahagia punya seorang anak karena meraka menjadi tumpuan masa depan kita, sehingga dengan sepenuh hati kita merawatnya. Kita pun selayaknya begitu pada orang tua.<<

Gambar diolah dari http://www.jakartaphotoclub.com/

Rabu, 13 Mei 2009

Mengikis Kesenjangan

Rabu, 13 Mei 2009
Rumah Reyot Itu Kini Jadi Bagus

Saya sangat senang membaca berita di Kompas.com hari ini. Rumah Mulyadi, warga Kelurahan Cikaret, Bogor Selatan tak jadi roboh setelah di renovasi. Rumah Mulyadi terkena target operasi program Renovasi Rumah Tak Layak Huni yang diadakan Kelurahan dan Korem setempat.

Saya mengacungkan dua jempol tangan saya untuk Kelurahan dan Korem yang melaksanakan program itu. Inilah model aparat pemerintah yang ideal, peduli pada ketidakmampuan rakyatnya. Kabarnya program ini sudah dijalankan sejak 2005 yang lalu dan sudah 152 rumah yang direnovasi.

Meski sebagian besar dana renovasi berasal dari swadaya masyarakat, namun kecerdikan aparat kelurahan menyerap dana APBD dan APBN melalui PNPM adalah hal lain yang juga patut dipuji.

Kini Mulyadi dan warga Cikaret bisa hidup tenang di rumahnya yang baru tanpa ada rasa was-was rumahnya akan roboh. Tak terbayang di benak Mulyadi untuk merenovasi rumahnya dengan biaya sendiri. Jangankan untuk itu, untuk makan sehari-hari saja pas-pasan.

Akhirnya ketidakmampuan itu hilang dengan kepedulian masyarakat sekitar. Saya teringat waktu saya kecil. Bapak mengajak saya ikut cawe-cawe membangunkan rumah untuk tetangga saya yang pulang kampung. Puluhan tahun yang lalu, tetanggaku itu merantau ke Jakarta. Rupanya, waktu selama itu tak merubah nasibnya.

Kali ini ia pulang, tapi bingung mau tinggal dimana. Untuk sementara, ia tinggal  bersama adiknya. Tapi tak baik terus bergantung begitu. Adiknya itu sudah punya kehidupn sendiri, dan tak termasuk keluarga berpunya juga.

Setelah berembuk antar warga se-RT, dicapailah kesepakatan untuk membangunkan sebuah rumah untuknya. Tanahnya pinjam, bahan-bahannya sumbangan, dan tenaganya gotong royong seluruh warga. Jadilah sebuah rumah sederhana untuknya. Untuk hidup sehari-hari, ia menganyam bambu.

Begitulah. Dalam kehidupan ini pasti ada orang-orang yang mampu dan tak mampu. Perbedaan keduanya bisa menjadi masalah yang serius jika sudah terjadi kesenjangan, ada perbedaannya yang terlalu besar antar keduanya. Disitulah masing-masing dituntut untuk melaksanakan perannya masing-masing agar kesenjangan itu bisa diatasi.

Bagi yang mampu, celingak-celinguk melihat lingkungan sekitarnya, adakah saudaranya yang tak mampu? Kalau ada, segera dibantu. Bagi yang tak mampu bukan lantas meratapi nasib sambil menunggu belas kasih dari saudaranya yang mampu. Seperti Mulyadi yang menjadi tukang parkir, mereka tetap harus berusaha mengatasi ketidakmampuannya, malu kalau harus meminta-minta

Gambar pinjam dari http://www.boudewynvanoort.com/

Selasa, 12 Mei 2009

ISBN, Teknologi, dan Pelayanan

Selasa, 12 Mei 2009
Seorang kawan lama meminta bantuan mengurus ISBN di Perpustakaan Nasional. Saya langsung mengiyakan meski belum tahu bagaimana cara mengurusnya. Saya banyak berhutang budi pada kawan saya itu. Saat di Surabaya, dia banyak membantu saya. Dan juga, di kantorku sekarang ada divisi penerbitan yang sering mengurus ISBN. "Gampang, nanti bisa tanya-tanya," pikirku.

Bener, kata teman di divisi penerbitan, mengurus ISBN tidak rumit, asal syarat-syarat lengkap langsung bisa ditunggu hasilnya. Teman saya itu pun menjelaskan dengan detail rute menuju Perpustakaan Nasional. Maklum saya belum paham seluk-beluk Jakarta.

Beberapa hari kemudian, kawan saya dari Surabaya mengirim syarat-syarat yang diminta. Alhamdulillah, berbekal peta Jakarta di laptop, saya pun sudah mengerti rute jalan yang harus saya lewati.

Ternyata, setelah sampai di meja petugas ISBN, syarat yang dikirim kawan saya masih kurang. Halaman cover harus tercantum nama penerbit, cover yang dikirim belum ada nama penerbitnya. Kawan saya juga lupa mencantumkan halaman informasi buku di belakangan halaman cover. "Baik Pak, terima kasih, saya akan melengkapi persyaratan yang kurang," kata saya pada petugas.

Saya langsung menghubungi kawan saya, "Mas, bisa di email ke saya syarat-syarat yang kurang." Kawan saya menyanggupi. Sekarang, saya harus mencari warnet terdekat. Alhamdulillah, setelah berkeliling agak jauh, saya menemukan warnet yang bisa cek email sekaligus print.

OK, persyaratan sudah lengkap. Saya kembali ke ruang petugas ISBN. Tapi saya lupa, saat saya datang, ternyata sudah waktunya istirahat. Baiklah, saya akan menunggu, sekalian cari makan. Jam satu lebih sedikit, saya kembali lagi. Dan, tak lebih dari satu jam, ISBN pun jadi. "Terima kasih Pak," kata saya pada petugas.

Saya bersyukur hidup di jaman ketika teknologi informasi sudah berkembang demikian baik. Bisa dibayangkan kalau telepon selular dan internet belum semaju seperti sekarang ini. Perlu waktu beberapa hari untuk melengkapi syarat-syarat itu. Saya pun harus melobi manager saya untuk mendapat ijin keluar lagi. Wah  sangat merepotkan.

Satu lagi, saya juga bersyukur mendapatkan pelayanan yang sangat baik dari petugas Perpustakaan Nasional, khususnya di bagian ISBN. Ini yang menurut saya paling penting. Tak ada gunanya teknologi secanggih apapun ketika birokrasi masih tetap panjang dan berbelit. Apalagi jika harus ditambah dengan membayar pungutan segala. Sangat menyebalkan.

Pengalaman ini, menjadi catatan tersendiri bagi saya. Saat mengurus ISBN, sama sekali tak ada pungutan. Prosedur dan syarat-syaratnya sangat mudah. Petugasnya ramah dan informatif. Bahkan, petugas parkir dan satpam juga sangat membantu bagi pemula seperti saya ini.

Pengalaman saya ini pun menjadi bukti bahwa perilaku manusia masih tetap menjadi unsur yang utama untuk menciptkan kehidupan yang lebih baik. Teknologi, perangkat hukum, rambu-rambu, norma, agama dan sebagainya hanyalah pelengkap. Ketika manusia tidak mempunyai niat untuk merubah perilakunya untuk menjadi lebih baik, sehebat dan sebaik apapun perlengkapan itu tak ada gunanya, hanya sia-sia belaka.

Jumat, 01 Mei 2009

Perilaku Berkendara, Citra Pribadi Muslim

Jumat, 01 Mei 2009
Friday Readers, beberapa waktu yang lalu, ALiF menggelar jajak pendapat kecil mengenai lalu lintas Jakarta. Hasilnya, semua responden punya pendapat yang seragam, lalu lintas Jakarta sudah sedemikian macet dan semrawut, bahkan ada yang mengatakan kejam.

Memang, jika diamati, hampir tak ada jalan di Jakarta yang terbebas dari masalah-masalah tersebut [kemacetan dan kesemrawutan]. Apalagi di jam-jam sibuk, kendaraan sangat padat, hampir tak bisa bergerak. Inilah konsekuensi dari perkembangan kota besar seperti Jakarta.

Sebagai pusat bisnis dan pemerintahan yang terbesar di Indonesia, Jakarta menjadi tujuan utama para pencari kerja. Setiap tahun, selalu saja ada pendatang baru yang ingin ikut berebut lapangan kerja di Jakarta. Ada yang menetap menjadi penduduk Jakarta, ada juga yang tinggal di kota-kota sekitar Jakarta. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk Jakarta saat ini lebih dari 8,5 juta jiwa. Jumlah tersebut akan bertambah pada siang hari karena banyak orang yang masuk ke Jakarta untuk bekerja.

Aktivitas penduduk Jakarta yang tinggi, ditambah dengan pergerakan keluar masuknya penduduk dari kota-kota sekitar Jakarta, menyebabkan lalu lintas Jakarta menjadi sangat padat. Jalan-jalan tak pernah sepi dari lalu-lalang kendaraan. Jalan tol yang semula dimaksudkan sebagai jalan bebas hambatan, ternyata juga macet karena saking banyaknya pengguna jalan.

Masalah lalu lintas sepertinya akan terus dialami warga Jakarta. Beberapa studi mengatakan, kepadatan lalu lintas di Jakarta menunjukkan tren yang meningkat. Survei Arterial Road System Development Study [ARSDS] pada tahun 1985 mencatat, sebanyak 13 juta perjalanan [trip] dilakukan warga di Jakarta setiap hari. Pada tahun 2002 survei yang sama dilakukan oleh Study on Integrated Transportation Master Plan [SITRAMP]. Hasilnya, terjadi peningkatan 30 persen, menjadi 17 juta trip setiap hari.

Bagaimana dengan sekarang? Melihat dari pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta yang mencapai angka 11 persen per tahun, sementara pertambahan infrastruktur jalan yang kurang dari 1 persen, jumlah trip sekarang akan lebih besar dari 17 juta per hari.

Tentu, apabila tak ada usaha untuk mengatasi masalah lalu lintas ini, Jakarta akan menghadapi masalah yang sangat besar di masa yang akan datang. Sebuah penelitian yang dilakukan Japan International Corporation Agency [JICA] dan The Institute for Transportaion and Development Policy [ITDP] menunjukkan gambaran itu. Jika tak ditemukan pemecahan masalah lalu lintas itu, maka lalu lintas Jakarta akan mati pada tahun 2014 nanti.

Perilaku Lalu Lintas yang Buruk
Kondisi lalu lintas Jakarta yang padat diperparah dengan perilaku yang buruk dari para pengguna jalan. Jajak pendapat ALiF di atas juga merekam perilaku buruk yang ditemui para responden saat berkendara di jalan. Cukup banyak perilaku buruk itu, antara lain: ugal-ugalan saat berkendara, berpindah jalur tanpa memberi tanda, berhenti mendadak, menggunakan jalur yang tak semestinya, berhenti di tempat yang terlarang, dan masih banyak lagi.

Banyaknya perilaku buruk yang diungkapkan responden tersebut, senada dengan data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Selama tahun 2008, tercatat ada 272 ribu pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.

Angka tersebut sangat menguatirkan karena pelanggaran lalu lintas bisa berujung pada kecelakaan. Dari 272 ribu pelanggaran lalu lintas itu, tercatat sebanyak 5.898 pelanggaran mengakibatkan kecelakaan. Sebagian besar kecelakaan itu melibatkan sepeda motor. Akibatnya, lebih dari seribu orang meninggal dunia, 2.567 orang luka berat, dan hampir 5.000 orang luka ringan.

Benarkah, perilaku buruk berkendara berakibat pada kecelakaan lalu lintas? Yohannes Lulie dan John Tri Hatmoko membuktikannya. Mereka adalah staf pengajar Program Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dalam penelitiannya, kedua dosen tersebut menemukan bahwa kecelakaan lalu lintas banyak terjadi pada pengguna jalan yang masuk dalam kategori perilaku buruk. Jumlah kecelakaan lebih kecil pada kategori perilaku sedang, dan terkecil pada kategori perilaku baik.

Penelitian tersebut juga mengungkapkan tiga perilaku terburuk yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas terbanyak. Perilaku buruk tersebut adalah tak menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, berkendara dengan ugal-ugalan, dan memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum.

Citra Umat Muslim
Terkait dengan banyaknya perilaku buruk berlalu-lintas, kita sering mendapat sindiran. Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, termasuk ke dalam kelompok negara dengan perilaku berlalu-lintas yang buruk. Seolah-olah, predikat Muslim yang melekat pada sebagian besar penduduk Indonesia itu tak punya arti sedikit pun. Padahal, sangat sering kita mengatakan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, termasuk rahmat bagi pengguna jalan yang lain.

Memang, secara khusus, tak ada ajaran Islam yang mengatur bagaimana seorang Muslim berperilaku saat berkendara. Namun, ada prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang apabila ditaati akan menimbulkan sikap dan perilaku yang baik dalam berlalu-lintas.

Termaktub dalam al-Qur’an nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. Nasihat-nasihat itu pada hakikatnya juga nasihat untuk seluruh umat Islam. Salah satu nasihat itu adalah “Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” [QS Luqman [31]: 18].

Perilaku ugal-ugalan saat berkendara merupakan salah satu bentuk kesombongan dan sikap tak acuh terhadap pengguna jalan yang lain. Memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi dengan tujuan agar cepat sampai ke tujuan adalah sikap mementingkan diri sendiri. Tak peduli apakah dengan perilakunya itu ia mendatangkan celaka bagi orang lain, bahkan dirinya sendiri. Perilaku-perilaku tersebut tak sesuai dengan semangat yang disampaikan dalam Surah Luqman di atas.

Padatnya lalu lintas di jalan raya menuntut pengguna jalan untuk sabar dan menaati rambu-rambu yang ada. Sabar dan tak tergesa-gesa merupakan sifat mulia yang diajarkan Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa” [HR. Bukhari dalam al-Adabul al-Mufrad no. 586. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih].

Dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus ke dunia hanyalah untuk menyempurnakan akhlak” [HR. Ahmad]. Akhlak yang sempurna mencerminkan tingginya moral dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya menghormati, menyayangi, dan menghargai orang lain, tak menindas yang lemah, mendahulukan yang lebih berkepentingan, serta berlaku sopan santun. Kekerasan, kesombongan, ketidaktertiban, ugal-ugalan, dan kezaliman, berlawanan dengan akhlak yang sempurna itu.

Friday Readers, mari kita tunjukkan bahwa sebagai seorang Muslim, kita memiliki akhlak yang baik dan sempurna. Salah satunya dengan berperilaku yang baik dan santun ketika berkendara di jalan. Semoga bermanfaat . « [imam]

-------------------------------------------------------------------
ALiF Edisi 22 : Belantara Lalu Lintas
-------------------------------------------------------------------

Kamis, 16 April 2009

Manusia Pemelihara Alam

Kamis, 16 April 2009
Salah satu penentu keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang adalah persoalan lingkungan. Baik atau tidaknya kehidupan manusia, bahkan ada atau tidaknya manusia, tergantung dari bagaimana manusia bisa memecahkan masalah kerusakan lingkungan yang kian hari kian parah.

Saat ini isu kehidupan manusia yang semakin sulit karena kerusakan lingkungan bukan lagi diucapkan dengan kata ’seandainya’. Namun sudah dalam tahap menunggu, kapan dan seberapa besar bencana lingkungan itu akan terjadi. Para ahli menghitung, temperatur permukaan bumi mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama satu abad yang lalu dan rata-rata peningkatan terbesar terjadi dalam duapuluh tahun terakhir ini. Peningkatan suhu permukaan bumi tersebut akibat dari tertahannya panas karena polusi udara atau yang biasa disebut dengan efek rumah kaca.

Meningkatnya suhu permukaan bumi [disebut juga global warming] menyebabkan lapisan es di kutub mencair. Akibatnya permukaan laut meninggi. British Antartic Survey bekerjasama dengan US. Geological Survey melakukan pengamatan terhadap lapisan es yang ada di bagian barat Antartika. Hasilnya, dalam jangka 50 tahun terakhir, lapisan es di wilayah tersebut menyusut sebesar 87 persen.

Berdasarkan laju penyusutan lapisan es itu, diperkirakan pada tahun 2100 nanti permukaan air laut secara global akan meningkat antara 19 sampai 95 cm. Padahal, peningkatan sebesar 1 meter akan menenggelamkan beberapa pulau di dunia, termasuk banyak pulau yang ada di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP] juga melakukan pemantauan. Hasil pantauan itu menunjukkan, rata-rata kenaikan permukaan air laut di wilayah Indonesia sebesar 5 sampai 10 milimeter per tahun. Memang, peningkatan itu relatif kecil jika dilihat per tahunnya, hanya dalam satuan milimeter saja. Namun, sungguh mengerikan apabila kita membayangkan apa yang terjadi pada sepuluh, duapuluh atau limapuluh tahun mendatang. Sebenarnya, tanpa melihat laporan pengamatan atau penelitian para ahli, kita sendiri bisa merasakan adanya perubahan iklim itu. Dahulu kita bisa dengan mudah menentukan kapan musim kemarau berakhir dan penghujan datang. Bulan-bulan tertentu bisa kita sebut musim kemarau dan bulan-bulan yang lain disebut musim penghujan. Sekarang, kemarau dan penghujan semakin sulit diprediksi.

Dampak dari perubahan iklim global juga sudah kita rasakan, tanpa harus menunggu dalam jangka waktu yang lama. Bencana banjir dan tanah longsor kian sering terjadi dan dalam tingkat resiko yang lebih tinggi. Para petani sudah kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam, karena musim kian sulit diprediksi. Badai terjadi di mana-mana, bahkan di wilayah-wilayah yang dulunya aman dari badai.

Melihat gejala-gejala alam yang sudah kita rasakan itu, kemungkinan besar prediksi para ahli lingkungan itu benar. Di masa mendatang, manusia akan mengalami kesulitan dengan kondisi alam yang tak lagi bersahabat. Bisa jadi, akibat kerusakan yang sangat parah, bumi tak lagi menjadi tempat yang layak bagi manusia untuk hidup dan berkembang. Sementara, belum ditemukan tempat lain seperti bumi. Langkah yang paling bijak adalah mengupayakan agar bumi dan alam yang melingkupinya kembali menjadi tempat yang nyaman dan layak untuk hidup.

Pandangan Manusia terhadap Alam
Semakin kritisnya kondisi lingkungan hidup menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tak hanya para ilmuwan dan pemerhati lingkungan saja, para filsuf dan agamawan pun ikut memikirkannya. Pembahasan mengerucut pada akar masalah kerusakan lingkungan yaitu manusia.

Usaha manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di satu sisi membawa manusia pada suatu era yang disebut modern, hidup manusia kian mudah, potensi yang ada di alam dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi yang lain, kemampuan manusia mengolah alam menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta [antroposentris].

Pandangan manusia terhadap alam berubah. Sebelum manusia mengenal ilmu pengetahuan modern, manusia menganggap bahwa alam memunyai kekuatan. Dikenallah dewa-dewa sebagai wujud kekuatan itu. Ada dewa penguasa langit, penguasa bumi, dewa kesuburan, dewa api, dan sebagainya. Dewa-dewa itu dipuja dengan upacara-upacara dan sesajen agar tak menurunkan murkanya.

Setelah kemampuan manusia berkembang dan berhasil menemukan karakter dan hukum-hukum alam, manusia menemukan egonya. Dirinyalah penguasa alam. Segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah miliknya dan digunakan sepenuhnya untuk menunjang hidupnya. Sayangnya, yang muncul kemudian bukanlah kearifan memanfaatkan alam, tapi keserakahan karena nafsu.

Sebenarnya, saat itu sudah ada pemikiran untuk melestarikan alam. Salah satunya apa yang diungkapkan Immanuel Kant, filsuf asal Jerman. Dalam pandangan Kant, ada usaha manusia untuk melestarikan alam, namun usaha tersebut bukan dalam bentuk kewajiban. Bagi Kant, usaha melestarikan alam itu hanya dianggap sebagai tindakan yang indah karena bisa menimbulkan kesenangan, tanpa ada embel-embel keharusan untuk melaksanakan.

Pandangan manusia yang merasa dirinya sebagai penguasa alam membawanya pada kondisi kepanikan global karena kerusakan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan itu akhirnya membawa manusia pada suatu kesadaran bahwa hidup manusia tak kan lestari tanpa ada usaha melestarikan alam.

Muncullah teori-teori tentang kehidupan manusia dan kelestarian alam. Arne Naess, filsuf dari Norwegia dalam konsep yang disebutnya Ecosopy T mengatakan, ada tiga hal yang perlu manusia sadari dalam usahanya menyelamatkan alam dan lingkungan.

Pertama, manusia harus memandang alam sebagai bagian dari dirinya sehingga usaha memelihara alam berarti juga memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam memunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang sedikit pun untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka seberapa pun besarnya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan alam, manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya.

Tuhan, Alam, dan Manusia
Dalam ajaran Islam, pandangan tentang Tuhan, Alam, dan Manusia memunyai keterkaitan yang sangat erat. Seorang Muslim menyakini, Allah lah pencipta alam semesta dan mengaturnya dengan keseimbangan. Keyakinan itu menciptakan kesadaran bahwa alam semesta merupakan sarana memahami keberadaan dan kebesaran Allah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan [suburkan] bumi sesudah mati [kering]-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; [pada semua itu] sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” [QS al-Baqarah [2]: 164]. Sedangkan manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di muka bumi.” [QS al-Baqarah [2]: 30].

Khalifah diartikan sebagai ‘yang menggantikan’ atau ‘yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya’. Namun khalifah tak dipahami bahwa Allah tak mampu sehingga Dia perlu menjadikan manusia sebagai penggantinya, juga bukan menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan di muka bumi. Khalifah menunjukkan arti bahwa manusia diciptakan untuk mengemban amanah, yaitu sebagai ‘yang menggantikan’ Allah, Tuhan Pemelihara alam semesta [Rabb al-’âlamî]. Tugas manusia adalah memelihara alam semesta, sebagaimana yang diamanahkan [sesuai dengan rencana] Allah. Karena itu hubungan antara manusia dan alam bukan dalam konteks menundukkan dan ditundukkan, tapi memelihara dan dipelihara.

Mengartikan khalifah dengan pemahaman seperti itu akan jauh dari pandangan bahwa manusia adalah penguasa alam, yang punya hak eksploitasi tanpa batas dan tanpa berpikir untuk melestarikannya.

Memang benar, Allah menciptakan segala yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun perlu disadari juga bahwa manusia yang dimaksud tak hanya manusia yang hidup pada zaman kita sekarang ini, anak-cucu kita yang hidup di masa yang akan datang pun juga manusia. Maka dari itu, sebagai khalifah-Nya, manusia memunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang ada di bumi juga bisa dinikmati seluruh manusia, baik yang hidup di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang. « [imam]

----------------------------------------------------
ALif Edisi 21: Mari Sayangi Bumi
----------------------------------------------------

Senin, 13 April 2009

Bangunan Sebuah Kota

Senin, 13 April 2009
Saya pernah tinggal lama di sebuah kota, sebut saja Madangkara. Sebelum saya mulai tinggal di kota itu, dalam pikiran dan bayangan saya sudah terbangun kota yang namanya Madangkara, bagaimana perilaku masyarakatnya, lingkungan alamnya, dan cara kerja aparatur pemerintahannya. Bangunan itu saya susun menggunakan persepsi, sumbernya, kata orang yang pernah tinggal, berita di koran, juga tayangan di televisi.

Pembentukan kota Madangkara dalam pikiran dan bayangan itu saya perlukan sebagai sarana untuk berjaga-jaga, untuk mekanisme perlindungan diri agar tak salah dalam bergaul dan bersikap.

Setelah tinggal di Madangkara, bangunan kota itu lama-kelamaan runtuh, lebih tepatnya terbarui dengan kenyataan-kenyataan yang saya temui setiap hari. Tentang perilaku masyarakatnya. Saya sudah membayangkan, masyarakat kota sebesar Madangkara mempunyai sifat yang individualistik. Virus ketidakpedulian menyebar di kepala orang-orang, jangankan dengan orang yang tak pernah bertemu sebelumnya, dengan tetangga sebelah yang setiap hari bertemu saja pasang muka cuek.

Bayangan saya ternyata benar, bahkan lebih parah. Orang yang peduli dengan orang lain bukan saja disebut aneh tapi tolol. Saya pernah naik kendaraan umum. Saat itu penumpangnya penuh sesak, tapi karena saya naik dari ujung, saya masih dapat tempat duduk. Di tengah perjalanan, saya lihat ada ibu-ibu, kira-kira usianya lebih tua dari saya. Insting kelelakian saya muncul, seperti slogan iklan di televisi, "tunjukkan merahmu", saya berdiri dan tempat duduk saya berikan ke ibu itu. Tanpa ekspresi, ibu itu pun duduk, jangankan berterima kasih, untuk senyum saja tidak, dia malah memandangku seperti orang tertolol di dunia. Saya mengelus dada sambil berucap, "tempat macam apa ini?".

Ketidakpedulian semakin jelas terlihat dari perilaku pengguna jalanan. Sudah menjadi kebiasaan saling srobot, menggeber kendaraan dengan knalpot yang bersuara keras memekakkan telinga. Semua pengguna jalan seperti berada di sirkuit balap, berlomba menjadi yang terdepan, padahal fisnish-nya berbeda-beda. Sering, saya tertawa geli memikirkan itu.

Masyarakan Madangkara dalam pikiran dan bayangan saya, terkoreksi. Sikap saya juga harus dikoreksi. Saya semakin berhati-hati, tak mudah percaya dengan orang, meski saya sudah mengenalnya.

Meski kelihatan menegangkan, apalagi kalau saya cerita pengalaman di Madangkara kepada orang tua saya, bisa-bisa saya dipaksa pulang kampung, tapi saya menikmatinya. Seperti seorang arsitek, saya senang mengumpulkan dan memasang serpihan-serpihan kota Madangkara, berharap suatu saat nanti akan menjadi bangunan yang utuh dan indah.

Ada yang unik dan menarik, terkadang persepsi saya terlalu berlebihan, tak sadar kehati-hatian berubah menjadi ketakutan. Biasanya, kalau sudah begitu, ada peristiwa yang mengembalikan persepsi saya pada tempat yang semestinya. Ketika ketidakpercayaan pada masyarakat Madangkara sudah sedemikian akut, saya disadarkan untuk menguranginya pada takaran yang pas.

Suatu hari saya menjemput istri saya di stasiun. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba istri saya teringat sesuatu. Astaga, tasnya tertinggal di kereta. Ia langsung lemas karena dalam tas itu ada berkas-berkas yang sangat penting. Kami berpikir bagaimana mendapatkannya kembali.

Kami pun pergi ke stasiun terakhir, berangkat dengan harapan yang hampir tak ada. Melihat perilaku masyarakat Madangkara, hanya keajaiban jika kami bisa menemukan tas itu. Bagi istri saya, isi tas itu teramat penting, tapi bagi orang lain mungkin hanya lembaran-lembaran kertas yang tak berguna, bisa-bisa kami menemukannya di tong sampah dengan kondisi setengah terbakar.

Kami mendapati stasiun sudah sepi, maklum sudah kelewat waktu orang pulang kerja. Kami dapat informasi, ada petugas pengawas 24 jam di stasiun itu. Kami menemuinya dan menanyakan apakah ada tas dengan ciri-ciri ini dalam kereta ini. Petugas itu langsung membuka lacinya dan menyerahkan tas milik istri saya dengan isi yang masih lengkap. Ternyata, masih ada orang-orang di Madangkara sebaik petugas itu.

Bangunan kota Madangkara terevisi kembali, cat yang sebelumnya saya gambar semuanya usang, saya ubah, ada bagian-bagian tertentu saya cat dengan warna cerah.

Kekerasan Atas Nama Agama

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Religion & Spirituality
Author:Pusat Studi al-Qur’an [PSQ]
Hingga kini masih banyak pakar yang menilai Islam sebagai ajaran yang sulit untuk dipahami. Di satu sisi, Islam menekankan bahwa kehadirannya merupakan rahmat bagi semesta alam [rahmatan lil ’alamîn], namun di sisi lain, pelaku bom bunuh diri dan aksi-aksi terorisme yang terjadi beberapa kali menyatakan, aksinya itu didasarkan pada ajaran Islam.

Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam bahasa Arab, terorisme disebut dengan istilah al-irhâb, dan pelakunya disebut al-irhâbî. Al-irhâb diartikan sebagai sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Kata al-irhâb dengan pengertian di atas tak ditemukan dalam al-Qur’an.

Para pelaku terorisme kerap menggunakan istilah jihad. Mereka menyebutkan bahwa jihad memunyai makna perjuangan, perang, terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Jihad menjadi pengobar semangat bagi mereka. Padahal, memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an membuktikan bahwa Rasulullah Saw telah diperintahkan untuk berjihad sejak beliau masih berada di Mekah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama.

Kesalahpahaman dan kekeliruan memahami konsep-konsep tertentu dalam ajaran Islam, terutama konsep tentang perang dan jihad, menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi sekian banyak pihak, termasuk Departemen Agama. Buku "Kekerasan Atas Nama Agama" yang disusun tim dari Pusat Studi al-Qur’an [PSQ] menjadi jawaban atas keprihatinan tersebut. Banyak tema yang dibahas secara detail menyangkut dua konsep tersebut [perang dan jihad].

Selain untuk meluruskan kesalahpahaman seputar perang dan jihad, buku ini juga mengurai bagaimana konsep ajaran Islam menyangkut hubungan inter dan antarpemeluk agama yang berlainan, relasi Muslim dan non-Muslim dalam konteks sosiologi, dan yang lebih menarik lagi pembahasan tentang mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin.

Selasa, 31 Maret 2009

Ayo Kita Cari

Selasa, 31 Maret 2009
Seorang pencari kayu berjalan masuk ke hutan. Dikumpulkannya ranting-ranting kering kemudian dijual ke pasar. Setiap pagi, saat ia bangun dari tidurnya, ia bahagia, wajahnya tampak ceria. Ia senang karena sebentar lagi ia akan masuk ke hutan. Tapi bukan karena ranting-ranting itu ia bahagia, melainkan karena bunga-bunga yang mekar di pinggir jalan, karena kicauan burung yang saling bersahutan dan karena semilir angin yang menyejukkan.

Begitulah. Dalam hidup itu pasti ada sesuatu yang membuat kita bersemangat untuk menjalaninya.  Ayo kita cari apa itu.

Senin, 23 Maret 2009

Azif Main Outbond

Senin, 23 Maret 2009



Azif kenal outbound ketika main flying fox di Kandangjurang Doang, wahana alam milik Dick Doang itu. Ia sangat terkesan sekali. Saat kami ke Ancol, dia lihat ada arena outbound-nya dan langsung tertarik bermain disitu. Akhirnya kuajaklah dia bermain. Ini foto-fotonya...

Kamis, 19 Maret 2009

ALiF Flash Book - Alif Magazine

Kamis, 19 Maret 2009

http://alifmagz.com/wp/?page_id=1308
ALiF bisa diunduh dengan format Flash Book. Silahkan mengunduhnya

Berdakwah Sambil Mengurai Belitan Ekonomi Masyarakat

Bagi Ahmad Muslim Suroyo, imam masjid di daerah Lebak Bulus, dakwah dengan kata-kata tidaklah cukup. Masyarakat kini banyak yang terhimpit masalah ekonomi. Kalau pun mereka mau ikut pengajian, hanya sekadar datang saja. Setelah itu apa yang disampaikan dalam pengajian akan banyak lewat begitu saja. Memang wajar, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah mencukupi kebutuhan ekonomi rumahtangganya. Selama belum teratasi, sulit memberi mereka pengetahuan agama.

Ahmad tinggal di rumah kontrakan. Sebagian besar tetangganya keluarga kurang mampu. Ada tukang bubur ayam, penjual nasi goreng, pengamen, dan juga penjual buah. Ahmad prihatin melihat kondisi tetangganya. Muncullah keinginan membantu mereka. Ia membuat acara-acara memperingati hari besar Islam. Tak hanya ceramah, tetapi juga ada bazar sembako dengan separuh harga di pasaran.

Satu lagi yang juga amat membuat Ahmad prihatin adalah pendidikan agama anak-anak di lingkungan sekitarnya. “Sebenarnya, keinginan mereka untuk belajar agama cukup besar. Tapi semuanya terbentur masalah biaya,” kata Ahmad. “Di dekat sini sudah ada Taman Pendidikan al-Qur’an [TPA], tapi bayar. Jangankan membayar itu, untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan saja sudah berat,” tambahnya.

Dari situ muncul lagi idenya untuk membuat pendidikan gratis untuk mereka. Semula ia hanya menargetkan 20 sampai 30 anak. Namun ternyata antusiasme masyarakat sangat tinggi. Rumah kontrakannya tak cukup menampung mereka. “Alhamdulillah, ada salah satu warga yang mengizinkan tempatnya dijadikan ruang kelas,” kenangnya.

Saat memulai kegiatan sosialnya itu, ia pesimis. Dari mana ia mendapatkan dana untuk membiayainya. Padahal setelah dihitung-hitung, dana operasional yang dibutuhkan untuk mendidik anak-anak saja sekitar 4 juta per bulan, belum kegiatankegiatan yang lain. Tapi ia memunyai keyakinan bahwa Allah pasti akan membantu siapa saja yang ingin berbuat baik. “Ketika kita membantu agama Allah, pasti Allah juga akan membantu kita,” tegasnya.

Ia memberanikan diri mengungkapkan kegelisahannya itu kepada para jamaah di masjid tempatnya menjadi imam. Mereka mendukung dengan memberikan sumbangan. Bahkan ada jamaah yang menyisihkan uangnya sebesar satu juta rupiah per bulan. “Alhamdulillah, saat ini dana operasional untuk dua tahun mendatang sudah tercukupi,” ujarnya sembari tersenyum. Ahmad juga mengatakan, saat ini yayasannya sudah bisa mengangkat tiga anak asuh dan memberikan bantuan modal untuk usaha. «

----------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Firday Edisi 19
"Fanatisme: Perlukah"
----------------------------------------------------------------

Selasa, 17 Maret 2009

Tersandung

Selasa, 17 Maret 2009
Pernah tersandung kan. Mestinya sudah tau juga, tersandung itu bukan karena batu yang besar, tapi batu yang kecil dan terabaikan. Meskipun kecil, batu itu bisa membuat kita jatuh tersungkur.

Ini adalah kisah tentang tersandung. Kisah tentang Alp Arslan, sultan Seljuk, yang tewas ditengah pasukannya sendiri. Bukan karena pertempuran yang dasyat, tapi karena sebab yang sepele.

Alp Arslan ingin menaklukkan Samarkand. Ia membawa pasukan yang terdiri dari dua ratus ribu penunggang kuda. Derapnya menggetarkan bumi. Saat menyeberang sungai menuju Samarkand, perlu waktu dua puluh hari sampai penunggang kuda paling belakang sampai ke seberang. Sambil berdiri tegak memandangi pasukannya ia berkata, "Inilah aku!"

Tibalah Alp Arslan di perbatasan Samarkand. Yussef, kepala penjaga perbatasan, dan pasukannya melawan. Tak perlu waktu banyak untuk mengalahkan Yussef. Badan Yussef yang kurus kering itu tak berdaya diseret kehadapan Alp Arslan. "Lepaskan dia, biar panahku sendiri yang menghukumnya," kata sultan itu. "Apalah arti seorang cecunguk dihadapan seorang yang besar," katanya dalam hati.

Tapi sultan lupa, terlalu sulit memanah dalam jarak dekat. Anak panah yang pertama meleset. Belum sempat panah yang kedua siap, Yussef menerjang. Tubuh tambun itu roboh dan sekarat. Dua tusukan belati melukai dada dan perutnya. Ia pun tewas.

Sebenarnya tidak terlalu sulit menghindari batu sandungan, tinggal jalan saja sambil melangkahinya. Tapi terkadang, kecongkakanlah yang membuat lalai, terlalu tegak memandang langit sehingga lupa memperhatikan kaki melangkah.

Catatan: Gambar pinjam dari sini

Minggu, 15 Maret 2009

Misteri Rubaiyat Omar Khayyam

Minggu, 15 Maret 2009
Rating:★★★★
Category:Books
Genre: History
Author:Amin Maalouf
“Sampaikan kepadanya bahwa sifat-sifat yang diperlukan untuk memegang pemerintahan bukanlah sifat-sifat yang diperlukan untuk meraih kekuasaan. Kalau mau mengelola pemerintahan dengan baik, orang tidak boleh memikirkan kepentingannya sendiri. Ia harus memerhatikan orang lain, terutama yang paling sengsara. Untuk meraih kekuasaan, orang harus memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, siap menghancurkan teman-temannya yang paling akrab. Dan aku, tak seorang pun yang bakal kuhancurkan.”

Kata-kata Omar Khayyam diatas yang paling saya ingat setelah membaca Misteri Rubaiyat Omar Khayyam, sebuah novel karya Amin Maalouf. Kenapa? Saya merasa kata-kata itu seperti wejangan dan pas banget dengan suasana seperti sekarang ini.

Untuk meraih kekuasaan, memang harus memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana tampil sebaik mungkin, melebihi para saingannya. Kalau perlu, memasang jargon yang menunjukkan dirinyalah yang paling hebat, sekaligus merendahkan yang lain. Saya sudah merasakan suasana itu. Begitu keluar pagar rumah saya, sudah terpampang gambar-gambar "menarik" dari calon wakil rakyat. Tak lupa dihiasi kata-kata yang meyakinkan.

Pasti, suasana akan semakin meriah dalam beberapa hari kedepan. Jargon yang semula bisu itu berubah menjadi suara yang lantang. Calon wakil rakyat yang semula hanya bisa dilihat gambarnya, bisa langsung diamati orangnya, berdiri diatas panggung, menebar janji untuk merubah negeri ini menjadi lebih baik.

Namun, yang dibutuhkan bukan itu. Saya sangat setuju dengan ungkapan Khayyam bahwa untuk mengelola kekuasaan itu diperkukan orang yang tidak memikirkan kepentingannya sendiri, harus selalu memerhatikan orang lain. Tidak merasa dirinya paling pintar dan paling hebat. Tak punya waham kebesaran yang merasa seolah-olah hanya dirinyalah yang bisa mensejahterkan negeri ini. Artinya orang yang pantas memegang kekuasaan itu bukanlah orang yang menginginkannya. Tapi, adakah yang seperti itu?

Novel yang berlatar kehidupan Parsi sekitar abad ke-11 ini sebagian besar bercerita tetang intrik-intrik perebutan kekuasaan. Meski judulnya Misteri Rubaiyat Omar Khayyam dan kemudi ceritanya juga pada lahirnya Rubaiyat itu, tapi novel ini sangat sedikit mengulas isi Rubaiyat. Cerita tentang kehidupan Omar Khayyam dan Rubaiyatnya juga hanya separuh buku, sisanya kisah tentang pencarian naskah asli Rubaiyat oleh Benjamin O Lesage.

Lesage yang berkebangsaan Amerika itu sejak kecil sudah mengenal Rubaiyat. Ia sangat mengaguminya. Namun pada puncak kekagumannya itu, ia justru meragukannya. Benarkah pernah ada seseorang yang mengarang bait-bait yang sangat indah dan menggugah itu? Satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah dengan menemukan naskah aslinya yang kabarnya ada di tangan seseorang.

Pencarian itu membawa Lesage ke daerah Timur Tengah yang kebetulan saat itu sedang terjadi pertarungan antar dua ideologi. Rezim Syah yang sedang berkuasa mendapat tekanan dari para pembaharu yang memperjuangkan penegakan demokrasi di Parsi. Rezim Syah mendapat dukungan dari para ulama yang menilai bahwa demokrasi dengan konstitusinya adalah penyimpangan dari agama dan itu adalah bid'ah.

Persoalan menjadi rumit tatkala ada campurtangan dari Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Meski para pembaharu itu memenangkan pertarungan, tapi pada akhirnya mereka mengalah akibat tekanan yang begitu besar dari Inggris dan Rusia. Setelah mengembargo secara ekonomi, Rusia menyatakan akan mengerahkan pasukan militernya jika Parsi tidak mau berada di bawah kendalinya.

Novel ini seperti meyakinkan saya bahwa dalam pertarungan kekuasaan, rakyatlah yang tetap menjadi korban, siapa pun yang menang. Ketika Parsi dalam genggaman para Syah, banyak korupsi meraja lela. Pengeluaran negara disunat untuk kepentingan pribadi para menterinya. Saat para pembaharu menang pun rakyat juga sengsara. Kelaparan dimana-mana karena kurangnya pasokan bahan makan dan perang dasyat mengancam.

Kalau begitu, mungkinkah ada pergantian kekuasaan tanpa ada perebutan terlebih dahulu? Jawabannya mari kita cari bersama, karena tidak ada dalam novel ini.

Jumat, 13 Maret 2009

Putus Asa

Jumat, 13 Maret 2009

Seorang nelayan putus asa setelah usahanya sama sekali tak mendapatkan hasil. Jaring yang dilemparkannya ke laut sia-sia belaka. Lemparan pertama ia mendapat bangkai keledai yang yang sudah membusuk, lemparan keduanya mendapat barang pecah belah yang tak berguna, sedangkan lemparan yang ketiga hanya mendapat tembikar yang berisi pasir.

Dengan hati yang putus asa, ia bersenandung:

       Memang rezki tak tentu, kadang terurai kadang terikat

       Seolah tak ada goresan pena yang memberi berkat

       Zaman sering rendahkan mereka yang baik

       Dan mengangkat mereka yang tak berhak

       Duhai mati datanglah kau, hidup ini sialan memang

      Karena burung telah jatuh, dan itik malah terbang

      Seekor burung terbang arungi timur dan barat dunia

      Sedang burung lain mendapat makan tanpa harus kemana-mana

[Disadur dari Hikayat 1001 Malam, Malam ke-3]

Kamis, 05 Maret 2009

Pencarian Makna Hidup Seorang Astrid Darmawan

Kamis, 05 Maret 2009

“Satu pertanyaan yang menggugah saya, mengapa Allah melahirkan saya ke bumi? Padahal Allah tak butuh kita, tak butuh shalat kita. Apakah kita beriman atau tidak, Ia tetap Allah yang Esa. Bahkan ada atau tidak adanya kita, keagungan Allah tak berkurang sedikit pun.”

Astrid Ayudewi Darmawan merasakan kegamangan makna hidupnya. Ia resah justru pada saat semua sudah dicapainya. Bayangkan, di usia yang baru menginjak 20 tahun, penghasilannya sebagai model papan atas mencapai US$3,000 perhari. Secara intelektual, ia termasuk perempuan yang cerdas sehingga bisa kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Selain itu, kepandaiannya bergaul membuatnya dikenal banyak orang ternama.

Namun, kemudahan hidup itu tak membawanya pada ketenangan dan ketenteraman hati. Ia merasa hidupnya kosong. Semua yang dilakukan seharihari hanya menjalankan rutinitas saja. Seperti robot yang tak mengenal makna. Pada titik itulah, akhirnya ia menyerahkan seluruhnya untuk mencari makna hidup. Seluruhnya, termasuk jiwa dan raganya. “Saya rela meski Allah mengambil nyawa saya hari ini, asalkan saya tahu untuk apa saya dilahirkan,” kata perempuan berdarah Sunda, Jawa, dan Belanda ini. Ia sangat yakin, mati dalam usaha mencari kebenaran lebih terhormat dibanding mati karena kontrak tubuhnya sudah berakhir dan Allah tak mau memperpanjangnya. “Mati saat kontrak sudah habis itu namanya mati konyol,” tegasnya.

Kesungguhannya mencari makna hidup membuat ia lebih serius belajar. Banyak buku dibacanya. Ia juga mendatangi pengajian-pengajian dan mendengar uraian para ustad. Tak puas dengan satu buku, ia mencari buku yang lain. Jika belajar pada satu ustad dirasa belum bisa menjawab kegundahan hatinya, tak segan ia datang ke pengajian yang lain dan belajar dari ustad di situ. Belajar dari banyak buku dan ustad, menjadikan mantan atlet nasional itu lebih mengenal Islam. Ia juga mengatakan, “Belajar itu tak boleh berhenti. Tak baik pula kita hanya belajar pada satu guru saja. Itu akan menyebabkan taklit buta.”

Masa Kecil

Astrid dibesarkan dalam keluarga yang heterogen. Keluarga besar dari garis sang ayah adalah penganut Islam, sedangkan keluarga dari Ibu, penganut Katholik. Ia menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Katholik. Tentu kurikulum belajarnya menganut ritual agama Katholik, termasuk ritual misa. Sebenarnya siswa non-Katholik tak diperkenankan mengikuti misa, tapi ia nekat mengikutinya.

Agama Katholik di sekolahnya termasuk Ordo Asisi, salah satu ordo dalam Katholik yang tak mengakui perwakilan Paus sebagai wakil tunggal dalam hubungan hamba dengan Tuhan. Ordo ini juga meyakini bahwa Yesus bukanlah Tuhan, ia hanya pembawa pesan saja.

Astrid sangat terkesan dengan orang-orang di lingkungan agama Katholik yang dikenalnya. Para pastornya baik. Meski setiap hari bergaul dengan mereka, ia tak merasa canggung dengan identitasnya sebagai Muslim. Mereka tetap menghormati keyakinannya, tak sedikitpun mereka memengaruhi dan mengajaknya pindah agama. Namun anehnya, meski ia bersimpati dan hormat kepada mereka, hatinya tetap tak berpaling dari Islam.

Pengalaman ber-Islam didapatkannya di rumah. Ayahnya, Dr. Hariadi Darmawan adalah Muslim yang taat. Setiap Shubuh, Maghrib, dan Isya’, Astrid selalu diajak shalat berjamaah. Seminggu sekali, seorang guru mengaji didatangkan khusus ke rumahnya.

Karena mengenal dua agama lengkap dengan ritual-ritualnya, pemahaman masa kecilnya juga unik. Dulu, ia yakin bahwa Yesus dan Bunda Maria adalah seorang Muslim. Mungkin karena pemahamannya yang seperti itu, tak ada pertentangan dalam hatinya.

Mengenal Rasulullah Saw

Pengalaman Astrid sebagai Muslim semakin intens saat ia rutin mengikuti pengajian seminggu sekali. Setiap Kamis malam, ia mengikuti ceramah seorang ustad. Namun yang menjadi perhatian Astrid dalam pengajian itu bukan doktrin Islam yang disampaikan ustad. Tetapi lebih pada kehausannya untuk lebih mengetahui lebih jauh sosok Nabi Muhammad Saw.

Dalam sistem pengajaran Katholik, cerita tentang kebaikan Yesus dan kemuliaan Bunda Maria begitu dominan. Karena itu ia sangat mengenal keduanya. Ia heran, mengapa pengajian yang diikutinya itu tak menceritakan keagungan Nabi Muhammad Saw? Selain itu ia gerah dengan metode ceramah sang ustad. Sering sekali dalam ceramahnya, ustad menjelek-jelekkan agama dan keyakinan orang lain.

Ia tak puas. Mulailah ia mencaricari. Tak jarang ia keluar masuk dari pengajian yang satu ke pengajian yang lain. Kemudian bertemulah ia dengan sebuah pengajian yang memuaskan dahaganya untuk mengenal Nabi. Ia juga sangat terkesan dengan Fusus al-Hikam, buku karangan Ibn Arabi, yang diberikan ayahnya.

Baginya, Rasulullah Saw adalah guru dari segala guru. Jika ingin selamat di dunia dan akhirat harus belajar darinya, mengikuti seluruh tuntunannya. Jadilah, Nabi Muhammad Saw menjadi figur religius bagi dirinya. Tak heran jika ia membutuhkan figur semacam itu karena pengaruh ajaran Katholik. Bagi kaum Katholik, Yesus menjadi figur sentral dari setiap ajarannya.

Ia yakin, dengan meneladani Rasulullah Saw, ia akan sampai pada tujuan hidupnya, yaitu mengenal Allah. Ia juga percaya akan sampai pada tujuannya itu. “Semua Muslim memunyai potensi yang sama untuk mencapai tujuan itu. Halangan utamanya adalah persepsi kita. Selama kita menganggap tujuan itu mustahil, maka kita tak akan pernah sampai ke sana.”

Ia juga mengatakan, untuk mencapai tujuan itu, kita tak boleh sekali-sekali menyekutukan-Nya. Artinya, fokus tujuan kita hanya kepada Allah, bukan yang lain. Sering sekali dalam doa, kita memaksakan keinginan kita, minta ini dan itu. Tujuan yang sebenarnya terlupakan.

Perjalanan Karir

Setelah tamat Sekolah Menengah Atas, ia diterima di jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia. Kemudian ia lanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun di tingkat pasca sarjana, ia lebih tertarik di bidang bisnis. Karena itu, ia lebih memilih jurusan Bisnis International di perguruan tinggi yang sama.

Ia masuk dunia modeling sejak usia 12 tahun. Debut pertamanya ketika menjadi model di majalah SPORTIF. Tahun 1985 sampai 1995 Astrid menjadi model profesional. Astrid juga pernah berkecimpung di bidang olahraga, khususnya renang. Ibu dua anak ini pernah menjadi atlet renang nasional pada kejuaraan se-Asia Tenggara. Pernah juga mewakili daerahnya bertanding di Pekan Olahraga Nasional.

Saat ini, Astrid merintis karir di bidang perbankan. Ia masuk ke Bank DKI Syariah, dan dipercaya megang jabatan sebagai Pimpinan Cabang Bank DKI Syariah Cabang Pondok Indah I.

Di sela-sela aktivitasnya sebagai perempuan karir dan mengurus keluarga, ia menyempatkan diri untuk menulis. Buku pertamanya pun lahir, Al-Qur’an, The Ultimate Secret terbitan Ufuk Press. Saat ini, ia sedang menyiapkan penerbitan buku keduanya. Apa isi buku keduanya itu? “Tak lucu jika saya ceritakan sekarang,” ujarnya sambil tersenyum. « [imam dan esthi]

----------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Firday Edisi 18
"Akhlak Sang Nabi"

----------------------------------------------------------------

Senin, 02 Maret 2009

Pekerjaan

Senin, 02 Maret 2009
Saya heran saat pertama kali melihat polisi cepek di Surabaya. Ada-ada saja yang dilakukan orang untuk mencari uang. Polisi cepek? itu lho orang yang membantu pengendara mobil putar balik atau menyeberang jalan. Maklum di kampung dulu tak terbayang jenis pekerjaan semacam itu.

Saya lebih heran lagi saat beberapa bulan tinggal di sekitar Jakarta. Ada orang yang tiap malam kerjaannya nongkrong di atas jembatan, menunggu genset untuk lampu penerang reklame. Jenis pekerjaan ini tak mungkin saya temui di kampung saya.

Ya, setiap orang perlu bekerja agar kelangsungan hidup diri dan keluarganya terjamin. Lebih-lebih bagi kaum laki-laki, bekerja adalah kebutuhan sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga.

Apabila kebutuhan untuk bekerja ini dihubungkan dengan pemberi pekerjaan alias pemilik modal atau pengusaha, sebenarnya siapakah yang membutuhkan, pengusaha atau pekerja? Kalau jawaban teman-teman keduanya saling membutuhkan, itu sama dengan apa yang saya pikirkan.

Tapi, ada salah satu pengusaha, pemilik modal besar, yang merasa (lebih tepatnya dianggap) berjasa karena mempekerjakan ribuan karyawan. Bahkan ia disebut lebih nasionalis dibanding Wimar karena banyak menolong rakyat yang butuh pekerjaan.

Logika semacam itu dipakainya untuk mendapat dana pinjaman pemerintah karena saat ini perusahaannya kembang kempis diterjang krisis global. Ia merasa layak mendapatkan fasilitas itu dengan alasan, agar banyak rakyat terselamatkan.

Saya kok agak janggal dengan logika itu. Saya bisa mengerti kalau pengusaha itu memang benar-benar memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Tidak mengupah mereka pada batas minimal (UMR) dan tidak mengorbankan karyawan pertama kali saat terjadi krisis.

Siapakah pengusaha itu? Silahkan baca sendiri di perspektif.net plus diskusi yang melingkupinya. <<

Catatan: Gambar pinjam dari Clipart ETC

Rabu, 25 Februari 2009

[Hikayat] Petaka Bagi Orang Rakus

Rabu, 25 Februari 2009

Tersebut dalam kisah bahwa pada zaman Nabi Isa as ada seorang laki-laki yang ingin sekali menjadi sahabat beliau. Suatu hari ia menemui Nabi Isa as dan berkata, “Wahai Isa, ingin sekali aku bersahabat denganmu ke mana pun kau pergi.” Nabi Isa as mengizinkannya, “Baiklah jika demikian.”

Suatu hari kedua sahabat tersebut berjalan di tepi sebuah sungai. Karena lapar, mereka beristirahat dan membuka perbekalan berupa tiga potong roti. Nabi Isa as mengambil satu potong, lelaki itu juga mengambil satu. Masih tersisa satu potong lagi. Ketika Nabi Isa as pergi ke sungai dan kemudian kembali, roti yang tinggal sepotong tadi sudah tidak ada. Nabi Isa as bertanya pada sahabatnya, “Siapakah yang telah mengambil sepotong roti?” Sahabatnya menjawab, “Aku tak tahu.”

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Setelah jauh berjalan, mereka bertemu sungai lagi, Nabi Isa memegang erat tangan sahabatnya itu, menariknya untuk menyeberang. Nabi Isa berkata, “Wahai sahabatku, sebenarnya siapa yang mengambil roti itu?” Tetap, lelaki itu menjawab, “Aku tak tahu.”

Sampailah dua sahabat itu di sebuah hutan. Saat mereka duduk-duduk untuk beristirahat, Nabi Isa as menemukan sejumlah perhiasan. Kemudian, Nabi Isa as membaginya menjadi tiga bagian, ia berkata, “Untukku sepertiga, dan kamu sepertiga, sedangkan yang sepertiganya lagi untuk orang yang mengambil roti.” Dengan cepat sahabatnya itu berkata, “Akulah yang mengambil roti itu.” Nabi Isa as pun berkata, “Ambillah semua bagian ini untukmu.” Lalu keduanya berpisah.

Laki-laki itu sangat girang. Kemudian datanglah dua orang yang akan merampok perhiasan itu. Saat perampok itu ingin membunuhnya, laki-laki itu berkata, “Lebih baik perhiasan ini kita bagi tiga saja.” Dua perampok itu setuju, lalu menyuruh salah seorang untuk membeli makanan ke pasar.

Muncullah keinginan orang yang pergi ke pasar untuk menguasai seluruh perhiasan itu. Ia berkata, “Untuk apa perhiasan itu dibagi tiga, lebih baik untuk aku semua. Makanan ini aku racun agar mereka berdua mati.” Sementara itu, dua orang yang menunggu di hutan pun berpikiran sama. Salah satu dari mereka berkata, “Lebih baik, saat ia datang membawa makanan, kita bunuh saja. Dan harta ini menjadi milik kita berdua.”

Dua orang tadi bersepakat. Kemudian saat orang yang membawa makanan itu datang, mereka membunuhnya. Keduanya sangat senang mendapat bagian yang lebih banyak dari yang seharusnya. Kemudian mereka memakan makanan yang telah diberi racun. Keduanya pun mati.

Ketika Nabi Isa as berjalan melintasi hutan dan melihat tiga mayat yang mati di sekitar perhiasan, maka ia berkata, “Inilah contohnya dunia. Maka berhati-hatilah kamu kepadanya.”

Kamis, 19 Februari 2009

Makanan: Menyehatkan atau Justru Merusak?

Kamis, 19 Februari 2009

Ada temuan yang patut untuk dicermati dari Badan Kesehatan Dunia [WHO]. Badan dunia tersebut memperkirakan penderita diabetes di Indonesia akan meningkat tajam. Pada tahun 2000 lalu, terdapat 8,4 juta penderita diabetes di Indonesia. Jika tak ada upaya serius untuk menanggulanginya, diperkirakan pada tahun 2030 nanti, penderita diabetes di Indonesia mencapai 21,3 juta.

Analisa tersebut sangat mengerikan menginggat bahwa diabetes biasanya dibarengi dengan munculnya penyakit-penyakit lain. Penderita diabetes yang tak segera ditangani bisa menyebabkan stroke, kerusakan ginjal, maupun kebutaan. Diabetes bisa juga terjadi pada anak-anak, bahkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Banyak temuan yang menunjukkan gejala itu. Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI] mencatat, setiap tahun terjadi 240 kasus baru diabetes pada anak Indonesia.

Ada beberapa faktor penyebab diabetes. Selain karena faktor keturunan, penyakit yang sering disebut the silent killer ini juga disebabkan karena obesitas atau kegemukan. Kondisi itu terjadi karena kebiasaan mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa diimbangi olahraga yang teratur.

Mengonsumsi makanan secara baik [seimbang] berfungsi untuk menghasilkan energi, mengganti sel-sel tubuh yang tua atau rusak, juga untuk menjaga metabolisme dalam tubuh. Ujung dari ketiga fungsi tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia agar bisa menjalankan tugas kehidupannya. Tapi, apabila keseimbangan itu dilanggar, makanan tak mendatangkan manfaat, bahkan akan merusak tubuh. Dalam ajaran Islam, ada diperintahkan untuk makan makanan yang halal dan baik [halâlan thayyiban]. Allah swt berkalam dalam al-Qur’an yang artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS al-Baqarah [2]: 168].

Jadi, tak cukup hanya halal saja, tetapi harus thayyib, karena belum tentu makanan yang halal itu thayyib. Udang dan ikan laut itu pada dasarnya halal untuk dimakan, tetapi menjadi tak baik [tidak thayyib] untuk mereka yang menderita alergi. Ke-thayyib-an makanan paling tidak memenuhi tiga syarat yaitu baik dari sisi kandungannya, jumlah konsumsinya, dan cara mengonsumsinya.

Kandungan Makanan
Karena fungsi makanan yang begitu penting, banyak ahli gizi yang menyarankan agar makanan yang kita makan selalu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh seperti protein, karbohidrat, mineral, lemak, dan vitamin. Berbagai unsur tersebut hendaknya dikonsumsi secara seimbang, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Berlebihan pada salah satunya berakibat kurang baik, seperti makanan cepat saji [fast food] misalnya.

Pada umumnya, fast food mengandung gizi yang tak seimbang. Kandungannya lebih banyak lemak, gula, dan garam, sedikit sekali mengandung serat. Padahal kelebihan lemak dalam tubuh bisa menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol yang berlebihan itu merupakan pemicu munculnya penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

Selain itu ada penelitian terbaru dari University of Alberta yang menyatakan, bagi ibu menyusui, mengonsumsi fast food lebih dari satu atau dua kali seminggu akan mengurangi fungsi ASI bagi bayi.

Sebelumnya, banyak penelitian menyimpulkan bahwa pada anak yang disusui dengan ASI akan mengurangi resiko menderita asma. Bagi ibu yang mengonsumsi fast food melebihi batas, fungsi ASI tersebut tereliminasi.

Perlu juga untuk memerhatikan zat tambahan pada makanan baik itu sebagai bahan pengawet, pewarna, maupun penyedap rasa. Dalam kadar yang dibolehkan, makanan yang mengandung zat tambahan dari bahan kimia masih aman untuk dikonsumsi. Namun jangan salah pengertian, jika makanan tersebut dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tetap saja berbahaya. Zat kimia tersebut akan menumpuk dan menjadi racun dalam tubuh.

Jumlah yang Dikonsumsi
Jumlah makanan yang dikonsumsi juga perlu diperhatikan untuk menjaga keseimbangan bagi tubuh. Memang, memenuhi selera makan sampai perut menjadi kenyang boleh-boleh saja, tapi tetap saja ada batasnya. Ketika sudah melampai batas itu, mengonsumsi makanan menjadi kurang baik. Setiap orang punya batas yang berbeda-beda, tergantung dari kondisi tubuhnya. Bagaimana menentukan batas itu?

Al-Thabari, salah seorang ulama tafsir, mengatakan, “Meskipun kenyang hukumnya mubah, tapi ia memiliki batasan puncaknya. Jika batasan ini dilanggar, maka hal itu disebut berlebih-lebihan. Yang mutlak dalam hal ini adalah kenyang yang dapat membantu pelakunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dan keadaannya tidak membuatnya berat dalam melaksanakan kewajiban.”

Kenyang dalam batasan At-Thabari dikaitkan dengan aktivitas manusia. Jika kenyang itu masih memungkinkan manusia melakukan aktivitas, kekenyangannya masih dianggap wajar. Namun jika sudah menjadikan manusia malas untuk bergerak dan beraktivitas, maka kekenyangan itu sudah melampau batas. Dalam ungkapan yang berbeda, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menentukan batasan konsumsi makanan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi. Menurut Ibnu Qayyim, ada tiga tingkat dalam hal mengonsumsi makanan. Tingkat yang pertama adalah mengonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan. Sabda Rasulullah: “Cukuplah bagi manusia untuk mengkonsumsi beberapa suap makanan saja untuk menegakkan tulang rusuknya”. Artinya, sudah cukup bagi manusia mengonsumsi makanan sampai pada kebutuhan dasarnya. Memenuhi selera menjadi prioritas yang tak utama.

Namun, jika manusia memang berkehendak untuk memenuhi selera makannya, maka Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Kalaulah dia harus berbuat, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” Pada tingkat ini, memenuhi selera makan masih dalam tahap yang wajar, masih memerhatikan keseimbangan asupan makanan.

Jika konsumsi makanan sudah melampaui batas keseimbangan itu, dikatakan sudah berlebihan dan sangat tidak baik untuk dilakukan.

Cara Mengonsumsi
Cara mengonsumsi makanan juga penting untuk diperhatikan. Meski kandungan makanan sudah baik, konsumsinya juga tak berlebihan, tapi jika cara mengonsumsinya tak baik juga belum bisa dikatakan thayyib.

Rasulullah Saw memberikan contoh bagaimana cara makan yang baik. Sebelum makan, Rasulullah Saw mengucap basmallah. Jika makanan yang dihidangkan masih panas, beliau bersabar menunggu sampai makanan itu dingin dan layak dimakan. Kemudian, Rasulullah Saw tak tergesa-gesa dalam makan, mengunyahnya terlebih dahulu sebelum ditelan. Setelah makan, beliau mencuci tangannya.

Para ulama terdahulu juga melakukan ijtihad dalam masalah ini. Ada anjuran dari para ulama untuk mencuci tangan sebelum makan, meski tak ditemukan hadis nabi yang membicarakan hal tersebut.<<

ctt: gambar pinjam dari Ellen Rixford Studio

-----------------------------------------------
ALiF Edisi 17: Halalan Thayyiba
-----------------------------------------------

Rabu, 18 Februari 2009

Ibu Orang-orang Miskin

Rabu, 18 Februari 2009

Zainab binti Khuzaimah sangat menyayangi orang-orang miskin, selalu menyantuni dan bermurah hati kepada mereka. Sifat kedermawanannya melebihi kepentingan terhadap dirinya sendiri. Masyarakat pun menyebutnya sebagai “ibu orang-orang miskin” [Ummul Masâkin]. Ia termasuk golongan wanita-wanita pertama yang mengakui kebenaran Muhammad Saw.

Sebelum menjadi istri Rasulullah Saw, kehidupannya sungguh memprihatinkan. Bersama Thufail bin Harits bin Abdul-Muththalib, suami pertamanya, ia mengikuti Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Namun segera setelah itu, ia diceraikan karena tidak bisa mendatangkan keturunan.

Terdapat banyak riwayat yang berbeda-beda mengenai siapa yang menikahinya setelah perceraiannya itu. Ada yang mengatakan Ubaidah bin Harits yang menjadi suaminya. Riwayat yang lain mengatakan Abdullah bin Jahsy. Namun yang paling banyak dipercaya oleh para ulama adalah riwayat yang mengatakan, setelah bercerai dengan Thufail, Ubaidah bin Harits, yang juga saudara laki-laki Thufail, ingin menjaga kemuliaan Zainab dengan menikahinya.

Kesedihan kembali melingkupi Zainab setelah Ubaidah gugur dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah Saw. Ubaidah terkenal sebagai salah seorang prajurit penunggang kuda paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga menjadi prajurit andalan dalam setiap peperangan melawan orang-orang Quraisy.

Tak banyak riwayat yang menceritakan kisah hidup Zainab setelah Ubaidah gugur sampai Rasulullah Saw menikahinya. Rasulullah Saw menjadikannya istri karena, hati beliau trenyuh melihat Zainab hidup menjanda, tanpa ada yang memperhatikan dan menyayanginya. Sementara sejak kecil ia menjadi pelindung dan penyayang bagi orang-orang miskin. Wajahnya memang tidak cantik sehingga tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya.

Rasulullah Saw sangat menghormatinya. Gelar Ummul Masâkin yang sudah disandangnya sejak jaman jahiliyah tidak diingkari oleh Rasulullah Saw, padahal beliau banyak tidak menyukai nama atau julukan yang dikenal di masa jahiliyah.

Kehidupan bersama Rasulullah Saw dilaluinya dengan sangat singkat karena ia meninggal dunia di usia yang masih muda. Sebuah riwayat mengatakan, ia menjadi bagian keluarga Rasulullah Saw selama tiga bulan. Ada juga riwayat lain yang mengatakan delapan bulan. Tetapi tak ada riwayat yang menjelaskan sebab-sebab ia meninggal. Karena kemuliaan dan keagungannya, tangan Rasulullah Saw sendiri yang mengurus jenazahnya.
12duadua © 2014