
Pembentukan kota Madangkara dalam pikiran dan bayangan itu saya perlukan sebagai sarana untuk berjaga-jaga, untuk mekanisme perlindungan diri agar tak salah dalam bergaul dan bersikap.
Setelah tinggal di Madangkara, bangunan kota itu lama-kelamaan runtuh, lebih tepatnya terbarui dengan kenyataan-kenyataan yang saya temui setiap hari. Tentang perilaku masyarakatnya. Saya sudah membayangkan, masyarakat kota sebesar Madangkara mempunyai sifat yang individualistik. Virus ketidakpedulian menyebar di kepala orang-orang, jangankan dengan orang yang tak pernah bertemu sebelumnya, dengan tetangga sebelah yang setiap hari bertemu saja pasang muka cuek.
Bayangan saya ternyata benar, bahkan lebih parah. Orang yang peduli dengan orang lain bukan saja disebut aneh tapi tolol. Saya pernah naik kendaraan umum. Saat itu penumpangnya penuh sesak, tapi karena saya naik dari ujung, saya masih dapat tempat duduk. Di tengah perjalanan, saya lihat ada ibu-ibu, kira-kira usianya lebih tua dari saya. Insting kelelakian saya muncul, seperti slogan iklan di televisi, "tunjukkan merahmu", saya berdiri dan tempat duduk saya berikan ke ibu itu. Tanpa ekspresi, ibu itu pun duduk, jangankan berterima kasih, untuk senyum saja tidak, dia malah memandangku seperti orang tertolol di dunia. Saya mengelus dada sambil berucap, "tempat macam apa ini?".
Ketidakpedulian semakin jelas terlihat dari perilaku pengguna jalanan. Sudah menjadi kebiasaan saling srobot, menggeber kendaraan dengan knalpot yang bersuara keras memekakkan telinga. Semua pengguna jalan seperti berada di sirkuit balap, berlomba menjadi yang terdepan, padahal fisnish-nya berbeda-beda. Sering, saya tertawa geli memikirkan itu.
Masyarakan Madangkara dalam pikiran dan bayangan saya, terkoreksi. Sikap saya juga harus dikoreksi. Saya semakin berhati-hati, tak mudah percaya dengan orang, meski saya sudah mengenalnya.
Meski kelihatan menegangkan, apalagi kalau saya cerita pengalaman di Madangkara kepada orang tua saya, bisa-bisa saya dipaksa pulang kampung, tapi saya menikmatinya. Seperti seorang arsitek, saya senang mengumpulkan dan memasang serpihan-serpihan kota Madangkara, berharap suatu saat nanti akan menjadi bangunan yang utuh dan indah.
Ada yang unik dan menarik, terkadang persepsi saya terlalu berlebihan, tak sadar kehati-hatian berubah menjadi ketakutan. Biasanya, kalau sudah begitu, ada peristiwa yang mengembalikan persepsi saya pada tempat yang semestinya. Ketika ketidakpercayaan pada masyarakat Madangkara sudah sedemikian akut, saya disadarkan untuk menguranginya pada takaran yang pas.
Suatu hari saya menjemput istri saya di stasiun. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba istri saya teringat sesuatu. Astaga, tasnya tertinggal di kereta. Ia langsung lemas karena dalam tas itu ada berkas-berkas yang sangat penting. Kami berpikir bagaimana mendapatkannya kembali.
Kami pun pergi ke stasiun terakhir, berangkat dengan harapan yang hampir tak ada. Melihat perilaku masyarakat Madangkara, hanya keajaiban jika kami bisa menemukan tas itu. Bagi istri saya, isi tas itu teramat penting, tapi bagi orang lain mungkin hanya lembaran-lembaran kertas yang tak berguna, bisa-bisa kami menemukannya di tong sampah dengan kondisi setengah terbakar.
Kami mendapati stasiun sudah sepi, maklum sudah kelewat waktu orang pulang kerja. Kami dapat informasi, ada petugas pengawas 24 jam di stasiun itu. Kami menemuinya dan menanyakan apakah ada tas dengan ciri-ciri ini dalam kereta ini. Petugas itu langsung membuka lacinya dan menyerahkan tas milik istri saya dengan isi yang masih lengkap. Ternyata, masih ada orang-orang di Madangkara sebaik petugas itu.
Bangunan kota Madangkara terevisi kembali, cat yang sebelumnya saya gambar semuanya usang, saya ubah, ada bagian-bagian tertentu saya cat dengan warna cerah.
7 komentar: