Pages

Kamis, 27 November 2008

Pernikahan, Melengkapi dan Melindungi

Kamis, 27 November 2008

Keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah, bukanlah keluarga yang tanpa gejolak. Penyatuan dua jiwa dengan sifatnya masing-masing mustahil tanpa ada benturan dan kesalahpahaman. Begitu pun juga, dari berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan waktu keduanya [suami dan istri] ada perkara yang menimbulkan sikap yang berbeda. Tak jarang pula perbedaan itu berakhir dengan percekcokan dan perselisihan.

Pasangan yang berharap menjadi keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah,justru menjadikan semua gejolak itu sebagai bumbu penyedap keharmonisan hubungannya. Seperti garam yang asin itu menjadi bumbu penyedap masakan sehingga menjadi lezat. Kekurangan-kekurangan dari pasangan yang diketahui setelah sekian lama bersama tidak menimbulkan kekecewaan.

Masing-masing menyadari sepenuhnya bahwa ia terlahir memang untuk menutupi kekurangan dan menjadi pelindung kelemahan pasangannya. Allah swt memberi perumpamaan, suami atau istri menjadi penutup dan pelindung pasangannya seperti sebuah pakaian. Kalam-Nya: “Mereka [istri-istri] itu adalah pakaian bagi kamu [wahai para suami], dan kamu pun [para suami] adalah pakaian bagi mereka [para istri kamu]” [QS 2: 187].

Di bawah ini ada dua kisah nyata yang menceritakan bagaimana hubungan suami-istri bisa saling melengkapi dan melindungi sehingga tergambar hubungan yang dilandasi dengan cinta sejati.

Keajaiban Cinta
Seperti setiap laki-laki yang akan menikah, Eko Priyo Pratomo berharap istrinya nanti bisa menjadi istri dan ibu yang baik dah shalehah sekaligus menjadi sahabat yang bisa saling mendukung hingga akhir hayat.

Harapan itu tidaklah berlebihan, Dian Syarif, istrinya adalah perempuan yang sangat aktif, energik, dan memunyai kondisi fisik yang prima dengan pemikiran yang cerdas. Karena kemampuannya itu ia dipercaya menjabat sebagai Corporate Communication Manager di salah satu bank swasta nasional.

Namun tiba-tiba, Dian terserang penyakit yang menurut dokter tak bisa disembuhkan. Seumur hidupnya, ia harus bergantung pada obat-obatan. Dian divonis terkena penyakit lupus. Penyakit bernama lengkap Systemic Lupus Erythematosus [SLE] yang dialami Dian menyerang darah. Karena itu ia diberi obat-obatan untuk meningkatkan trombositnya.

Terapi obat yang Dian jalani memiliki efek yang cukup berat. Selain membuat wajahnya membengkak, obatobatan tersebut mengakibatkan rusaknya saraf mata. Sekarang kemampuan penglihatan Dian hanya lima persen saja. Ia hanya bisa melihat siluet tanpa bisa mencermati detai-detail benda di depannya.

Kondisi fisik Dian melemah karena penyakit ini juga menyerang organ-organ tubuh yang lain. Kandungan Dian pun harus diangkat karena mengalami pendarahan terus-menerus. Hilanglah kesempatan Dian mengandung anak.

Melihat kondisi istrinya itu, Eko sangat takut sekali. Terlintas dalam pikiran Eko, Dian akan meninggalkannya. Karena itu Eko berjuang melawan perasaannya itu dan harus tetap memberi semangat hidup pada istrinya sambil terus berusaha mencari cara mengurangi penderitaannya.

Tak sedikit pun terlintas dalam pikiran Eko untuk berpaling dari Dian. Padahal, karena merasa hidupnya sangat merepotkan, Dian sempat meminta Eko untuk menikahi wanita lain. Tetapi Eko menolak, ia sangat mencintai Dian dan menurutnya cinta adalah kebahagiaan ketika bisa memberi dan berkorban tanpa merasa terbebani.

Ia menambahkan, “Saya juga sedang belajar mencintai sebagai ungkapan terimakasih dan syukur kita kepada Allah swt yang begitu mencintai dan menyayangi kita.” Tak cuma itu, bagi Eko, sekarang Dian bukan hanya menjadi pendamping hidup, tetapi juga sebagai ladang amal baginya dan orang lain.

Pernikahan bagi Eko tidak sekedar memenuhi hasrat manusia sebagai mahkluk biologis dan sosial yang membutuhkan pendamping dalam hidup di dunia. Namun yang jauh lebih penting, pernikahan harus menjadi bagian dari ibadah dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Perhatian, cinta dan kasih sayang Eko beserta seluruh keluarga menjadi pendorong Dian untuk bisa bertahan. Semua itu menjadikannya tetap bersemangat dan berkeinginan kuat untuk tetap hidup. Di saat itulah Dian merasakan keajaiban cinta. Meski dengan segala keterbatasannya, Dian tetap bisa menerapkan kemampuannya berkomunikasi, tetapi yang dikomunikasikannya berbeda. Melalui Syamsi Dhuha Foundation [SDF], yayasan yang didirikan bersama EKO, Dian berbagi dengan sesama penderita lupus [odapus] dan sahabat low vision [lovi].

Kamu Tetap Kepala Keluarga
Cerita yang kedua ini berkisah tentang perjuangan seorang ibu bernama Tingka yang selalu menjaga semangat hidup keluarganya setelah suaminya terkena stroke. Kisahnya berawal pada Minggu sore sekitar sepuluh bulan yang lalu. Pada hari itu, Bambang–suaminya–tiba-tiba terkulai tak berdaya di ruang ICU sebuah rumah sakit. Hari itu juga tim dokter memutuskan untuk melakukan operasi.

Usaha yang dilakukan dokter ternyata tak segera membuat Bambang pulih kembali. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan itu lumpuh total dan belum bisa diajak berkomunikasi meski hanya bahasa isyarat.

Melihat kondisi suaminya seperti itu Tingka menyadari bahwa kini ia yang harus memegang kendali rumahtangga. Berusaha agar kehidupannya bersama seluruh anggota keluarga bisa terus berjalan. Menjaga tiga anak mereka agar tetap punya semangat hidup. Apalagi anaknya yang pertama sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir lulus SMA.

Ia berujar kepada ketiga anaknya, “Kalian semua harus tabah dan tetap bersikap seperti biasa. Bersekolah dan bermainlah seperti sebelum ayah sakit. Kalau hari libur ingin jalan-jalan bersama teman-teman kalian, silakan saja. Namun kalian harus lebih bisa menjaga diri kalian, sekarang ayah di rumah sakit dan ibu harus sering berada di sana.”

Setelah suaminya boleh dirawat di rumah, Tingka memperlakukannya seperti orang yang tidak sakit. Ia selalu bercerita kegiatan apa yang dilakukan hari ini, berkirim email dan bertemu dengan siapa. Padahal ia tahu kalau suaminya belum bisa merespon semua yang dibicarakannya. “Seperti monolog saja,” katanya. Ia juga meminta anak-anaknya bersikap sama seperti dirinya. Setiap pulang sekolah, mereka ngobrol dengan Bambang.

Sikap keluarga yang demikian berpengaruh positif kepada perkembangan kesehatan Bambang. Saat diajak berkomunikasi, Bambang sudah bisa merespon meski hanya dengan isyarat. Kesehatan fisiknya pun membaik, ia mulai kuat diajak jalan-jalan keluar rumah.

Pada hari ulangtahun pernikahan yang ke-duabelas, Tingka mengajak Bambang jalan-jalan ke mal. Dengan mendorong Bambang di kursi roda, Tingka membawa Bambang berkeliling ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Tingka tidak perduli meski pengunjung yang lain memperhatikan dengan pandangan aneh pada dirinya. Bagi Tinka, yang penting adalah berusaha membuat Bambang senang.

Ternyata, usaha Tingka tidak sia-sia. Setelah diajak jalan-jalan, kondisi Bambang semakin membaik. Sejak itu pula, setiap ada kesempatan Tingka selalu mengajak Bambang ke luar rumah. Sekedar jalan-jalan atau berkunjung ke rumah sahabat. Saat bulan puasa yang lalu, Tingka sering mengajak Bambang hadir di acara buka puasa bersama. Teman yang ingin menjenguk Bambang diajak bertemu di suatu tempat, di mal, atau justru Tingka dan Bambang yang pergi ke rumah temannya itu.

Semua yang dilakukan Tingka itu dilandasi keikhlasan dan rasa cinta. “Saya pikir bukan hanya saya saja, semua istri akan melakukan hal yang sama ketika suaminya sakit, begitu juga sebaliknya. Masak, terus ditinggal begitu saja..” katanya merendah.

Menurut Tinka, menjalankan bahtera rumahtangga pasti ada kalanya naik dan terkadang pula diuji dengan kesusahan. Ia menganggap sakitnya Bambang merupakan ujian dari Allah swt dan ia yakin Allah swt pasti memiliki rencana dengan semua peristiwa ini. Paling tidak, Tingka merasakan, saat ini ia merasa lebih dekat secara batin dengan Bambang dan anak-anaknya.

Perubahan secara spiritual juga terjadi pada Tinka. Sekarang ia berusaha untuk selalu menjaga ibadahnya. Dengan begitu Ia merasa lebih dekat dengan-Nya.

Bagi Tinka, yang harus tetap dijaga sekarang adalah kepercayaan diri dan semangat suaminya. Ia selalu mengatakan pada suaminya, “Meski sekarang aku yang mengurus semuanya, tapi kamu tetap kepala keluarga. Aku dan anak-anak masih tetap membutuhkanmu. Kamu harus cepat sembuh.”

------------------------------
Mau baca artikel-artikel yang lain?
Silahkan kunjungi ALiF

Rabu, 26 November 2008

Menjadi Bagian dari Solusi

Rabu, 26 November 2008

Seorang warga Amerika Serikat Peter Miller menyewa konsultan untuk melakukan diet energi di rumahnya. Penggunaan energinya di audit. Kemudian dianalisa. Lalu ditentukan formasi alat rumah tangga yang tepat agar penggunaan energi listriknya optimal.

Miller perlu melakukan itu karena ingin berperan menekan laju kerusakan iklim akibat pemborosan energi. Ia mengatakan, "Perubahan iklim bukan sekedar tentang cerobong asap dan gletser yang mencair. Perubahan iklim juga tentang individu seperti kita. Karena kita memainkan peran yang lebih besar dalam mengubah iklim Bumi daripada yang mungkin kita pikirkan. Namun kita juga dapat menjadi bagian dari solusi."

Di pinggiran Depok, Eddy Djamaludin juga mempunyai kesadaran yang sama. Ia merasa, manusia sekarang sedang menghadapi masalah iklim dan lingkungan. Udara semakin panas, banjir, polusi, sampah dan lain-lain. Jika masalah itu tidak segera diselesaikan akan berakibat tidak baik pada kelangsungan hidup manusia.

Eddy juga menengok pada ajaran agama yang dianutnya. Ia yakin solusi tidak akan diperoleh jika bukan manusia sendiri yang mengusahakannya. Ia juga percaya bahwa setiap manusia mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan karena manusia adalah khalifah di bumi.

Bersama keluarga dan kerabatnya, Eddy bertekad menciptakan tempat tinggal yang ramah lingkungan.

Suatu saat ada sekolah TK yang tertarik untuk mengadakan kegiatan menanam pohon di tempat itu. Seratus anak direncanakan datang, masing-masing membawa satu bibit tanaman. Namun, pada hari pelaksanaan satu anak tidak bisa ikut karena sakit sehingga hanya 99 bibit yang ditanam. Jadilah tempat itu dinamakan Kampung 99 Pepohonan.

Sekarang kampung itu sudah rimbun, banyak pohon tumbuh di sekitar rumah-rumah mereka, udara sejuk yang langka itu bisa dinikmati dengan mudah. Yang lebih membahagiakan bagi Eddy adalah ternyata banyak burung dan hewan lain yang datang. "Lihat tuh tupai pun senang berada disini," katanya sambil menunjuk pada sepasang tupai yang berkejaran di ranting pohon.

Tidak hanya hewan, manusia pun banyak yang ingin merasakan kenikmatan berada di kampung itu. Sesekali, keluarga Eddy harus mengalah tidur di rumah saudaranya yang lain karena rumahnya dipinjam pengunjung. Kampung 99 Pepohonan telah menjadi alternatif wisata bagi keluarga.

Gambar pinjam dari ALiF

Minggu, 09 November 2008

Ekspresi Iman

Minggu, 09 November 2008

Apakah iman itu butuh ekspresi? Aku pikir iya. Sebab iman tanpa ekspresi seperti sayur tanpa garam. Ekspresi itu membuat iman seperti rumah yang berhias taman yang indah. Seperti kayu polos yang berubah menjadi bernilai karena dihias ukiran. Seperti juga pagi hari yang sejuk bertambah riang dengan kicauan burung.

Menengadahkan tangan dan dengan khidmad mengucap "alhamdulillah" setelah menerima gaji pertama, itu bentuk ekspresi. Indah bukan? Atau saat tesandung batu di jalan kemudian kita melihat ke arah langit sambil berucap, "Astaghfirullah. Engkau mengingatkanku dengan hal yang kecil sebelum hal yang besar menimpaku."

Sesimpel itukah? Iya. Tapi ada juga yang mahal. Bahkan sangat mahal, seperti membangun masjid yang berkubahkan emas. Ada juga yang unik, dengan menanam pohon dan hidup bersama alam. Aku akan cerita keduanya.

Bersama seorang kawan, aku hendak berkunjung ke Kampung 99 Pepohonan di daerah Cinere. Sebuah kampung yang unik, seunik orang-orang yang tinggal di dalamnya. Unik karena pemikiran mereka berbeda dengan kebanyakan orang.

Waktu sudah hampir masuk 'Asyar. Kebetulan jalan ke Kampung 99 searah dan dekat dengan Masjid Kubah Emas, masjid yang terkenal itu. Aku bilang pada kawanku, "shalat 'Asyar di Masjid Kubah Emas yuk!" Syukurlah kawanku mau.

Kami harus memarkir motor di luar area masjid yang luasnya minta ampun. Jarak tempat parkir ke masjid kira-kira 200 meter. Sambil berjalan, aku memandangi masjid yang tampak seperti berada di lembah. Baru kali ini aku berkunjung ke sini. Aku pun langsung kagum pada keindahannya. Sangat megah dilihat dari kejauhan.

"Kenapa ya Mam," kawanku bicara, "uang untuk membangun masjid itu tidak dipakai untuk beramal saja?"

"Maksudmu apa," aku balik tanya.

"Coba bayangkan jika uang sebanyak itu dibagikan ke fakir miskin, atau untuk biaya anak sekolah yang kurang mampu. Betapa banyak yang bisa dibantu."

"Nggak tau ya. Tapi coba lihat, disekitar tempat parkir tadi banyak orang yang jualan. Mereka bisa jualan karena ada masjid ini. Tukang parkir tadi juga dapat penghasilan kan?"

"Hmmmmm..." dahi kawanku berkerut.

"Tuh, lihat juga," aku lanjutkan tanpa menunggu kawanku menjawab, "masjid ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Ada tukang kebon, satpam, penjaga toilet, petugas kebersihan, pengurus masjid. Ternyata banyak juga kan yang tertolong hidupnya setelah masjid ini berdiri?"

Dahi kawanku tidak berkerut lagi, tapi tetap tidak menjawab. Kami sampai ke pelataran masjid. Adzan yang indah berkumandang. Bergegaslah aku dan kawanku mencari tempat wudu. Kemudian kami shalat. Banyak juga pengunjung masjid sore ini, meski bukan hari libur. Penjual air mineral di tempat parkir tadi bilang, kalau hari sabtu dan minggu, atau hari libur, pengunjungnya ramai sekali. Banyak juga yang datang dari jauh. Rupanya tempat ini sudah menjadi tujuan wisata.

Selesai shalat aku dan kawanku menuju tempat parkir. Eh ada orang bawa kamera menghadang kami. "Mas mau dipotret untuk kenang-kenangan? Bisa berlatarbelakang masjid, bagus mas, nih contohnya."

"Kami sedang buru-buru Pak, lain kali aja kalau kemari lagi. Terima kasih." Setelah aku berkata demikian, orang itu berlalu dengan menganggukkan kepalanya pada kami.

"Tuh kan, tukang potret tadi juga dapat ladang pekerjaannya." kataku sambil menepuk bahu kawanku. Ia cuma tersenyum saja.

Semoga saja, pemilik masjid ini membangunnya bukan karena niat sombong atau pamer. Tapi karna ingin mencari indahnya iman dengan mengekspresikannya. Bentuk ekspresi inilah yang ia mampu. Menurutku, tidak ada masalah dengan bentuk ekspresi seperti ini, karena tidak mengganggu orang lain, bahkan mendatangkan manfaat untuk lingkungan sekitarnya.

Bersambung ya....

Kamis, 06 November 2008

[ALiF 10] Hidup Bersama Teknologi

Kamis, 06 November 2008

Aku tergelitik dengan curhat seorang bloger. Setelah telpon genggam booming, ia tidak lagi bisa menikmati kehangatan ngobrol dengan ayahnya. Sekarang, sering sekali orang tuanya sering sekali masih membicarakan pekerjaan ketika di rumah. Di mobil pun terkadang ayahnya berbicara dengan teman kerjanya. Dulu, bersama keluarga dalam mobil bisa menjadi ajang diskusi yang hangat.

Saking jengkelnya dia bilang "Telepon genggam tidak jarang memaksa manusia (secara sadar maupun tidak sadar) untuk memotong waktu pribadinya (waktu santai, waktu bersama keluarga, waktu merenung, dsb) untuk menambah waktu kerja. Jadi tidak ada penghematan waktu, yang ada adalah pengorbanan waktu untuk pekerjaan."

Trenyuh juga aku membaca penelitian di Inggris yang dikutip detikinet, "Sejumlah ABG (Anak Baru Gede) ternyata terhinggap junk sleep gadget alias tidak cukup tidur akibat kecanduan gadget. Akibatnya, kesehatan mereka pun terancam."

Manusia memang selalu berfikir bagaimana menjalani hidup dengan lebih mudah. Olah pikir manusia itu menghasilkan teknologi. Gadget, yang merupakan bagian perkembangan teknologi, berkembang terus. Hidup manusia semakin lama semakin mudah.

Namun demikian, segala macam kemudahan itu bisa "menjebak" manusia sendiri. Pernah nonton Wall-E, film animasi yang lucu sekaligus syarat makna itu? Aku paling terkesan dengan penggambaran keadaan manusia disaat perkembangan teknologi mencapai puncak. Manusia sudah sepenuhnya tergantung pada semua peralatan yang ia ciptakan sendiri. Semua aktifitas manusia dibantu teknologi, bahkan untuk sikat gigi sekalipun.

Ketergantungan itu membuat otot-otot tubuhnya melemah karena jarang dipakai. Sekali terjatuh dari kursi berjalan, susah sekali untuk bangun, apalagi berjalan.

Tentu bukan jaman seperti itu yang ingin kita tuju. Tetapi jaman dimana manusia bisa hidup bersama teknologi, artinya teknologi tetap menjadi sarana yang membuat hidup manusia lebih mudah, tetapi tidak menghilangkan sisi kemanusiaannya.

Setelah menghasilkan teknologi, sepertinya manusia sudah harus berfikir bagaimana menggunakan teknologi itu dengan bijak.

----------------------------------------------
Alhamdulillah it's Friday
"Hidup Bersama Teknologi"
Terbit, Jum'at 7 November 2008
----------------------------------------------

Minggu, 02 November 2008

Menjadi Cermin

Minggu, 02 November 2008

"Imam sudah yakin, berkarir di dunia jurnalistik?"

Pertanyaan ini selalu aku terima sejak awal bergabung dengang ALiF. Ya, wajar saja. Bahkan sangat wajar, sekalipun ada yang menyertainya dengan rasa pesimis. Memang, pada umumnya orang harus menaiki tangga dari anak tangga bawah ke anak tangga diatasnya untuk mencapai ketinggian. Anak tangga itu harus jelas biar mudah dipijak. Agar bisa jelas, harus punya kemampuan melihatnya. Kebanyakan orang masih percaya kalau kemampuan paling baik diperoleh dari pendidikan formal. Nah, aku lulusan statistik, jadi tanggaku adalah statistik.

Dalam usaha menaiki tangga statistik, aku melihat dengan samar, ternyata disamping ada tangga lain, tangga tulis-menulis. Sesekali aku meliriknya. Lama-lama menjadi tertarik. Dari sesekali menjadi berkali-kali dan akhirnya tidak hanya melirik, tapi melihat. Kemudian aku berusaha mencari-cari, apa yang diperlukan untuk bisa melihat dengan jelas. Mulailah aku belajar menulis. Berkali-kali aku coba menulis. Tapi, belum genap satu paragraf, aku merobek dan membuangnya. Hihihi....malu membacanya kembali.

Tulisan yang berhasil aku tulis secara penuh sampai paragraf akhir hanyalah surat yang aku tujukan kepada perempuan yang sekarang menjadi istriku. Itu pun setelah menghabiskan banyak kertas dan merenung cukup lama. Mungkin kalau jaman dulu sudah disebut semedi. Tapi setelah kami menikah dia bilang tulisan-tulisanku dulu garing banget. Glodak.....Wah, kalau dia dulu bilang begitu, aku sudah bunuh diri, terjun ke sumur bor. Hehehehe.... Malu banget.

Sampai suatu saat aku kenal multiply ini. Aku coba menulis kembali. Malu? Enggak. Sejak aku putuskan bergabung multiply, aku putus syaraf maluku. Tulisan garing, ah bodo amat. Yang penting aku punya jurnal. Dengan begitu aku punya sejarah. Dengan begitu anak cucuku nanti bisa baca. Dengan baca mereka akan tahu banyak tentang ayah atau kakeknya. Alhamdulillah kalau sekarang ada yang mau baca dan bisa dapat sesuatu dari situ.

Dari multiply ini juga, aku kenal Hagi. Dialah yang mengajak aku ikut dalam proyek membangun majalah. Namanya Alhamdulillah its Friday disingkat ALiF. Ternyata dia yang menjadi pimrednya dan ternyata juga penerbit Lentera Hati yang menjadi induknya. Surprise sekali menerima ajakan Hagi. Setelah membuat pertimbangan, aku mengiyakan. Aku cocok sekali dengan konsep majalahnya.

Akhirnya, kakiku benar-benar memijak anak tangga itu.

Kemudian masih ada satu pertanyaan lagi. ALiF kan majalah Islam sedangkan aku bukanlah orang yang pandai nulis tentang Islam. Sekali lagi, latar belakang pendidikanku bukan dari sekolah Islam. Belajar Islam hanya aku jalani dari membaca buku dan kadang mendengar ceramah di TV (itupun kalau aku sreg sama penceramahnya). Pernah juga sih sekolah Islam, dulu sewaktu SD sorenya aku masuk sekolah sore (madrasah diniyah), tapi cuma sampai SD saja, selanjutnya tidak sama sekali. Bisakah aku di ALiF?

Ya kalau disuruh nulis untuk mengajari pembaca tentang Islam, tentu aku tidak bisa. Nah, kalau begitu, enaknya menjadi cermin saja. Namanya cermin ya hanya memantulkan cahaya aja, dia sendiri tidak punya. Cahayanya bisa dari mana aja, dari kerlip kunang-kunang pun bisa. Syaratnya cuma satu, cerminnya harus bersih.

Jadi....mohon bantuan teman-teman untuk selalu memberi kritikan dan masukan, agar cermin ini selalu bersih, biar selalu bisa memantulkan dengan sempurnya. Mau kan.......?
12duadua © 2014