Pages

Senin, 02 Juni 2008

Pakaian

Senin, 02 Juni 2008
Saya paling tidak suka menunggu tanpa melakukan aktifitas apa-apa. Makanya di dalam tas saya, selalu ada majalah atau buku bacaan. Jika kebetulan lupa membawanya, saya membeli koran. Nah suatu siang saya menunggu waktu tiba pukul satu untuk bertemu seseorang di kantornya. Sengaja, saya datang sebelum jam 12 dan menyempatkan shalat dzuhur di masjid dekat kantornya. Masih ada waktu sekitar 30 menit, saya duduk di serambi dan mengeluarkan buku bacaan.

Belum sempat saya membacanya, tiba-tiba seseorang di samping saya menyapa, "mas, boleh lihat judulnya?" Judul buku yang saya pegang dibacanya, "Menerobos Kegelapan".

Tampaknya ia berusaha memahami buku macam apa yang sedang ia lihat. Saya tersenyum ketika ia menebak buku ini semacam buku motivasi seperti buku motivasi kerja dan lain-lain. Karena masih tampak bingung, saya mengatakan bahwa buku ini biografi Karen Amstrong, mantan biarawati dan seorang yang percaya Tuhan tetapi tidak beragama. Ia tersenyum dan manggut-manggut.

Sebentar kemudian, kami ngobrol setengah diskusi. Ia bilang, "orang seperti itu banyak mas, banyak yang mengakui Islam itu baik, Kristen itu baik, tetapi tidak pernah masuk salah satunya. Tidak benar-benar menjalankan ajarannya. Orang seperti itu seperti orang yang belum pakai celana kemudian pergi ke toko, memilih-milih celana yang mau dibelinya. Karena semuanya bagus, ia bingung memilih yang mana, akhirnya tidak jadi beli."

Ia menambahkan, "menurut orang Betawi, agama itu ageman, pakaian". Saya mengerti apa yang ia maksud, dalam bahasa Jawa, ageman juga sama dengan pakaian. Agama itu mempunyai fungsi sebagaimana pakaian yang bisa meninggikan derajat manusia. Orang yang tidak beragama, sama seperti orang tidak berpakaian. "Mengerti kan mas, bagaimana jika orang tidak berpakaian" ia menambahkan.

Saya kagum dengan ulama-ulama terdahulu, mengajarkan agama dengan cara yang mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Nilai-nilai agama diselaraskan dengan nilai-nilai yang sudah lama dianut masyarakat.

Malamnya saya merenung, memikirkan kembali obrolan tentang pakaian itu. Benarkah agama itu sama dengan pakaian? Kalau memang benar, saya melihat orang seperti Karen itu sebenarnya bukan tidak memakai pakaian, tetapi ia membuat pakaiannya sendiri karena kecewa dengan pakaian-pakaian yang ada sekarang. Pakaian yang ada sudah berubah fungsinya. Alih-alih meninggikan derajat pemakaianya, malah menjerumuskannya ke dalam sifat-sifat yang berlawanan dengan fungsi pakaian itu. Agama yang sebenarnya untuk menuntun manusia menuju jalan kebaikan, membantu menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera serta memberi pelita saat kegelapan, justru menghasilkan perilaku yang berlawanan dengan semua itu. Tidak salah juga kan, karena kekecewaan itu Karen menganut agamanya sendiri sesuai yang diyakininya.

Pakaian. Saya kembali merenungkannya. Saya merasa saat ini sedang berpakaian, saya meyakini pakaian yang saya kenakan bisa menempatkan diri saya lebih tinggi daripada derajat hewani. Dan pakaian saya masih berfungsi dengan baik, modelnya juga masih sesuai dengan jaman sekarang. Ini keyakinan saya dan tentu saja setiap orang mempunyai keyakinan masing-masing, bisa sama atau berbeda dengan keyakinan saya. Orang juga bisa menilai pakaian yang dikenakannya paling bagus, paling keren paling sesuai dengan tuntutan jaman. Menurut saya itu wajar, sudah menjadi ketentuan dari-Nya, setiap manusia mempunyai keyakinannya masing-masing.

Masih ngobrol tentang pakaian. Esok harinya saya menceritakan diskusi di serambi masjid itu kepada teman saya. Ia langsung bertanya, "kalau agama itu pakaian, berarti kita bisa berganti-ganti agama seperti berganti pakaian. Kalau sudah tidak nyaman dengan pakaian yang kita kenakan sekarang bisa cari-cari pakaian yang baru. Ato tergantung musimnya, musim dingin pakai yang tebal, musim panas pakai yang tipis. Pakaian juga bisa dilepas di tempat yang tersembunyi, atau saat orang lain tidak melihatnya. Benarkah demikian?"

Saya tidak bisa menjawab, cuma bengong saja.

16 komentar:

12duadua © 2014