
Musim semakin tidak menentu. Hujan dan kemarau sudah tidak dapat diperkirakan lagi kapan datangnya. Curah hujan pun mengalami penurunan yang berakibat pada berkurangnya sumber air bersih bagi kehidupan manusia di Bumi. Kekeringan dimana-mana. Hidup dan kehidupan manusia di Bumi terancam.
Yang menjadi penyebab Bumi mengalami demam tinggi adalah karena kandungan karbon dioksida (CO2) dalam admosfir melebihi batas alaminya. CO2 terlalu banyak yang terlepas ke udara karena aktifitas pembakaran bahan bakar fosil tanpa ada yang menahannya.
Hutan, sebagai media penahan CO2 semakin menipis keberadaannya. Aktifitas ekonomi manusia memaksa melakukan penggundulan hutan untuk bahan baku industri atau pembukaan lahan pertanian dan perkebunan. Kini tinggal 8 persen saja hutan utuh yang tersisa di seluruh dunia.
Dunia berteriak-teriak agar sisa hutan itu dipertahankan, dijaga untuk kelestarian hidup seluruh manusia di Bumi. Pembukaan hutan dengan alasan apapun dikecam sebagai tindakan yang tidak perduli lingkungan. Tapi anehnya, yang menikmati hasil hutan itu juga negara-negara yang berteriak-teriak itu. Seperti hasil hutan Indonesia, 11 persennya dikirim ke Amerika dan 9 persennya ke Eropa.
Negara-negara yang masih punya sisa hutan diperlakukan layaknya seorang adik dalam kisah "Anak dengan Coklat di Tangah" yang ditulis Lie Charlie tahun 2004 yang lalu.
Ceritanya, ada dua orang kakak beradik. Mula-mula mereka mempunyai masing-masing sepotong coklat di tangan. Sang kakak tanpa berpikir panjang langsung melahap habis coklatnya. Si adik melongo melihat kelakuan kakaknya. Ia masih kecil dan belum punya nafsu macam-macam.
Setelah beberapa waktu, si adik bertambah besar. Keinginan untuk menikmati coklat mulai muncul. Coklat yang ada di tangannya kemudian didekatkan ke mulut untuk dicicipi. Sekonyong-konyong sang kakak marah besar dan menghardik adiknya, "Bodoh, jangan kau makan coklat itu.
Si adik tidak memahami kemarahan kakaknya, "memangnya kenapa kak?" tanyanya.
"Sebab kalau kau makan juga cokelat itu, kita tidak punya cokelat lagi!" jawab kakaknya enteng dan seenaknya dengan lagak berfilsafat.
Siapa sang kakak, saya kira kita sudah tau semua. Ya yang menghabiskan dan menikmati hutannya terlebih dahulu untuk keperluan mereka menjadi negara besar dan maju. Yang dengan pongahnya juga berlagak sebagai pahlawan dunia dengan melarang penebangan hutan yang tersisa. Kebetulan juga, sisa hutan itu berada di negara-negara yang sedang berkembang yang ingin menikmati hasil hutan untuk menjadi negara maju seperti yang dicapai sang kakak.
Bisa saja, si adik bilang kalau ini adalah haknya, bagiannya. Terserah, mau saya makan atau saya simpan bukan urusanmu. Tapi sepertinya si adik bukanlah orang yang serakah dan tidak peduli. Diajaklah semua berunding bagaimana menghadapi krisis bersama ini.
Lahirlah Protokol Kyoto. Kesepakatan itu menghasilkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembukaan hutan jangan asal tebang, harus dipikir kelestariaannya. Juga untuk sang kakak, jangan terlalu boros menggunakan energi yang berpotensi banyak membuang CO2 ke atmosfir Bumi.
Tapi dasar kakak yang keras kepala. Perundingan itu dia langkahi sendiri, tidak mau berkomitmen bersama. Alih-alih mengurangi pembuangan CO2, dia malah menjadi penyumbang terbesar CO2 ke atmosfir Bumi. Dan lagi-lagi berfilsafat "mengurangi pembuangan CO2 sangatlah penting karena menyangkut kehidupan manusia di seluruh dunia, tapi jangan sampai usaha itu menghalangi negara untuk memakmurkan rakyatnya."
"Okelah, kemakmuran rakyat adalah tujuan setiap negara seperti saya," kata sang adik. "Untuk itu kalian harus perduli juga, saya juga ingin memakmurkan rakyat saya, untuk itu beri kami insentif untuk setiap usaha kami melestarikan hutan kami yang hasilnya juga kalian nikmati. Insentif itu akan saya gunkanan untuk memakmurkan rakya saya"
Perundingan dimulai lagi, si adik menawarkan usulah-usulan yang menurutnya berdasar pada keadilan bersama. "Sudah saatnya keadilah ekologi ditegakkan bersama-sama, untuk kemakmuran bersama dan untuk kelestarian hidup dan kehidupan di Bumi yang kita huni bersama ini," terang si adik.
Apakah sang kakak akan menerima usulan si adik dengan konsep keadilan ekologi dan bersedia mengikat perjanjian? Atau tetap pada kepongahan dan kesombongannya, seperti saat menolak Protokol Kyoto dengan perkataan yang menghina, "biaya relokasi penduduk kepulauan yang tenggelam lebih kecil dibanding pengurangan emisi." Perundingan masih berlangsung, kita tunggu saja apa hasilnya.
11 komentar: