Sudah 20 hari aksi mogok makan yang dilakukan oleh korban SUTET
(Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi) berlangsung dan belum ada tanda
aksi tersebut akan berakhir. Bahkan saat ini pesertanya bertambah dua
orang lagi, Saohdah dan Manisa warga Kabupaten Bogor ikut menjahit
mulutnya (www.kompas.com).
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya 20 hari tidak makan dan
minum, masih ditambah lagi rasa perih akibat luka jahitan di mulutnya.
Bukan tidak mungkin aksi mereka menyebabkan kematian. Secara
psikologis mereka menghadapi banyak tekanan. Banyak juga orang yang
menganggap aksi mogok makan itu sebagai tindakan yang bodoh dan
sia-sia. Para ulamapun memandangnya sebelah mata, disatu sisi mereka
mendukung aksi mogok makan asal tujuannya untuk kebaikan, tetapi di
sisi yang lain mereka menghukuminya haram jika aksi itu menyebabkan
kematian, matinya sama dengan mati orang bunuh diri
Seharusnya
kita memahami, cara ini terpaksa mereka tempuh karena kekesalan mereka
terhadap pemerintah yang sudah tidak pernah serius lagi menanggapi
aspirasinya. Kekesalan itu hampir berubah menjadi keputusasaan. Sudah
lima periode pemerintahan mereka lalui, sejak jaman pemerintahan
Soeharto sampai Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Terakhir, mereka
berunjuk rasa di istana negara saat peringatan 100 hari pemerintahan
SBY. Waktu itu mereka ditemui Andi Malarangeng, juru bicara
kepresidenan. Mereka dijanjikan penyelesaian masalah dengan segera.
Tetapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda masalah itu diselesaikan.
Ketika
sudah tidak didengar teriakan-teriakannya, mereka bertekat untuk sama
sekali tidak berteriak, bicarapun tidak, mulut ditutup rapat-rapat,
makan dan minumpun tidak mereka lakukan. Tidak puas dengan hanya
menutup mulut mereka menjahit mulutnya sebagai tanda kesungguhan
perjuangannya.
Kita hanya bisa berharap pemerintah masih punya
hati. Jika telinga sudah tuli, semoga hati mereka masih dapat
mendengar. Suara korban SUTET tidak bisa didengar dengan telinga karena
mereka tidak bicara, suara mereka terdengar jelas menggunakan hati.
Jika hati mereka masih berfungsi dengan baik, pasti mereka juga
mendengar gaung jeritan rakyat yang mencoba mengobati luka-luka akibat
kenaikan harga BBM beberapa bulan yang lalu.
Tetapi harapan itu tinggal harapan, semakin jauh dari kenyataan.
Korban SUTET masih tergeletak lemas tak berdaya, luka-luka lama masih
belum mengering, pemerintah begitu tega menambahnya dengan luka yang
baru lagi. Beberapa bulan mendatang pemerintah berencana menaikkan
tarif dasar listrik (TDL), besarnya bisa lebih dari 100 persen. Apapun
alasannya kenaikan listrik itu akan menambah penderitaan rakyat yang
memang sudah menderita sejak lama.
Dengan apa lagi kita harus bersuara jika suara hatipun tidak didengarnya ?
2 komentar: