Pages

Minggu, 29 Januari 2006

Anak Dan Obsesi Orang Tua

Minggu, 29 Januari 2006








Dalam suatu diskusi, teman saya
pernah mengatakan ia tidak tahu seperti apa masa depan anak-anaknya
nanti, karena ketidaktahuannya itu ia tidak bisa memaksakan anaknya harus
bagaimana dan menjadi apa di masa datang. Saya bertanya kepada teman saya itu, bukankan anak
adalah harapan dan masa depan orang tuanya, bukankan kita harus
mengarahkan anak-anak kita mempunyai masa depan yang baik. Teman saya
menjawab, mereka, anak-anak kita, mempunyai masa depannya sendiri, tugas
orang tua menyertai mereka menyongsong masa depannya itu, bukan
mengarahkannya sesuai dengan keinginan kita.



Banyak orang tua terjebak memaksakan obsesi dan kehendak kepada
anaknya, lanjutnya. Sejak kecil anak di didik dengan keras, harus les
macem-macem, harus bisa ini bisa itu, salah sedikit mendapat hukuman,
semuanya harus berjalan sesuai dengan aturan orang tua. Terkadang
mereka lupa memberi kesempatan anak untuk bermain dan beristirahat.
Anak harus menjadi seperti yang diharapkan orang tua mereka. Anaknya
tentara cenderung untuk diarahkan menjadi tentara, anaknya pegawai
negeri cenderung ingin anaknya menjadi pegawai negeri, begitu juga
dengan anaknya pengusaha pasti ia akan dididik untuk kelak menggantikan
orang tuanya mengurus perusahaan. Anak tidak diberi kesempatan menjadi
apa yang diinginkannya sendiri. Semua itu baik jika tidak ada paksaan
dan anak dapat menikmatinya.



Saya ingat cerita dari seorang kameramen sebuah televisi swasta yang
kebetulan bertemu saya di terminal bis. Ia adalah anak seorang tentara.
Dulu orang tuanya berharap setelah lulus SMA ia melanjutkan masuk
AKABRI. Tetapi ia menolaknya dengan alasan tidak suka. Ia lebih
menyukai bidang seni, waktu itu ia suka sekali dengan seni lukis.
Akhirnya setelah lulus SMA dia masuk IKJ, tentu tanpa restu dari orang
tuanya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari melukis, mau jadi apa kau
nanti, kata orang tuanya.



Setahun di IKJ ada hal baru yang menarik dan membuatnya menekuni hal
itu. Ia tertarik untuk masuk bidang sinematografi, bidang yang baru
dibuka tahun ini. Bidang inilah yang membuatnya mahir memainkan kamera
video. Beberapa kali ia bersama teman-teman kuliahnya membuat film
independen dan sekali-kali mendapat pekerjaan di rumah produksi
untuk membuat slot iklan. Pengalaman itu membuat ia diterima menjadi
kameramen di sebuah televisi swasta setelah ia lulus. Sekarang saya
bisa menjawab keraguan bapak saya beberapa tahun lalu mas, saya bisa
buktikan, saya bisa hidup tanpa menjadi tentara, katanya dengan lega.



Saya juga ingat saudara jauh saya. Ia adalah anak seorang kiai. Suatu
saat bapaknya pernah berkata ingin mewakafkan tanahnya dan ingin
mendirikan pesantren diatas tanah itu. Karena ia anak tertua maka ialah
yang ditunjuk untuk menjadi pengelola sekaligus menjadi kiai di
pesantren itu. Untuk itu setelah lulus SD ia tidak melanjutkan ke SMP
tetapi dikirim ke pesantren di luar kota.



Tidak sampai satu bulan, saudara saya itu minta dijemput pulang oleh
orang tuanya, jika tidak dia akan nekad pulang sendiri. Ia tidak tahan
dengan cara pendidikan di pesantren. Dengan berat hati orang tuanya
menjemputnya. Setahun kemudian ia dimasukkan ke SMP.



Mungkin bait dari Sang Nabi dibawah ini cocok untuk direnungkan oleh
para orang tua atau calon orang tua agar tidak memaksakan obsesi dan
kehendaknya kepada anak-anaknya.





Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu




Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu
Karena mereka memiliki fikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau
kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan cuba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu





Kahlil Gibran






Rabu, 25 Januari 2006

TITE'R

Rabu, 25 Januari 2006

Di suatu siang, di tengah-tengah saya bermain dengan teman-teman di
halaman rumah tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara kentongan dari
sebuah mushola yang tidak jauh dari tempat kami bermain. Waktu itu, kami tidak
mempunyai pikiran apa-apa, setelah bunyi kentongan berlalu kamipun
melanjutkan permainan.



Beberapa saat kemudian kami melihat orang-orang dewasa keluar rumah dan
saling bercakap-cakap. Dari percakapan orang-orang dewasa itu akhirnya
kami mengetahui bahwa ada salah satu warga di kampung kami yang
meninggal dunia. Orang-orang dewasa segera berkumpul dan tanpa
dikomando mengambil peran masing-masing. Sebagian membawa cangkul dan
pergi ke pemakaman menggali tanah untuk makam, sebagian yang lain
mencari tahu siapa saja anggota keluarganya yang tinggal di luar
kampung dan berangkatlah beberapa orang memberitahu keluarga tersebut.
Yang perempuan ada yang mengurusi dapur dan juga segala perlengkapan upacara pemakaman, merangkai bunga, menyiapkan
minyak wangi dan perlengkapan memandikan jenazah. Semua dilakukannya
hanya dengan imbalan minum, rokok dan slawat (uang receh yang dibagikan
untuk yang melayat), itupun kalo keluarga jenazah itu mampu, tidak
jarang mereka bekerja tanpa impalan apapun.



Suatu malam disaat kami sekeluarga berkumpul setelah makan malam, kami
dikejutkan dengan suara kentongan dengan suara yang beruntun.
Tung.....tung.....tung....tung.... Mula-mula hanya terdengar satu
kentongan, lama-kelamaan banyak kentongan yang dibunyikan dengan nada
yang sama. Disetiap gerdu ronda di kampung kami juga ada ketongan,
kentongan-kentongan itu juga dibunyikan bersaut-sautan. Kata bapak itu
tite'r, pertanda ada banjir datang. Kami segera keluar rumah, dan
ternyata benar, halaman rumah kami sudah dipenuhi air dari sungai yang
meluap, warnanya kecoklatan karena bercampur lumpur. Ada tanggul yang
jebol, kata berita dari orang-orang yang melintas di jalan.



Saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, belum bisa memahami
betapa pentingnya penyebaran informasi. Yang saya tahu jika kentongan
berbunyi berarti ada peristiwa yang terjadi di kampung kami. Makanya
kami tidak pernah main-main dengan kentongan.



Hari ini, setelah lebih dari 20 tahun saya baru menyadari bahwa Tite'r menyelamatkan sekitar
430 penduduk yang mendiami Dusun Pangajaran, Kabupaten Jombang, dan 421
penduduk Dusun Ringin Agung, Kabupaten Kediri. Selain mengumpulkan
orang bunyi kentongan juga memberikan pesan datangnya bahaya, tite'r
memberitahu warga agar segera cepat-cepat mengungsi ke tempat yang
tinggi karena banjir akan datang.



Tentu selamatnya ratusan orang tersebut tidak terlepas dari tangan
Tuhan, tetapi kita perlu menyadari bahwa kerukunan warga juga menjadi
faktor kunci yang sangat penting. Hidup guyup rukun antar tetangga,
saling hormat-menghormati dan gotong royong merupakan jiwa kehidupan
bermasyarakat desa yang terbukti sangat efektif menjaga keselamatan
semua warga.



Saya pernah tinggal di dua tempat yang berbeda, dengan suasana yang
berbeda pula, satu di perumahan dan satu lagi di kampung. Saya dan
keluarga belum mempunyai rumah sendiri jadi harus berpindah-pindah dari
kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain. Hidup guyup rukun lebih
terasa diperkampungan dibanding di perumahan. Di perkampungan kami
sekeluarga merasa mempunyai keluarga yang baru, tetangga-tetangga yang
ramah, saling mengenal dan masih sangat terasa sekali hidup bergotong
royong.



Mungkin hidup bermasyarakat semacam itu sangat sulit ditemukan dijaman
dimana setiap orang mempunyai kesibukan masing-masing, jarang tinggal
di rumah dan tidak saling mengenal karena jarang sekali bertemu. Tetapi
saya yakin manusia dalam bentuk apapun pasti membutuhkan hidup
bermasyarakat dimana antar anggota masyarakat saling membutuhkan. Saya
belum tahu (belum menemukan) bagaimana model hidup bermasyarakat yang
paling bagus untuk masyarakat yang super sibuk. Kentongan bisa saja
diganti dengan sirine, pertemuan warga bisa diganti dengan tele conference atau video coference, gotong
royong memperbaiki jalan diserahkan ke petugas PU dengan imbalan dari
iuran warga. Tetapi itu semua tidak ada artinya jika semangat guyup
rukun dan saling membutuhkan tidak tumbuh di benak masing-masing warga.





AZAB : Orang Sakit Mata Dijauhi Teman


He he he, seperti judul sinetron religius yang lagi boom di TV. Memang
seperti itu kenyataan di masyarakat kita pada umumnya, siapapun yang
terkena penyakit mata (belekan, Jawa) pasti dijauhkan dari lingkungan
pergaulan. Biasanya mata yang terkena penyakit akan memproduksi kotoran
mata (belek) yang berlebihan sehingga sulit dikendalikan. Selain
menjijikan, orang akan menjauhinya karena takut kalau tertular
mengingat penyakit mata sangat mudah sekali menular, seperti infuenza.



Menurut dokter Wasisdi Gunawan SpM(K), spesialis mata dari Rumah Sakit
Mata 'Dr Yap', Yogyakarta, segala sesuatu yang terkait dengan penderita
dapat menjadi media penularan penyakit mata, misalnya, ludah,
barang-barang yang sudah terpegang, piring, sendok, atau udara
disekitar penderita. Karena banyaknya media penularan penyakit mata
tersebut maka jika salah satu anggota keluarga terkena penyakit mata
kemungkinan besar anggota keluarga yang lain terkena juga. Tetapi kalau
hanya bertatap mata dan tidak banyak bercakap, penyakit mata
kemungkinan tidak tertular. (http://didats.net/)



Menurut beliau juga, orang yang sudah terkena penyakit mata dianjurkan
untuk tidak melakukan aktifitas terlebih dahulu (misalnya, sekolah,
pergi ke tempat kerja, jalan-jalan di mall atau pasar) selama lebih
kurang 3 hari. Selain karena akan memperparah penyakitnya juga untuk
menghindari penularan kepada orang lain.



Berbahayakah penyakit belekan ? Sebenarnya penyakit belekan tidak
berbahaya jika ditangani dengan cepat dan benar. Untuk menghindari
peradangan dianjurkan untuk menggunakan obat tetes mata, tetapi jangan
sembarangan menggunakan obat tetes mata karena banyak obat tetes mata
di pasaran tidak menyembuhkan belekan, hanya mengobati iritasi mata
karena debu atau kelelahan saja. Sebaiknya berkonsultasi dengan dokter
untuk memastikan obat tetes mata yang benar. Selain itu orang yang
terkena penyakit mata harus banyak beristirahat, karena jika sampai
kelelahan, virus atau kuman yang tadinya hanya menyerang konjungtiva
(selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata) akan
menyerang kornea mata.

Kamis, 19 Januari 2006

Sejarah Yang Hilang

Kamis, 19 Januari 2006
Tidak sedikit warga negara Indonesia yang sekarang tinggal di luar
Indonesia, entah karena sekolah ataupun bekerja, yang pesimis akan
tetap
eksisnya Indonesia tercinta ini. Bukan tanpa alasan mereka mempunyai
pandangan seperti itu. Disaat negara-negara lain mencapai kemajuan yang
pesat (lihat China, India dan bahkan Vietnam), Indonesia kita ini
semakin tidak karuan. Belum tuntas masalah lama terselesaikan, datang
lagi
masalah yang baru. Belum selesai rehabilitasi korban tsunami di Aceh,
timbul lagi bencana banjir di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara.
Dua bencana yang terakhir diperkirakan karena kesalahan manusia.
Bencana itu terjadi karena
banyak terjadi pembalakan hutan. Tapi anehnya, tidak ada yang merasa
bersalah, kadang Tuhan dijadikan alasan penyebab bencana itu terjadi.



Saat ini, dunia sedang berproses menuju era tanpa batas yang disebut
globalisasi. Globalisasi menuntut pengkaburan batas-batas negara atau
bahkan menghilangkannya. Proses itu semakin terlihat jelas, budaya yang
dulu kita sebut budaya barat, sekarang sudah dapat kita temui di negeri
kita. Makanan, pakaian dan prilaku masyarakat banyak meniru barat. Masyarakat kita
sudah terbiasa dengan humberger, hotdog dan pitza, sudah tidak malu lagi berpakaian serba minim dengan cat rambut yang berwarna-warni dan setiap malam clubbing di cafe-cafe.



Kenyataan itu yang membuat saya memahami sikap teman-teman kita yang
melihat negeri kita dari luar sana. Tentu kita masih ingat pelajaran
sejarah tentang Majapahit dan Sriwijara sebagai dua kerajaan besar yang
pernah berjaya dengan kekuasaan yang maha luas. Armada lautnya ditakuti
banyak negara, konon itulah nenek moyang kita, seorang pelaut yang
jaya. Tetapi kejayaan dua kerajaan itu seperti ditelan bumi hilang tanpa
bekas. Sulit sekali kita menemui bekas-bekas kejayaan dua kerjaan itu
ditempat yang katanya dulu sebagai pusat pemerintahannya. Kejayaan Majapahit dan Sriwijaya itu
tinggal cerita sejarah mungkin suatu saat diragukan kebenarannya.



Apakah Indonesia, negara kita tercinta ini akan bernasip sama dengan
Majapahit dan Sriwijaya ? Apakah anak cucu kita kelak, 100 atau 200
tahun mendatang masih mengenal Indonesia ? Masihkah sejarah Indonesia
terus berlanjut, atau sejarah akan bercerita lain, dulu, Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi itu jadi satu, namanya Indonesia ?





Ketika Suara Hati Sudah Tidak Didengar


Sudah 20 hari aksi mogok makan yang dilakukan oleh korban SUTET
(Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi) berlangsung dan belum ada tanda
aksi tersebut akan berakhir. Bahkan saat ini pesertanya bertambah dua
orang lagi, Saohdah dan Manisa warga Kabupaten Bogor ikut menjahit
mulutnya (www.kompas.com).
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya 20 hari tidak makan dan
minum, masih ditambah lagi rasa perih akibat luka jahitan di mulutnya.


Bukan tidak mungkin aksi mereka menyebabkan kematian. Secara
psikologis mereka menghadapi banyak tekanan. Banyak juga orang yang
menganggap aksi mogok makan itu sebagai tindakan yang bodoh dan
sia-sia. Para ulamapun memandangnya sebelah mata, disatu sisi mereka
mendukung aksi mogok makan asal tujuannya untuk kebaikan, tetapi di
sisi yang lain mereka menghukuminya haram jika aksi itu menyebabkan
kematian, matinya sama dengan mati orang bunuh diri

Seharusnya
kita memahami, cara ini terpaksa mereka tempuh karena kekesalan mereka
terhadap pemerintah yang sudah tidak pernah serius lagi menanggapi
aspirasinya. Kekesalan itu hampir berubah menjadi keputusasaan. Sudah
lima periode pemerintahan mereka lalui, sejak jaman pemerintahan
Soeharto sampai Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Terakhir, mereka
berunjuk rasa di istana negara saat peringatan 100 hari pemerintahan
SBY. Waktu itu mereka ditemui Andi Malarangeng, juru bicara
kepresidenan. Mereka dijanjikan penyelesaian masalah dengan segera.
Tetapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda masalah itu diselesaikan.

Ketika
sudah tidak didengar teriakan-teriakannya, mereka bertekat untuk sama
sekali tidak berteriak, bicarapun tidak, mulut ditutup rapat-rapat,
makan dan minumpun tidak mereka lakukan. Tidak puas dengan hanya
menutup mulut mereka menjahit mulutnya sebagai tanda kesungguhan
perjuangannya.

Kita hanya bisa berharap pemerintah masih punya
hati. Jika telinga sudah tuli, semoga hati mereka masih dapat
mendengar. Suara korban SUTET tidak bisa didengar dengan telinga karena
mereka tidak bicara, suara mereka terdengar jelas menggunakan hati.
Jika hati mereka masih berfungsi dengan baik, pasti mereka juga
mendengar gaung jeritan rakyat yang mencoba mengobati luka-luka akibat
kenaikan harga BBM beberapa bulan yang lalu.


Tetapi harapan itu tinggal harapan, semakin jauh dari kenyataan.
Korban SUTET masih tergeletak lemas tak berdaya, luka-luka lama masih
belum mengering, pemerintah begitu tega menambahnya dengan luka yang
baru lagi. Beberapa bulan mendatang pemerintah berencana menaikkan
tarif dasar listrik (TDL), besarnya bisa lebih dari 100 persen. Apapun
alasannya kenaikan listrik itu akan menambah penderitaan rakyat yang
memang sudah menderita sejak lama.


Dengan apa lagi kita harus bersuara jika suara hatipun tidak didengarnya ?



Yusuf Dan Rohana : Bagian 1 Kedekatan Dua Keluarga


Meski Yusuf dan Rohana bisa dikatakan pacaran
tetapi tidak
pernah sekalipun mereka jalan berduaan, pergi ke tempat hiburan bersama
atau
sekedar makan di warung pojok pinggir jalan. Tempat satu-satunya untuk
mereka
bertemu adalah di rumah Rohana, itupun tidak mesti seminggu sekali.
Mereka
mempunyai prinsip semuanya tidak boleh dilakukan sebelum menikah dan
mereka
mempunyai komitmen untuk melaksanakan prinsip itu. Pernah suatu saat
ada pasar malam di alun-alun kecamatan. Tidak sengaja mereka bertemu di
alun-alun itu, Rohana bersama teman-temannya sedangkan Yusuf sendirian
saja. Mereka hanya saling menyapa dan berpisah melanjutkan niatnya
masing-masing.











Cinta mereka berdua bersemi ketika sama-sama
datang ke
pengajian akbar di alun-alun kecamatan. Secara tidak sengaja pandangan
mereka
saling bertemu dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sebenarnya Yusuf tidak pernah menyatakan cinta kepada Rohana, begitupun
Rohana. Tapi mereka sama-sama tahu, meskipun mulut mereka tidak bicara
tetapi hati mereka yang bicara.








Semakin hari hubungan mereka semakin dekat.
Kebetulan
keduanya mempunyai banyak kesamaan. Yusuf adalah anak seorang kiai yang
sangat
terpandang di desanya. Ayah Yusuf sering diundang menjadi pembicara
acara
kawinan, memberikan wejangan bagi pasangan yang baru menikah. Ketika
ada perselisihan antar warga, ayah Yusuflah yang dipercaya menjadi
penengahnya. Setiap sholat
berjamaah di masjid desa, ayah Yusuf yang sering menjadi imamnya,
sering juga ia menjadi khotib jum'at. Meskipun agak risih, Yusuf
terkana imbasnya juga, terkadang jamaah masjid tempat ayahnya menjadi
imam memanggilnya
Gus. Rohana juga anak seorang terpandang, yang meskipun tidak sehebat
ayah Yusuf. Ayah rohana juga punya banyak santri, sebagian besar adalah
tetangga-tetangganya sendiri.Tetangga-tetangga Rohana memanggilnya
ustad. Rumah rohana yang sekaligus menjadi tempat sholat berjamaah juga
sering digunakan untuk pengajian bersama para tetangganya. Pengajian
itu diisi oleh ayah Rohana sendiri.








Ayah rohana tidak melarang hubungan mereka berdua karena ia
percaya pada anaknya. Rohana sudah besar sudah tahu mana yang boleh dilakukan
dan mana yang harus ditinggalkan. Pikir
ayah Rohana, pengetahuan
agama Rohana sudah cukup untuk
menjaga hubungan mereka agar tidak mengarah pada perbuatan yang
dilarang. Yusuf juga sering ditanya oleh ayah Rohana tentang
keluarganya ketika sempat nimbrung dengan mereka berdua. Keterangan
dari Yusuf membuat ia semakin yakin mereka berdua tidak akan berbuat
macam-macam. Mereka berdua sama-sama punya dasar agama yang kuat.








Kedua keluarga sudah saling kenal meskipun tidak
pernah
bertemu. Hanya dari keterangan anak-anaknya saja mereka saling
mengenal. Ayah Yusuf juga tidak melarang
mereka, malah terus mendesak Yusuf kapan mereka akan menikah, “Sebentar
Bi,
kami masih belum membicarakan itu, masih banyak yang harus kami
persiapkan” kata Yusuf
ketita ditanya ayahnya. “Tunggu apa lagi, kalo masalah makan, keluarga
kita masih sanggup menerima satu
anggota keluarga lagi, jangankan satu, lima sekaligus kita masih
sanggup memberinya
makan” desak ayah Yusuf. “Menikah kan tidak hanya makan saja Bi, sudah
Bi jangan mendesak Yusuf terus, nanti
kalo kami sudah siap pasti bilang ke Abi”. Kedekatan kedua keluarga itu
tidak hanya sebatas antar hati saja, tetapi berlanjut sampai perilaku
saling memberi. Ketika suatu saat pohon mangga di belakang rumah Yusuf
banyak berbuah, ibu Yusuf memetik beberapa buah, dibungkusnya dan
disuruh Yusuf mengantar ke rumah Rohana. Begitu juga keluarga Rohana,
ketika Yusuf pulang sering diberi kue-kue buatan ibu Rohana sendiri.
Begitulah saling memberi itu sering terjadi. Tetapi tetap mereka tidak
saling bertemu, hanya dari keterangan anak-anaknya saja mereka merasa
semakin dekat.
12duadua © 2014