Pages

Sabtu, 28 Juni 2008

[cerpen] Teman Sang Gagak

Sabtu, 28 Juni 2008

Aku duduk, termenung, mempertanyakan benarkah Dia selalu mencipta tanpa kesia-siaan? Benarkah semua terlahir karena suatu tugas tertentu? Punya maksud dan punya cita-cita? Kalau memang benar, lalu apa tugasku? untuk apa aku terlahir? Dan masihkah aku bisa bercita-cita? Sedangkan aku hanyalah seekor burung dengan sayap yang patah sebelah. Hidup sendiri tanpa teman. Burung gagak sepertiku yang bersayap lengkap pun hanya pembawa berita buruk, terbang berkeliling menyiarkan kematian.

Untuk sebuah cinta? Ah itu hanya bualan penyair yang mabuk kepayang. Aku menjadi seperti ini karena aku percaya bualannya. Katanya, cinta itu membawa hidup lebih bermakna. Saking percayanya aku bertaruh nyawa, berbaku hantam dengan si elang yang kurang ajar menggoda dan merayunya. Oh kekasihku dimanakah sekarang kamu berada?.

Menyesal juga rasanya, mengapa kugunakan sayap sebelah ini untuk menangkis serangannya. Lebih baik kuserahkan saja kepalaku pada cakarnya. Atau kuberikan leher ini biar dipatuknya sampai putus. Ah, seandainya kemarin aku mati.

Dulu, bila aku boleh memilih, ingin rasanya menjadi manusia. Meski ada kemungkinan menjadi mahklukNya yang paling hina, tetapi, bagaimanapun mereka masih punya harapan menjadi mahkluk yang paling tinggi dan bahagia di surga nanti. Mahkluk sepertiku ini tidak ada tempat di akhirat. Satu-satunya surga untukku hanyalah kesenangan di dunia ini. Ah, bodohnya mereka yang tidak berharap, yang tertipu dan terseret kesenangan semu.

"Dasar mahkluk yang selalu mengeluh."

Busyet, siapa yang bersuara itu. Sekelilingku hanya sepi. Tidak mungkin ada yang lain, selain diriku.

"Hei, turunlah dari punggungku."

Seketika aku melompat dari batu tempat dudukku. Benarkah batu ini yang berbicara? Perlahan aku mendekat kembali.

"Ya benar, ini aku."

"Bukankah engkau batu, mengapa bisa bicara?"

"Bener-benar mahkluk yang tak berguna, sudah pandai mengeluh, dungu lagi. Itulah akibatnya kalau kau selalu memikirkan kepentinganmu sendiri dan abai pada lingkungan sekitarmu."

"Maksudmu"

"Cobalah perhatikan semua yang ada di sekelilingmu, pohon-pohon, rumput, air, awan, gunung, bukit, semuanya bisa bicara. Terkadang mereka malah berteriak-teriak mengingatkan siapa saja yang ceroboh. Hanya saja banyak yang tidak mendengar. Yang tidak menggunakan hatinya untuk mendengar. Sebenarnya isyarat-isyarat dari mereka sangat jelas, jika orang-orang itu tidak hanya menggunakan mata yang dikepala, tetapi juga mata yang di dalam dadanya. Coba berputarlah, lihatlah mereka!"

Aku kembali memandang sekelilingku, menggunakan semua indra sesuai sarannya. Aku sangat terkejut. Semuanya menatap kearahku. Pohon-pohon melambaikan daunnya memberi salam. Angin bergerak memeluk tubuhku. Bahkan gunung dan bukit pun seolah berbicara dengan lekuk-lekuk kontur dan tonjolan bebatuan yang membentuknya.

Sejak saat itu, semuanya menjadi temanku, sahabatku. Setiap kali aku berjalan, menyusuri setapak masuk ke hutan, selalu saja bertemu mereka. Bebatuan, pohon, air, angin, gunung dan bukit menyambutku. Kadang bercanda dan tertawa, tetapi yang lebih sering mereka mencurahkan suara hatinya. Mereka sedih, mengapa mereka diperlakukan semena-mena tanpa sedikitpun berfikir bahwa mereka pun sebenarnya juga mahkluk ciptaanNya yang butuh perlindungan dan kasih sayang.

Sejak saat itu pula hidupku berubah, dari kesia-siaan menjadi penuh makna. Aku sudah melupakan bahwa aku ini seekor burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Kini, hidup bagiku adalah sebuah pertemanan, saling membutuhkan dan kasih sayang. Inilah surgaku.

"Bukan!" kata batu tempatku berbaring.

"Mengapa bukan?"

"Percayalah padaku, ini bukan surgamu. Berjalanlah sana ke punggung bukit. Naiklah sampai keatasnya, di tepi jurangnya. Kamu akan menemukan dimana sebenarnya surgamu."

Aku menuruti sarannya. Aku melihat kearah bukit, ia memanggil-manggilku. Perlahan, dengan kebingunguan yang sangat aku melangkah setapak demi setapak naik sampai jurang yang ditunjuk batu itu.

"Terjunlah" kata bukit yang berjurang.

"Terjun, bagaimana aku bisa terjun. Aku sudah tidak bisa terbang lagi."

"Percayalah."

"Tapi."

"Yakinlah."

Ya, benar, yakin. Aku menjadi tahu bahwa yakin itu berbeda dengan percaya. Percaya itu dengan kepala, sedangkan yakin dengan hati. Mukjizat seorang nabi yang tidak masuk dikepala bisa tidak dipercayai, tetapi kalau melihatnya dengan hati bisa menjadi keyakinan, apa sih yang tidak bisa bagi Sang Pembuat Kejadian. Dengan keyakinan itulah aku melakukannya.

Aku melayang dari ketinggian sambil memejamkan mata. Buat apa melihat ke bawah sana, tempat yang akan membuatku remuk. Tidak hanya itu, aku menutup telinga dan memutus syaraf perasa, sehingga seolah aku mati duluan sebelum terbentur tanah. Aku tersadar kembali ketika sesuatu menahan tubuhkan sehingga tidak remuk membentur tanah. Aku tersangkut jaring perangkap burung. Apakah ini pertanda baik?

Di bawah, orang ramai bersorak-sorak. Jaring diturunkan. Salah satu dari mereka menangkapku. Kemudian menciumku, mengelus-elus lalu mengangkatku keatas. Orang-orang bersorak semakin keras. Aku dibawa beramai-ramai, beriringan sambil menyanyikan lagu kemenangan, lagu kebanggaan prajurit yang kembali dari medan perang membawa kemenangan. Ternyata memang benar, mereka para prajurit kerajaan. Orang-orang menyambut iring-iringan dengan sorakan yang tak kalah ramai.

Sampailah kami di depan istana yang megah. Penjaga dengan segera membuka pintunya. Semua berhenti, hanya dua orang saja yang membawaku masuk dan bertemu seorang perempuan yang sangat cantik, bergaun putih yang melambai. Sepertinya ia seorang permaisuri. Lagu kemenangan masih ramai terdengar diluar. Permaisuri itu menerimaku dengan senyumnya yang manis. Lesung di kedua pipinya menambah keanggunan wajahnya. Dengan sedikit berlari ia membawaku masuk ke dalam sebuah kamar.

"Paduka, ini yang dicari sudah kita dapatkan, semoga paduka berbahagia."

Permaisuri kemudian mengelus-elusku, merapikan bulu-buluku, mendekapku di dadanya yang hangat. Terbayang apa yang akan terjadi. Aku menjadi burung peliharaan seorang raja. Menjadi maskot kerajaan yang dipuja dan dihormati. Dilayani bak seorang pangeran calon penerus tahta. Mungkin inilah yang disebut-sebut teman-teman di hutan sebagai surgaku yang sebenarnya. Aku berucap syukur, "Tuhan, terima kasih. Kau tempatkan aku di tempat yang semulia ini."

Pesta diadakan. Tujuh hari tujuh malam. Di malam yang terakhir aku didandani. Kain sutera putih dibelitkan melingkar di leher menjuntai sampai ke ekorku. Kembali, aku dibawa ke kamar. Kali ini kelambu penutup tempat tidur dibuka. Tampaklah seseorang berbaring lemah diatas ranjang. Wajahnya pucat, matanya terpejam, tubuhnya lemas seperti kain basah terbujur. Tapi masih terlihat bekas-bekas kekekarannya. Meski pucat, ia tampak sangat tampan dan berwibawa. Ialah sang raja.

Saat tengah malam, keramaian pesta berhenti. Orang-orang yang berkumpul dialun-alun duduk bersimpuh mengelilingi panggung di tengah-tengahnya. Suasana hening dan hikmat. Permaisuri menyerahkanku pada seorang tua berkumis dan berjambang putih panjang, serasi dengan jubah dan ikat kepalanya. Dibawanya aku naik keatas panggung, lalu aku dibaringkan diatas sebuah papan kayu. Tidak lama kemudian, tangan kanannya diangkat keatas. Salah satu punggawa kerajaan berlari mendekat. Astaga, ia menyerahkan pisau. Seketika tubuhku gemetar, jantungku berdetak keras. Bayangan kesenangan berubah menjadi ketakutan. Orang tua itu berkomat-kamit, kemudian mengayunkan pisau ke arahku. Tamatlah riwayatku.

Di suatu pagi yang cerah, aku duduk diatas singgasana, dihadapan para punggawa. Aku memang sudah mati, tetapi jiwaku masih hidup, menyatu dengan jiwa sang raja. Ternyata saat itu raja sedang sakit parah. Seorang bijak mengatakan, raja akan sembuh jika memakan daging burung gagak yang patah sebelah sayapnya. Semua orang bingung, bagaimana mendapatkan obat bagi rajanya. Burung yang patah sayapnya tidak mungkin bisa terbang sangat sulit mencarinya kalau tidak menemukan sarangnya. Dimanakah sarang burung gagak?

Raja itu seorang yang bijaksana, sangat dipuja rakyatnya karena bisa mengusahakan kemakmuran bagi mereka. Semua petuahnya mendatangkan manfaat, termasuk petuah yang menganjurkan untuk baik-baik pada lingkungan. Pada alam yang menjadi gantungan hidup bagi semua. Tak heran jika seluruh wilayah kerajaan adalah tempat yang asri, indah dan nyaman. Peraturan dibuat agar semua rakyat tidak semena-mena memanfaatkan pohon, air dan batuan. Bahkan bercocok tanam pun diatur agar tidak membuat kerusakan lingkungan.

Tentu, semua rakyat bersedih karena sakitnya. Berbulan-bulan mereka mencari gagak yang patah sayapnya. Sampai pada puncak keputusasaan, mereka menaruh begitu saja jaring di bawah tebing bukit, tanpa berharap mendapatkan burung yang dimaksud. Beberapa kali ada burung yang tersangkut, tapi jelas bukan burung yang patah sayapnya karena jaring itu perangkap bagi burung yang bisa terbang. Sampai mukjizat itu terjadi, aku tersangkut jaring. Pantas saja mereka bersorak girang saat melihat sayapku.

Kini, aku mendapat teman yang baru. Jiwa raja yang bijak, jiwa yang hidup karena hatinya yang selalu mendengar dan melihat. Ketika bersamanya aku berkeliling menyusuri seluruh wilayah kerajaan, kami sampai di hutan, tempat teman-temanku dulu berada. Kami duduk diatas batu, kemudian batu itu berbicara, "berbahagialah kalian, karena pertemanan sejati adalah penyatuan jiwa."

 

Pada tengah malam yang sunyi, Sukabumi 2008

Selasa, 17 Juni 2008

Kagum Pada Orang Indonesia

Selasa, 17 Juni 2008
Rating:★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Emha Ainun Najib
Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu ngelu-elu yang berarti mengatakan sesuatu tetapi mengharapkan efek yang berlawanan. Misalnya ketika seorang ibu mengatakan kepada anaknya: "Kono, dolano terus, rausah mulih", sana main terus jangan pulang sekalian, ibu itu bukan berarti menyuruh beneran agar anaknya tidak pulang, tetapi mengharap sebaliknya, anaknya tidak melulu main.

Membaca "Kagum Pada Orang Indonesia", buku kumpulan tulisan Emha Ainun Najib di Suara Merdeka antara tahun 2003 sampai 2007 dan satu transkrip ceramahnya di berbagai tempat, terasa bahwa Cak Nun sedang ngelu-elu kita sebagai orang Indonesia. Dalam buku ini, ia banyak memuji sikap dan perilaku orang Indonesia, entah sebagai rakyat, pemimpin atau sebagai komunitas berbangsa.

Misalnya, ketika Indonesia dipandang masyarakat dunia sebagai negara miskin karena krisis yang berkepanjangan tetapi perilakunya tidak menunjukkan kekrisisannya, ia menulis: Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti terjebak dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Indonesia adalah kampung-kampung setengah hutan yang kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan kareba berbagai sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelapan.

Padahal di muka bumi tak ada orang yang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, ngeses baass buuss baass buuss, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi masyarakat kita....(hal 14)

Tentang jagongan itu, ia benar, sudah sering saya lihat di warung-warung kopi, banyak orang nongkrong disitu, anak-anak muda sampai orang tua berkumpul ngopi bareng. Kalau tidak percaya, coba sekali-sekali berkunjung ke kampung saya, pasti pemandangan seperti itu mudah didapat. Malah sekarang, warung kopi di emperan-emperan toko menjamur dan tidak pernah sepi pengunjung.

Siapa bilang Indonesia itu krisis, "tentang berita krisis negara kita itu hanyalah sebagai ungkapan kerendahan hati", katanya. Kalau kita bilang "Negara kita sedang krisis", itu semacam tawadhu' sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang trilyunan dolar, itu strategi agar kita disangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di bumi, semakin mulia posisi kita di langit... (hal 15)

Mungkin Cak Nun sudah geregetan, seperti ibu yang geregetan pada anaknya yang sukanya main terus, dengan cara apa lagi mengingatkan orang-orang Indonesia. Ia sudah ngomong berbusa-busa di berbagai tempat, ada pengajian padang bulan, ada kenduri cinta dan lain-lain, tetapi tidak ada hasilnya. Sebelumnya, Mochtar Lubis sudah mengingatkan kita dengan mengidentifikasi lebih dari sepuluh sifat orang Indonesia yang kebanyakan bernada negatif. Taufik Ismail pada 1998 yang lalu juga menyindir kita dengan menulis sebuah puisi yang berjudul "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia". Dengan ngelu-ngelu, kagum pada orang Indonesia, Cak Nun berharap orang Indonesia menjadi sadar.

Memang, terkadang kita perlu diolok-olok, dihina dan direndahkan, agar kita bangkit. Kalau olok-olok dan hinaan itu terasa menyakitkan, sebenarnya ngelu-elu itu lebih menyakitkan lagi. Boleh kita sakit hati, menggerutu atau sedih, tetapi apababila tidak merubah sikap kita, selamanya akan seperti itu.

Detail Buku :
Judul : Kagum Pada Orang Indonesia
Penerbit : Progres
Cetakan Pertama, Januari 2008
Tebal : 56 halaman
Harga : Saya belinya Rp 10.000,-

Sabtu, 14 Juni 2008

Sang "Financial Freedom" yang Kesepian

Sabtu, 14 Juni 2008
[catatan sebelumnya] Di kota yang baru, saya bertemu lagi seorang bapak yang juga kesepian. Bapak yang satu ini sangat tau dunia internet dan teknologi informasi yang lain. Ia mahir juga melakukan kofigurasi ulang PC yang ia punyai, memperbaiki hard disk yang badsector dan lain-lain. Mendengar ceritanya, saya teringat teman saya yang sering memperbaiki komputer di kantor. Saya tidak tahu persis apa latar belakang pendidikannya, dan saya tidak peduli tentang itu.

Boleh dibilang ia tidak bekerja, alias menganggur. Tapi jangan salah, meski sebagian besar waktunya dihabiskan nongkrong di rumah, ia punya penghasilan dari uang sewa kamar kost yang ia punyai. Saya kira penghasilan dari sewa kost itu cukup besar, ia punya lebih dari dua puluh kamar kost. Selain itu, setiap bulan ia mendapat kiriman dari hasil bisnis keluarganya, mungkin ia punya saham disitu. Saya ingat jargon yang banyak disebut teman-teman MLM, "Financial Fredom". Ya, ia sudah mencapai tahap itu. Bukan lagi ia bekerja untuk mencari uang, tetapi uanglah yang bekerja untuknya.

Saya bisa mengatakan seperti itu karena dengan penghasilannya tiap bulan, ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, bahkan bisa lebih. Ia juga mampu membiayai ketiga anaknya bersekolah, bahkan anaknya yang pertama sudah kuliah di Bogor.

Saat pertama kali saya datang ke rumahnya, saya tertarik dengan desannya. Penataan pekarangan dan ruang-ruang di dalam rumah sangat bagus. Ada beberapa sisi temboknya yang sengaja dibiarkan terbuka dengan susunan batu bata merah yang terlihat jelas. Saat saya bertanya mengapa tidak seluruh tembok dibikin seperti itu, ia menjawab, "terlalu ekstrim mas." Kelihatan kalau dia tahu banyak desain rumah.

Lalu apa yang membuatnya kesepian?

Seluruh anggota keluarganya tidak ada yang tertarik apalagi berminat di bidang teknologi informasi dan komputer. Ketiga anaknya perempuan, dan kesemuanya tidak ada yang menurun bakat ayahnya. Yang paling kecil sukanya musik. Sayangnya juga ia tidak pandai bergaul dengan tetangga-tetangga sekitar rumahnya. Jadi setiap hari ia hanya mondar-mandir di sekeliling rumahnya. Sudah banyak hobi yang coba ditekuninya, mulai bertaman, memelihara burung dan ikan. Terakhir ia suka memelihara kucing.

Kalau tidak ada yang dikerjakan sukanya nongkrong di teras rumah atau di serambi belakang di depan kamar kost saya. Nah kalau sudah begitu, istrinya harus menyediakan kopi dan rokok. Jangan sampai istrinya telat bikinin kopi atau kehabisan rokok, ia bakal marah besar. Ada istilah kopi yang membuat saya tertawa geli, ada kopi jam enam, jam sepuluh, jam dua belas sampai jam sembilan malam. Jam setengah sepuluh ganti teh manis, setelah itu ada kopi jam sepuluh dan yang terakhir kopi jam dua belas malam.

Biar nggak mikir yang enggak-enggak harus ada yang menemaninya ngobrol. Ini yang membuat istrinya kelimpungan, juga ketiga anaknya. Sebuah kemalangan besar kalau mendapat giliran menemaninya. Selain omongannya tidak nyambung juga tidak betah berlama-lama duduk tanpa mengerjakan apa-apa. Nah kalau sudah begitu, istrinya mencari korban baru. Siapa lagi kalau bukan anak kost. Teman saya satu kamar yang sering menjadi korban.

Suatu saat teman saya sedang malas, sayalah yang diperkenalkan kepada istrinya dan kemudian ia sendiri. Semula saya asyik-asyik saja ngobrol bersamanya, wajar saja kalau anak kost ingin kenal dengan bapak kostnya. Pada saat diajak ngobrol tentang internet, saya bisa nyambung sedikit, ia kelihatan senang sekali. Apalagi saat saya keceplos ngomong tentang blog, ia seperti orang yang baru bangun tidur. Rupanya ia sedang belajar membuat blog. Bergembiralah teman saya karena istrinya ganti mencari-cari saya, bukan dia.

Dua minggu terakhir ini lebih parah. Ia senang sepak bola dan ia tahu kalau saya juga senang. Ia sering mengajak saya nonton bersama di rumahnya. Hampir tiap malam saya begadang. Ada untungnya sih, saya tidak perlu mencari pos satpam atau warung kopi untuk nonton bola. Camilan dan kopi juga tersedia, istrinya sangat rajin menyediakan hidangan itu.

Tapi merepotkan istrinya juga kalau setiap malam begitu, sungkan juga rasanya. Saya berembuk dengan teman saya untuk membuat rencana menghindar. Kebetulan pas malam jum'at ada teman yang menawari kami nonton di rumahnya. Kami bilang ke istrinya, "Bu, ini malam jum'at kan, saya tidak mau mengganggu ibu dan bapak, kan kalau malam jum'at sunnah. Malam ini kami mau nginap di rumah teman, ini kunci kamar saya titipkan ke ibu. Siapa tahu ibu dan bapak butuh suasana lain, boleh kok pakai kamar kami." Istrinya melotot tapi sambil senyum-senyum. Kami tertawa sambil kabur.

Jumat, 13 Juni 2008

Bapak-bapak Yang Kesepian

Jumat, 13 Juni 2008
Orang yang kesepian sering menunjukkan perilaku yang aneh-aneh. Misalnya, orang dewasa yang kesepian bisa bersifat kekanak-kanakan. Sebaliknya anak-anak yang kesepian bertindak layaknya orang dewasa, seperti merokok. Meskipun tidak semua anak yang merokok itu karena kesepian. Atau seperti lirik nakal lagu Iwan Fals berikut :

Tante tante yang kesepian
Bertingkah seperti perawan
Berlomba lomba mencari pasangan
..............

Saya bertemu dengan dua orang bapak. Keduanya mengalami masalah yang sama, yaitu sama-sama menderita kesepian. Bapak yang pertama menangis saat ngobrol dengan saya. Tangisannya mirip seperti anak kecil yang menangis sambil mengadu ke ibunya bahwa mainannya dirusak temannya. Bukan untuk mengejek, tetapi memang benar begitu kenyataannya.

Saya tahu kalau ia sangat kesepian setelah lama ngobrol dengannya. Ia butuh teman untuk mendengar keluhannya. Dan secara tidak sadar ia mengakuinya. Temen ngobrol sangat langka baginya. Orang-orang di kampungnya menganggap ia ketinggian omong karena banyak omongannya yang orang tidak bisa mengerti. Bahkan Pak Lurah pun ogah menampung ide-idenya.

Di rumah, tidak ada yang menganggapnya, termasuk istri dan anak-anaknya. Mereka masih tinggal satu rumah dengan mertuanya (keluarga dari istri). Bukan karena kurang mampu, tapi karena istrinya enggan untuk berumah tangga sendiri. Mertuanya pun enggan untuk berpisah dengan anaknya. Jadilah satu rumah dua keluarga.

Karena ada dua kepala keluarga dalam satu rumah, terjadilah dualisme nilai. Di satu sisi ia ingin menerapkan nilai-nilai yang dianggapnya bagus, sedangkan di sisi yang lain mertuanya menolak nilai itu dan mempunyai nilai sendiri. Misalnya, ia ingin anaknya mengurangi menonton televisi dan lebih banyak menggunakan waktunya untuk belajar. Tetapi ketika ia mencoba menerapkannya dan dengan tegas melarang anaknya menonton televisi di jam-jam belajar, mertuanya malah melindungi cucunya itu. Tentu, bagi anak akan memilih apa yang sesuai dengan kesenangannya. Lama-kelamaan ia merasa menjadi penghuni asing di rumah itu.

Kami mengobrol sampai berjam-jam. Ia sangat bersemangat sekali, seperti menemukan mata air di tengah padang gurun yang kering. Saking semangatnya, sulit bagi saya untuk mencari celah mengakhirinya, bukan apa-apa, saya harus kerja.

Salah satu yang menjadi obrolan kami adalah keinginannya untuk membangun pusat informasi bagi petani di desanya. Ia mempunyai rumah di tempat lain yang tidak ditempati. Di rumah itu ingin dipasangi komputer dengan akses internetnya. Tetapi bagaimana caranya dan berapa biayanya ia masih belum jelas. Selama ini tidak ada yang bisa diajaknya ngobrol. Kebetulan sekali saya baru mendapat penjelasan singkat tentang internet. Dari sedikit yang saya ketahui itu, saya menularkan kepadanya. Tentu yang sedikit sangat berharga bagi orang yang tidak sama sekali.

"Petani-petani itu butuh informasi mas" katanya, "informasi tentang cara bercocok tanam, cara memperoleh bibit yang unggul, bagaimana menghasilkan padi yang berkualitas dan sebagainya. Di internet kan banyak informasi tentang itu, bener nggak mas?"

Iya juga ingin rumahnya itu bisa menjadi tempat belajar. Salah satu ruangannya ingin dijadikan perpustakaan. Banyak anak-anak putus sekolah di situ, mereka bisa belajar gratis dari buku-buku dan akses yang disediakannya. Ia mengatakan, "mereka perlu kesempatan mas. Bukan tidak mungkin, jika ada kesempatan, mereka bisa mencapai cita-citanya."

Saya membenarkan dengan bercerita tentang kisah Laskar Pelangi, novel karya Andrea Hirata itu. Ia sangat tertarik dan ingin membacanya.

"Anak Bapak suka membaca juga?"

"Iya mas."

"Novel ini bisa juga menggugah kesadaran anak untuk semangat belajar Pak. Kalau anak Bapak sempat membacanya bisa jadi ia akan berubah. Tanpa disuruh dan diatur ia akan belajar sendiri." Ia semakin tidak sabar ingin membacanya.

Akhirnya saya punya alasan untuk mengakhiri obrolan kami. Sebelum pergi, ia sempat nitip untuk dibelikan Laskar Pelangi.

Setelah obrolan di pagi itu saya tidak bertemu dengannya lagi. Dua hari kemudian saya harus meninggalkan kotanya. Tapi sebelum hari itu, saya menyempatkan diri ke toko buku, membeli Laskar Pelangi untuk saya berikan kepadanya.

Bersambung ya......

Senin, 02 Juni 2008

Pakaian

Senin, 02 Juni 2008
Saya paling tidak suka menunggu tanpa melakukan aktifitas apa-apa. Makanya di dalam tas saya, selalu ada majalah atau buku bacaan. Jika kebetulan lupa membawanya, saya membeli koran. Nah suatu siang saya menunggu waktu tiba pukul satu untuk bertemu seseorang di kantornya. Sengaja, saya datang sebelum jam 12 dan menyempatkan shalat dzuhur di masjid dekat kantornya. Masih ada waktu sekitar 30 menit, saya duduk di serambi dan mengeluarkan buku bacaan.

Belum sempat saya membacanya, tiba-tiba seseorang di samping saya menyapa, "mas, boleh lihat judulnya?" Judul buku yang saya pegang dibacanya, "Menerobos Kegelapan".

Tampaknya ia berusaha memahami buku macam apa yang sedang ia lihat. Saya tersenyum ketika ia menebak buku ini semacam buku motivasi seperti buku motivasi kerja dan lain-lain. Karena masih tampak bingung, saya mengatakan bahwa buku ini biografi Karen Amstrong, mantan biarawati dan seorang yang percaya Tuhan tetapi tidak beragama. Ia tersenyum dan manggut-manggut.

Sebentar kemudian, kami ngobrol setengah diskusi. Ia bilang, "orang seperti itu banyak mas, banyak yang mengakui Islam itu baik, Kristen itu baik, tetapi tidak pernah masuk salah satunya. Tidak benar-benar menjalankan ajarannya. Orang seperti itu seperti orang yang belum pakai celana kemudian pergi ke toko, memilih-milih celana yang mau dibelinya. Karena semuanya bagus, ia bingung memilih yang mana, akhirnya tidak jadi beli."

Ia menambahkan, "menurut orang Betawi, agama itu ageman, pakaian". Saya mengerti apa yang ia maksud, dalam bahasa Jawa, ageman juga sama dengan pakaian. Agama itu mempunyai fungsi sebagaimana pakaian yang bisa meninggikan derajat manusia. Orang yang tidak beragama, sama seperti orang tidak berpakaian. "Mengerti kan mas, bagaimana jika orang tidak berpakaian" ia menambahkan.

Saya kagum dengan ulama-ulama terdahulu, mengajarkan agama dengan cara yang mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Nilai-nilai agama diselaraskan dengan nilai-nilai yang sudah lama dianut masyarakat.

Malamnya saya merenung, memikirkan kembali obrolan tentang pakaian itu. Benarkah agama itu sama dengan pakaian? Kalau memang benar, saya melihat orang seperti Karen itu sebenarnya bukan tidak memakai pakaian, tetapi ia membuat pakaiannya sendiri karena kecewa dengan pakaian-pakaian yang ada sekarang. Pakaian yang ada sudah berubah fungsinya. Alih-alih meninggikan derajat pemakaianya, malah menjerumuskannya ke dalam sifat-sifat yang berlawanan dengan fungsi pakaian itu. Agama yang sebenarnya untuk menuntun manusia menuju jalan kebaikan, membantu menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera serta memberi pelita saat kegelapan, justru menghasilkan perilaku yang berlawanan dengan semua itu. Tidak salah juga kan, karena kekecewaan itu Karen menganut agamanya sendiri sesuai yang diyakininya.

Pakaian. Saya kembali merenungkannya. Saya merasa saat ini sedang berpakaian, saya meyakini pakaian yang saya kenakan bisa menempatkan diri saya lebih tinggi daripada derajat hewani. Dan pakaian saya masih berfungsi dengan baik, modelnya juga masih sesuai dengan jaman sekarang. Ini keyakinan saya dan tentu saja setiap orang mempunyai keyakinan masing-masing, bisa sama atau berbeda dengan keyakinan saya. Orang juga bisa menilai pakaian yang dikenakannya paling bagus, paling keren paling sesuai dengan tuntutan jaman. Menurut saya itu wajar, sudah menjadi ketentuan dari-Nya, setiap manusia mempunyai keyakinannya masing-masing.

Masih ngobrol tentang pakaian. Esok harinya saya menceritakan diskusi di serambi masjid itu kepada teman saya. Ia langsung bertanya, "kalau agama itu pakaian, berarti kita bisa berganti-ganti agama seperti berganti pakaian. Kalau sudah tidak nyaman dengan pakaian yang kita kenakan sekarang bisa cari-cari pakaian yang baru. Ato tergantung musimnya, musim dingin pakai yang tebal, musim panas pakai yang tipis. Pakaian juga bisa dilepas di tempat yang tersembunyi, atau saat orang lain tidak melihatnya. Benarkah demikian?"

Saya tidak bisa menjawab, cuma bengong saja.
12duadua © 2014