Pages

Rabu, 08 Februari 2006

Kampung Tengah Kota

Rabu, 08 Februari 2006

Saat ini saya tinggal di daerah yang secara geografis masuk
wilayah kota, tetapi secara budaya masih tergolong kampung. Ikatan
kekeluargaan antar tetangga masih sangat erat, keluarga satu dengan
keluarga yang lain sering kunjung mengunjungi. Jika ada makanan yang
lebih, sering dibagi-bagikan ke tetangga- tetangga. Tetangga yang
diberi, selalu membalasnya dengan memberi. Saya pernah memberi tetangga
di sekitar rumah sepiring kue, beberapa hari kemudian piring tempat kue
dikembalikan, tetapi tidak kosongan, tetangga depan rumah mengisinya
dengan buah-buhan, tetangga samping mengisinya dengan kacang tanah
rebus dan tetangga yang aga jauh mengisinya sate ayam.


Kepedulian mereka terhadap tetangganya masih tinggi. Jika ada tetangga
yang membutuhkan bantuan, secara bergotong royong mereka membantunya
tanpa meminta imbalan. Waktu ada yang membangun rumah, rame-rame
tetangga yang lain membantu sebisanya. Ada yang mengangkut batu-bata,
mengaduk lumpur, menimba air, menyiapkan kerangka kayu dan ada juga
yang membantu tukang batu membuat tembok. Ibu-ibu membantu menyiapkan
makanan untuk suamii-suami mereka


Mereka masih memegang tradisi para leluhur mereka dulu. Yang paling
terlihat adalah masih sering diadakannya upacara selamatan. Hampir
setiap bulan ada upacara selamatan. Hari kelahiran (weton) diselamati
dengan membuat tumpeng dan jenang abang (jenang dari beras ketan dan
gula jawa). Hari kematian juga diselamati. Bedanya, kalau selamatan
hari kematian ada apemnya (saya tidak tahu bahasa lainnya apa) dan
tidak ada jenang merahnya. Membeli motorpun diselamati, bahkan
memindahkan barang (saat itu mesin jahit) dari rumah orang tuanya ke
rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah saja diselamati


Warga di kampung saya, hampir semuanya penduduk asli, hanya beberapa
keluarga saja warga pendatang, termasuk keluarga saya. Jika dilihat
dari jumlah keluarga yang tinggal, kampung saya termasuk kecil. Dulu,
kata Cak Jirin pejual sate, kampung ini besar, sekarang sudah banyak
yang pindah ke kampung pinggir kota. Tanah mereka banyak yang dijual
untuk perumahan, harga tanah disini sudah termasuk mahal. Hasil
penjualan tanah di sini, bisa dibelikan tanah dengan luas dua sampai
tiga kalinya di kampung pinggir sana. Cak Jirin dan orang-orang di
kampung saya memilih tetap tinggal disini karena pekerjaan. Cak jirin
penjual sate keliling, Mas Tono kondektur bis antar kota, Pak Sugeng
punya toko kelontong, bapaknya Diana (saya tidak ingat namanya) penjual
nasi goreng dan Cak Rokim pejual kerupuk keliling. Di pinggiran sana,
masih daerah pertanian, mereka tidak punya keahlian untuk bertani,
selain itu mereka sudah punya langganan tetap


Suatu saat, anak tetangga saya sakit parah sampai dibawa ke rumah
sakit. Ketika menanyakan berapa biaya rawat inap, petugas rumah sakit
menjelaskan, kalau kelas satu 50 ribu permalam, kelas dua 25 ribu dan
kelas tiga 10 ribu. Tetangga saya berfikir sejenak, lalu bertanya ke
petugas rumah sakit tersebut "Kalau kelas empat berapa ya ?" Untung
petugasnya baik, tidak marah-marah "Kelas empat tidak ada bu" jawabnya.


Waktu ibu-ibu ngumpul di rumah saya, istri saya bercerita. Anak saya
dilahirkan dengan operasi sesar. Sebenarnya istri saya ingin melahirkan
normal, tetapi ketika sudah bukaan 9 bayinya tidak mau keluar, letak
bayinya terlentang sehingga dagunya tersangkut dan ada ari-ari yang
membelit lehernya. Kalo tetap melahirkan normal resikonya besar jadi
harus disesar. Ada ibu yang nanya, kalo sudah bukaan 9 bayarnya lebih
murah ya, kan tinggal sedikit lagi. Istri saya tidak tega untuk
tertawa, "Sama saja bu" jawab istri saya.


Begitulah, perkembangan kota menimbulkan banyak fenomena, salah satunya
kampung di tengah kota. Yang menakutkan, anak-anak mereka sudah bergaya
hidup orang kota. Malu jika tidak mempunyai handphone, tiap hari main
di mall, pakaian mereka harus mengikuti mode anak sekarang, minta
dibelikan motor karena malu kalau ke sekolah naik angkot. Sepanjang
orang tuanya mampu tidak masalah, tetapi seringkali anaknya memaksa,
kalau tidak dituruti minggat dari rumah, akhirnya orang tua menyerah
juga, uang tabungannya habis untuk beli motor. Tetapi tidak semuanya seperti
itu. Ada anak yang tahu kesusahan orang tuanya, bisa sekolah saja
mereka sudah sangat bersyukur.







9 komentar:

12duadua © 2014