Suatu saat, saya hendak berpergian dengan menggunakan bus. Di terminal saya membayar retribusi ruang tunggu terminal (peron). Di papan pengumuman yang dipasang di depan loket tertera harga karcis peron 200 rupiah untuk setiap pengunjung terminal. Saya membayar dengan uang pecahan 500 rupiah. Karcis saya terima, sebelum meninggalkan loket uang kembalian saya periksa, ternyata petugas peron hanya memberi saya 200 rupiah. Saya memberi tahu petugas bahwa uang kembalian saya kurang 100 rupiah. Setelah melihat uang yang saya pegang, petugas tadi memberi 100 rupiah kekurangannya.
Semula, saya hanya menduga petugas peron memang salah menghitung uang kembalian. Maklum pengunjung terminal tidak hanya puluhan, tetapi ratusan, bahkan sampai ribuan orang setiap hari. Loket peron tidak pernah sepi, selalu terjadi antrian. Disaat jam pulang kerja atau hari libur, antrian pengunjung yang akan membayar peron sangat panjang. Saya berprasangka baik, petugas peron sangat repot melayani pengunjung, sehingga tidak sempat menghitung ulang uang kembalian
Prasangka baik berubah menjadi prasangka buruk setelah saya mengamati dan mengingat-ingat kembali kejadian yang serupa. Ternyata sudah beberapa kali kesalahan penghitungan uang kembali di peron terjadi, jumlahnya pasti kurang, tidak pernah lebih. Saya menduga ada unsur kesengajaan dalam kasus ini.
Saya sempat menceritakan kejadian ini kepada teman saya. Ternyata teman saya juga pernah mengalami hal yang sama. Ia juga meminta kekurangan itu. Ketika memberikan 100 rupiah kekurangannya, raut muka petugas peron tidak bersahabat, sikap yang ditunjukkannya juga kurang menyenangkan, padahal teman saya memintanya dengan baik-baik. Jika merasa bersalah, seharusnya petugas peron meminta maaf dan menunjukkan rasa penyesalan atas kekeliruannya
Kasus peron juga terjadi di terminal di kota lain. Kasusnya bukan mengurangi uang kembali, tetapi meminta lebih dari harga karcis yang sebenarnya. Papan pengumuman harga peron sengaja dipasang agak keatas sehingga pengunjung sulit melihat papan tersebut. Harga yang tertera di papan 100 rupiah, tetapi petugas meminta saya membayar 200 rupiah. Saya ingat beberapa bulan yang lalu saya masih membayar 100 rupiah, saya mencari papan pengumuman karena saya tidak yakin ada perubahan harga. Dan benar, papan pengumuman masih menuliskan harga karcis 100 rupiah. Saya meminta uang saya yang 100 rupiah kepada petugas di loket, petugas memberikannya dengan mengomel. Saya yakin, kebanyakan pengunjung terminal tetap membayar 200 rupiah, mereka tidak melihat papan pengumuman, selain sulit pengunjung juga tergesa-gesa memasuki terminal.
Jika dilihat dari jumlah uangnya, kasus peron ini kecil, sangat kecil dibandingkan dengan kasus korupsi yang diberitakan di media masa. Tetapi yang kecil-kecil menurut saya justru sangat berbahaya. Kecil, yang dilakukan berulang kali akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang dalam suatu masyarakat akan menjadi budaya. Jika sudah membudaya akan sangat sulit memberantasnya. Korupsi di negeri kita sangat sulit diberantas karena sudah membudaya. Pejabat kita, dari tingkat tinggi sampai tingkat desa banyak yang tersangkut korupsi. Penegak hukum dan ulama pun jadi tersangka kasus korupsi
Memang sangat susah mencegah hal-hal yang kecil seperti kasus peron ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mungkin menangani sampai sekecil itu, hukum pun juga masih jauh untuk menjangkau wilayah itu. Tidak mungkin mengandalkan institusi-institusi itu untuk mencegah laju budaya korupsi
Yang bisa dilakukan adalah menciptakan pengawasan oleh masyarakat sendiri. Pengawasan akan berjalan jika masyarakat sendiri sudah sadar. Ulama dan pendidik sangat berperan dalam proses penyadaran ini. Kasus-kasus kecil yang berbau korupsi dapat menjadi bahan pembelajaran oleh ulama dan pendidik. Tetapi yang lebih penting adalah menanamkan budaya anti korupsi sejak usia dini yang berpusat di lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang baik, anti korupsi, akan membentuk sikap anak yang anti korupsi kelak ketika sudah dewasa dan menjadi warga masyarakat.
1 komentar: