Pages

Kamis, 16 Februari 2006

Si Pong, Preman Sekolahan

Kamis, 16 Februari 2006

Lidia dan teman-teman
sekelasnya, laki-laki dan perempuan, bermain basket di lapangan. Beberapa anak
dari kelas lain dan adik kelasnya juga ikutan. Selain untuk melepas kejenuhan
belajar, bermain basket sudah menjadi hobi buat Lidia. Baru sebentar bermain,
tiba-tiba Si Pong dan gengnya datang dengan membentak-bentak menyuruh mereka
pergi. Perlahan, satu persatu pergi. Tidak ada yang berani membantah. Selain
kasar, sering juga mereka main pukul, terutama Si Pong yang badannya paling
kekar.

Amir, anak kelas dua,
pernah merasakan pukulan Si Pong sampai bibirnya berdarah. Si Pong geram karena
Amir mencoba melawan ketika diusir dari tempat duduknya di kantin sekolah. Si
Pong dan gengnya sering juga membuat ulah di kantin. Minta dilayani lebih dulu
padahal antrian panjang. Anak-anak di sekolah Lidia sudah malas sekali
berurusan dengan Si Pong dan gengnya, bertemu di jalan saja lebih memilih
menghindar daripada berpapasan dengan mereka.

Hari ini, seminggu
setelah pengusiran di lapangan basket itu, Lidia bertingkah aneh.
Teman-temannya melihat ada perubahan pada diri Lidia. “Makan apa ia semalam”
pikir Gita teman dekatnya. Rosalia, teman dekatnya yang lain mengira ia
kerasukan jin. Istirahat kali ini, Lidia, Gita dan Rosalia pergi ke kantin
sekolah. Di tengah perjalan mereka melihat Si Pong dan gengnya sedang
duduk-duduk di jalan yang akan mereka lalui. Gita dan Rosalia langsung
berbelok, menyelinap di gang kecil antara lab dan perpustakaan. Tapi Lidia
melarangnya.

"Hei, mau kemana
kalian ?" kata Lidia pada teman-temannya itu. "Kita kan mau ke
kantin, ngapain lewat situ, jauh tau" katanya lagi

"Kamu nggak liat
Di, tuh, disana ada Si Pong" kata Gita sambil menunjuk.

"Iya Di, jauh
nggak papa, asal tidak ketemu preman-preman itu, hiii, serem" kata Rosalia
menambahkan.

Sebenarnya tampang Si
Pong keren sekali. Masih lebih keren dibandingkan cover boy di majalah-majalah.
Kalau saja tidak berkelakuan buruk seperti itu, Si Pong pasti menjadi idola
cewek-cewek di sekolah Lidia. Seperti waktu awal-awal masuk sekolah dulu,
Rosalia ngiler melihat Si Pong yang mempunyai nama asli Purwanto. Dulu Purwanto
biasa dipanggil Pur, tetapi setelah ngegeng, teman-teman gengnya menggantinya
menjadi Pong, biar lebih sangar katanya. Tambahan “Si” di depan Pong hanya ejekan
saja, sama seperti Si di depan botak, dungu atau bodoh.

"Ooo ituuuu”
Lidia cengengesan, “kalian nggak usah kawatir, aku yang hadapi" kata Lidia
berlagak jagoan.

"Nggak ah Di, aku
nggak berani. Kamu gimana Ta"

"Sama Sa aku juga
takut"

"Udaah."
Lidia menarik tangan mereka berdua. "Mari kita bertaruh, mereka pasti
menyingkir kalau tau kita akan lewat sana."

Lida menarik tangan
kedua temannya lebih keras, sampai Gita hampir terjatuh. Dengan terpaksa Gita
dan Rosalia menurut. Mereka bertiga berjalan mendekati Si Pong dan gengnya.
Karena ketakutannya, Rosalia dan Gita berjalan di belakang Lidia, seperti anak
ayam yang berlindung pada induknya, merunduk tidak berani melihat kedepan.
Kedua tangan Rosalia dan Gita memegang tangan Lidia, erat sekali. Sementara Lidia
berjalan santai saja sambil tetap memandang kedepan. Sebenarnya Lidia juga
ragu-ragu, apakah ia berani menghadapi Si Pong dan gengnya. Tapi mundur tidak
ada dalam kamus Lidia, apalagi ia sudah berani bertaruh dengan teman-temannya
itu, malu kalau sampai kalah.

Dan benar, Si Pong dan
gengnya pergi begitu melihat Lidia datang. “Yes, aku menang.” batin Lidia
bersorak kegirangan, sama girangnya ketika Ia dan tim basketnya memenangkan
kompetisi antar sekolah sebulan yang lalu. Kemudian Lidia berbalik, melepaskan
pegangan Rosalia dan Gita. Kemudian Lidia memandang kedua temannya yang semakin
ketakutan. Kedua tangan mereka bergetar dan matanya terpejam rapat.

"Rosaliaa...,
Gitaa...., sudah, kalian jangan seperti itu, kalian tidak malu dilihat
teman-teman, lihat, hantu yang kalian takuti sudah pergi" Lidia menegakkan
badan kedua temannya itu.

Rosalia dan Gita masih
takut memandang kedepan. Lidia berusaha meyakinkan kedua temannya. Pelan-pelan
Rosalia dan Gita membuka matanya dan mencari-cari Si Pong dan gengnya. Setelah
yakin yang dicarinya tidak ada, baru Rosalia dan Gita berani mendongakkan
kepala dan membuka mata lebar-lebar. Mereka berdua melongo. Hampir tidak
percaya dengan apa yang baru saja mereka alami. Hampir bersamaan mereka
memandang Lidia. Yang dipandangnya hanya cengengesan.

"Kok bisa Di,
kamu apain mereka" Rosalia masih terheran- heran.

"Jangan-jangan,
kamu pakek mantra-mantra dari dukun ya ?” kata Gita.

"Hus, kalian
ngaco" sahut Lidia "nanti saja aku ceritakan di kantin."

Sampai di kantin
mereka pesan minum dan cepat-cepat mencari tempat duduk yang paling pinggir,
dekat tembok. Dan Lidia memulai ceritanya.

Sabtu sore, dua hari
yang lalu, Lidia ditelepon seseorang. Dari suaranya, Lidia mengetahui orang
yang berbicara ditelepon adalah perempuan yang mungkin sebaya dengan mamanya.
Lidia kaget bukan main saat perempuan itu memperkenalkan diri.

“Saya Bu Suryanti,
mamanya Purwanto” kata perempuan di ujung telepon. Lidia hampir melepaskan
handphonenya saat tau kalau perempuan itu mamanya Purwanto alias Si Pong,
preman sekolahnya. Setelah berhasil menenangkan diri, Lidia mendengarkan
penjelasan Bu Suryanti.

“Baik Bu, besok pagi
saya akan datang ke rumah” jawab Lidia kemudian.

Minggu paginya, Lidia
cepat beranjak dari tempat tidurnya. Biasaya, tempat tidur adalah tempat yang
paling enak bagi Lidia di hari Minggu. Selimut dan guling adalah teman yang
paling menyenangkan baginya. Ia tidak akan meninggalkan temannya itu kalau saja
mamanya tidak memaksanya makan untuk yang kelima kalinya. Tapi pagi ini ia
berbegas mandi, makan dan langsung pergi.

Bu Suryanti
mempersilahkan Lidia masuk , Si Pong sudah menunggu di ruang tamu. Setelah
berbasa-basi sebentar, Bu Suryanti menjelaskan. Akhir-akhir ini anaknya,
Purwanto, kelihatan aneh. Suka marah-marah dan sering mengurung diri di kamar.
Bu Suryanti takut terjadi apa-apa padanya. Suatu hari, waktu Purwanto pergi
sekolah, Bu suryanti memeriksa kamarnya, curiga, jangan-jangan ada barang
terlarang yang disembunyikan Purwanto di kamar itu.

“Maklum, jaman
sekarang anak muda banyak yang terjerumus narkoba Lidia” katanya “saya takut,
anak saya juga seperti itu, dia anak Ibu satu-satunya.”

Kemudian Bu Suryanti
mengatakan bahwa ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Sedikit demi sedikit
ketakutannya hilang, tetapi ia kaget di bawah bantal Purwanto ada foto-foto
cewek.

“Ini foto-foto itu.”
Bu Suryanti memberikan beberapa lembar foto kepada Lidia.

Lidia melihat-lihat
foto-foto itu. Ia kaget sekali. Itu adalah foto-foto waktu pertandingan basket
yang di pajang di madin sekolah

“Saya tanyakan ke Pur,
katanya itu fotomu” kata Bu Suryanti.

“Eeee, iiiiyaa Bu”
muka Lidia memerah, malu pada Bu Suryanti, tetapi marah pada Si Pong
“Bisa-bisanya ia mencuri foto-foto itu” kata Lidia dalam hati.

“Jadi selama ini kamu
yang mengambil foto-fotoku yang hilang itu Pur” Lidia memandang Si Pong yang
duduk disamping mamanya.

Yang dilihatnya hanya
tertunduk memandangi lantai. Semakin lama semaik dalam, seperti ada batu besar
berton-ton diatas kepalanya. “Dasar preman tengik, kalau memang preman yang
jantan dong, beraninya nyuri foto” umpat Lidia dalam hati yang masih terus
memandangnya.

“Maafkan Pur Lidia.”
kata Bu Suryanti tahu kalau Lidia marah kepada anaknya. “Semua dilakukannya
karena ia suka padamu Lidia” katanya selanjutanya.

Gita dan Rosalia terperanjat
mendengar cerita Lidia. Tetapi selanjutnya tertawa
sekeras-kerasnya. Mentertawakan dua kenyataan Purwanto yang berkebalikan antara
di Sekolah dan di rumah. Preman yang ditakuti semua cewek di sekolah, ternyata
anak mama yang manja di rumah. Tampangnya yang garang menakutkan itu ternyata
seorang penakut, beraninya mengandalkan mamanya.

“Memalukan” kata
Rosalia “Masak ngomong gituan nyuruh mamanya, haa..haa..haa” tertawanya semakin
keras.

Ditengah tawa keras
mereka, Si Pong dan gengnya masuk. Seperti biasa, garang, membentak-bentak dan
berkacak pinggang. Spontan mereka berhenti tertawa, melihat tingkah laku
anak-anak preman itu, tapi sebentar kemudian, tawa mereka meledak lagi. Kontan
Si Pong dan gengnya melarikan diri.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

12duadua © 2014