Pages

Kamis, 29 Januari 2009

Balthasar's Odyssey

Kamis, 29 Januari 2009
Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Amin Maalouf
Suatu siang, sehabis makan siang, saya dan teman-teman kantor mampir ke toko buku dekat kantor. Tokonya kecil sih, tapi lumaya untuk mencari-cari bacaan. Apalagi ada obralnya, buku-buku lama dijual dengan harga murah.

Viky, desainer kami, merekomendasikan Balthasar's Odyssey. "Nih, bagus," katanya. Saya membolak-balik buku itu, membaca beberapa halamannya dan saya pun tertarik. Akhirnya saya membelinya.

Memang bener kata Viky, buku itu bagus. Saya membacanya sampai tuntas. Saya suka caranya bercerita, pendek-pendek tapi memancing saya untuk terus membaca.

Ini kisah petualangan Baldassare Embriaco, seorang saudagar buku asal Gibelet. Nenek moyangnya seorang Genoa.

Suatu saat ia diberi buku oleh tetangga yang sudah tua dan miskin. Buku itu sangat langka, bertema Nama Tuhan Yang Keseratus. Juga berisi ramalan tentang berakhirnya alam semesta ini.

Tapi, tanpa ia sadar, buku itu jatuh ke tangan seorang pembesar, utusan dari istana Perancis. Setelah beberapa saat ia sadar, ternyata buku itu juga sangat berharga baginya. Disusunlah rencana untuk memiliki buku itu kembali. Dari situlah petualangannya dimulai.

Ia menyusuri jalur-jalur perdagangan sampai ke beberapa kota. Ia pernah singgah di Libanon, Maroko, Turki, Spanyol, Inggris dan Perancis.

Salah satu cerita yang saya ingat adalah ketika Baldassare bersama Marta, kekasih gelapnya, dan seorang pengawalnya menemui penjaga istana di Konstantinopel. Ia ingin membantu Marta untuk memastikan berita kematian suaminya.

Penjaga itu bersedia membantu, mencari keterangan di buku catatan istana, dengan imbalan sejumlah uang.

Setelah beberapa saat masuk, penjaga kembali menemui Baldassare. Penjaga mengatakan bahwa ia tidak menemukan keterangan yang dimaksud. Tapi ia berjanji akan mencarinya di buku catatan istana yang kedua. Syaratnya, Baldassare harus membayarnya sejumlah uang lagi.

Penjaga yang menyebalkan. Tapi menurut saya itu potret nyata zaman sekarang.

Amin Maalof, penulisnya, memang pandai mengangkat potret sosial masyarakat. Ada perbenturan antar budaya yang saling mengejek. Pertemuan antar pemeluk agama yang menarik. Tak lupa juga cerita yang romantis. Saking romantisnya, bisa-bisa novel ini masuk ke salah satu buku yang melanggar UU Pornografi, jika disalahartikan.

Satu lagi. Novel ini menjebak saya, yang saya nanti-nanti ternyata tak kejadian. Tapi jebakannya halus banget, saya suka itu.

Rabu, 28 Januari 2009

Berantakan

Rabu, 28 Januari 2009

Saya lupa sejak kapan saya punya kebiasaan memberantakkan buku-buku, alat tulis dan berkas-berkas. Sewaktu mengerjakan skripsi dulu, kebiasaan itu sudah saya lakukan. Hampir satu semester kamar kost saya berantakan. Meski ada rak buku, tetap saja buku-buku berserakan dimana-mana. Di meja, tempat tidur, bahkan lantai pun penuh. Seingat saya, waktu SMA dulu saya sudah begitu. Tapi ketika SD sudah tidak ingat lagi.

Kemarin hari deadline, banyak artikel yang harus saya selesaikan hari itu juga. Secara bergantian, saya harus buka buku, majalah dan artikel. Jadilah meja kerja saya jadi berantakan. Layar monitor juga penuh dengan windows-windowsnya berisi artikel yang sudah saya kumpulkan sebelumnya. Menurut saya, cara ini lebih efektif dibandingkan ketika saya harus mondar-mandir ke rak buku, mengambil satu persatu buku yang saya perlukan. Waktu untuk mencari akan lebih cepat ketika semua buku yang sekiranya saya perlukan saya tumpuk di meja. Waktu terasa berjalan lebih cepat saat deadline.

Masalah berantakan seperti itu, saya punya cerita tentang dosen wali saya. Saat pertama kali berkunjung ke rumahnya dulu, saya kaget setengah mati karena ruang tamunya penuh dengan tumpukan buku, sampai-sampai harus menyisihkan buku-buku itu terlebih dahulu sebelum saya duduk. Jangan ditanya, bagaimana kondisi ruangannya, berantakan alias tidak ditata.

Setelah beberapa kali berkunjung, saya lebih kaget lagi. Ternyata keadaan semua ruang-ruang di rumah itu sama dengan ruang tamunya. Ya, semuanya kecuali kamar mandinya. Saya kurang tahu kamar tidurnya, soalnya saya tidak pernah masuk. Untuk berjalan dari ruang ke ruang lainnya, harus melangkah pelan-pelan agar tidak menyentuh tumpukan buku, sedikit saja tumpukan itu tersentuh, pasti akan roboh dan menjadi semakin tak karuan lagi.

Tapi anehnya, ia hafal letak buku yang ingin dicarinya. Pernah suatu ketika saya pinjam salah satu buku yang saya tahu ia memilikinya. Ia langsung menuju salah satu ruang, melihat sebentar tumpukan-tumpukannya, dan kemudian dengan cepat mengambil buku yang saya maksud.

Tidak, kebiasaannya itu tidak berarti ia tidak menghargai buku. Ia sangat mencintai buku. Mungkin lebih dari seribu judul buku di rumahnya itu. Saya tidak tahu pasti mengapa buku-bukunya berantakan. Mungkin ia tidak banyak punya waktu untuk merapikannya. Setiap hari ada saja satu dua berkas atau buku yang diterminya. Belum lagi saat ia belanja buku, satu kali belanja tak kurang dari lima buku ia bawa.

Kembali ke meja saya yang berantakan. Apakah tidak lebih nyaman ketika meja kerja kita rapi? Ya, benar sekali. Sebenarnya, saya pun lebih senang kalau semua tertata rapi. Buku-buku disusun dan dikategorikan sesuai dengan bidang atau judulnya, seperti di perpustakaan. Selain rapi juga Lebih sedap dipandang mata. Karena itu, setelah deadline lewat, biasanya saya menata kembali buku-buku itu ke tempatnya semula. Selain itu, saya harus pengertian dengan teman-teman kerja saya, mereka pasti akan marah saat tidak menemukan buku yang mereka cari untuk referensi menulis artikel.

Hari ini artikel-artikel saya sudah kelar, tinggal satu yang harus saya revisi. waktunya untuk merapikan dan membersihkan meja. Selamat bekerja teman-teman, semoga hari ini hari yang menyenangkan buat kalian.

Kamis, 22 Januari 2009

Menularkan Kebaikan

Kamis, 22 Januari 2009

Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya di antara kita tak ada seorang pun yang mengenalkan atau mengajak kita untuk melakukan kebaikan? Dan bagaimana pula seandainya orangtua dan masyarakat di lingkungan kita selalu menunjukkan perilaku yang kurang baik, tak bermoral, dan tak beradab, sehingga perilaku tersebut menjadi model kita dalam bertingkah laku?

Bisa jadi, kita akan seperti masyarakat Mekah di zaman jahiliyah dulu. Perilaku kita jauh dari etika dan tuntunan moral. Tak segan-segan kita melakukan kemaksiatan, menipu dan curang dalam berdagang, menindas orang-orang yang lemah, dan saling bermusuhan antarsesama.

Bukan tak mungkin kita akan seperti ayah Ibrâhim as dan semua rakyat Raja Namrud yang sama sekali tak mengenal Tuhan yang sebenarnya. Berhala-berhala kita sembah dan kita puja sebagai tuhan-tuhan kita. Kita menjadi manusia yang bodoh karena menggantungkan nasib pada batu, padahal kita tahu bahwa pahatan ayah Ibrâhim itu tak akan bisa memberikan apa-apa.

Karena itu, sudah sepantasnya kita bersyukur bahwa Allah swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw dan Ibrâhim as serta para Rasul lainnya untuk menyampaikan dan mengajarkan kalimat-kalimat-Nya. Layak pula kita berterimakasih kepada orang-orang yang telah mengenalkan dan mengajak kita untuk melakukan kebaikan.

Ya, dalam setiap kelompok manusia atau masyarakat perlu ada orang-orang yang melakukan fungsi dakwah. Masyarakat yang baik, bermoral, dan beradab tak akan terbentuk apabila tak ada seorang pun yang tergerak untuk mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan serta mengingatkan masyarakat agar menghindari perbuatan-perbuatan yang munkar.

Berdakwah untuk Membangkitkan Kesadaran
Masyarakat ibarat sebuah kapal. Di dalamnya ada banyak ragam individu. Masing-masing memunyai peran menjaga agar kapal tak tenggelam dan tetap pada haluannya. Nah, selain menjalankan perannya itu, setiap individu juga memiliki kewajiban untuk mengingatkan seandainya ada individu lain yang berperilaku buruk.

Apa yang akan terjadi jika tak ada usaha untuk saling mengingatkan dalam kehidupan bermasyarakat? Rasulullah Saw memberi perumpamaan: “Pemisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan yang melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak mengambil air harus melawati orang-orang yang ada di atas mereka. Akhirnya mereka berkata, ‘Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tak akan mengganggu orang yang di atas kita’. Jika orang yang di atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua akan binasa. Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuanya akan selamat.”

Keselamatan untuk semua, inilah sebenarnya tujuan yang diharapkan dari aktivitas dakwah. Syaikh Ali Mahfuzh, murid dari Muhammad Abduh, mengartikan dakwah sebagai membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang munkar, agar mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ada banyak cara membangkitkan kesadaran manusia. Bisa dengan cara menyampaikan dengan lisan tentang hal baik untuk dilakukan dan yang seharusnya ditinggalkan. Bisa juga dengan tulisan yang menggugah dalam bentuk artikel di media, makalah seminar, atau buku. Kesadaran manusia dapat juga muncul karena terinspirasi perbuatan baik yang dilakukan seseorang. Salah satu contoh yang menarik adalah bagaimana seorang pengemis Yahudi yang dengan sukarela berucap dua kalimah syahadat karena kagum dengan kebaikan Rasulullah Saw terhadap dirinya.

Pengemis itu setiap hari berada di salah satu sudut di pasar kota Madinah. Kedua matanya tak bisa melihat karena buta. Dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Namun tak ada sedikit pun kebencian di hati Rasulullah Saw terhadapnya. Bahkan dalam setiap kesempatan, Rasulullah Saw membawa makanan dan menyuapkan ke dalam mulutnya.

Setelah Rasulullah Saw meninggal, sahabat Abu Bakar ra mengunjungi ’Âisyah–anaknya yang juga istri Rasulullah Saw. Abu Bakar bertanya sunnah apa yang belum dilakukan olehnya. ’Âisyah menceritakan kebiasaan Rasulullah Saw memberi makan pengemis di pasar Madinah itu.

Abu Bakar pun bergegas pergi ke pasar Madinah dan melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. Ia menjumpai pengemis yang masih melakukan kebiasaan buruknya itu. Namun pengemis itu terkejut karena yang menyuapinya bukan orang yang biasanya. Rasulullah Saw selalu melembutkan makanan sebelum disuapkan, sedangkan Abu Bakar tak melakukan itu. Kemudian Abu Bakar menceritakan bahwa Rasulullah Saw telah meninggal.

Mengetahui bahwa yang menyuapinya dulu adalah orang yang selalu dijelek-jelekkannya, pengemis itu pun sangat terharu sekaligus kagum terhadap kemuliaan pribadi Rasulullah Saw. Akhirnya, tanpa dipaksa, ia pun menghentikan kebiasaan buruknya dan rela mengikuti agama yang dibawa Rasulullah Saw. Itulah salah satu bukti bahwa dakwah bisa sangat efektif dengan melakukan perbuatan baik. Tentu perbuatan baik itu harus diketahui orang lain agar bisa memberikan inspirasi. Apakah dengan menunjukkan perbuatan tak akan menimbulkan riya’? Semua kembali pada niatnya.


-----------------------------------------------
ALiF Edisi 15
This Friday : Menularkan Kebaikan
Thought : Dakwah yang Bijak
Oase : Putra Jaya, Primadona Baru Malaysia
Hikayat: Wayang, Media Dakwah Para Wali


Senin, 12 Januari 2009

Modal Sosial yang Mubazir

Senin, 12 Januari 2009

Kebetulan nama depan kami sama, "Imam". Dia Imam B Prasojo, sosiolog dari Universitas Indonesia. "Akan ada Imam ketemu Imam," kata teman saya. Mas Imam adalah salah satu tokoh yang saya kagumi. Bukan karena kesamaan nama itu, tapi karena pemikirannya yang cerdas dan sikapnya yang bersahaja.

Suatu pagi kami berkunjung ke rumahnya. Hebat, pagi-pagi ia sudah bersedia menerima tamu, apalagi tamu seperti kami yang hanya mengajaknya ngobrol. Lebih hebat lagi, sepagi itu sudah terlihat kesibukan di rumahnya. Satu dua relawan Nurani Dunia, yayasan sosial yang didirikannya, sudah datang dan bekerja.

Kerja sosial, aktifitas ini yang banyak menyita waktunya setiap hari. Terkadang harus pergi ke luar kota, melayani masyarakat yang menjadi klien Nurani Dunia. Ruang-ruang di rumahnya pun dipenuhi barang-barang yang akan disalurkan untuk kegiatan sosial. Ada tumpukan kardus-kardus berisi buku, perangkat-perangkat komputer yang akan disebar ke berbagai daerah.

Di samping rumah, dekat garasi, ada ruang yang khusus disediakannya untuk melatih guru-guru. "Itu ruang meeting kami," katanya sambil menunjuk sebuah tempat seperti bungalau di teras atas. Lalu dimanakah tempat pribadi Mas Imam, pikirku dalam hati.

Mas Imam memulai obrolan kami dengan mengatakan, "modal sosial yang kita miliki banyak yang mubazir." Kemudian ia menjelaskan, banyak masjid yang dibangung begitu megah, tapi sepi. Bukan karena tidak ada jamaahnya tetapi masjid itu tidak digunakan untuk kegiatan lain selain ritual ibadah.

Sebenarnya, masjid bisa berfungsi untuk membangkitkan kekuatan sosial. Bisa dengan membuat perpustakaan yang dibuka untuk umum, mengadakan pelatihan untuk pemberdayaan atau untuk membentuk komunitas-komunitas. Disamping sangat diperlukan juga kajian-kajian tentang agama. "Sayang sekali, setelah shalat masjid itu sepi," katanya prihatin.

Satu lagi, ada banyak gardu yang dibangun di setiap RT. Dia heran, sebenarnya untuk apa gardu itu dibangun, kenyataannya banyak yang digunakan untuk tempat judi.

Ia pun tergerak. Gardu yang ada di Kampung Bonang, kampun dekat rumahnya, dijadikan perpustakaan. Awalnya memang berat, karena di daerah itu banyak premannya. Tapi lama kelamaan masyarakatnya bisa baik. Muncullah banyak komunitas yang ditata rapi di kampung itu.

Ya, sebenarnya bangsa Indonesia punya cukup banyak modal sosial. Dengan modal itu peradaban Indonesia bisa terbangun.

Di akhir abrolan kami, Mas Imam bilang, "Kerja semacam ini memang tidak banyak mendapat imbalan materi. Tapi, ada kebahagiaan tersendiri jika melihat kerja kita bermanfaat bagi orang lain. Dan kebahagiaan seperti ini tidak bisa dihargai dengan sejumlah materi."

Rabu, 07 Januari 2009

Ketakutan Pada Yang Lain

Rabu, 07 Januari 2009

Beberapa kali saya harus memunculkan keheranan saya dan berusaha untuk memahami, mengapa diantara sesama manusia saling menyakiti, bahkan ada yang sangat tega memisahkan jiwa dari raga manusia lain seperti segampang menginjak kecoak dengan sepatunya.

Bolehlah seorang teman mengatakan kalau Ryan, sang penjagal itu punya gangguan jiwa, sumber dari segala rasanya. Sehingga itu ia tak merasakan apa-apa ketika memotong-motong tubuh teman-teman dekatnya dan menguburnya di belakang rumah.Tetapi sulit untuk mengatakan bahwa para pemerkosa dalam tragedi Mei 1998 itu punya gangguan jiwa. Mungkinkah segerombolan orang itu tak normal jiwanya? Padahal sebelumnya, mereka itu secara kelompok adalah orang-orang yang wajar, tak menunjukkan tanda-tanda sebagai manusia yang tak beradab.

Bisa jugakah saya memunculkan anggapan bahwa zionis Israel yang menyerang Palestina itu memiliki jiwa yang tak waras? Kalau iya, bisa jadi suatu saat nanti bukan Palestina saja yang akan mereka serang, kita-kita pun bisa. Orang yang tak waras tak akan pernah berhenti mencari objek serangan sebelum gangguan jiwanya itu terobati.

Alasan gangguan jiwa tak bisa menjawab keheranan saya, dan tak banyak membantu memenuhi pemahaman saya.

Suatu hari saya membaca novel sejarah karya John Shors yang berjudul Taj Mahal, Kisah Cinta Abadi. Karena sebuah novel, kebenaran ceritanya bisa diperdebatkan. Tetapi gaya ceritanya sangat memikat. Saya sependapat dengan Andrea Hirata, John Shors memang benar-benar menguasai seni bercerita. Saya terbawa mengikuti babak demi babak, seperti terseret masuk dalam pusaran air.

Dalam waktu yang berselang-seling saya juga membaca bukunya F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Buku ini harus berulang-ulang saya baca karena terlalu rumit untuk otak saya yang tak pernah belajar filsafat.

Meski kedua buku itu sangat berbeda, sebuah fiksi dan pemahaman filsafat, tetapi dalam pemahaman saya, sepertinya keduanya mengusung tema yang saling menguatkan. Seperti kayu bakar yang menyokong nyala api.

Dalam Taj Mahal, tersaji kisah percintaan dan permusuhan. Kisah percintaannya (sekali lagi Andrea benar) membuat pembacanya merona dan merana. Kisah permusuhannya membuat saya bergidik dan bertanya, adakah manusia seperti Aurangzeb di dunia ini?

Aurangzeb, manusia yang sangat kejam. Ia tega membunuh Dara Shikuh, kakaknya sendiri dengan hukum pancung yang direkayasanya. Bahkan tanpa rasa belas kasihan sedikitpun ia mengurung ayah kandungnya, Shah Jahan yang sedang sakit dalam ruang pengab diatas sebuah menara.

Semua karena kegilaan Aurangzeb pada tahta dan kekuasaan. Kegilaan itu memunculkan rasa ketakutan pada dirinya. Setiap orang dicurigai akan menghalanginya mencapai kekuasaan itu. Karenanya ia berusaha menciptakan rasa aman dengan melenyapkan semua yang ia anggap sebagai penghalang, termasuk keluarganya sendiri. Tak hanya itu, banyak punggawa kerajaan yang disingkirkan karena tak bisa ia percaya.

Menurut Budi Hardiman, orang seperti Aurangzeb itu menderita heterophobia yaitu ketakutan pada “yang lain”. Ketakutan yang sebenarnya bersumber dari dirinya sendiri. Ketakutan yang memunculkan perasaan bahwa ada orang diluar dirinya atau diluar kelompoknya, yang mengancam dan menghalangi usahanya untuk hidup atau mencapai apa yang diinginkannya.

“Yang lain” itu dianggap berada di luar dan tak sama dengan dirinya. Dalam kasus-kasus tertentu yang lebih parah, “yang lain” itu dimaknai secara negatif sehingga wajar untuk dilecehkan atau justru harus dilenyapkan.

Padahal, ketakutan itu sering kali tak benar. “Yang lain” yang menjadi objek ketakutannya itu sebenarnya tak menakutkan sama sekali. Dalam kenyataannya Dara Shikuh sangat menyayangi dan mencintai Aurangzeb sebagai adiknya. Begitu juga Shah Jahan yang sangat kagum pada ketrampilan Aurangzeb memimpin perang.

Di akhir cerita, sang hiterofobia tak bisa mencapai apa yang didambakannya. Memang, Aurangzeb mendapatkan kekuasaan. Ia menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Tetapi, kekuasaan itu menjadi tak bermakna ketika tak mendapat pengakukan dari rakyatnya. Apa artinya raja tanpa pengakuan dari rakyatnya? Bahkan ia dianggap sebagai malapetaka bagi Hindustan.

Saya mendapat pencerahan dari kedua buku itu bahwa dalam hubungan sosial, manusia hiterofobia amat sangat menyusahkan. Alih-alih menjadi penyelamat dunia, ia sendiri adalah penyakit.

12duadua © 2014