
Masalah majalah Tempo itu adalah karena sampulnya mirip dengan The Last Supper, lukisan karya Leonardo da Vinci. Dan memang, menurut Kendra Paramita sang ilustrator, sampul tersebut dibuat karena terinspirasi The Last Supper.
Sejumlah orang, yang mengaku sebagai perwakilan umat Katolik, mendatangi kantor majalah Tempo untuk mempertanyakan sampul majalah itu. Para perwakilan tersebut menilai bahwa sampul itu menyinggung perasaan umat Katolik karena menyamakan posisi Yesus dalam The Last Supper dengan posisi Soeharto dalam ilustrasi sampul Tempo.
Ternyata cukup beragam tanggapan terhadap masalah protes-memprotes ini. Ada yang mendukung perwakilan umat Katolik. Tempo tidak semestinya membuat ilustrasi tersebut karena Thel Last Supper sudah menjadi lukisan yang mempunyai makna religi bagi umat Katolik.
Tetapi ada juga umat Kristiani yang merasa tidak terwakili oleh pemrotes. The Last Supper hanyalah sebuah lukisan, sebuah karya seni, bukanlah peristiwa suci itu sendiri. Dan setiap orang berhak mangapresiasi dan menafsirkan karya seni tersebut. Belum tentu juga penggambaran da Vinci itu tepat seperti yang terjadi pada perjamuan terakhir Yesus, da Vinci hanya mereka-mereka saja. Jadi tidak perlu umat Kristiani merasa tersinggung dengan sampul itu.
Selain masalah tersinggung atau tidak tersinggung, muncul juga dalam sebuah diskusi, kasus sampul Tempo itu, sedikit banyak masuk dalam dimensi bisnis. Masalah yang kontroversi biasanya menjadi senjata yang sangat ampuh meraih popularitas. Orang justru akan mencari-cari sesuatu yang dianggap bermasalah. Terbukti, setelah kasus itu merebak, Tempo sudah sulit ditemukan di pasaran karena sudah habis.
Yang menurut saya paling menarik adalah tanggapan dari seorang imam Katolik yang juga ahli filsafat. Tanggapan ini dikirim oleh salah seorang anggota milis Jaringan Islam Liberal (JIL).
"Soal cover TEMPO bukan soal hukum, tapi soal rendahnya "decorum publicum"
(bhs Latin untuk 'tata-krama publik'). Karena tata-krama publik adalah
cerminan selera kultural, rendahnya tata-krama publik adalah ungkapan selera
kultural yang rendah. Dan karena selera kultural adalah cerminan mutu
intelektualitas, maka rendahnya tata-krama publik cover TEMPO adalah
cerminan rendahnya intelektualitas TEMPO. Lugasnya cover itu adalah soal
kebodohan dan rendahnya intelektualitas TEMPO, bukan soal hukum. Tentu saja
kebodohan tidak bisa diperkarakan secara hukum. Tetapi untuk media yang mau
menjaga intelektualitas, kebodohan tentu lebih memalukan daripada kasus
hukum."
(bhs Latin untuk 'tata-krama publik'). Karena tata-krama publik adalah
cerminan selera kultural, rendahnya tata-krama publik adalah ungkapan selera
kultural yang rendah. Dan karena selera kultural adalah cerminan mutu
intelektualitas, maka rendahnya tata-krama publik cover TEMPO adalah
cerminan rendahnya intelektualitas TEMPO. Lugasnya cover itu adalah soal
kebodohan dan rendahnya intelektualitas TEMPO, bukan soal hukum. Tentu saja
kebodohan tidak bisa diperkarakan secara hukum. Tetapi untuk media yang mau
menjaga intelektualitas, kebodohan tentu lebih memalukan daripada kasus
hukum."
Memang bagaimanapun kita hidup ditengah-tengah masyarakat. Daniel Goleman, pengarang buku Social Intelligence, The New Science of Human Relationship, menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia tercipta untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Berhubungan dengan orang lain bukan saja karena manusia memang membutuhkan hubungan tersebut agar tetap bisa bertahan hidup, tetapi memang sifat dasar manusia yang suka untuk berinteraksi dengan orang lain.
Imam Katolik diatas benar, majalah Tempo seharusnya memperhatikan masalah tata krama publik. Harus berfikir beberapa kali untuk memuat sampul tersebut karena penggambaran kembali The Last Supper adalah masalah sensitif bagi sebagian orang. Kebebasan pers memang sangat diperlukan dalam negara demokrasi sebagai kekuatan pengontrol pemerintahan. Pers diperlukan juga sebagai sarana penyebar informasi sekaligus melakukan proses pembalajaran masyarakat.
Namun demikian kebebasan itu tidak berarti bebas yang sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tetap mempunyai batas yaitu kebebasan orang lain, etika dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Diperlukan suatu kecerdasan untuk berekspresi, menjalankan kebebasan dalam masyarakat.
Semoga kasus sampul majalah Tempo dan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi dapat meningkatkan kecerdasan kita dalam berekspresi agar kita mempunyai selera kultural yang tinggi sebagai cerminan tingginya tingkat intelektualitas kita.
4 komentar: