
Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | Arief Budiman |
Buku, Chairil Anwar, Sebuah pertemuan, mengajak kita memahami sajak-sajak Chairil secara berurutan dari yang pertama ditulis sampai yang terakhir. Dari pemahaman yang berurutan tersebut bisa diketahui perkembangan pandangan dan gejolak batin yang dialami Chairil.
Di babak pertama perjalanan karir sastranya, Chairil menghadapi kenyataan, Ia ditinggal neneknya meninggal dunia. Kenyataan itu membawa Chiril pada sebuah pertanyaan filosofis tentang kehidupan. Untuk apa hidup ini kalau pada kahirnya akan mati. Apa artinya harapan, cita-cita dan keinginan toh pada akhirnya semua sia-sia.
Bagi Chairil hidup bagaikan sebuah pematang yang menahan dentuman gelombang laut yang dalam. Untuk apa pematang selalu dipertahankan toh pada akhirnya akan hancur tidak kuasa menahan gelombang. Pematang akan sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Kemudian Ia bertemu sosok pahlawan legendaris, Pangeran Diponegoro. Dia melihat Diponegoro begitu bergairah mempertahankan hidup tanpa rasa takut. Dalam sajak Diponegoro ia mengatakan
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Dalam hidup Diponegoro, ada sesuatu yang diperjuangkan. Sesuatu itu adalah kemerdekaan, hidup terbebas dari belenggu penjajahan. Bagi Diponegoro, kemerdekaan lebih penting dari hidup itu sendiri. Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup harus diisi dengan arti. Hidup akan cukup berbahagia kalau dia punya arti, meski arti itu hanya kita berikan satu kali.
Di sini, Chairil dihadapkan pada dua pilihan hidup. Menjalankan hidup sebagaimanan adanya, hidup berjalan menyusuri waktu. Karena memang, kehidupan itu sulit untuk dipahami dan karena manusia tidak berdaya, lemah menghadapi sang maut. Atau hidup dengan mengikatkan diri dan berpegang pada sebuah prinsip yang harus diperjuangkan meski mati menjadi akhirnya seperti kehidupan Diponegoro.
Setelah memikirkan masak-masak akhirnya Ia memilih untuk menjalankan hidup sebagaimanan adanya. Ia tidak mau mengikatkan diri pada sesuatu. Ia tahu, pilihan ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi, hidup dalam kesendirian dan kesepian, hidup tanpa idialisme, kering kerontang tanpa warna. Ia selalu konsiten dan teguh pada pilihannya, meski kenistaan yang ia terima.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Penderitaan demi penderitaan Ia alami. Hingga suatu saat ia menyerah, mengikatkan diri pada harapan dan cita-cita seorang religi.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sugguh
mengingat Kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Penyerahan itu hanya untuk sementara. Chairil kembali pada pilihannya yang pertama, hidup mengembara, layaknya Ahasveros, tanpa rumah dan tempat kembali.
Sebuah pertemuan, memang menjadi jembatan antara sang maestro dengan pembacanya. Membaca buku ini seolah membawa kita lebih dekat padanya. Seperti menyelam di samudra makna sebuah sajak, meski pada dasarnya kita tidak bisa atau sulit memahami sajak.
5 komentar: