
Pertanyaannya bisa juga dibalik, sebagai orang tua, apakah sebenarnya kita menginginkan kelahiran anak kita? Apakah anak kita itu buah dari cinta dan kasih sayang atau hanya sekedar akibat dari rencana yang gagal? Entah anak kita yang mana, pertama, kedua atau kesebelas mungkin.
Kenyataannya, memang banyak kelahiran yang tidak diinginkan. Badan Kesehatan Dunia memperkirakan ada 38 persen dari 200 juta kehamilan pertahun merupakan kehamilan yang tidak diinginkan (Kompas,15 Februari 2008). Kehamilan tersebut bisa jadi karena gagal kontrasepsi atau salah melakukan penghitungan waktu subur bagi yang sudah menikah. Bisa juga karena hamil diluar nikah, hubungan gelap dan lain sebagainya.
Pasti lebih banyak yang karena hamil diluar nikah atau akibat hubungan gelap? Jangan salah, 87,1 persen kehamilan yang tidak diinginkan tersebut adalah dari pasangan yang sudah menikah. Artinya kehamilan itu lebih banyak karena gagal perencanaan keluarga. Istilah umumnya karena "kebobolan".
Yang lebih menyedihkan lagi, ada usaha-usaha untuk menghentikan kehamilan alias aborsi. Alasannya bermacam-macam, ada yang karena faktor ekonomi, sudah banyak anak atau karena anak sulungnya/kakaknya masih terlalu kecil. Angkanya cukup fantastis, dua pertiga kehamilan yang tidak diinginkan dihentikan dengan sengaja, 40 persennya dilakukan dengan tidak aman dan karena itu menyumbang 50 persen dari kematian ibu.
Membangun keluarga di jaman sekarang berbeda dengan jaman kakek-nenek kita dahulu. Dulu masih banyak sumber daya yang tersedia, bahan makanan tinggal metik dari kebun belakang rumah, sawahpun masih tersedia luas, cukup untuk menyediakan beras untuk konsumsi keluarga sampai musim panen berikutnya. Tidak perlu bingung punya banyak anak. Banyak saudara di sekitar kita yang membantu merawatnya, bahkan tetanggapun bersedia dimintai tolong dengan sukarela menjaganya.
Sekarang sudah berubah. Banyak keluarga muda yang jauh dari induk semangnya. Entah karena tuntutan pekerjaan atau sebab-sebab yang lain. Urusan membangun keluarga tergantung sepenuhnya pada keluarga muda itu sendiri. Mempunyai anak memerlukan pengaturan sumber daya yang ada, termasuk anggaran belanja keluarga. Jadi punya anak harus direncanakan.
Yang menjadi masalah jika rencana itu gagal, apakah kehamilan harus dihentikan? Ya kalau menurut yang 38 persen itu, kehamilan boleh dihentikan. Tapi secara moral dan agama tentu itu tidak dibenarkan.
Lantas bagaimana? Ninuk Widyantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan, berpendapat perlu ada upaya konseling atau pendampingan pada perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan agar tidak terjadi resiko aborsi atau untuk menjaga kesehatan dan pertumbuhan janin yang dikandungnya. Biasanya pada kasus semacam itu, anak yang dilahirkan tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
Saya ingat sebelum nikah dulu, saya mendapat nasehat dari seorang teman yang sudah lebih dulu menikah, "jangan kamu bayangkan setelah menikah akan bisa kamu jalani kehidupan ini sendirian, hanya dengan istrimu saja. Bagaimanapun kamu pasti akan membutuhkan orang tuamu dan orang-orang terdekatmu, termasuk juga teman dan sahabat-sahabatmu."
Saya kira, nasehat teman saya itu benar sekali. Setelah kita menikah pastilah kita masih membutuhkan orang lain untuk membantu membangun keluarga kita, ya minimal bantuan nasehat atau tukar pengalaman. Kalau tidak orang tua kita sendiri, ya teman dan sahabat dekat kita. Teman atau sahabat bisa menjadi pendamping dalam membangun keluarga, syukur kalau saling membantu dalam urusan materi.
6 komentar: