Suatu saat saya ditanya oleh seorang bapak di sebuah stasiun kereta, bagaimana cara menuju suatu tempat. Saya menerangkan sepengetahuan saya. "Untuk menuju ke tempat itu harus pindah-pindah angkutan umum" kata saya. Eh, bapak itu bilang, "kalau begitu naik taksi saja, terlalu ribet kalau naik angkutan umum."
"Tidak apa-apa kalau Bapak mau naik taksi, tapi harus hati-hati, jangan sembarang naik taksi, nanti dibohongi," saya mencoba menyarankan.
Di luar dugaan, dengan tersenyum bapak itu menjawab, "tidak apa-apa, tiap hari kan kita sering berbohong, jadi tidak apa-apa sekali-kali dibohongi, wajar saja kan."
Wah saya kaget sekali. Belum pernah saya mendengar logika semacam itu. Yang sering saya dengar adalah nasehat para orang tua, "kalau tidak suka dibohongi, ya jangan berbohong", sama juga seperti "kalau dipukul itu sakit, ya jangan memukul".
Tapi pukul-memukul itu dianggap wajar dalam dunia tinju, malah diharuskan. Kalau seorang petinju tidak bisa memukul, ia akan kalah dan otomatis peringkatnya akan menurun. Kualitas seorang petinju diukur dari kualitas pukulannya, seberapa kuat pukulannya itu dapat merobohkan lawannya.
Nah, kalau berbohong itu sudah dianggap wajar, merujuk pada dunia pertinjuan, berarti kita hidup di dunia para pembohong. Dunia dimana kualitas orang diukur dari seberapa pintar orang itu melakukan kebohongan. Semakin sulit kebohongannya terungkap maka semakin terhormatlah Ia.
Kemuliaan pun diukur dari baju dan topeng yang dikenakan, bukan dari perilaku hidupnya sehari-hari. Karena itu, setiap hari orang disibukkan menghias dan mempercantik baju dan topengnya itu untuk mendapat kemuliaan. Saking sibuknya, orang lupa akan isinya. Sehingga banyak kita jumpai orang yang berparas tampan dan cantik, tapi lupa ketampanan dan kecantikan perilakuknya.
Bagaimana para pemimpinnya? Pemimpin yang terpilih adalah orang yang paling pandai merangkai kebohongan menjadi janji-janji. Terpilihnya Ia seolah menjadi pelita penerang dalam kegelapan, padahal Ia kegelapan itu sendiri. Janji mengentaskan kemiskinan, padahal kemiskinan itulah modalnya meraih kekuasaan.
Semakin sulit mencari orang yang tetap memegang kejujuran. Orang semacam itu sudah tersingkir dan terpinggirkan. Kalau pun ada hanya menjadi sampah yang mengotori, yang membikin sumpek dan sesak para pembohong. Sistem dibuat agar orang jujur terpaksa berbuat bohong. Karena jika kebohongan terungkap, semuanya akan kena.
Kejujuran menjadi barang langka dan sangat mewah. Justru karena langka dan mewah itu jarang sekali orang yang memegangnya. Paling-paling hanya melihat dan mengaguminya, lalu segera melupakannya.
11 komentar: