Pages

Rabu, 11 Juli 2007

Ketika Uang Berkuasa

Rabu, 11 Juli 2007
MENARIK sekali membaca uraian Dahlan Iskan di Jawa Pos Senin kemarin (9 Juli 2007). “Menggoda dengan Uang Raksasa”, sebuah gambaran bagaimana bisnis besar jual-beli perusahaan.

Seorang milyarder dengan “mudahnya” membeli perusahaan yang sudah beken dengan pangsa pasar yang besar, dikenal oleh orang hampir diseluruh dunia, bahkan sebelum tawar-menawar dilakukan. Milyader itu tinggal mengumumkan ke media bahwa ia akan membeli perusahaan dengan nilai tertentu. Isu menjadi perbincangan yang ramai.

Pertama kali, mendengar cuap-cuap milyarder, si pemilik tentu marah-marah. Tetapi karena tawaran yang disebut sangat besar, melebihi harga yang layak, pemilik akan pikir-pikir dan akhirnya menyetujuinya. Padahal pemilik yang sekarang tidak ikut merasakan bagaimana nenek moyangnya bersusah-payah mendirikan dan mengembangkan perusahaan tersebut. Nilai kesejarahan perusahaan tidak ada harganya sama sekali dibanding nilai uang yang jika dirupiahkan nolnya bertumpuk-tumpuk.

Perusahaan layaknya seperti barang dagangan yang tidak ada kaitannya samasekali dengan nasib para pekerja dan profesional di dalamnya. Apalagi memikirkan bagaimana perusahaan itu menjadi tempat bergantung bagi banyak keluarga. Yang ada hanya hitungan untung dan rugi. Memang inilah hukum dunia bisnis yang hanya mendewakan uang atau modal semata.

Beberapa waktu yang lalu saya membaca biografi Matsushita Konosuke pendiri Matsushita Electric. Saya sangat terkesan dengan salah satu visi perusahaan yang didirikannya, yaitu mengusahakan kesejahteraan karyawannya. Bagaimanapun karyawan mempunyai jasa yang besar dalam membangun perusahaan. Pandangan ini yang membuat Ia tidak memberhentikan karyawan disaat krisis melanda. Justru karyawan dilibatkan dalam usaha bangkit dari krisis. Sisi kemanusiaan mengalahkan hitungan untung dan rugi.

Berbeda bagi seorang milyader pembeli perusahaan. Ketika sudah berhasil memiliki perusahaan, usaha yang pertama kali dilakukan tentu bagaimana modal yang diinvestasikan kembali dengan perhitungan waktu tertentu. Jika pada akhirnya perusahaan itu tidak lagi menguntungkan alias merugi, dijuallah perusahaan itu ke pihak lain. Bagaimana nasib para karyawan dan profesional di dalamnya ? Tidak tahu, kan tidak masuk dalam perhitungan.

Ilustrasi yang tepat digambarkan Dahlan Iskan pada paragraf awal tulisannya. Seorang anak yang mendapat warisan rumah oleh ayah atau nenek moyangnya, mungkin akan rela melepas rumah itu jika ada orang yang menawarnya dengan harga yang tinggi, melebihi nilai jual saat ini. Anak tidak tahu (melupakan) sejarah bagaimana rumah itu dulu dibangun dengan peras keringat pendahulunya.

Begitulah saat dimana uang berkuasa, mengalahkan sisi kemanusiaan, sungguh mengerikan.

21 komentar:

12duadua © 2014