Pages

Senin, 16 Juli 2007

Sedih di Awal Masuk Sekolah

Senin, 16 Juli 2007
Senin kemarin hari pertama masuk sekolah. Saya tidak ingat bagaimana perasaan saya ketika pertama kali duduk di bangku Sekolah Dasar, senang atau biasa-biasa saja ? Yang masih ingat, saya senang waktu masuk SMP. Saya mendapatkan suasana yang berbeda dan punya banyak teman baru. Maklum saya anak desa yang sekolah di kota.

Waktu masuk SMA, rasanya biasa-biasa saja. Tidak ada hal yang baru kecuali gedung dan guru-gurunya. Hampir seluruh teman SMA saya adalah teman-teman SMP juga. Masuk SMA seperti bedol sekolah saja.

Orang tua tentu senang melihat anaknya bisa menapaki tangga demi tangga pendidikan formal. Mereka juga tidak diributkan dengan biaya sekolah, sumbangan, uang gedung, seragam atau apalah namanya. Semuanya tidak memberatkan meskipun bagi orang tua saya yang guru Sekolah Dasar. Tidak banyak permainan juga, penerimaan siswa baru hanya berpatokan pada nilai danem (daftar nilai ebtanas murni). Ada sih isu, ada teman yang masuk gara-gara nyumbang mesin ketik atau batu bata untuk membangun kelas, tapi tidak sampai menggemparkan.

Sekarang saya bisa merasakan kondisi yang berbeda. Angga (saya pernah cerita disini) tidak jadi masuk SMK Grafika yang menjadi keinginannya, juga keinginan orang tuanya. Orang tua Angga tidak sanggup membayar melebihi peminat yang lain. Sebenarnya sudah disediakan Rp. 1,5 juta untuk daftar ulang, sesuai informasi yang diterima dari pihak sekolah sebelumnya. Tetapi ketika daftar ulang, Angga ditolak karena bangku sudah ada yang mengisi.

Ibunya kemarin cerita ke istri saya, sambil menahan tangis. Sedih sekali tidak bisa memenuhi harapan anaknya gara-gara tidak bisa menyediakan biaya daftar ulang diluar perkiraannya. Sebenarnya Angga anak yang cerdas, nilai unas-nya 27 lebih, ia yakin anaknya bisa diterima. Tapi apa daya, Angga gagal masuk SMK Grafika. Kekecewaannya semakin menjadi setelah mendengar cerita Lia. Teman Lia bisa masuk SMA Grafika padahal nilai unas-nya jauh dibawah Angga.

Lia sendiri juga kecewa. Ia tidak bisa masuk jurusan kesehatan yang diinginkannya gara-gara telat membayar uang daftar ulang. Padahal Ia dan Ibunya datang tepat sesuai dengan tanggal yang ditentukan sekolah, tetapi bangku sudah penuh terisi. Rupanya sebelum tanggal tersebut, banyak orang tua yang datang ke sekolah untuk melakukan daftar ulang sekaligus membayar biayanya.

Saya dan istri hanya bisa sedih mendengar cerita-cerita mereka. Bagaimana pendidikan kita kalau semuanya ditentukan oleh kuasa uang ?

Ya harus dong, sekolah butuh biaya Bung !

Iya, tapi apakah tidak bisa sekolah menyediakan sebagian bangkunya untuk mereka-mereka yang cerdas tetapi secara ekonomi kurang mampu. Kalau begini hanya orang kaya saja yang bisa sekolah.

Lalu biaya operasional sekolah siapa yang naggung kalau banyak yang tidak mampu ?

Ya biaya operasional harus dibuat se-efisien mungkin. Biaya-biaya yang tidak ada kaitan langsung dengan proses belajar mengajar dibuat sekecil-kecilnya. Tidak perlu sekolah berlomba membangun gedung-gedung yang megah dan fasilitas yang melebihi standar hanya untuk mengejar sebutan sekolah favorit.

Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana negara ini menjalankan amanah Undang-Undang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kalau semua masyarakat tidak mempunyai kesempatan yang sama duduk di bangku sekolah.


Gambar dari : http://clearinghouse.dikmenum.go.id

9 komentar:

12duadua © 2014