Pages

Rabu, 02 Agustus 2006

Jurnal Orang Gunung Kepada Imam Isnaini (Bagian 1)

Rabu, 02 Agustus 2006



Judul diatas adalah judul serangkaian tulisan JJ. Kusni (selanjutnya
saya sebut Kusni karena secara prinsip Beliau menolak untuk dipanggil
Bapak dan lebih suka dipanggil namanya saja) untuk menanggapi surat (lebih tepatnya e-mail)
yang saya tujukan kepadanya. Jurnal Orang Gunung ini ditulisnya pada
bulan Desember 2004 yang lalu.



Dibandingkan dengan e-mail saya kepadanya, jurnal ini sangatlah
panjang, ada 5 topik yang dikemukanan oleh Kusni, pertama Tentang
Manusia dan Negeri Kambé, kedua Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir dan
Mentalitas
, ketiga Media Massa Sebagai Pilar Demokrasi, keempat Ham dan
Wajib Asasi Manusia
dan yang kelima Eksotis dan Eksotisme. Rangkaian
tulisan Kusni ini saya ceritakan kembali karena saya ingin mengingat
banyak kritikan yang ditujukan kepada saya yang memang benar adanya
sekaligus saya ingin berbagi kepada pembaca mengenai topik-topik diatas.




Mengapa rangkaian tulisan ini dinamakannya Jurnal Orang Gunung ? Kusni
adalah orang asli Dayak yang sudah puluhan tahun merantau di negeri
orang, tepatnya di Montmartre, sebuah daerah tertinggi di Paris. Karena
hidup sebagai orang kampung di pegunungan, Kusni merasa dirinya tidak
lebih dari orang gunung belaka. Selain itu, Kusni melihat ada masalah yang serius dengan sebutan orang
gunung atau orang kampung yang sangat mengganggu bahkan merusak
hubungan antar anak bangsa.




Tentang Manusia dan Negeri Kambé.

( Ditulis pada 1 Desember 2004,  11:06 am ).

Dalam topik ini Kusni mengungkapkan penolakannya terhadap kehidupan
berbangsa kita yang cenderung terkotak-kotak. Pengkotakan-pengkotakan
itu menimbulkan pelecehan, penindasan dan penghisapan terhadap orang
gunung, orang desa atau kampung. Perlakuan terhadap orang kampung
seperti itu adalah wujud keangkuhan supremasi dan kebanggaan
berhegemoni yang membawa pada sebuah kedunguan primer alias hewani,
bukan tanda kemanusiawian. Lebih dalam lagi, pelecehan itu dinilai
sebagai kemerosotan manusia ke taraf "setan" dan "hantu" (Kambé,
menurut istilah Dayak Kalteng). Jika kondisi ini terus-menerus terjadi
bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Negeri Kambé. Tidakkah sekarang
kita didominasi oleh Kambé ?.


Indonesia yang manusiawi tidak memerlukan pengkotkan-pengkotakan, tidak
memerlukan kambé-kambé dan bahasa Indonesia bukanlah bahasa kambé
seperti juga Indonesia bukanlah negeri kambé.




Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir & Mentalitas.


( Ditulis pada 1 Desember 2004, 8:44 pm )




Saya tertohok dalam topik ini. Kusni menilai ada masalah yang prinsip
yang terlihat pada e-mail saya. Masalah yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa, pola pikir dan mentalitas saya yang selanjutnya
Kusni menyebutnya sebagai gambaran pola pikir generasi muda jaman
sekarang. Permasalahan terungkap ketika dalam e-mail, saya
mengakhirinya dengan kata regards.




Munculnya kata regards dalam komunikasi antar anak bangsa menunjukkan adanya masalah yang besar pada
pola pikir dan mentalitas generasi muda sekarang. Mengapa generasi muda sekarang memilih regards padahal dalam bahasa nasional kita
sudah mempunyai padanannya. Regards sama artinya dengan "salam" atau
"tabé" (dalam bahasa Dayak Kalteng). Bahasa
Indonesia masih bisa digunakan sebagai sarana komunikasi yang baik,
lebih-lebih dengan sesama anak bangsa. Pemilihan kata regards dibanding
"salam" atau "tabé" menggambarkan generasi muda sekarang sudah tidak
mempunyai kepercayaan diri dan identitas sebagai bangsa. Bukan tidak
mungkin, hilangnya kepercayaan diri dan identitas sebagai bangsa itu
membuka pintu neo-kolonialisme sehingga memudahkan bangsa dan negeri
ini terjual.



Kerusakan pola pikir dan mentalitas generasi muda yang saat ini sudah
masuk dalam alam bawah sadarnya, tidak terlepas dari peran Orde
Baru (Orba) yang berkuasa cukup lama (32 tahun) di negeri ini..




Membicarakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
terkait juga dengan penggunaan bahasa tersebut dalam dunia
tulis-menulis lebih khusus dunia pers. Pers sangat berperan dalam
membangun dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Dalam hal ini, Kusni menilai pers kita banyak merusak bahasa Indonesia,
sayang sekali Kusni tidak menyebutkan contoh-contoh kerusakannya. Hal
ini menyangkut kesadaran berbahasa para wartawannya. Kesadaran
berbahasa termasuk dalam lingkup kesadaran nasional, pembangunan watak
bangsa dan tingkat pengetahuan serta wawasan sang wartawan..



Dengan melihat gejala penggunaan bahasa Indonesia pada generasi muda
sekarang ini, negeri dan bangsa kita masih belum terlepas dari sebutan
"bangsa koeli" (Pada jaman kolonialisme Belanda, bangsa kita pernah
disebut sebagai "bangsa koeli" yang hidup dari "sebenggol"). Alih-alih
meninggalkan "bangsa koeli" dan "benggolan", kita malah menikmati dan
membanggakannya. Untuk membebaskan bangsa kita dari "bangsa koeli" diperlukan suatu politik kebudayaan nasional
yang tandas..




(Bersambung...)





Tulisan asli Kusni dan e-mail saya:

Tentang Manusia dan Negeri Kambé.

Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir & Mentalitas.












6 komentar:

12duadua © 2014