Pages

Jumat, 14 April 2006

Bersikap

Jumat, 14 April 2006


Hari ini saya bertemu sopir angkot yang baik. Ceritanya sama dengan cerita sopir angkot yang dulu. Kebetulan, kali ini aku duduk di depan, dekat dengan pak sopir. Tidak lama setelah aku naik, "kiri....kiri Pak" terdengar teriakan seseorang dari belakang. Bapak sopir yang disebelahku
langsung menginjak rem dan memutar kemudinya ke kiri, mengarahkan angkotnya ke pinggir. Setelah angkot
berhenti, orang yang berteriak tadi pun turun dan menyodorkan uang 20
ribuan kepada pak sopir.



"Waduh Pak gak ana susuke, lagi budal iki" (Waduh, Pak tidak ada kembaliannya, baru saja berangkat) kata pak sopir.



"Duwekku yo gur iku Pak, gak ana liyane, piye yo ?" (Uangku tinggal satu-satunya itu Pak, tidak ada yang lain, gimana ya ?) kata orang tadi



"Yo wis, gowonen ae, dongakno aku oleh rejeki sing akeh yo" (Ya sudah, uangnya dibawa aja, doakan saya ya agar mendapat rejeki yang banyak) kata pak sopir kembali.



Aku melihat ekspresi wajah sopir angkot. Ternyata tidak menampakkan
muka yang marah, malah ia tersenyum. Kenapa bisa berbeda dengan sopir
angkot yang dulu ya. Aku menduga-duga, tampaknya usialah yang membentuk sikap seperti itu. Memang
sopir angkot ini sudah tua, sudah banyak keriput di wajahnya, rambutnya
juga sudah banyak yang memutih. Mungkin pantas kalau ia jadi kakekku.



Tapi benarkah karena usia ? Kalau semakin tua, manusia bertambah dewasa
dan bijaksana, mengapa justru ada orang tua yang tega menyiksa anak
bayinya hanya gara-gara menangis ? Bukankan menangis itu kerjaannya
bayi ? Dan mengapa ada anak muda yang masih belasan tahun sabar merawat
neneknya yang sudah berkepala tujuh ? Bukankah anak muda itu masih
bergejolak hatinya ? Tidak stabil emosinya ?



"Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan"
begitulah slogan yang tertulis di bilboard pinggir jalan. Bersikap
dewasa dan bijaksana itu tidak memandang usia. Bersikap dewasa itu
sebuah pilihan. Jadi kedewasaan dan kebijaksanaan itu tidak ada
hubungannya dengan usia seseorang.



Sopir angkot yang baik itu memilih untuk tidak marah. Inilah pilihan
sikapnya. Sikap apa yang dipilihnya, marah atau tersenyum, tidak akan merubah kenyataan
penumpang tidak punya uang pas. Jadi mengapa harus marah-marah ?
Bukankan marah membutuhkan energi yang besar sedangkan sejuk dan damai memberikan
tambahan energi ?


Terima kasih Pak, Bapak sudah memberi pelajaran padaku bagaimana harus
bersikap. Semoga Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
mencurahkan kasih dan sayang-Nya kepada Bapak. Amiiiii....n








16 komentar:

12duadua © 2014