Pages

Selasa, 28 Februari 2006

Maafkan Aku

Selasa, 28 Februari 2006


Dalam angkot menuju terminal. Aku sangat gelisah waktu itu. Kuperiksa
kembali semua kantong baju, celana dan jaket yang melekat di tubuhku.
Juga kantong-kantong tas yang kubawa. Tapi aku tidak menemukan 2.000
rupiah untuk membayar angkot.



Aku mengeluarkan dompet dan kulihat lagi isinya, hanya 2 lembar 50
ribuan. Waktu berangkat aku lupa menyiapkan uang pas. Sambil
menenangkan diri aku berdoa semoga sopir angkot punya uang kembaliannya.



"Peron Pak" aku menyebutkan dimana aku harus turun.




Tepat di depan peron, depan terminal, angkot berhenti. Aku turun. Dari
jendel pintu depan angkot sebelah kiri aku memberikan 50 ribuan kepada
sopir angkot dengan tetap berdoa ia punya kemballian. Sopir angkot
marah-marah, tancap gas dan langsung pergi. Ternyata uang yang ada
padanya belum cukup untuk memberiku kembalian. Mungkin hari masih pagi,
ia baru berangkat dari rumah




Aku berjalan masuk ke terminal dengan hati yang sedih. Hari ini, aku
telah mengurangi penghasilan sopir angkot 2.000 rupiah dari yang
seharusnya ia terima




"Maafkan aku Pak, aku benar-benar lupa." gumamku dalam hati.




Aku harus lebih cermat lagi setiap kali akan naik angkot, memeriksa kembali apakah sudah aku siapkan uang pas untuk membayarnya.






Kamis, 16 Februari 2006

Si Pong, Preman Sekolahan

Kamis, 16 Februari 2006

Lidia dan teman-teman
sekelasnya, laki-laki dan perempuan, bermain basket di lapangan. Beberapa anak
dari kelas lain dan adik kelasnya juga ikutan. Selain untuk melepas kejenuhan
belajar, bermain basket sudah menjadi hobi buat Lidia. Baru sebentar bermain,
tiba-tiba Si Pong dan gengnya datang dengan membentak-bentak menyuruh mereka
pergi. Perlahan, satu persatu pergi. Tidak ada yang berani membantah. Selain
kasar, sering juga mereka main pukul, terutama Si Pong yang badannya paling
kekar.

Amir, anak kelas dua,
pernah merasakan pukulan Si Pong sampai bibirnya berdarah. Si Pong geram karena
Amir mencoba melawan ketika diusir dari tempat duduknya di kantin sekolah. Si
Pong dan gengnya sering juga membuat ulah di kantin. Minta dilayani lebih dulu
padahal antrian panjang. Anak-anak di sekolah Lidia sudah malas sekali
berurusan dengan Si Pong dan gengnya, bertemu di jalan saja lebih memilih
menghindar daripada berpapasan dengan mereka.

Hari ini, seminggu
setelah pengusiran di lapangan basket itu, Lidia bertingkah aneh.
Teman-temannya melihat ada perubahan pada diri Lidia. “Makan apa ia semalam”
pikir Gita teman dekatnya. Rosalia, teman dekatnya yang lain mengira ia
kerasukan jin. Istirahat kali ini, Lidia, Gita dan Rosalia pergi ke kantin
sekolah. Di tengah perjalan mereka melihat Si Pong dan gengnya sedang
duduk-duduk di jalan yang akan mereka lalui. Gita dan Rosalia langsung
berbelok, menyelinap di gang kecil antara lab dan perpustakaan. Tapi Lidia
melarangnya.

"Hei, mau kemana
kalian ?" kata Lidia pada teman-temannya itu. "Kita kan mau ke
kantin, ngapain lewat situ, jauh tau" katanya lagi

"Kamu nggak liat
Di, tuh, disana ada Si Pong" kata Gita sambil menunjuk.

"Iya Di, jauh
nggak papa, asal tidak ketemu preman-preman itu, hiii, serem" kata Rosalia
menambahkan.

Sebenarnya tampang Si
Pong keren sekali. Masih lebih keren dibandingkan cover boy di majalah-majalah.
Kalau saja tidak berkelakuan buruk seperti itu, Si Pong pasti menjadi idola
cewek-cewek di sekolah Lidia. Seperti waktu awal-awal masuk sekolah dulu,
Rosalia ngiler melihat Si Pong yang mempunyai nama asli Purwanto. Dulu Purwanto
biasa dipanggil Pur, tetapi setelah ngegeng, teman-teman gengnya menggantinya
menjadi Pong, biar lebih sangar katanya. Tambahan “Si” di depan Pong hanya ejekan
saja, sama seperti Si di depan botak, dungu atau bodoh.

"Ooo ituuuu”
Lidia cengengesan, “kalian nggak usah kawatir, aku yang hadapi" kata Lidia
berlagak jagoan.

"Nggak ah Di, aku
nggak berani. Kamu gimana Ta"

"Sama Sa aku juga
takut"

"Udaah."
Lidia menarik tangan mereka berdua. "Mari kita bertaruh, mereka pasti
menyingkir kalau tau kita akan lewat sana."

Lida menarik tangan
kedua temannya lebih keras, sampai Gita hampir terjatuh. Dengan terpaksa Gita
dan Rosalia menurut. Mereka bertiga berjalan mendekati Si Pong dan gengnya.
Karena ketakutannya, Rosalia dan Gita berjalan di belakang Lidia, seperti anak
ayam yang berlindung pada induknya, merunduk tidak berani melihat kedepan.
Kedua tangan Rosalia dan Gita memegang tangan Lidia, erat sekali. Sementara Lidia
berjalan santai saja sambil tetap memandang kedepan. Sebenarnya Lidia juga
ragu-ragu, apakah ia berani menghadapi Si Pong dan gengnya. Tapi mundur tidak
ada dalam kamus Lidia, apalagi ia sudah berani bertaruh dengan teman-temannya
itu, malu kalau sampai kalah.

Dan benar, Si Pong dan
gengnya pergi begitu melihat Lidia datang. “Yes, aku menang.” batin Lidia
bersorak kegirangan, sama girangnya ketika Ia dan tim basketnya memenangkan
kompetisi antar sekolah sebulan yang lalu. Kemudian Lidia berbalik, melepaskan
pegangan Rosalia dan Gita. Kemudian Lidia memandang kedua temannya yang semakin
ketakutan. Kedua tangan mereka bergetar dan matanya terpejam rapat.

"Rosaliaa...,
Gitaa...., sudah, kalian jangan seperti itu, kalian tidak malu dilihat
teman-teman, lihat, hantu yang kalian takuti sudah pergi" Lidia menegakkan
badan kedua temannya itu.

Rosalia dan Gita masih
takut memandang kedepan. Lidia berusaha meyakinkan kedua temannya. Pelan-pelan
Rosalia dan Gita membuka matanya dan mencari-cari Si Pong dan gengnya. Setelah
yakin yang dicarinya tidak ada, baru Rosalia dan Gita berani mendongakkan
kepala dan membuka mata lebar-lebar. Mereka berdua melongo. Hampir tidak
percaya dengan apa yang baru saja mereka alami. Hampir bersamaan mereka
memandang Lidia. Yang dipandangnya hanya cengengesan.

"Kok bisa Di,
kamu apain mereka" Rosalia masih terheran- heran.

"Jangan-jangan,
kamu pakek mantra-mantra dari dukun ya ?” kata Gita.

"Hus, kalian
ngaco" sahut Lidia "nanti saja aku ceritakan di kantin."

Sampai di kantin
mereka pesan minum dan cepat-cepat mencari tempat duduk yang paling pinggir,
dekat tembok. Dan Lidia memulai ceritanya.

Sabtu sore, dua hari
yang lalu, Lidia ditelepon seseorang. Dari suaranya, Lidia mengetahui orang
yang berbicara ditelepon adalah perempuan yang mungkin sebaya dengan mamanya.
Lidia kaget bukan main saat perempuan itu memperkenalkan diri.

“Saya Bu Suryanti,
mamanya Purwanto” kata perempuan di ujung telepon. Lidia hampir melepaskan
handphonenya saat tau kalau perempuan itu mamanya Purwanto alias Si Pong,
preman sekolahnya. Setelah berhasil menenangkan diri, Lidia mendengarkan
penjelasan Bu Suryanti.

“Baik Bu, besok pagi
saya akan datang ke rumah” jawab Lidia kemudian.

Minggu paginya, Lidia
cepat beranjak dari tempat tidurnya. Biasaya, tempat tidur adalah tempat yang
paling enak bagi Lidia di hari Minggu. Selimut dan guling adalah teman yang
paling menyenangkan baginya. Ia tidak akan meninggalkan temannya itu kalau saja
mamanya tidak memaksanya makan untuk yang kelima kalinya. Tapi pagi ini ia
berbegas mandi, makan dan langsung pergi.

Bu Suryanti
mempersilahkan Lidia masuk , Si Pong sudah menunggu di ruang tamu. Setelah
berbasa-basi sebentar, Bu Suryanti menjelaskan. Akhir-akhir ini anaknya,
Purwanto, kelihatan aneh. Suka marah-marah dan sering mengurung diri di kamar.
Bu Suryanti takut terjadi apa-apa padanya. Suatu hari, waktu Purwanto pergi
sekolah, Bu suryanti memeriksa kamarnya, curiga, jangan-jangan ada barang
terlarang yang disembunyikan Purwanto di kamar itu.

“Maklum, jaman
sekarang anak muda banyak yang terjerumus narkoba Lidia” katanya “saya takut,
anak saya juga seperti itu, dia anak Ibu satu-satunya.”

Kemudian Bu Suryanti
mengatakan bahwa ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Sedikit demi sedikit
ketakutannya hilang, tetapi ia kaget di bawah bantal Purwanto ada foto-foto
cewek.

“Ini foto-foto itu.”
Bu Suryanti memberikan beberapa lembar foto kepada Lidia.

Lidia melihat-lihat
foto-foto itu. Ia kaget sekali. Itu adalah foto-foto waktu pertandingan basket
yang di pajang di madin sekolah

“Saya tanyakan ke Pur,
katanya itu fotomu” kata Bu Suryanti.

“Eeee, iiiiyaa Bu”
muka Lidia memerah, malu pada Bu Suryanti, tetapi marah pada Si Pong
“Bisa-bisanya ia mencuri foto-foto itu” kata Lidia dalam hati.

“Jadi selama ini kamu
yang mengambil foto-fotoku yang hilang itu Pur” Lidia memandang Si Pong yang
duduk disamping mamanya.

Yang dilihatnya hanya
tertunduk memandangi lantai. Semakin lama semaik dalam, seperti ada batu besar
berton-ton diatas kepalanya. “Dasar preman tengik, kalau memang preman yang
jantan dong, beraninya nyuri foto” umpat Lidia dalam hati yang masih terus
memandangnya.

“Maafkan Pur Lidia.”
kata Bu Suryanti tahu kalau Lidia marah kepada anaknya. “Semua dilakukannya
karena ia suka padamu Lidia” katanya selanjutanya.

Gita dan Rosalia terperanjat
mendengar cerita Lidia. Tetapi selanjutnya tertawa
sekeras-kerasnya. Mentertawakan dua kenyataan Purwanto yang berkebalikan antara
di Sekolah dan di rumah. Preman yang ditakuti semua cewek di sekolah, ternyata
anak mama yang manja di rumah. Tampangnya yang garang menakutkan itu ternyata
seorang penakut, beraninya mengandalkan mamanya.

“Memalukan” kata
Rosalia “Masak ngomong gituan nyuruh mamanya, haa..haa..haa” tertawanya semakin
keras.

Ditengah tawa keras
mereka, Si Pong dan gengnya masuk. Seperti biasa, garang, membentak-bentak dan
berkacak pinggang. Spontan mereka berhenti tertawa, melihat tingkah laku
anak-anak preman itu, tapi sebentar kemudian, tawa mereka meledak lagi. Kontan
Si Pong dan gengnya melarikan diri.








Selasa, 14 Februari 2006

Korupsi, Cegah dari Yang Kecil dan Sedini Mungkin

Selasa, 14 Februari 2006

Suatu saat, saya hendak berpergian dengan menggunakan bus. Di terminal saya membayar retribusi ruang tunggu terminal (peron). Di papan pengumuman yang dipasang di depan loket tertera harga karcis peron 200 rupiah untuk setiap pengunjung terminal. Saya membayar dengan uang pecahan 500 rupiah. Karcis saya terima, sebelum meninggalkan loket uang kembalian saya periksa, ternyata petugas peron hanya memberi saya 200 rupiah. Saya memberi tahu petugas bahwa uang kembalian saya kurang 100 rupiah. Setelah melihat uang yang saya pegang, petugas tadi memberi 100 rupiah kekurangannya.

Semula, saya hanya menduga petugas peron memang salah menghitung uang kembalian. Maklum pengunjung terminal tidak hanya puluhan, tetapi ratusan, bahkan sampai ribuan orang setiap hari. Loket peron tidak pernah sepi, selalu terjadi antrian. Disaat jam pulang kerja atau hari libur, antrian pengunjung yang akan membayar peron sangat panjang. Saya berprasangka baik, petugas peron sangat repot melayani pengunjung, sehingga tidak sempat menghitung ulang uang kembalian

Prasangka baik berubah menjadi prasangka buruk setelah saya mengamati dan mengingat-ingat kembali kejadian yang serupa. Ternyata sudah beberapa kali kesalahan penghitungan uang kembali di peron terjadi, jumlahnya pasti kurang, tidak pernah lebih. Saya menduga ada unsur kesengajaan dalam kasus ini.

Saya sempat menceritakan kejadian ini kepada teman saya. Ternyata teman saya juga pernah mengalami hal yang sama. Ia juga meminta kekurangan itu. Ketika memberikan 100 rupiah kekurangannya, raut muka petugas peron tidak bersahabat, sikap yang ditunjukkannya juga kurang menyenangkan, padahal teman saya memintanya dengan baik-baik. Jika merasa bersalah, seharusnya petugas peron meminta maaf dan menunjukkan rasa penyesalan atas kekeliruannya

Kasus peron juga terjadi di terminal di kota lain. Kasusnya bukan mengurangi uang kembali, tetapi meminta lebih dari harga karcis yang sebenarnya. Papan pengumuman harga peron sengaja dipasang agak keatas sehingga pengunjung sulit melihat papan tersebut. Harga yang tertera di papan 100 rupiah, tetapi petugas meminta saya membayar 200 rupiah. Saya ingat beberapa bulan yang lalu saya masih membayar 100 rupiah, saya mencari papan pengumuman karena saya tidak yakin ada perubahan harga. Dan benar, papan pengumuman masih menuliskan harga karcis 100 rupiah. Saya meminta uang saya yang 100 rupiah kepada petugas di loket, petugas memberikannya dengan mengomel. Saya yakin, kebanyakan pengunjung terminal tetap membayar 200 rupiah, mereka tidak melihat papan pengumuman, selain sulit pengunjung juga tergesa-gesa memasuki terminal.

Jika dilihat dari jumlah uangnya, kasus peron ini kecil, sangat kecil dibandingkan dengan kasus korupsi yang diberitakan di media masa. Tetapi yang kecil-kecil menurut saya justru sangat berbahaya. Kecil, yang dilakukan berulang kali akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang dalam suatu masyarakat akan menjadi budaya. Jika sudah membudaya akan sangat sulit memberantasnya. Korupsi di negeri kita sangat sulit diberantas karena sudah membudaya. Pejabat kita, dari tingkat tinggi sampai tingkat desa banyak yang tersangkut korupsi. Penegak hukum dan ulama pun jadi tersangka kasus korupsi

Memang sangat susah mencegah hal-hal yang kecil seperti kasus peron ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mungkin menangani sampai sekecil itu, hukum pun juga masih jauh untuk menjangkau wilayah itu. Tidak mungkin mengandalkan institusi-institusi itu untuk mencegah laju budaya korupsi

Yang bisa dilakukan adalah menciptakan pengawasan oleh masyarakat sendiri. Pengawasan akan berjalan jika masyarakat sendiri sudah sadar. Ulama dan pendidik sangat berperan dalam proses penyadaran ini. Kasus-kasus kecil yang berbau korupsi dapat menjadi bahan pembelajaran oleh ulama dan pendidik. Tetapi yang lebih penting adalah menanamkan budaya anti korupsi sejak usia dini yang berpusat di lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang baik, anti korupsi, akan membentuk sikap anak yang anti korupsi kelak ketika sudah dewasa dan menjadi warga masyarakat.

Minggu, 12 Februari 2006

John Q

Minggu, 12 Februari 2006
Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Kids & Family


Apakah orang miskin tidak layak mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bagus ? Apakah setiap rumah sakit selalu menanyakan apakah anda punya uang atau tidak, jika tidak, silahkan mencari rumah sakit yang lain ? Itulah pertanyaan yang sempat terfikir dalam benak saya ketika melihat film John Q.

Film ini bercerita tentang perjuangan John Archibald (Denzel Washington) dan istrinya Denise (Kimberly Elise) untuk memasukkan anaknya Michael (Daniel Smith) yang dipanggilnya Mike, kedalam daftar penerima donor jantung. Mike jatuh pingsan ketika bermain baseball. Setelah dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan, Mike kena gagal jantung dan menyarankan untuk melakukan transplantasi jantung agar Mike tetap hidup.

Keluarga John termasuk keluarga yang kurang mampu sehingga biaya transplantasi sebesar $250,000 tidak mampu dibayarnya. Asuransi yang diikutinya juga tidak mencakup biaya transplantasi tersebut sehingga pihak rumah sakit menolak memasukkan Mike kedalam penerima donor.

Mengetahui hal itu, John berusaha mengumpulkan uang dengan menjual barang yang dimilikinya, termasuk satu-satunya mobil yang dipunyainya. Tetapi uang yang dikumpulkannya masih belum cukup. Setelah mendapat kabar dari istrinya bahwa rumah sakit tidak bisa menolongnya lagi, John nekat memaksa rumah sakit dengan menyanderanya. Berita penyanderaan tersebar. Sebuah stasiun televisi meliput secara khusus penyanderaan itu. Dalam salah satu liputannya, stasiun televisi tersebut mewawancarai salah satu teman John yang mendukung aksinya. Akibat wawancara itu, masyarakat banyak yang bersimpati kepada John. Banyak orang yang berkumpul di depan rumah sakit sambil meneriakkan dukungannya kepada John. Akhirnya rumah sakit terpaksa memenuhi permintaan John.

Muncul masalah baru, jantung yang cocok dengan tubuh Mike tidak tersedia di rumah sakit tersebut. John menawarkan diri menjadi pendonor bagi anaknya. Ia mengatakan "Saya tidak ingin menguburkan anak saya, karena anak sayalah yang seharusnya mengubur saya". Sebelum niat John terlaksana ada kabar bahwa jantung untuk Mike telah tersedia.

Dari sisi acting dan dialog, film ini termasuk buruk, hanya mengandalkan kehebatan seorang Denzel Washington saja. Tidak nampak karakter-karakter lain yang muncul. Tetapi film ini sangat menyentuh sisi emosional pemirsanya. Film ini cocok bagi penggemar film drama keluarga, tetapi tidak menarik bagi penggemar film action.

Rabu, 08 Februari 2006

Kampung Tengah Kota

Rabu, 08 Februari 2006

Saat ini saya tinggal di daerah yang secara geografis masuk
wilayah kota, tetapi secara budaya masih tergolong kampung. Ikatan
kekeluargaan antar tetangga masih sangat erat, keluarga satu dengan
keluarga yang lain sering kunjung mengunjungi. Jika ada makanan yang
lebih, sering dibagi-bagikan ke tetangga- tetangga. Tetangga yang
diberi, selalu membalasnya dengan memberi. Saya pernah memberi tetangga
di sekitar rumah sepiring kue, beberapa hari kemudian piring tempat kue
dikembalikan, tetapi tidak kosongan, tetangga depan rumah mengisinya
dengan buah-buhan, tetangga samping mengisinya dengan kacang tanah
rebus dan tetangga yang aga jauh mengisinya sate ayam.


Kepedulian mereka terhadap tetangganya masih tinggi. Jika ada tetangga
yang membutuhkan bantuan, secara bergotong royong mereka membantunya
tanpa meminta imbalan. Waktu ada yang membangun rumah, rame-rame
tetangga yang lain membantu sebisanya. Ada yang mengangkut batu-bata,
mengaduk lumpur, menimba air, menyiapkan kerangka kayu dan ada juga
yang membantu tukang batu membuat tembok. Ibu-ibu membantu menyiapkan
makanan untuk suamii-suami mereka


Mereka masih memegang tradisi para leluhur mereka dulu. Yang paling
terlihat adalah masih sering diadakannya upacara selamatan. Hampir
setiap bulan ada upacara selamatan. Hari kelahiran (weton) diselamati
dengan membuat tumpeng dan jenang abang (jenang dari beras ketan dan
gula jawa). Hari kematian juga diselamati. Bedanya, kalau selamatan
hari kematian ada apemnya (saya tidak tahu bahasa lainnya apa) dan
tidak ada jenang merahnya. Membeli motorpun diselamati, bahkan
memindahkan barang (saat itu mesin jahit) dari rumah orang tuanya ke
rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah saja diselamati


Warga di kampung saya, hampir semuanya penduduk asli, hanya beberapa
keluarga saja warga pendatang, termasuk keluarga saya. Jika dilihat
dari jumlah keluarga yang tinggal, kampung saya termasuk kecil. Dulu,
kata Cak Jirin pejual sate, kampung ini besar, sekarang sudah banyak
yang pindah ke kampung pinggir kota. Tanah mereka banyak yang dijual
untuk perumahan, harga tanah disini sudah termasuk mahal. Hasil
penjualan tanah di sini, bisa dibelikan tanah dengan luas dua sampai
tiga kalinya di kampung pinggir sana. Cak Jirin dan orang-orang di
kampung saya memilih tetap tinggal disini karena pekerjaan. Cak jirin
penjual sate keliling, Mas Tono kondektur bis antar kota, Pak Sugeng
punya toko kelontong, bapaknya Diana (saya tidak ingat namanya) penjual
nasi goreng dan Cak Rokim pejual kerupuk keliling. Di pinggiran sana,
masih daerah pertanian, mereka tidak punya keahlian untuk bertani,
selain itu mereka sudah punya langganan tetap


Suatu saat, anak tetangga saya sakit parah sampai dibawa ke rumah
sakit. Ketika menanyakan berapa biaya rawat inap, petugas rumah sakit
menjelaskan, kalau kelas satu 50 ribu permalam, kelas dua 25 ribu dan
kelas tiga 10 ribu. Tetangga saya berfikir sejenak, lalu bertanya ke
petugas rumah sakit tersebut "Kalau kelas empat berapa ya ?" Untung
petugasnya baik, tidak marah-marah "Kelas empat tidak ada bu" jawabnya.


Waktu ibu-ibu ngumpul di rumah saya, istri saya bercerita. Anak saya
dilahirkan dengan operasi sesar. Sebenarnya istri saya ingin melahirkan
normal, tetapi ketika sudah bukaan 9 bayinya tidak mau keluar, letak
bayinya terlentang sehingga dagunya tersangkut dan ada ari-ari yang
membelit lehernya. Kalo tetap melahirkan normal resikonya besar jadi
harus disesar. Ada ibu yang nanya, kalo sudah bukaan 9 bayarnya lebih
murah ya, kan tinggal sedikit lagi. Istri saya tidak tega untuk
tertawa, "Sama saja bu" jawab istri saya.


Begitulah, perkembangan kota menimbulkan banyak fenomena, salah satunya
kampung di tengah kota. Yang menakutkan, anak-anak mereka sudah bergaya
hidup orang kota. Malu jika tidak mempunyai handphone, tiap hari main
di mall, pakaian mereka harus mengikuti mode anak sekarang, minta
dibelikan motor karena malu kalau ke sekolah naik angkot. Sepanjang
orang tuanya mampu tidak masalah, tetapi seringkali anaknya memaksa,
kalau tidak dituruti minggat dari rumah, akhirnya orang tua menyerah
juga, uang tabungannya habis untuk beli motor. Tetapi tidak semuanya seperti
itu. Ada anak yang tahu kesusahan orang tuanya, bisa sekolah saja
mereka sudah sangat bersyukur.







12duadua © 2014