Pages

Selasa, 23 Maret 2010

Para Penghuni Kampus, Dimanakah Mereka Sekarang?

Selasa, 23 Maret 2010
Ayahnya seorang buruh tani, ibunya "bakul" (penjual) sayuran. Meski demikian, tak menghalangi niatnya untuk kuliah di Perguruan Tinggi. Bagaimana dengan biaya hidup dan studinya? Tak kurang akal, dengan segala upaya ia berusaha mendapat biasiswa mulai dari semester pertama.

Ia juga memanfaatkan masjid sebagai tempat tinggalnya, untuk itu ia mengajukan diri menjadi pengurus masjid. Semua Unit Kegiatan Mahasiswa ia masuki dan berkeras menjadi sie konsumsi. Di posisi itu ia sering mendapat jatah dari kelebihan konsumsi saat seminar atau kegiatan lain.

Ia adalah Dr. Purwadi, doktor bidang filsafat Jawa. Teman-teman yang mengikuti Kick Andy episode "Mengejar Mimpi", 19 Maret yang lalu pasti mengetahui kisahnya. Sangat inspiratif, tentang orang-orang dari keluarga berekonomi lemah yang berhasil mengejar impiannya mencapai tingkat pendidikan tinggi. Ternyata Saldi Isra, Ahli Hukum Tata Negara yang terkenal itu juga berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Saya masih bisa membayangkan bagaimana suasana kampus waktu saya kuliah dulu. Mirip dengan Dr. Purwadi, banyak teman-teman saya yang tinggal di sekretariat Himpunan Mahasiswa, laboratorium atau di masjid kampus.

Setiap malam, kampus ramai. Di sudut-sudutnya selalu saja terdengar gurauan, teriakan dan nyanyian para penghuni kampus. Sekretariat Himpunan Mahasiswa jurusan saya disebut Graha, maka kami menyebut mereka "Penghuni Graha".

Adakah mereka sekarang?

Hari ini saya membaca berita di Kompas, "Kos Rp 2 Juta Sebulan di Yogya". Saya kaget membacanya. Ternyata, kos-kosan dengan fasilitas layaknya hotel sudah marak di Yogyakarta. Padahal dulu terkenal dengan hidup yang sederhana alias semuanya murah. Yang menyewa kamarnya bukan hanya karyawan, tapi juga para mahasiswa.

Tentu, yang tinggal disitu bukan mahasiswa seperti saya atau Dr. Purwadi dan teman-teman saya para penghuni kampus dulu. Fasilitas mewah bukan kebutuhan kami, yang paling penting terjangkau, syukur-syukur bisa gratis.

Ada dua sudut pandang untuk melihat fenomena ini, optimis dan pesimis. Sudut pandang optimis, mudah-mudahan ini yang sebenarnya terjadi, tempat kos mahal menjamur padahal biaya kuliah melambung. Berarti, mahasiswa yang kuliah berasal dari keluarga yang sangat mampu.

Jika sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah (seperti saat saya kuliah dulu), maka banyak keluarga dari daerah yang sangat mampu. Artinya, masyarakat di daerah jauh lebih makmur dibanding zaman saya mahasiswa dulu dan bisa jadi kesejahteraan negeri ini semakin merata. Sehingga, para penghuni kampus sudah tidak ada lagi.

Namun, saya sedih dan kawatir melihatnya dari sudut pandang pesimis. Sebenarnya, anak-anak muda setingkat penghuni kampus masih banyak. Mereka terpinggirkan karena kampus tak memberi tempat bagi mereka, sedang biaya ekonomi tinggi menggilasnya.

Mereka bukan menghilang, melainkan terbuang. Kampus bukan tempat bagi mereka, sepandai apa pun ia.

Bukankah masih ada biasiswa? Benar, dengan biasiswa beban biaya studinya berkurang. Tapi, bagaimana dengan biaya-biaya yang lain? Masihkan kampus memberinya tempat untuk tinggal saat mereka tak mampu membayar sewa kos? Bagaimana pula dengan harga-harga yang sudah berlipat-lipat dibanding dulu?

Saya berharap, ini hanya kekawatiran saya yang kurang benar.

[Catatan: gambar hanya ilustrasi saja]

8 komentar:

12duadua © 2014