
Saya kurang tahu, dukungan spontan saya itu karena penilaian emosional saya atau karena pengalaman saya yang berlawanan dengan kasus Ibu Prita.
Dulu, kami pernah membawa pembantu saya berobat ke salah satu rumah sakit di Malang. Pembantu saya mengeluh mual dan sudah lebih dari tiga hari badannya panas. Setelah masuk UGD, dokter jaga waktu itu melakukan tes darah. Ternyata trombositnya cuma 80 ribu. Kesimpulannya, pembantu saya terkena demam berdarah.
Setelah dirawat tiga hari, trombositnya naik. Hari itu juga diputuskan boleh pulang. Namun, beberapa jam sebelum pulang, pembantu saya muntah darah dan kondisinya drop.
Dilakukanlah diagnosis ulang. Akhirnya ketahuan, pembantu saya terkena kanker hati yang sudah parah. Dokter yang bertugas waktu itu menjelaskan dengan rinci prosedur yang akan dilakukan. Kami pun mendapat rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam.
Lebih satu minggu pembantu saya dirawat di rumah sakit itu. Setiap habis pemeriksaan, dokter memanggil saya ke ruanggannya. Dijelaskan kondisi pembantu saya dan treatment apa yang akan dilakukan. Tak satu pun yang disembunyikan. Bahkan obat-obat yang akan diberikan dijelaskan degan detail.
Kami pun berdiskusi. Dokter itu juga memberikan no HP-nya jika sewaktu-waktu kami butuh berkonsultasi. Kami semua merasa tenang, meski belum bisa dipastikan kapan pembantu saya boleh dibawa pulang.
Yang membuat kami tenang adalah karena kami merasa dimanusiakan, tidak dianggap bodoh. Meskipun dokter yang lebih tahu semua tindakan medis, tapi kami diajak ngobrol dan berdiskusi seolah-olah kami rekan satu timnya.
Lebih terharunya lagi, setelah mengetahui yang dirawat itu bukan keluarga saya, dan yang menanggung semua biaya adalah saya, dokter itu menggratiskan seluruh biaya kunjungannya.
Berdasarkan pengalaman itu, saya bisa langsung menilai, jelas perlakuan kepada Ibu Prita itu bukanlah perlakuan yang seharusnya diberikan oleh institusi medis, lebih-lebih rumah sakit itu dibilang berstandart internasional. Rasanya kok jauh sekali ya.
Kekurang cerdasannya lagi, membawa kasus Ibu Prita ke delik hukum tanpa mempertimbangan situasi politik sekarang. Lihat saja, tokoh-tokoh politik memanfaatkan momentum ini untuk meraih simpati masyarakat. Hasilnya, bukan Ibu Prita yang mendapat pandangan negatif, justru rumah sakitnya yang banyak dikecam.
Bagi perusahaan jasa, kecaman itu pertanda yang sangat buruk dan akan sangat merugikan perusahaan di masa yang akan datang. Saya membaca sebuah komentar dari seseorang di media yang mengharamkan keluarga dan keturunannya berobat ke rumah sakit itu. Hampir semua komentar senada dengan itu. Kalau sudah begini, cilaka dua belas, ambruklah image rumah sakit itu. Sia-sia biaya advertising yang dikeluarkannya.
14 komentar: